Wednesday, December 06, 2006

Coming Back Home

Never regret. If it was good, then it was wonderful. If it was bad, then it was experience. Never regret. I just need to breathe again. A very deep breath, this time.

I feel fine, really. But I’m sorry for breaking your heart again, Mas. Hope we can find the silver lining of this cloud.

So I’m coming back home now: to refresh my flesh, to ignite my bones, and to give peace to my soul.

Saturday, December 02, 2006

Rasa

Detik ini semua rupa rasa campur aduk. Detik ini, saat mendung menggelayut di langit Jakarta, dan jendela besar tepat di depan meja kerja di lantai 19 ini membawaku pada pengembaraan dalam pikiran, tentang sebuah perjalanan panjang bernama kehidupan...

Kantor sepi, cuma ada Mas Hendi dan Mas Jodhi. Pak Sugeng tentu tidak masuk, hingga gelas-gelas kotor tergeletak di mana-mana. Loncat-loncat dari blog-nya Ogi, Dian Sastro, dan Tiara Lestari sambil dengerin OST Summer Scent (salah satu drama Korea favoritku), aku kembali tersentak dalam sepinya kesadaran.

Hampir tiga jam yang lalu aku berlari-lari dalam gerimisnya Cikarang, setelah sedari pagi mencoba merangkai masa depan bersamanya. Melihat bagaimana dia berlari-lari mengejarkan bus untukku, lalu menjagakan tempat duduk untukku (padahal dia nggak ikut naik bus lho)... membuatku tersentuh tak terlukiskan. Aku selalu saja merepotkanmu ya, Mas... Andai saja aku bisa membuatmu jadi lelaki paling bahagia sedunia, seperti yang selalu kau lakukan tiap hari untukku.

Pelan tapi pasti, kesadaran lain merembesi hati. Tentang kenapa aku berada di sini, melakukan semua ini... Ya, harusnya semua ini tak lagi menjadi mimpi masing-masing, karena waktu itu... dua telah menjadi satu. Tak ada lagi mimpimu atau mimpiku. Yang ada cuma mimpi kita. Harapan kita, dan juga cita-cita kita.

Keping-keping asa kadang ada, kadang tiada. Aku tak pernah ingin merapuh, tapi diri ini kadang tak sekuat tampaknya. Bantu aku ya, Mas. Kala aku melemah, bantu aku untuk kembali mengingat mimpi-mimpi kita. Aku juga ingin membuatmu bahagia, karena usahamu untuk membuatku bahagia melebihi usaha yang pernah dilakukan orang lain untukku.

Thank you, Mas... meski aku tahu terima kasih tak akan pernah cukup. Aku akan menantikan saat itu... when the nights between our separated cities are joined to the night that unites us together.

*ditulis dengan embun yang mengambang di kedua kelopak mata, dengan niat yang tulus untuk benar-benar membahagiakanmu, Mas*

Thursday, November 30, 2006

Thank You, Mas

So you come all the way from Cikarang just to walk me home from my office? It’s a very very very nice of you.

Thanks for your care, Mas...

Tuesday, November 28, 2006

Lagu

Aku sukaaa banget sama lagu ini. Sekarang setiap hari dengerin. Nadanya lembut. Liriknya penuh makna pula. *Mas, mau nyanyiin buat aku gaaaa???*
ONLY A WOMAN LIKE YOU
by Michael Bolton


It's beautiful, your honesty
You cry when you need to
You say what you feel
You're never afraid to wear your heart on your sleeve
You're always so open with me

It's in your voice, I can hear it
The sound of a woman in love

CHORUS:
Only a woman can love you so much
Give you her life and give you her trust
Not any woman can do what you do
Only a woman like you

It's magical, your love for me
It's more than a man could ever receive
I'm just a man and it's hard to believe
A woman like you could love me

It's in your eyes, I can see it
The look of a woman in love

REPEAT CHORUS

If only I could find the words to say
But I just can't, so forgive me
Cause you took the words away
You answered every prayer I always prayed

It's in your touch, I can feel it
The feeling of a woman in love

REPEAT CHORUS X

Monday, November 27, 2006

Akhir Pekan

Terlepas dari segala hiruk pikuk dan kepenatan, akhirnya ada juga hal menyenangkan terjadi. Sabtu lalu aku dan Mas Catur pergi ke bazaar buku Depdiknas. Gimana nggak pengen, diskonnya aja 50 %. Aku beli lima buku: satu buku resep masakan, satu novel Leo Tolstoy, dua buku tentang bahasan wanita dan gender, serta satu buku yang sudah sejak lama kucari-cari: Palestina 2-nya Joe Sacco! Semuanya cuma habis 67,5 ribu rupiah. Diskon tenan... Bahkan Mas Catur yang notabene enggak terlalu suka buku, kemarin juga beli tiga buku. Kepincut diskon ya, Mas? :D

Kesenangan kedua: akhirnya sempat juga nonton bioskop setelah sekian lamaaa... Hari Minggu aku menyempatkan nonton di Lippo Cikarang. Ini bioskop favoritku karena murah. Serasa nonton hemat kalau dibandingkan Bandung atau Jakarta. Nonton film Perancis Je Reste! yang dibintangi Sophie Marceau. Nggak terlalu istimewa sih filmnya, tapi cukuplah buat melepas kangen karena lama nggak ke bioskop.

Fiuuhhh, akhirnya ada juga hal menyenangkan terjadi.

*ma kasih karena udah selalu coba menghiburku ya, Mas*

Air Mata

Entah sudah malam keberapa, aku menangis sampai tertidur...

Saturday, November 25, 2006

Sedih

Seminggu ini aku benar-benar jadi orang yang berbeda. Aku enggak tahu kenapa. Rasanya berattt...

Tumpang tindih antara rasa stress, marah, sedih, enggak puas, kecewa, putus asa, enggak suka, dan enggak mampu. Kenapa aku harus melakukan semua ini, kenapa aku bisa ada di sini. Dan parahnya, semua rupa rasa ini harus kutekan diam-diam dalam dada. Karena tak seorang pun bisa ngerti. Karena aku harus bermuka happy di depan orang-orang.

Benar juga kata Oprah, kemarahan yang dipendam akan jadi kemurkaan. It’s no longer an anger, it becomes a rage. Maka seminggu ini aku susah sekali menemukan senyum, susah sekali menemukan damai. Hal kecil yang enggak sesuai pun cepat sekali bikin aku naik pitam.

Allah, di mana Kau sembunyikan kedamaian itu...

*for my beloved one, can’t you see that sorrow in my eyes?*

Jakarta

Yup, sejak pertengahan November lalu, aku officially pindah ke Jakarta, meninggalkan Solo-ku tercinta *hiks hiks*. Sempat mampir ke Bandung buat ngambil baju, akhirnya aku menemukan kost yang lumayan nyaman di bilangan Setiabudi.

Jakarta... Kota yang selama ini jadi urutan terbawah dalam daftar kota yang ingin kujadikan tempat tinggal. Kota yang bikin aku ketakutan kala harus ke mana-mana sendirian. Kota yang bikin aku stress *ini sih lebih karena masalah kerjaan :p*. Kota di mana aku benar-benar ngerasa sendirian *ayo, Yus... mandiriiiii*. Kota yang bikin aku enggak betah.

Fiuuhhh, moga-moga Jakarta ramah sama aku, buat saat ini sampai akhir zaman. Allah, please put a smile upon my face. Moga semuanya semakin membaik.

Thursday, November 09, 2006

Aku dan Tas Tangan


Foto di samping adalah fotoku dengan tas tangan punya Mami. Seumur hidup aku belum pernah punya tas tangan. Selama ini aku cukup nyaman ke mana-mana menyandang ransel. Alasannya cuma satu: segala barang bisa masuk ke situ. Jadi aku nggak perlu repot-repot mikir gimana telepon genggam, dua flash disk, botol air, mukena, buku-buku, agenda, Al-Qur’an, tempat pensil, dan baju ganti, bisa masuk. Hehehe, khas anak ITB banget, ke mana-mana menyandang ransel. Tapi aku masih mending. Anak-anak lab malah masih nambahin sandal jepit, sikat dan pasta gigi, sabun, serta handuk, dalam daftar isi ranselnya.

Kehidupan jadi mahasiswa yang seharian mangkal di kampus emang bikin aku akrab banget sama tas ransel. Waktu udah jadi mahasiswa tingkat akhir sampai akhirnya lulus, aku masih kerap membawa tas ransel meski buku-buku yang harus dibawa udah jauh berkurang. Teguran Mami yang nyindir aku sebagai anak-cewek-dengan-ransel bikin aku beli tas kecil model selempang. Tapi tetep nyari model yang rada besar di kelasnya, buat naruh barang-barangku yang seabrek itu.

Nah, setelah cukup akrab sama model selempang *meski sering merindukan ransel karena tas selempang itu nggak selalu bisa nampung semua barang yang pengen kubawa* akhir-akhir ini Mami nyaranin aku untuk beli tas tangan, secara aku belum pernah punya. Gunanya banyak, kata Mami. Selain untuk pergi kondangan, jalan-jalan, juga biar bisa bikin aku lebih ”cewek”. Aiihhhh... emang selama ini aku kurang ”cewek” yach? *padahal aku udah nuker sepatu sneakers-ku dengan sandal tali* Pas acara reuni atau kondangan, aku sering tertegun-tegun ngeliat temen-temen putri pada pakai tas tangan. Emang aku pantes yach pakai tas tangan? Kayaknya tipe tas kecilku masih tetep tas selempang deh. *jadi inget, aku pernah disindir Mas Catur gara-gara pergi kondangan --dan difoto bersama pengantin-- pakai tas selempang Eiger, padahal berbaju gamis dan bersepatu hak tinggi, huehehehehe*

Suatu saat aku mau pergi ke suatu acara, trus pinjem tas tangan Mami. Sebelum pergi, aku mematut diri di depan cermin, pantes enggak pakai tas tangan. Eh, adik kecilku bilang, ”Nggak pantes pakai kayak gitu. Kamu itu pantesnya pakai tas ransel.” Huahahahaha...

Kayaknya aku mulai mikir-mikir pengen beli tas tangan deh. Masa kalau ada acara, aku harus pinjem koleksi tas tangan Mami terus? Beli sendiri ahh...

Adik Kecilku


Foto di atas adalah salah satu foto favoritku bersama adik kecilku. Kenalkan, namanya Yesti. Dia satu-satunya adikku, berjarak sepuluh tahun denganku. Hampir separuh usianya kulewatkan dengan bolak balik Solo-Bandung. Sayang memang, bikin kebersamaan terasa kurang.

Tapi aku cukup dekat sama adik kecilku ini. Sejak awal dia SD, setiap pulang ke Solo selalu kubawakan sesuatu, juga setiap kali dia ulang tahun. Hampir selalu kubawakan buku. Nggak heran sekarang dia hobi banget membaca. Senang juga kita punya hobi yang sama, makanya jalan-jalan ke Gramedia kerap jadi agenda berdua. Wah, kalau ke Gramedia, kita berdua bisa berjam-jam sampai kaki pegal karena muter-muter.

Adik kecilku yang pipinya tembem ini lebih pinter dandan daripada aku. Suka padu padan baju, cari warna senada mulai dari rambut sampai celana atau rok. Dulu waktu kecil, rambut panjangnya suka ditata macem-macem: dikuncir, dikepang kecil-kecil, diikat ke atas, dll. Habisin waktu paling lama sebelum berangkat sekolah buat ngurusin rambut. Sekarang sih gaya-rambut-ke-sekolah-nya lebih simpel, karena nggak ada lagi sodara sepupu yang suka dandanin rambutnya kayak waktu dia kecil :p

Adik kecilku ini sekarang udah remaja. Nggak kerasa banget. Kayaknya baru kemarin aku mandiin dia buat pergi sekolah, padahal itu udah hampir delapan tahun lalu. Udah punya telepon genggam yang lebih canggih daripada punyaku, udah mulai rahasia-rahasiaan sama aku. Wekekekek, udah mulai ngomongin cowok sama temen-temen yach? *jadi ingat aku dulu waktu seusianya*

Adik kecilku suka minta ajarin pelajaran sekolah sama aku, juga suka curhat sama aku. *tapi kok nggak pernah curhat soal kecengan ya, hehehe* Trus dia itu nurut banget sama ortu, tipe anak baik yang rajin. Suka bantuin Mami masak di dapur, suka bantuin Papi beresin sesuatu. Tapi paling males disuruh nyapu rumah.

Adik kecilku kini udah nggak kecil lagi, tapi buatku dia tetap adik kecilku selamanya. Masih tetap adik kecil yang sering kupeluk-peluk dan kucium pipi tembemnya. Really love you, my little sister...

Dongeng #3

Masih ada hubungannya sama kisah dongeng dan romantisme, ini hasilku ikut kuis iseng-iseng di sini.

You Are A Romantic

You live your life like a fairy tale... or at least you try to.
Living for magical moments, you believe there's only one true love for you.
Love is the most important thing in your life, and you don't take it for granted.
Your perfect match loves to be in love as much as you do!


Dongeng #2

Berkaitan dengan postinganku ini, beberapa hari lalu ada orang gebleg nanya sambil sewot: apa hubungannya isi postinganku itu dengan pangeran berkuda putih. Setelah aku kasih clue hubungan soal isi postingan dengan dongeng, kisah romantis, dan pangeran berkuda putih, orang gebleg itu masih ngeyel bahwa semua itu nggak ada hubungannya. Aduh, gebleg banget sih. Ini orang nggak jalan sisi romantisnya apa yach?

So, postingan ini kubuat spesial buat dia deh. Ini saking aku yang emosi atau saking dianya yang gebleg ya? Hehehe...

Jadi gini, sejak aku kecil, aku sukaaaa banget sama kisah dongeng. Jadi cerita favoritku nggak jauh dari cerita tentang putri-putrian macam Cinderella, Sleeping Beauty, Snow White, Nut Crackers, Rapunzel, dll. Pokoknya yang kayak-kayak gitu deh.

Nah, jadi aku tumbuh besar dengan mindset dongeng di kepalaku. Stereotip dongeng tentang putri cantik yang jatuh cinta dengan pangeran tampan berkuda putih, bersarung pedang, yang dengan gagah berani menyelamatkan sang putri dari nenek sihir atau ibu tiri jahat. Lalu sang putri dan sang pangeran menikah *setelah sang pangeran menanyakan those magic words: will you marry me?* di istana megah dengan pernikahan meriah, dengan kue pesta setinggi beberapa tingkat, gaun cantik yang menjuntai-juntai, taburan bunga mawar, dengan raja, ratu, dan dayang-dayang yang mengiringi. Haduhh, dongeng banget ya... So sweet, romantis banget...

Mungkin itu sebabnya kenapa aku suka banget sama boneka Barbie dan Ken, karena mereka kayak putri dan pangeran. Mungkin itu sebabnya kenapa aku sukaaa banget sama bunga mawar. Dan mungkin itu pula sebabnya kenapa blog-ku ini kunamai fairytale, karena berharap hidupku seindah dongeng. Ya dongeng versiku sendiri belum tentu sama kayak versi orang lain kan?

Nah, sampai di sini Anda *dan orang gebleg itu* jadi ngerti kan hubungan antara dongeng, kisah romantis, dan pangeran berkuda putih? Begitulah. Nah, buatku... dongeng nggak melulu cuma kisah. Dongeng juga bisa terjadi di dunia nyata. Banyak kok kisah-kisah nyata yang seindah dongeng.

Hmmm, kurasa pada diri setiap orang selalu ada sebagian sisi kanak-kanak yang tak pernah hilang.

Wednesday, October 18, 2006

Iseng

Tadi iseng-iseng aku ikut kuis tentang How Open Are You?. Nih hasilnya. Lumayan bener juga kayaknya.
You Are 54% Open

You are a fairly open person, but you also like to maintain your privacy.
You definitely will tell all (okay, almost all) to your closest friends...
But strangers and acquaintances only get a peek into your life.

Trivialisme

Di postingan lalu aku janji kan, mau nulis tentang pengaruh acara-acara TV yang tidak-ada-isinya terhadap pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Dan betapa penting untuk menghindari acara-acara semacam ini. Dulu aku pernah nulis tulisan serupa untuk buletin Kronika, YPM Salman ITB edisi 1 Oktober 2004. Waktu itu cuma ngebahas tentang infotainment aja sih, tapi kupikir pengaruhnya sama aja kayak acara tidak-ada-isinya yang lain. Ini dia.

Infotainment dan Tanggung Jawab Pers

Di tengah perjuangan kemerdekaan pers di negeri ini, di saat pers yang berani bersuara lantang meneriakkan kebenaran sedang tersaruk menghadapi tuntutan, kita juga dihadapkan pada masalah etika tentang pemberitaan pers oleh tayangan-tayangan infotainment. Konsep awalnya, infotainment adalah acara yang menggabungkan antara informasi (information) dan hiburan (entertainment). Tetapi sesungguhnya, acara-acara semacam ini adalah gunjingan tentang orang ternama alias gosip.

Acara-acara infotainment yang menjejali layar televisi kita memiliki nama-nama yang berbeda, tetapi kemasannya hampir sama dan seragam. Kabar terbaru tentang seorang artis akan diberitakan sama hampir di semua acara-acara itu. Acara semacam ini memang menguntungkan pihak televisi karena pembuatannya murah dan menarik banyak iklan. Apalagi masyarakat sendiri menggemari berita-berita tentang orang-orang ternama. Makin seru, dramatis, dan kontroversial pemberitaannya, makin asyik orang menonton dan makin senang pula stasiun televisi menayangkannya.

Paul Kennedy, dalam bukunya Preparing for the Twenty First Century, menulis tentang trivialism, yaitu kecenderungan untuk menyukai hal-hal remeh. Kennedy meramal, trivialism yang diproduksi media massa akan membuat AS di masa depan tertinggal dan mengalami kebangkrutan ekonomi. Nah, bukankah materi yang disajikan oleh tayangan infotainment di negeri kita sungguh remeh, tak penting, tetapi membuat penonton menyukainya? Itulah trivialism!

Dengan gemar menyaksikan acara-acara infotainment, kita akan kehilangan kesempatan untuk menyadari substansi, perenungan, atau kedalaman dari hal-hal yang penting dan berguna, karena kita telah terbuai oleh hal-hal yang remeh saja. Yang lebih parah, muncul masalah etika karena banyak hal pribadi yang diangkat media ke wilayah publik melalui acara-acara infotainment. Banyak hal yang ditampilkan sangat mungkin melukai perasaan orang lain, amoral, dan tidak pantas.

Soal etika tampaknya dilupakan oleh media semacam ini. Sebab, selain pembuatnya kehilangan sensitivitas untuk menilai bahwa hal tersebut bermasalah, juga karena masyarakat menggemari santapan-santapan trivialism. Lalu, apalah artinya perjuangan media lain yang menjunjung kode etik dan menyuarakan kebenaran? [yustika]

Balapan

Gara-gara sering diajakin Mas Catur nonton, sekarang aku jadi suka banget lihat MotoGP. Dulu aku heran kenapa orang-orang bisa suka ngelihatnya. Wong cuma puter-puter seputaran sirkuit. Masih lebih asik nonton bola, pikirku.

Eh, ternyata belakangan ini aku jadi ketagihan. Kayaknya seru aja gitu, lihat orang balapan. Gimana ya, pokoknya asik deh. Seruuuuu... Jadi paham kenapa banyak yang suka. Malah sekarang aku sering sambil teriak-teriak nontonnya, persis kayak lagi nonton bola *hehe, piss*.

Kalau tentang jagoan sih, aku nggak punya favorit. Males ah ngejagoin Valentino Rossi, secara dia udah banyak fansnya dan udah keseringan jadi juara *hehe*.

Dongeng

Kok kayak dongeng aja ya, kisah-kisah hidup orang...

Mbak Retno ketemu suaminya *yang asli Bosnia* lewat chatting di internet. Setelah kenal di dunia maya, lewat proses-proses, akhirnya keduanya menikah. Mbak Retno akhirnya diboyong suaminya ke Bosnia. From chatting to wedding...

Titin ketemu suaminya juga lewat internet. Waktu itu Titin sekolah di Jepang dan Yudi, suaminya, sedang sekolah di Inggris. Bermula dari kunjungan-kunjungan ke blog masing-masing, lewat proses-proses, akhirnya keduanya juga menikah. From blogging to wedding...

Hmmm, kapan ya kisah hidupku kayak kisah dongeng. Ada nggak ya pangeran berkuda putih *hihihihihi*.

Kelebihan dan Kelemahan



Postingan ini oleh-oleh dari wawancara-wawancara kerja yang pernah aku lalui. Sering banget kan, kita ditanya mengenai kelebihan dan kelemahan diri pas wawancara semacam itu. Karena aku fresh graduate yang masih fresh banget, aku banyak-banyak nanya ke orang-orang yang udah lebih dulu punya pengalaman wawancara, gimana sebaiknya jawabannya.

Macem-macem sih jawaban mereka. Tapi rata-rata sama cara ngejawabnya. Baru nemu satu jawaban yang aneh ketika aku nanya seseorang *buat yang ngerasa, maap ya, jawabanmu jadi aku kaji lagi lebih mendalam*. Dia bilang, kalau ditanya soal kelemahan, dia jawab, ”Nggak punya kelemahan.” What? Nggak punya kelemahan? Seriously, WHAT?? Tidak mengenali diri sendiri atau cerminan sikap arogan?

Orang itu bilang, kalau kita mengakui diri kita punya kelemahan, kita akan terjebak pada suatu stereotip tentang diri kita yang lemah dalam satu hal tertentu, entah secara sadar maupun tidak sadar. Lalu ketika kelemahan itu muncul ke permukaan, kita akan memaklumi sikap dan perbuatan kita dengan kalimat ”ah, toh saya memang seperti itu”. Begitu alasan dia. Hmm, aku manggut-manggut. Tapi kan, tapi kan... masa jadi orang nggak punya kelemahan. Biar gimanapun, aku masih anggap itu sebagai sebuah arogansi. Lama-lama aku jadi mikir sendiri...

Aku membaca buku Personality Plus beberapa tahun lalu. Buku itu mengubahku dalam banyak hal. Setelah baca buku itu, aku jadi lebih mengenali diriku sendiri *dan tentu juga orang lain* lewat kelebihan dan kelemahan yang diuraikan. Selama ini aku ngerasa buku itu powerful banget dalam memahami orang. Pokoknya jadi panduan banget lah buat aku.

Eh, sama orang yang aku ceritakan di atas tadi, buku itu dicemooh habis-habisan. Dia bilang males lah baca buku itu. Buat apa memahami watak kalau jadinya malah hidup dalam kotak-kotak kepribadian yang kita nggak bisa keluar darinya, begitu alasannya. Dia nggak suka kepribadian orang dideskripsikan sebagai sesuatu yang jelas dan pasti. Karena itu tadi. Ketika kita terjebak dalam suatu stereotip mengenai kepribadian kita, kita akan memaklumi segala sikap dan perbuatan kita karena kita pikir, begitulah kita adanya. Benarkah? Hmmm...

Ini hipotesis baru yang selama ini belum pernah menyentak perhatianku. Menurutku nggak begitu sih. Karena ketika kita memahami kelebihan dan kelemahan, kita lantas bisa menyikapi kehidupan dengan cara yang lebih proporsional dan bijaksana. Tahu gimana harus bersikap dan bertindak berdasar kepribadian kita itu. Bukan begitu? Ya iya sih, selama ini aku emang sering menjustifikasi sikapku yang pesimis dan gloomy sebagai intisari kepribadian melankolis phlegmatis-ku, jadi kadang suka ngeyel kalau dinasehati supaya aku optimis dan ceria memandang hidup. Mungkin itu yang dia enggak suka. Tapi kan, tapi kan... kegunaan memahami watak juga banyak. Jangan jadi skeptis begitu dong.

So, apa jawabanmu ketika ada orang yang bertanya mengenai kelebihan dan kelemahanmu?

Setiap Hari

Aduh, sebentar lagi Ramadhan usai. Kok rasanya cepet banget ya. Hmmph, udah mulai terbiasa dengan rutinitas Ramadhan... eh, bentar lagi kelar. Kebetulan Ramadhan tahun ini kuhabiskan di rumah, jadi ceritanya full sama keluarga *aduh, tapi minus Mas Didik ding*.

Tiap hari bangun jam setengah tiga pagi, lalu bantuin Mami masak di dapur. Biasanya menjelang setengah empat acara masak-masak baru selesai. Santap sahur bareng keluarga diiringi dengan nonton Tafsir Al-Mishbah. Pengen cerita sedikit soal program acara yang satu ini.

Beberapa tahun belakangan ini, keluargaku jadi pelanggan setia acara Tafsir Al-Mishbah, karena beberapa tahun belakangan ini di rumahku gencar diadakan kampanye anti-nonton-acara-TV-yang-tidak-bermutu, dengan aku sebagai oratornya *hehe*. Berangkat dari keprihatinan yang mendalam mengenai acara-acara TV kita yang makin bobrok, sudah lama aku meniupkan semangat kebencian terhadap acara-acara yang tidak-ada-isinya. Maka sudah sejak lama pula TV di rumahku diwarnai dengan tayangan-tayangan Metro TV *saluran TV paling top di Indonesia* dan menghindari sinetron, infotainment, serta acara-acara hiburan yang tidak-ada-isinya.

Pengaruh acara-acara yang tidak-ada-isinya terhadap pola pikir dan gaya hidup masyarakat ternyata dahsyat lho. Kapan-kapan aku tulis deh. Alhamdulillah keluargaku sepakat untuk meninggalkan acara-acara semacam itu. Sejak dulu TV nggak pernah menjadi barang yang penting di rumah kami, jadi nggak masalah kalau TV dimatikan *terutama pas acara-acara yang tidak-ada-isinya tayang*.

Balik ke Tafsir Al-Mishbah. Program waktu sahur yang sarat dengan ilmu dan renungan ini dibawakan dengan apik oleh Quraish Shihab, narasumber favorit keluargaku. Sayang aku nggak tinggal di Jakarta. Kalau iya, aku pasti sudah rajin ikut kajian beliau di Masjid Sunda Kelapa. Acara ini jauh lebih bermutu dibanding acara sahur di TV-TV tetangga yang penuh dengan humor-tanpa-esensi *sampai pengen muntah ngeliatnya, apalagi yang ada Tessi-nya tuh*. Jadi sambil nunggu adzan subuh, biasanya keluargaku nongkrong di depan TV sampai Tafsir Al-Mishbah selesai, dilanjutkan dengan acara Sukses Halal & Syariah, masih di Metro TV.

Habis subuh biasanya aku tidur lagi sampai siang. Setelah bangun, bersih-bersih rumah sebentar, baca koran, nonton Oprah Winfrey Show, atau ngenet. Terus pergi jemput Yesti dari sekolah. Siang harinya nonton Ceriwis dan Wisata Kuliner. Lalu habis ashar, mulai berkutat lagi deh di dapur, bantuin Mami masak-masak lagi. Begitu terus tiap hari. Rada bosen sih, tapi mau gimana lagi. Namanya juga pengangguran *hehe*. Mau main ke rumah temen, mereka udah pada kerja.

Acara buka puasa sekeluarga juga nggak jauh-jauh dari Metro TV: sambil nonton Ensiklopedi Islam yang dibawakan Sandrina Malakiano *wah, sayang banget si mbak yang dulu pernah jadi the best Indonesian news anchor ini udah nggak jadi jurnalis lagi di Metro TV *. Lalu nonton berita Metro Hari Ini sebelum dan sesudah shalat maghrib. Pukul setengah tujuh lebih biasanya aku dan Yesti udah keluar rumah, melanjutkan tradisi tarawih sejak bertahun-tahun lalu. Tarawih di kampungku selalu ramai. Masjidnya makin bagus aja tiap tahun, alhamdulillah. Tapi sayang ramainya cuma pas Ramadhan aja.

Sekarang Ramadhan udah mau selesai. Masya Allah, kok rasanya belum cukup. Serba salah nih. Pengen cepet-cepet sampai ke dua minggu lagi, tapi kok nggak pengen Ramadhan-nya usai. Nah lho...

Thursday, October 12, 2006

Anggrek Bulan Milik Mami



Belakangan ini Mami rajin banget berkebun. Kebetulan taman di rumah emang habis dirombak. Liat deh anggrek bulan yang manis ini. Kapan-kapan aku liatin tanaman Mami yang lain.

Jalan-Jalan

KA Argodwipangga, Sabtu 1 Oktober 2006, 02.40 WIB

”Silakan,” kata pramugari kereta sambil menyodorkan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis hangat ke hadapanku. Aku cuma menguap sambil mengucek-ucek mata. Jam segini udah dibangunin sahur, pikirku. Mana AC-nya dingin banget. Tengok kanan-kiri, penumpang lain udah mulai bersantap sahur. Ya sudahlah, dimakan aja.

Yup, guys. Pekan lalu aku kembali jalan-jalan. Kali ini ke Jakarta (lagi) dan Depok. Dari Solo naik KA eksekutif. Berhubung jarang banget naik KA eksekutif, aku jadi terbengong-bengong sendiri. Mulai dari tengok kanan-kiri untuk tahu gimana orang-orang nyetel sandaran kursi, kedinginan, sampai terheran-heran dengan cepatnya KA ini berjalan *tau-tau udah sampai Gambir aja*. Tiba di Gambir sesaat setelah subuh. Habis subuh langsung menembus udara pagi Jakarta menuju stasiun Jakarta Kota via busway untuk naik KRL menuju Depok. *Ma kasih buat Mas Catur yang udah jemput dan nganterin*

Siangnya, setelah meletakkan barang di rumah paman di Depok, aku dan Mas Catur jalan-jalan ke UI. Baru pertama kali nih ceritanya. Jadi tampangnya sama-sama kayak anak ilang. Celingak-celinguk ke sana ke sini, tanya-tanya, lalu ber-ooo ria. Ternyata UI panas ya. Serasa berada di dunia lain, secara masih banyak yang kayak hutan *hehe*.

Di tepi danau antara FIB dan FE UI, Selasa 3 Oktober 2006, satu jam menjelang buka

Di depanku, beberapa orang sibuk memancing. Di sampingku, Mas Catur sedang bercanda-canda nggak jelas. Duduk-duduk di tepi danau merasai angin sore yang sepoi emang terasa damai. Kulepaskan pandangan menuju bangunan-bangunan UI di kejauhan, lalu kutatap beberapa orang yang tengah memancing di atas jembatan penghubung di tengah danau.

Indah. Damai. Lalu senja merayap dengan temaram.

Senang banget rasanya melalui hari dengan damai. Menjelang buka, aku dan Mas Catur beli tiga gelas jus di stasiun KRL UI. Sambil nunggu KRL yang akan membawa Mas Catur pulang ke Jakarta, kami memesan nasi goreng dan mie goreng di salah satu warung di situ.

Nasi gorengku belum lagi habis ketika KRL Bogor-Jakarta datang. Mas Catur buru-buru berpamitan dan sosoknya tenggelam dalam kerumunan orang petang itu.

And one by one the nights between our separated cities are joined to the night that unites us.

(Pablo Neruda)


Sore terakhirku di Depok kuhabiskan dengan puter-puter UI naik sepeda motor. Keliling sambil liat-liat fakultas-fakultas di UI. Ngikutin angkot nomor 04 sampai Srengseng Sawah, perbatasan Depok-Jakarta. Lalu ngikutin arah baliknya sampai Margonda Raya, Depok. Kurang kerjaan? Nggak juga. Ini namanya eksplorasi *hehe* secara belum pernah ke Depok sebelumnya. Pernah sih, tapi itu pas aku TK *sama aja boong kan*.

Jalanan Jakarta, Jumat 6 Oktober 2006, dua jam menjelang buka

So here I am. Paman nganterin aku ke Gambir naik mobil. Tadinya aku mau naik KRL ekspres Depok-Gambir, tapi ternyata malah dianterin langsung. Ya sudah, alhamdulillah. Itung-itung sambil jalan-jalan liat Jakarta.

Jalanan emang sedikit macet, tapi tentu nggak separah ketika pagi hari. Di sampingku, Arif --sepupuku yang masih TK-- sibuk nyanyi ngikutin kaset Radja sambil pake kacamata item milik ayahnya. Oalahh, dasar zaman sekarang. Anak kecil aja udah hapal lagunya Radja. Ikutan pake kacamata item pula... duh duh duh...

Sempat ketemu Mas Catur sebelum kereta berangkat. *Ma kasih ya, Mas... udah nyempatin datang* Aku naik KA eksekutif lagi, tapi kali ini KA Argolawu. Celingak-celinguk lagi, bengong-bengong lagi *oalahh, dasar ndeso, hehe*. Lumayan menyenangkan jalan-jalan kali ini. Jadi ngerasain naik KRL, jadi tau Depok dan UI. It was a whole new experience.

UPDATE:
Oh ya, aku sempet lewat beberapa kali di depan kosnya Nicholas Saputra *hihihi* yang letaknya di seberang pagar FT UI. Sempet pula liat mobilnya *nggak penting banget sih*. Untung aku bukan fans dia. Jadi nggak perlu tercengang-cengang *huahahaha*.

Mami

Pernah nggak baru pulang kampung dua hari, udah dimarah-marahin sampai berlinang air mata? Aku sering *hehehe*. Dimarahi sama sapa lagi kalau bukan sama Mami. Kuingat-ingat, aku belum pernah sekali pun menulis tentang Mami di blog ini. Kali ini pengen cerita sedikit ya.

Mami-ku orang Jawa tulen. Pengaruh kejawaan Eyang sangat kental, tapi kejawaan Mami termasuk yang moderat *halah bahasanya*. Kalau Eyang masih demen dengan keris-keris dan ritual adat, Mami justru menolaknya dengan halus. Kalau kata Mami sih lebih karena faktor kepraktisan, tapi jauh dalam hati aku tahu kalau sebenarnya Mami nggak setuju dengan praktek-praktek adat yang jauh dari Islam.

Dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu sebagai sulung dari sembilan bersaudara membuat masa muda Mami nggak pernah mudah. Eyang nggak pernah punya rumah. Semasa menjadi pegawai PJKA, Eyang sekeluarga tinggal di rumah dinas. Setelah pensiun, mereka hanya mampu mengontrak rumah petak di tengah kampung. *Bahkan Mami pernah bercerita kalau gorden penutup jendela pun mereka enggak punya* Ketika udah bekerja dan menikah, Mami masih harus membesarkan dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Nggak heran Mami tumbuh menjadi seseorang yang keras, tegas, tegar, mandiri, soliter, dan koleris abiss. *Kadang sampai keliatan galak, hehe* Semasa kecil tidak pernah diajarkan tentang ilmu agama sama Eyang, jadi Mami belajar agama dari lingkungannya, salah satunya dengan cara ikut-ikutan temannya mengaji di surau. Faktor ke-kurang-materi-an *aku nggak mau menyebutnya: faktor kemiskinan* membuat masa remajanya akrab dengan minder dan depresi. Alhamdulillah Mami mampu bangkit dan sedikit-sedikit mencoba mencari uang sendiri dengan membantu temannya berjualan.

Sekarang Mami merupakan sosok wanita karir yang cukup sibuk. Sejak aku kecil, aku ingat selalu ditinggal Mami bekerja. Meskipun statusnya cuma sebagai guru / PNS, Mami juga punya karir sosial yang menuntut Mami selalu sibuk. Kalau ditanya alasan kenapa Mami bersibuk-sibuk di luar rumah *ini yang membuat aku kesal karena aku merasa masa kecilku sering terlewatkan oleh Mami*, Mami cuma menjawab agar anak-anaknya berkecukupan dengan uang yang Mami hasilkan. Mami nggak mau anak-anaknya punya masa kecil yang sama dengannya.

Begitulah Mami-ku. Semenjak aku lulus, nasehat yang selalu terngiang darinya adalah supaya aku lekas bekerja demi punya penghasilan yang bisa mencukupi keluarga dan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan suami. Nasehat yang sarat dengan spirit mandiri dan aktualisasi diri.

Lalu kenapa Mami sering marah-marah ke aku? Nggak tahu deh. Rasanya cara berkomunikasi kami emang kadang nggak nyambung. Aku yang sensitif, seringkali nangis menghadapi Mami yang keras. Udah gitu, menurut Mami, aku ini anaknya yang paling pemberontak dan bandel *hehe* jadi harus dikerasin. Butuh waktu yang lama untuk menjadikan aku nyambung dengan Mami. Hubungan yang udah ada sekarang ini aja bukan hubungan yang sim salabim, tapi butuh waktu bertahun-tahun. *Dulu waktu remaja aku lebih dekat ke Papi* Kayaknya emang proses ini bakalan lama. Hubungan kami yang seperti ini juga bikin aku bertekad: kelak aku pengen dekat sama anak-anakku. Bisa jadi sahabat buat mereka, tempat berbagi apapun dan kapanpun, serta selalu ada bila mereka butuh. Aku nggak pengen punya hubungan yang berjarak dengan anak-anakku kalau kelak aku jadi bunda.

Terlepas dari semua itu, aku sangat bangga dengan Mami. Tak bisa kupungkiri, Mami punya andil besar dalam hidupku. Kalau nggak ada Mami, mungkin aku bakalan lebih cengeng daripada sekarang. Mami mengajariku tentang nilai-nilai kehidupan, terutama tentang bagaimana seorang wanita menjadi mandiri sehingga nggak dipandang remeh oleh orang lain. *Masih inget nggak, Mi... Mami bela-belain maksa aku belajar naik sepeda dan sepeda motor supaya bisa ke mana-mana sendiri, nggak jadi beban buat orang lain* Ma kasih, Mami. Love you so much...

Monday, September 25, 2006

Fakir Miskin dan Anak Yatim


Tadi selepas tarawih, aku nyari-nyari episode baru Kiamat Sudah Dekat di televisi. Ternyata nggak ada, yang ada malah Lorong Waktu 6. Yo wis lah. Karena udah terlanjur bawa sebungkus keripik Lay, jadilah aku nongkrong di depan televisi meninggalkan aktivitas packing *aku mau pulaanggg... yuhuuuu*.

Episode kali ini cukup menohokku. Kisahnya tentang pengingatan untuk peduli pada fakir miskin dan anak yatim, karena sebenarnya mereka adalah petunjuk jalan menuju surga. Dikatakan juga bahwa orang-orang lapar yang meminta-minta pada kita, sejatinya adalah perantara salam Rasulullah untuk kita.

Teringat kutipan dari Catatan Seorang Ukhti tentang fakir miskin dan anak yatim ini, ”Seandainya pun uang kita habis untuk memberi sedekah buat mereka, itu tidak jadi masalah. Karena kesempatan kita untuk mencari uang tetap lebih besar daripada mereka.”

Jadi malu. Karena sering menghitung-hitung uang yang akan disedekahkan. Karena sering menggelengkan kepala di perempatan ketika mereka mendatangi. Karena sering pura-pura tidur di bus atau menutup pintu rumah untuk menghindari mereka.

Jadi ingat Mas Catur. Berkaca dari pengalaman, harusnya aku memang malu sama dia, yang hampir selalu mengulurkan uang kecil untuk mereka. *Inget nggak, Mas... Kita sampai masuk ke sebuah plaza di Jakarta untuk membeli sesuatu demi memiliki kembali uang kecil, karena yang tersisa tinggal lembaran uang lima puluh ribuan...*

Ramadhan ini, semoga semuanya berubah menuju arah yang lebih baik!

Thursday, September 21, 2006

Cincin Nikah

Buat yang akan menikah dan mempunyai keinginan untuk menikah, ada baiknya baca postingan di bawah ini. Sangat perlu untuk diketahui.

Emas putih BUKAN platina

Telah diharamkan memakai sutera dan emas bagi laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi wanitanya (HR Turmuzi dengan sanad hasan shahih).

Karena postingan ini agak sedikit berbau kimia, maka kita buat perjanjian dulu ya. Nama logam yg diikuti dengan lambang kimianya berarti adalah logam murni. Nama logam yg tidak diikuti dengan lambang kimianya, berarti logam campuran.

Emas putih adalah campuran emas Au (yg berwarna kuning) dan logam lain yg berwarna putih seperti nikel Ni, perak Ag, palladium Pd, platinum Pt atau rhodium Rh. Adanya campuran logam2 putih ini akan mengubah warna emas dari kuning menjadi putih. Emas kuning adalah campuran antara emas Au, tembaga Cu dan seng Zn; sehingga warnanya kuning. Kadar emas dinyatakan dengan karat. 18 karat artinya 75% emas dan 25% logam lain.

Platina Pt adalah logam berwarna putih. Dalam perhiasan, satuan kemurnian platina dinyatakan dengan Pt900, Pt950 dan Pt1000. Pt900 artinya perhiasan tersebut mengandung platina 90% (900 from 1000). Umumnya yg digunakan dalam perhiasan adalah Pt900 dan Pt 950, meski ada juga Pt 1000 (platina murni). Platina 2 kali lebih berat daripada emas. Harga pergramnya 2-2,5 kali lebih mahal daripada emas. Jadi untuk desain yg sama (bentuknya sama) maka cincin platina akan lebih mahal 4-5 kali daripada emas. Oleh karena itu gelang atau kalung dari platina akan sangat jarang ditemui karena harganya sangat mahal.

Emas putih supaya warnanya cemerlang maka perlu disepuh (plating) dengan rhodium. Lama-lama plating-nya ini akan hilang sehingga emas putih perlu disepuh lagi dengan rhodium supaya warnanya cemerlang. Platina warnanya tidak akan pernah pudar.

Gambar disebelah kiri ini menunjukkan cincin dari emas putih yg disepuh rhodium (atas) dengan cincin dari platina. Sama kan warnanya. Sedang gambar di sebelah kanan menunjukkan cincin yg dibuat dari platina dan emas putih yg tidak disepuh. Warna putih adalah platina, sedang warna gelap itu adalah emas putih. Could you see the difference?

*gambar tidak bisa dilihat di sini (-yust)*

Cincin platina amat sangat jarang dijual di Indonesia karena tidak laku (harga terlalu mahal). Kalau tidak salah ada toko jewellery yg menjual cincin platina di Plaza Indonesia. Dan kalo tidak salah sih yg dijual ditoko itu juga cincin yg mahal2.

Lately... banyak orang mulai memilih cincin kawin dari emas putih untuk menghindari emas kuning. Banyak salah kaprah yg sudah tersebar luas di masyarakat bahwa emas putih adalah platina. Jadi memilih cincin kawin dari emas putih sbenernya juga sama saja artinya dengan menggunakan emas kuning (atau emas ungu... hehehehe ada lho di Jepang).

Jadi bagaimana? Perlukah memakai cincin kawin? Hmmm... cincin kawin itu sendiri kan sbenernya cuma budaya, tidak ada aturannya. Menurutku sih daripada menggunakan cincin kawin dari emas (ga peduli putih, kuning atau ungu) yang sudah jelas2 haram (bagi laki2), maka mendingan ga usah pake cincin kawin saja sekalian.

Tapi kadang ada juga laki2 yg pengin memakai cincin kawin. Alasannya sih macem2 tergantung orang. Mungkin dia terlalu banyak fans dan capek menghadapi fans2nya hihihi. Atau dia pengin pake cincin kawin biar tiap kali mau selingkuh dia ingat kalo udah ada istri di rumah hihihi.

Na... untuk kasus2 yg seperti ini, maka cincin kawin apa yang harus dipilih untuk laki2? (emas apapun warnanya udah tereliminasi dengan sempurna). Kalau memang punya rejeki lebih.. bolehlah pake cincin kawin platina. Tapi untuk membeli cincin kawin platina yg murah, sepertinya harus ke luar negeri. Yang dijual di indonesia kan yang mahal2. Mungkin harganya 10-15 juta per pasang. Di jepang, simple ring (no diamond) dari Pt900 paling murah (3 gram) bisa dibeli dengan 2 juta rupiah. Di Indonesia 2 juta rupiah tu baru bisa beli cincin emas putih dengan berlian kecil.

Karena untuk membeli cincin platina yang murah tu harus ke luar negeri, mungkin bisa juga pake alternatif lain. Misalnya cincin kawin dari sterling silver (atau silver 925, 92.5% silver dan 7.5% tembaga), titanium, stainless steel atau Pt50 (campuran platina 5% dengan silver). Titanium adalah logam yg lebih ringan dari emas dan juga lebih murah. Oleh karena itu memakai cincin titanium bagi beberapa orang lebih terkesan seperti maen2, atau dengan kata lain tidak cocok untuk cincin kawin. Dua yg terakhir ini aku ga tahu udah dijual di Indonesia apa belum. Kalo di Jepang sih sudah banyak dijual cincin pair yg dari stainless steel atau Pt500.

In summary, my wedding ring recommendation for moslem man are:
1) ga sah pake cincin kawin
kalo tetep pengin pake, maka:
2) cincin kawin platina (only if km bisa nyari cincin platina yg murah.... titip teman yg lagi di luar negeri hehehe)
3) cincin kawin sterling silver (tapi rajin disepuh ya...)
4) cincin kawin Pt50 (ni sama aja kek sterling silver sih... cuma yg 5% tu udah jelas platina)
5) cincin kawin stainless steel

Buat yang perempuan mah... hihihi... terserah mau pake apa. Cihuiiiiiiiiiii...

platinum wedding ring, an everlasting one for your everlasting wedding
mungkin salah satu alasan kenapa ak harus dapat beasiswa tu adalah supaya bisa beli cincin kawin platina yg murah ROFL

UPDATE:
Toko emas Kaliem, Melawai Jakarta, katanya sih menjual cincin platina. harga per gramnya Rp 350.000.

*dikutip dari sini*


Nah, udah baca kan? Memang susah bukan main mencari toko emas yang bisa bikin cincin platina. Aku nggak yakin di Solo ada. Di Jakarta pun cuma ada beberapa, kukira. Sekedar berbagi kerepotan untuk mencari cincin nikah, sekarang aku jadi pengen cerita jalan-jalanku ke Jakarta akhir pekan lalu.

Saking penasarannya dengan Toko Kaliem ini, aku memutuskan main ke Jakarta untuk survei *padahal nikahnya masih lama, hehehe*. Buat yang pengen tahu, Toko Kaliem ini salah satu dari sekian banyak toko emas di Melawai Plaza, dekat Pasaraya Grande Blok M. Salah satu yang terbesar di situ.

Di toko ini, kita bisa pesan cincin pure platina *catat ya: pure, tanpa campuran apapun* dengan harga 1 gramnya 500 ribu rupiah. Kata mereka, karena platina itu berat, untuk pesan wedding ring sepasang dipatok sejumlah 14 gram alias 7 juta rupiah *jadi enggak bisa kita minta di bawah 14 gram*. Itu udah termasuk biaya pembuatan. Komplit lah pokoknya. Tapi jika asesoris mata yang dipasang bukan imitasi alias berlian beneran, maka harganya bisa nambah lagi jadi di atas 7 juta rupiah.

Mbak Lucy, pramuniaga yang ramah banget melayaniku waktu itu, mungkin maklum melihat wajahku yang rada-rada shock mikir harga segitu. Dia nawarin solusi alternatif sambil cerita bahwa banyak pasangan yang akhirnya memilih langkah ini. Solusi yang ditawarkan: beli cincin emas putih untuk calon pengantin putri dan bikin cincin perak dengan model yang sama untuk calon pengantin pria.

Di Kaliem, cincin emas putih yang bagus *udah pake berlian* harganya sekitar 2 sampai 2,5 juta rupiah. Sementara cincin perak tidak dihitung per gram, tapi per satuan cincin. Harga per satuannya sekitar 500 sampai 600 ribu rupiah. Kita bisa minta Kaliem bikin cincin perak dengan model yang sama. Jadi, jatuhnya total cuma sekitar 2,5 sampai 3 juta rupiah. Jauh lebih hemat, kan?

Kelebihan solusi alternatif ini adalah: (1) lebih hemat; (2) cincin emas putih bisa dijual kembali, kalau cincin platina kan enggak bisa dijual lagi *meskipun cincin nikah tidak untuk dijual, siapa tahu kelak keadaan ekonomi mepet*; dan (3) udah dapat cincin emas putih yang bagus dengan berlian.

Kadang-kadang kita mikir pengen punya cincin yang sama dengan suami ya, tapi kalau harga segitu terlalu berat, solusi alternatif bisa jadi pilihan. Kekurangannya paling-paling harus sering bawa cincin peraknya ke toko emas buat digosok, karena cincin perak cepat sekali kusam.

Oke, segitu dulu deh ceritanya. Moga menambah wawasan. Tetap semangat buat yang berburu cincin ;)

Tuesday, September 12, 2006

Ke Pasar Seni

Ahad 10 September, sebelum ke Jakarta, aku menyempatkan jalan-jalan ke Pasar Seni ITB 2006. Hebat ya, acara-acara yang digagas anak-anak seni selalu besar gaungnya dan bisa sukses. Salut buat totalitas dan integritas mereka. Berikut ini oleh-oleh dari sana.


Lampion-lampion lucu. Ada yang bentuknya bola sepak. Satu buah minimal 50 ribu.


Lukisan di Pasar Seni bagus-bagus lho. Sukaaaa banget lihatnya. Sayangnya mahal buat kantongku.



Quilt yang jadi background stand di atas bagusss bangettt. Harganya satu juta enam ratus ribu. Ada pula boneka-boneka lucu pake baju-baju manis. Semuanya hand made. Aku beli dua boneka. Harusnya 80 ribu, tapi setelah kutawar dapat 65 ribu.



Ini kerajinan miniatur yang sekarang lagi nge-trend. Hand made juga... dan dibuat dengan sangat detil. Seneng banget lihatnya. Sayangnya muaahalll. Satu kotak kecil miniatur (yang sudah disusun jadi) bisa berharga jutaan rupiah.


Eksibisi seni dari seorang seniman.



Dua foto di atas adalah seni instalasi dari Himasra UPI. Keren kan.

Seni lukis dengan media kaos dan sepatu.



Seni keramik dari mahasiswa seni rupa ITB.

Cari Kerja

Sepekan ini bener-bener kerasa banget jadi job seeker. Selain karena ada Career Days, juga ada tiga panggilan tes dan kesibukan ngirim beramplop-amplop surat lamaran. Sayangnya, dua panggilan tes ternyata bentrok satu sama lain; satu di Jakarta dan satu di Bandung. Nggak bisa di-reschedule, jadi harus milih salah satu.

Iseng-iseng, aku ngitung berapa surat lamaran yang pernah kukirim semenjak aku lulus dua bulan lalu. Ternyata Sodara-Sodara, ada 124 surat lamaran! 85 via e-mail, 31 via pos, dan 8 via Career Days. Itu belum termasuk apply via pcd.itb.ac.id. Fiuuuhhh, banyak juga ya. Berapa yang dipanggil nggak kukasih tau di sini ah, ntar jadi ketauan aku gagal berapa kali :p

Jumat lalu aku ke Jakarta buat interview. Ini pengalaman pertama ke Jakarta sendirian. Sebelumnya, aku selalu ditemani Mas Catur kalau ke sana. Bener-bener takut, secara nggak ngerti Jakarta sama sekali. Akhirnya naik travel saja biar gampang. Apalagi pool-nya deket sama tempat interview di salah satu perusahaan di bilangan Sudirman ini.

Akhirnya hari Senin dipanggil lagi oleh perusahaan yang sama untuk job training. Perusahaan ini bertempat di lantai 28 Wisma BNI, dari kost Maya di Pasar Minggu --tempat aku numpang nginep-- cukup sekali naik metro mini. Nggak setakut waktu hari Kamis lalu, soalnya udah lumayan ngerti rutenya. Jadilah sendirian lagi menyusuri jalanan Jakarta. Lama-lama berani juga :p

Sayangnya, banyak hal yang membuatku berpikir ”kok gini sih” di perusahaan itu. Meskipun udah langsung diterima kerja, aku memilih mengundurkan diri saja. Bisa dibilang perusahaan ini nggak bonafit dan proses rekrutmennya nggak jelas. Bisa dapat uang gede sih di sini, tapi aku bener-bener nggak suka sama kerjaannya. Ya sudah, akhirnya aku pulang ke Bandung.

Kalau mau mikir sisi negatifnya, aku bener-bener rugi datang ke Jakarta. Udah berat diongkos, aku jadi nggak punya kesempatan untuk memenuhi panggilan tes perusahaan yang di Bandung. Susah-susah cari kerja, begitu dapat... eh, nggak bonafit. Tapi kan di postingan ”Berpikir Positif” sebelum ini, aku pengen mengubah mindset tuh. Ya sudah, dicari hikmahnya saja.

Paling enggak aku jadi berani ke Jakarta sendirian. Jadi tahu sedikit bagian dari ibukota yang luas itu. Jadi tahu kost Maya yang nyaman. Jadi bisa ngrasain singkong goreng yang uenakk buangeett di bawah jembatan halte busway Tosari. Anggap saja ini dalam rangka jalan-jalan ke Jakarta. Aku percaya, pekerjaan yang bagus masih menantiku di luar sana. Semangaaaaaattttt!!!

Berpikir Positif

Dua kata di atas gampang diucapkan, tapi sulit banget dilakukan. Belakangan ini aku ditolak kerja terus sama perusahaan-perusahaan. Semenjak lulus, belum ada satu pun yang nyantol. Huh, sempet jadi males banget cari kerja. Jadi ngerasa nggak kompeten, inferior, bla bla bla...

Kemarin, pas puncak-puncaknya bete karena baru saja ditolak kerja lagi, aku baca tulisan bagus banget di blog Ilma.

“Each morning I wake up and say to myself, I have two choices today. I can choose to be in a good mood or I can choose to be in a bad mood. I always choose to be in a good mood. Each time something bad happens, I can choose to be victim or I can choose to learn from it. I always choose to learn from it. Every time someone comes to me complaining, I can choose to accept their complaining or I can point out the positive side of life. I always choose the positive side of life.

Life is all about choices. When you cut away all the junk, every situation is a choice. You choose how you react to situations. You choose how people will affect your mood. You choose to be in a good mood or bad mood. It’s your choice how you live your life.

Every day you have the choice to either enjoy your life or to hate it. The only thing that is truly yours --that no one can control or take from you-- is your attitude, so if you can take care of that, everything else in life becomes much easier.”


Dezighh! Serasa ditonjok banget aku. Jadi malu… Sekarang aku jadi semangat lagi. Nganggur? Ah, baru dua bulan ini...

*Ma kasih buat Mas Catur yang nggak henti-henti nyemangatin (atau nyuruh-nyuruh? hehe piss) ’tuk cari kerja terus*

Pernikahan



Eh, kalau lihat-lihat foto wedding ala barat, pasti bagus-bagus ya... Jadi mupeng... Tapi pernikahan ala Solo nggak mungkin kayak gitu, yang ada juga corak kayak gini nih.


Pola batik di atas namanya Sidomukti. Dipakai pada special occasion seperti pernikahan. Melambangkan kehidupan yang makmur dan penghormatan (atau cinta) yang mendalam oleh orang lain.



Nah, kalau dalam acara lamaran secara adat, wali perempuan Jawa memakai pola batik di atas ini. Nama polanya Satria Manah. Melambangkan seorang ksatria dengan busur dan panah yang membidik targetnya dengan tepat. Artinya, lamaran akan diterima.



Sementara ketika acara lamaran diterima, keluarga perempuan Jawa memakai pola batik di atas ini. Nama polanya Semen Rante. Rante artinya rantai. Melambangkan hubungan yang dekat, cocok, dan mengikat. Dalam kepercayaan Jawa, menceraikan seorang wanita akan merusak nama baik si wanita. Makanya pernikahan disimbolkan dengan rantai yang mengikat.

Nanti kalau aku menikah, pengennya pakai baju adat juga, secara sekarang ini kaum muda Jawa sudah mulai kehilangan akar budayanya. Alih-alih pakai baju adat, mereka malah pada rame-rame bikin baju bridal ala barat. Aku nggak mau ikut-ikut. Aku kan bangga jadi orang Solo...

Bangga Jadi Orang Solo

Sepanjang pekan lalu, tanggal 1-7 September, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Solo tengah punya hajat menggelar Bengawan Solo Festival (BSF) 2006. *Sayangnya aku malah sedang ada di Bandung.* BSF dibuka dengan karnaval wayang dari Stadion Sriwedari menuju Balaikota Solo. Partisipasi lebih dari 30 peserta sanggar, kelompok wayang, dan kelompok seni dari 20 kota di Jateng dan luar Jateng serta animo masyarakat untuk menyaksikannya menjadi bukti bahwa spirit wayang masih tetap eksis. Kreasi wayang yang ditampilkan pun beragam, mulai dari wayang orang tradisional Solo, wayang jazz Baluwarti, wayang lesung Karanganyar, kethek ogleng Wonogiri, kuda lumping Kendal, dongrek condro Madiun, sampai seniman wayang dari Jerman.

Penyelenggaraan pameran budaya BSF 2006 juga diawali dengan pemutaran film Opera Jawa karya Garin Nugroho di Grand Theatre, Solo Grand Mall. Yang lebih membanggakan lagi, alasan Garin membawa filmnya ke Solo adalah karena BSF dinilai penting bagi Solo, mengingat kota ini sangat menonjol di bidang seni pertunjukan. *Du du du du, bangga dong...*

Sejak lama Solo sudah didengung-dengungkan sebagai kota budaya. Ini petikan dari situs tentang sejarah kota Solo, “The reason why Solo is called Kota Budaya (A Town of Cultural Greatness) is that in the past it was one of the Javanese cultural centres. This has led to the preserving attitude towards all forms of Javanese culture and traditions in Surakarta, including old architectural works. It has developed from the awareness of the fact that the town has a rich variety of architectural and traditional heritages, such as traditional, European, modern, and post-modern architecture. Two of these (traditional and European) have been of primary importance in creating Surakarta’s modern identity.”

Kalau bicara tentang Solo dan nafas Jawanya, maka siap-siap saja mendengar tentang sejarah panjang sebuah kota. “The history of Surakarta began when Sunan Paku Buwana II ordered Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo, and the Dutch Army Commander J. A. B Van Hohendorff to find the location to set up the new capital city of the Mataram Kingdom. After considering physical and non-physical factors, in 1746 AD (or 1671 of Javanese calendar) a village near Bengawan river called Sala was chosen. Since then, Sala has turned into Surakarta Hadiningrat and continued developing.

Under the Giyanti treaty, 13 February 1755, the Islamic Mataram Kingdom was divided into Surakarta and Yogyakarta. Under the Salatiga treaty, the Surakarta Kingdom was divided into Kasunanan and Mangkunegaran.

From the historical facts, the development of Surakarta was very much affected by the roles of the Kasunanan goverment, Mangkunegaran government, Vastenburg Fort as the centre for the Dutch close surveilence on the Surakarta Kingdom, and Pasar Gede Hardjanagara market as the town’s centre of economy. The roles of those places had formed the cultural area with the Kasunanan Kingdom as the centre. Further development continued around this region to this day.” Untuk lebih jelasnya, klik di sini.

Aku juga pernah menulis tentang sentimen yang kurasakan tentang suasana Solo yang kental kebersahajaan, kedamaian, dan kejawaan, yang senantiasa membuat aku rindu. Baca di sini.


Tiba-tiba jadi pengen pulang lagi...

Friday, September 08, 2006

Penyesuaian

Menyesuaikan diri dengan hal baru bukan sesuatu yang mudah bagiku. Dan belakangan ini aku harus berusaha. Jadi inget tulisan Desi tentang transisi...

Sudah seminggu balik ke Bandung, masih saja home sick. Ini gara-gara lama di rumah nih. Kangen sama Yesti, kangen sama masakan Mami (meski Mami jarang masak :p), kangen sama kasurku yang peyot itu. Aduhh, pengen pulang lagi...

Trus juga harus menyesuaikan lagi dengan ritme kehidupan Bandung. Udara dingin, makanan seadanya ala anak kost, bersibuk-sibuk lihat lowongan kerja di koran, kirim surat lamaran, kembali buka karir.com, pcd.itb.ac.id, sama jobsdb.com... Huh, kesibukan yang agak membosankan.

Yang paling kerasa: harus menyesuaikan diri dengan dua penghuni kost baru. Masih gelap, belum kenal. Trus trus, ternyata aku kangen juga sama Maya, temen sebelah kamar yang kini kerja di Jakarta. *Aiihhh, Maya... Aku kangen sama kamu... Kangen sama celotehanmu, sama kelembamanmu, sama obrolanmu, sama style-mu yang easy going, cuek, dan apa adanya... Juga kangen blusukan lagi ke kamarmu minjem installer, CD writer, atau nonton film bareng-bareng... Sekarang nggak ada lagi yang rajin ngunci pagar dan pintu depan sepeninggalmu (secara aku males keluar gitu loh :p). Huhuhu, Maya... I miss u...*

Huh, aku benci masa transisi ini.

Tuesday, August 29, 2006

Mohon Doa

Sudah lima hari ini aku sedang sakit: pilek dan batuk cukup berat. Padahal sudah mulai ada di Bandung lagi yang sedang dingin-dinginnya ini. Belum lagi beberapa peristiwa terakhir yang menuntut kesabaran untuk menghadapinya.

Jadi, mohon doanya, ya...

Be Grateful

Just because someone doesn't love you the way you want them to, doesn't mean they don't love you with all they have.

Thursday, August 24, 2006

Perjalanan


Foto di samping diambil dari atas mobil yang sedang melaju menyusuri jalur selatan Pulau Jawa, di daerah Sragen, beberapa kilometer selepas perbatasan Jateng-Jatim. Dua pekan ini aku sedang away dari Bandung. Selain memenuhi panggilan Mami untuk pulang, aku juga butuh suasana yang berbeda dari hari-hari di Bandung yang dipenuhi dengan aktivitas melihat lowongan kerja dan mengirimkan beramplop-amplop surat lamaran.

Hanging around di Solo selama dua pekan, cukuplah melepas kangen pada kota kelahiran ini. Ngeluyur ke Solo Grand Mall, dinner berdua di bazaar makanan di lantai atap Pusat Grosir Solo, jajan di warung srabi dan warung lesehan, beli nasi di gerobak hik, 17-an Agustus di kampung, jalan-jalan pake bus kota dan angkot, sepedaan lewat areal persawahan, sampe renang di Tirtomoyo Jebres. Wuihh, benar-benar romantika...

Selain menikmati suasana, aku juga mengunjungi saudara dan teman yang selama ini terpisah jarak. Yang pertama tentu main ke rumah Rafa sekalian jenguk Mbah Putri. Trus main ke rumah Paklik Bin dekat lapangan Sumber. Tak lupa bantuin arisan di rumah Bulik Titik sekalian ketemu Bulik Anik. Trus main ke Ngawi untuk sowan ke Mbah Putri Ngawi dan ketemu saudara-saudara di sana, sekalian main ke rumah Fatma di dekat alun-alun kota. Yang terakhir, ketemu Lik Wiwin dan Rere.

Sayangnya, keberadaanku di Solo bikin aku meninggalkan sanggar senam aerobik di Bandung. Duh, badan udah mulai pegal-pegal, kangen sama senam. Belum lagi badan yang jadi rada melar karena di Solo cuma makan-tidur, makan-tidur :p

Yup, status sebagai pengangguran emang indah. Bebas nglakuin apa aja, bebas ke mana aja... Kapan-kapan aku pengen jalan-jalan ke mana lagi gitu ah. Mumpung belum kerja.

Pembuktian

You don’t have to prove anything to anyone.

Kalimat itu kudapat ketika ikut training Siaware Desember tahun lalu. Pelajaran yang penting dan benar-benar bikin merenung. Sebuah kesadaran yang menghentak bahwa hidup adalah milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Belajar untuk berkata ”stop” atau ”tidak” terhadap orang-orang yang bersikap tidak menyenangkan terhadap kita. Berusaha untuk lepas dari kendali orang lain terhadap hidup kita. Ini hidup kita, maka kita yang mengendalikan. Bukan orang lain.

Selama hidupku, aku selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Bukan keinginanku, tentu saja. Sejak SD, tiap kali menerima rapor aku selalu deg-degan. Aku merasa harus membuktikan pada orang tua bahwa aku selalu bisa menjadi nomor satu. Mereka nggak pernah marah atau menuntut secara eksplisit sih, hanya saja kultur di keluarga membuatku merasa seperti itu. Terus berlanjut sampai SMP dan SMU. Parahnya lagi, tiba-tiba tuntutan datang juga dari guru-guru. Kalimat-kalimat seperti ”Wong bapaknya dosen matematika kok gitu aja nggak bisa” atau ”Wong ibunya guru matematika kok gitu aja nggak bisa” mulai sering terdengar.

Sempat merasa sangat letih, aku masih ingat ketika kelas dua SMU aku berdoa agar diberi kapasitas intelektual yang biasa-biasa saja, supaya orang tidak menaruh harapan yang terlalu tinggi kepadaku. Belakangan doa ini dikabulkan Allah ketika aku kuliah :p Tapi tuntutan ternyata tidak berhenti, mengingat seakan di jidatku tertempel label ITB. Maka hidup pun berlanjut dengan segepok pembuktian-pembuktian yang jelas sangat tidak menyenangkan.

You were born with all your baggage.

Itu kata Oprah di salah satu show-nya. Aku tahu. Tapi tetap saja tidak menyenangkan ketika pilihan-pilihan dalam hidup kita dibuat oleh orang lain tanpa mempertimbangkan perasaan kita, semata-mata atas nama kebaikan (entah kebaikan menurut siapa). Rasanya seperti beban yang bertambah-tambah. Seperti ketika Mami tidak mengizinkanku ikut kelas karate waktu SMP, atau ikut kelompok pecinta alam waktu SMU, atau yang terbaru tempo hari, ketika Mami dan Papi tidak menyetujui kepergianku ke Cibitung untuk memenuhi panggilan tes kerja di salah satu industri manufaktur di sana. Padahal aku udah 24 tahun. Katanya udah disuruh mandiri, tapi kok nggak boleh memutuskan hidupku sendiri. Aneh. Untung aja masalah pasangan hidup nggak ikut dipilihkan oleh mereka.

Nah, tentang masalah pekerjaan sendiri, banyak pendapat yang serasa dipaksakan. Mami pengen aku kerja kantoran yang indoor dan di depan komputer karena Mami ngrasa itu lebih pantas buat perempuan, daripada harus di lapangan. Papi nggak pengen aku punya pekerjaan yang eight to five biar nggak terlalu banyak ninggalin rumah. Bapak pengen aku kerja dulu sebelum menikah. Mas Catur pengen aku kerja di Jakarta. Coba, masalah pekerjaan aja, banyak keinginan yang minta diakomodir. Tinggal aku yang pusing. Kapan aku bisa benar-benar menjalankan kehidupan yang aku inginkan?

Sekali lagi, ini bukan hanya masalah boleh atau tidak boleh. Lebih besar dari itu, ini adalah mengenai hidup kita yang diputuskan dan dikendalikan oleh orang lain. Ini tentang self esteem dan self dignity. Tidak heran kenapa aku punya kepercayaan diri yang begitu rendah. Siaware menamparku dengan kenyataan yang tidak pernah benar-benar kusadari sebelumnya, bahwa akar permasalahanku dalam memandang hidup berkaitan dengan hubunganku dengan orang tua dan orang-orang terdekat.

Kutipan kalimat dari program Mind, Body, and Soul di Metro TV Sabtu kemarin juga sedikit menamparku, tentang menghargai diri sendiri karena diri kita unik dan tiada duanya. Membandingkan diri dengan orang lain dan sibuk menilai orang lain hanya membuang energi dan waktu. Alih-alih demikian, ”Stay focus on your dreams. Stay focus on your goals of life. Don’t let anyone interfere with your dreams.

So, I don’t have to prove anything to anyone, right? I wish I could.

[Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengeluh. I have a beautiful life and I never regret it. Hanya bertanya-tanya, apakah banyak orang merasakan hal yang sama.]

Ke Dufan


Foto ini diambil oleh Mas Catur sesaat sebelum naik wahana halilintar di Dufan. Sabtu, 5 Agustus lalu, kami main ke Dufan untuk pertama kalinya. Naik mobil senggol, kincir angin, kora-kora, halilintar, dan pontang-panting.

It was lots of fun. Meski cerahnya Jakarta membuat kami kepanasan, pengalaman masuk Dufan pertama kali ini menyisakan kenangan tersendiri. Termasuk mabok --pusing dan hampir muntah-- setelah turun dari pontang-panting :p

Weekend yang sangat menyenangkan (ma kasih ya, Mas...).

Thursday, August 17, 2006

Pilihan dan Kesempatan


Ketika kita berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat, itulah KESEMPATAN.

Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuat kita tertarik, itu bukan pilihan. Itu suatu KESEMPATAN.

Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, itu adalah KESEMPATAN.

Bila kita kemudian memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya, itu bukan kesempatan, itu adalah PILIHAN.

Ketika kita memilih untuk bersama dengan seseorang walau apapun yang terjadi, itu adalah suatu PILIHAN.

Bahkan ketika kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan pilihan kita, dan tetap memilih untuk terus mencintainya, itulah PILIHAN.

Perasaan cinta, simpati, tertarik, datang bagaikan kesempatan kepada kita. Tetapi sesungguhnya cinta sejati yang abadi adalah suatu PILIHAN. Pilihan yang kita lakukan.

Berbicara tentang pasangan jiwa, ada suatu kutipan dari film yang mungkin sangat tepat: ”Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat segalanya berhasil.”

Pasangan jiwa bisa benar-benar ada. Dan bahkan sangat mungkin ada seseorang yang diciptakan hanya untukmu. Tetapi tetap berpulang kepada dirimu untuk melakukan PILIHAN apakah engkau ingin melakukan sesuatu untuk mendapatkannya, atau tidak.

Kita mungkin secara kebetulan bertemu pasangan jiwa kita, tetapi mencintainya dan tetap bersama pasangan jiwa kita adalah PILIHAN yang harus kita lakukan.

Kita ada di dunia ini bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dapat kita cintai, tetapi... untuk BELAJAR mencintai orang yang tidak sempurna dengan CARA YANG SEMPURNA.

[dikutip dari mailist]

Keinginan

Di postingan yang lalu, aku nulis tentang betapa aku enggak punya keinginan. Hmmm, dahsyat ya, betapa asa yang meredup kadang bisa membunuh semangat hidup seseorang. Aku sebenarnya enggak pengen kayak gitu. You see, dari dulu aku selalu berpendapat kalau orang yang nggak punya harapan (dan itu berarti keinginan) tidak sepantasnya hidup. Buat apa hidup kalau enggak punya harapan? Harapanlah yang membuat kita terus hidup. Ini kalimat favorit yang kukutip dari kata-kata Anne Frank. Malu enggak sama dia? Di tengah-tengah gelombang holocaust-nya Hitler, anak sekecil dia mampu memandang hidup dengan bijak. Mampu menjaga semangat bertahan hidup meski enggak tahu apakah bisa menghirup udara esok hari. Pengen punya semangat hidup seperti itu, yang bisa melecut kita untuk terus berbuat, untuk terus berkarya.

Maka sekarang aku ingin merumuskan beberapa keinginan yang dimulai dari sekeping asa tentang penghidupan dan kehidupan yang lebih baik.

Aku ingin menikah. Meski visi misiku tentang pernikahan nggak bisa kutuangkan di sini (it’s too personal), aku benar-benar ingin menikah. Kadang memang gamang. Kadang aku merasa ketakutanku melebihi kewajaran. Lalu sambil mencari-cari justifikasi, aku membela kegamangan dengan sukarela. Bodoh memang. Tapi aku rasa itu cuma bagian dari kepribadian melankolisku yang selalu pesimis dan khawatir berlebihan.

Aku ingin punya rumah mungil yang bersih dan indah, dengan tiga anak yang lucu-lucu, shalih dan shalihah. Aku ingin punya pekerjaan yang tidak mengharuskanku banyak meninggalkan rumah, yang bisa membuatku leluasa menyambut suami dan anak-anak kala mereka pulang dari kantor atau sekolah. Di rumah itu nantinya, aku ingin punya taman bunga (melati dan mawar harus ada!) dan halaman belakang tempat anak-anak berkejaran dan bermain bola atau bermain layang-layang bersama ayahnya.

Aku ingin terus menulis. Meski saat ini aku belum menghasilkan sesuatu yang berarti, aku tahu aku tak bisa berhenti. Menulis membuatku damai. Menulis membuatku merasakan banyak hal. Enggak tahu pengen nulis apa, pokoknya aku pengen terus menulis. Yang enggak penting pun jadilah, siapa tahu dari yang enggak penting itu, muncul sesuatu yang berarti.

Baru sekelumit keinginan. Masih akan menyusul yang lain. Teruslah berharap, teruslah bermimpi... karena harapan selalu ada bagi mereka yang selalu mencari.

Posesif

Uughh! Pengen misuh-misuh. Rasanya pengennn banget marah. Enggak tahu kenapa rasanya full of anger gini. Keterlaluan! Kenapa sih dia nggak bisa ngerti???

Kalau ada yang bisa ditonjok, dibanting, diinjek, dipukul, ditendang... kayaknya lumayan bisa bikin lega.

Gw marahhhhhh.... dan gw pengenn nangissss...

Paranoid


Entah kenapa hari-hari ini rasanya malessss banget. Mau ngapa-ngapain males. Tiap hari melototin jobsdb.com dan karir.com, lama-lama jengah juga. Pengen ngelakuin sesuatu yang bisa nambah semangat, tapi nggak tahu apa.

Dunia kerja serasa masih jauuuhhhh banget jaraknya. Nggak kebayang sama sekali. Jadi inget Maya yang berkeluh, ”Kok males kerja yaaa...” padahal dia udah keterima di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Huaaaahhhh... masih pengen bermalas-malasan di kost. Melakukan sesuatu yang disuka: bangun siang-siang, mandi siang-siang (gila, Bandung belakangan ini kok jadi dingin banget!), makan nggak teratur, ngemil suka-suka, baca buku dan koran sampai belekan, chatting dan browsing sampai mata pedes, tidur sampai mata berkantung saking lamanya, huehehehe... Aduh, mana bisa ritme hidup sedemikian indah seperti itu kalau udah kerja.

Selain itu, Sodara-Sodara... kayaknya kemalasan psikis berbuntut pula ke fisik. Gara-gara males makan, lama-lama lihat makanan aja udah pengen muntah. Ini gara-gara males makan doang, atau karena diet yang kebablasan ya? Sekarang lihat mie ayam, coklat, atau es durian juga enggak selera. Heran bangettt... Bingung... Seumur-umur, baru kali ini aku males banget makan. Alhasil, badan juga jadi lemes. Senam aja sekarang gampang ngos-ngosan, padahal biasanya sampai BL dan pendinginan pun aku masih oke-oke aja. Duh, apa yang terjadi...

Gamang, gamang, gamang. Menatap semuanya jadi gamang. Jujur aja pengen rasanya punya gairah dan motivasi untuk melakukan sesuatu. Tapi belakangan ini semua keinginan tampak menguap. Yang tersisa cuma males. Enggak tahu lagi sekarang, sebenarnya keinginanku apa. Kerja aja juga nggak tahu pengen kerja apa.

Menikah? Hmmmm, jadi gamang banget. Apa sih menikah? Buat apa orang menikah? Apa tujuan orang menikah? Kenapa orang menikah? Karena cinta? Kalau iya, makan aja tuh cinta. Cinta bikin kenyang nggak sampai tujuh turunan? Menikah... sama dengan mencintai satu orang aja selama sisa hidup kita? Bisa nggak? Tahan nggak hidup sama orang itu sampai akhir hayat?

Huaaahhhh, enggak tahu kenapa aku jadi nulis kayak gini. Lama-lama rasanya jadi paranoid...

Monday, July 31, 2006

Kangen Kampus

Apa yang paling diingat dari kampus?
Labtek VIII :)

Kenangan apa yang paling berkesan selama menjadi mahasiswa?
Menjadi minoritas di antara para jejaka elektro :p

Kenangan apa yang paling unik selama menjadi mahasiswa?
Belum pernah pinjem buku sama sekali di Perpustakaan Pusat ITB :D (kartu perpustakaanku bersih dong... pas mau dicap bebas pinjem, bapaknya sampai bengong :D)

Kenangan apa yang paling menyebalkan selama menjadi mahasiswa?
1. Harus beberapa kali ngulang mata kuliah
2. Enggak bisa deket sama dosen
3. Enggak pernah punya sahabat
4. Bertemu dengan orang-orang yang sok tahu dan suka menghakimi

Kenangan apa yang paling menyenangkan selama menjadi mahasiswa?
1. Bertemu orang-orang dengan pemikiran yang dinamis dan penuh pencerahan
2. Aktif berorganisasi sejak tingkat II sampai tingkat IV
3. Menemukan suluh pribadi (dalam rangka menemukan legenda pribadi)
4. Belajar menulis
5. Berdamai dengan diri sendiri
6. Pas semester 7, bisa ngenet dan chatting gratis (bener-bener gratiss tiss tiss tanpa login AI3 :p) dan punya akses masuk bebas ke lab VLSI-nya Pak Trio di PAU selama satu semester penuh
7. Masa-masa membahagiakan menjelang wisuda

Apa saja mata kuliah yang enggak disukai?
1. Fisika Dasar I dan II
2. Kimia Dasar I dan II
3. Rangkaian Elektrik
4. Elektronika
5. Probabilitas dan Statistik
6. Medan Elektromagnetik I
7. Sistem Komunikasi I
8. Sistem Mikroprosesor
9. Sistem Embedded

Apa saja mata kuliah yang disukai?
1. Bahasa Indonesia
2. Bahasa Inggris
3. Olahraga Bela Diri Karate
4. Agama dan Etika Islam
5. Jaringan Komputer
6. Penulisan Karya Ilmiah Teknik
7. Dasar Intelegensia Artifisial
8. Desain Sistem VLSI (pas ngambil yang kedua kalinya :p)
9. Komputasi Berbasis Jaringan
10. Interaksi Komputer-Manusia
11. Regulasi, Interkoneksi, dan Bisnis Telekomunikasi (ini dia judul mata kuliah terpanjang yang pernah kuambil)

Siapa aja temen curhat selama menjadi mahasiswa?
Tingkat I => Probo
Tingkat II => Julia dan Mbak Erti
Tingkat III => Mbak Erti
Tingkat IV => Tommy, Mas Catur, Yuti
Tingkat V => Mas Catur, Tommy, Yuti

Di mana tempat parkir favorit?
Lapangan parkir deket seni rupa / arsitek

Di mana gedung kuliah yang enggak disukai?
GKU Lama dan GKU Baru, soalnya anak-anak tangganya bikin gempor, apalagi kalau dapat ruang kuliah di lantai 3 :(

Di mana gedung kuliah yang disukai?
Labtek VIII, soalnya ada lift-nya dan cukup adem

Di mana kantin favorit?
Kantin Salman, maklum enggak pernah makan di kampus (ada lho kantin yang belum pernah kusinggahi selama 5 tahun berada di kampus)

Di mana tempat nongkrong favorit?
Musholla di Labtek VIII lantai 3 dan selasar (balkon) TU di Labtek VIII lantai 2

Kapan masa-masa paling menegangkan terjadi?
1. Ketika nunggu nilai Sistem Mikroprosesor dan nilai Sistem Embedded keluar
2. Ketika terbentur batas akhir nilai TA 2 sehingga sempat terancam enggak bisa ikut wisuda Juli
3. Masa-masa menjelang sidang TA

Kapan masa-masa tak terlupakan terjadi?
Ketika hati berdesir-desir karena seseorang ;p huehehehehehe

“Officially Graduated” atau “Official Job Seeker”?

Pelantikan sarjana dan perayaan wisuda sudah selesai. Fiuuhhhh, capek sekaligus menyenangkan. Alhamdulillah, satu bab dalam hidup sudah terlewati...

Lalu apa yang menanti di depan? Cari kerja? Mengejar impian? Berbuat nyata untuk masyarakat? Apa yang sebenarnya kuinginkan belum berhasil terdefinisi dengan jelas. Antara gamang dan takut. Antara romantisme kenangan dan impian masa depan. Pengennya go with the flow saja, tapi rasanya kok enggak pas. Harus sistematis rencananya, tapi kok malah bikin capek ya.

Yah, semua orang harus belajar...

[di antara rasa rindu yang mendesak-desak dada, ternyata aku bisa juga kangen sama masa-masa jadi mahasiswa...]

Terima Kasih!


Wisuda baru saja berlalu. Sidang TA malah sudah sebulan berlalu. Terima kasih untuk semua orang yang memberi kekuatan. Berikut ini ucapan terima kasih yang kutulis di buku TA-ku. Maaf kalau ada nama yang terlewat. Yang pasti, tak bisa tanpa kalian, Guys!

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

Mami dan Papi di Solo,
atas doa-doa, kasih, dorongan, nasehat, dan dukungannya

Mas Didik dan Yesti,
atas kebersamaan, keceriaan, bantuan, dukungan, dan pinjaman buku-bukunya

Mas Catur,
atas cinta, dukungan, dorongan, pengertian, kesabaran, pengingatan, kebersamaan, sandaran, dan pinjaman jaketnya pada saat-saat yang sulit

Mbak Dini, Mbak Icha, Mbak Wulan, Maya, dan Ulfa,
atas dukungan, kebersamaan, dan keceriaan hari-hari di kos Menara Air

Mirza, Bandoro, Igun, Agung, Tiko, Arif, Ranto, Husnu, Jimbung, Sony, Febry, Randu, dan Simbah,
atas ruang hati, keriangan, kebersamaan, canda tawa, dan pinjaman televisinya di kos Sangkuriang

Teh Iin Churin’in, Mbak Erti, Citra, Fatimah, Salim, Yuti, Ilma, Ira, Zaki Akhmad, Tommy, MM Firdaus, Faried Tito, Dwie Hananto, Hariesya, Fatma, Mbak Ijus, dan Ilham,
atas sms-sms menjelang sidang, doa, dukungan, inspirasi, dan persahabatannya

Wednesday, June 28, 2006

Harapan

”Harapan selalu ada bagi mereka yang selalu mencari...”

Aku pernah baca kalimat seperti di atas, entah kapan dan di mana. Masa-masa sulit selalu menghampiri. Meski harapan itu redup sekalipun, paling tidak kita tahu ia tak boleh padam.

*beberapa waktu setelah seruan, ”Masya Allah, kenapa semuanya jadi seperti ini ya? Lalu aku harus gimana...”*

Undangan Pernikahan

Ada kutipan favorit yang kubajak dari undangan pernikahan Mbak Dini. Ini dia.

Pernikahan adalah jalan terbaik bagi dua orang yang saling mencintai. (H.R. Ibnu Majah dan Hakim)

Tahun ini banyak sekali teman yang menikah. Mulai dari Mas Firman (Jan), Mbak Erti (Jan), Ira (Apr), Laila (Mei), Mbak Dini (Jun), lalu Desiree (Jul), Fadli (Jul), dan Udin (Jul). Banyak bahtera baru yang mulai dilayarkan...

Enggak kepengen, Yus? Aku memilih untuk tersenyum saja. My time will come...

Friday, June 02, 2006

Dan Yustika Pun Berteriak, ”Football is Life!”

*delapan hari menjelang Piala Dunia 2006 di Jerman*

Iseng-iseng pasang musik buat blog. Sibuk pilih-pilih lagu sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada lagu yang satu ini. Judulnya Football is Life, dinyanyikan oleh artis-artis Inggris keroyokan (FC Allstars). Kalau nggak salah ada juga suaranya Noel Gallagher dari Oasis, atau jangan-jangan kebanyakan artis Inggris emang suaranya kayak gitu ya? Lagu ini jadi soundtrack FA Premier League di TV7. Jadi buat yang suka nonton Liga Inggris, pasti nggak asing lagi.

Tengok sepotong liriknya, ”Football is life... Come on England...

Huehehe... Hidup Inggris! Jagoanku sepanjang masa gara-gara pertama kali jatuh cinta pada sepakbola adalah karena jatuh cinta pada FA Premier League sepuluh tahun yang lalu. Masih bertanya-tanya apakah pada Piala Dunia 2006 ini, Inggris akan menunjukkan taringnya. Kita lihat sajalah.

Kalaupun Inggris kalah, masih ada jagoan sepanjang masaku yang lain: Belanda. Tim yang selalu main bagus tapi tak pernah meraih tropi juara. Sedih banget nggak sih...

Demam Piala Dunia merajalela... Aneh kalau ada yang nggak ngerasa... :p

Kunang-Kunang di Beranda Kost


Petang ini ketika aku menutup pintu pagar, kudapati beranda kost masih gelap. Adzan maghrib sudah berkumandang sebelum aku memacu motor kencang-kencang di jalanan tadi. Sedikit terlambat pulang ke kost karena urusan bisnis. Di tangan ada seplastik yoghurt dingin dan sepotong ayam goreng crispy yang menanti untuk disantap.

Langkah tergesaku urung dilanjutkan, saat aku melihat kelip samar seekor kunang-kunang di pojok beranda kost. Aku tertegun. Kunang-kunang di daerah pemukiman padat seperti ini? Jarang sekali... Seketika ingatanku melayang ke masa kanak-kanak, ketika aku dan teman-teman menghabiskan waktu bermain dengan berburu kunang-kunang, kepik, kecebong, atau sekedar memetik bunga. Aktivitas yang wajar mengingat tempat tinggalku waktu itu masih dikelilingi oleh banyak lahan kosong dan kebun-kebun terlantar.

Perlahan kuhampiri kunang-kunang itu. Hanya seekor. Tampak kesepian dengan kelip samarnya yang makin menghilang seusai aku menyalakan lampu beranda. Aku tak bisa berlama-lama memandanginya. Aku belum shalat maghrib. Aku beranjak, tapi aku tahu ia akan kembali berkelip setelah kutinggalkan. Lalu ia akan terbang kembali dengan penuh suka cita.

Malam ini, ditemani denting piano dari winamp, aku teringat pada si kunang-kunang. Usai malam-malam panjang berkemul gundah dan resah yang membuatku terbangun tiap dua atau tiga jam sekali, aku kembali dirundung air mata. Seperti ini rasanya memiliki perasaan yang sukar dilukiskan. Benar-benar merindui damai.

Aku seperti melihat diriku pada si kunang-kunang. Sendirian, kesepian, dan berkelip samar. Cahaya lemahnya mengingatkanku pada harapanku yang senantiasa memudar. Butuh lebih dari sekedar keyakinan untuk mengembalikan cemerlangnya. Butuh lebih dari sekedar bahagia untuk mengusir kehampaan yang menyesakkan dada.

Malam ini, ada banyak cahaya harapan yang kutiupkan ke udara. Berharap Sang Maha meluluskannya untuk memberi kedamaian bagi hati ini. Hingga pada suatu hari, pada suatu masa, aku dapat melihat cemerlangnya harapan-harapanku beterbangan suka cita bagai gerombolan kunang-kunang malam hari yang biasa kulihat pada masa kanakku.

Hingga tak lagi hampa, tak lagi sendiri, tak lagi sepi, dan tak lagi samar...

Monday, May 29, 2006

Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un


Aku baru saja selesai jogging dan senam aerobik di Sabuga ketika kabar itu sampai ke telingaku lewat teman-teman yang sedang istirahat di sekeliling lapangan tenis Sabuga. Mereka bilang, Jogja kena gempa sekitar pukul enam. Lalu mereka bilang, Solo juga kena. Aku panik, nggak tahu seberapa parah gempanya.

Sesampai di kost, aku langsung telepon ke rumah Solo. Nada tersambung tapi nggak ada yang angkat. Lalu coba telepon ke HP Papi. Alhamdulillah, Papi bilang semua baik-baik saja dan udah pada beraktivitas seperti biasa. Masih belum yakin, aku telepon ke HP Bulik. Bulik juga bilang semua baik-baik saja, tapi ada beberapa genteng yang pecah. Baru petangnya aku bisa ber-sms-an dengan Yesti, adik kecilku tersayang.

”Iyo,Alkhamdulillah bgt sini g pa2.Pdhal dibrita TATV da RS disolo yg nrima korban luka2(rmhny runtuh).Solo Square&RS Panti Waluyo retak2...” (Yesti, Solo 27/05/06, 18.06)

”Wedi bgt Mbaak... Alkhamdulillah ra telat.Mau ning skolah yo kon metu skitar jam 10 pas ana gempa susulan&KBM thambat 15 menit ning q ra krasa yen ana gempa.” (Yesti, Solo 27/05/06, 18.18)

Artinya: ”Takut bgt Mbaak... Alhamdulillah nggak telat (sekolah). Tadi di sekolah juga disuruh keluar sekitar jam 10 pas ada gempa susulan dan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) terhambat 15 menit tapi aku nggak ngrasa kalau ada gempa.”

Yesti juga cerita keadaan rumah ketika gempa menguncang Solo.

”Ibu lg nulis2 ning kmr&q lg maem.Q krasa lampune kedip2 trus gempa(rsne munggah midun).Q mlayu sik,trus ibu triak!Bpk ning garasi malah ra krasa.Q wedi bgti mbak!” (Yesti, Solo 27/05/06, 18.33)

Artinya: ”Ibu lagi nulis-nulis di kamar dan aku lagi makan (sarapan). Aku ngrasa lampunya kedip2 lalu gempa (rasanya naik turun). Aku lari duluan, lalu ibu teriak! Bapak di garasi malah nggak ngrasa. Aku takut banget mbak!”

Karena aku punya banyak teman dekat di Jogja, tak urung hatiku ikut ketir-ketir juga. Sudah dua hari aku coba menghubungi Mas Dian tapi nggak bisa-bisa. Mas Dian ini (kalau nggak salah) tinggal di Bantul, daerah yang paling parah kerusakannya. Alhamdulillah, Mas Didik kasih kabar kalau Mas Dian dan Mas Agri beserta keluarga di Jogja baik-baik saja. Berikut ini sms dari teman-teman yang tinggal di Jogja.

”Alhamdl,jogja udh gpp meski listrik msh mati,telp smbngn rusak.Aq ngungsi ke solo,yus...” (Ilma, Solo 29/05/06, 11.40)

”Pas gmpa ak dslo yus.. Alhmdllh tmn2 kos n klrga djgja gpp.Ktny msh da gmpa ssln kcil2... (Ratna, Solo 29/05/06, 11.48)

”Alhamdulillah aku sakkeluarga gpp,omah jg gpp. Tp gempane ncen krasa bgt. Pas iku,kbh sakkeluarga ngumpul,ana mbak+masku. Plsku entek,maaf yo suwi. Solo piye? Keluarga gpp to?” (Mbak Erti, Jogja 30/05/06, 12.04)

Ada pula sms dari teman dekat, seorang mahasiswi co-ass Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Suami temanku ini juga seorang dokter.

”Alhamdulillah ira skeluarga sehat yus..Maaf skali br balas,dari kmrn ira di rumkit terus,korban datang terus sampai sore ini.Mhn doanya ya yus...” (Ira, Jogja 29/05/06, 17.49)

Masya Allah... DepSos mencatat hingga hari Selasa 30/05/06 pukul 07.00 WIB, korban meninggal sebanyak 5.427 jiwa. Korban meninggal terbanyak terdapat di Bantul (3.310 jiwa) dan Klaten (1.668 jiwa). Masya Allah... Klaten cuma berjarak 40 menit dari rumahku. Alhamdulillah banget keluargaku nggak apa-apa.

Lima ribu empat ratus dua puluh tujuh jiwa. Dan bisa jadi masih akan terus bertambah. Guys, it’s not just about numbers. Tiap kali kita mendengar tentang bencana dan tingkat kerusakannya, yang terpikir oleh kita hanyalah angka dan angka. Padahal dukanya jauh lebih dahsyat daripada sekedar angka. Bayangkanlah satu orang yang paling kita cintai meninggal. Udah kebayang seperti apa dukanya? Lalu kalikan duka itu sebanyak 5.427 kali. Sekarang kebayang kan dahsyatnya?

Duka ini, duka kita bersama...

Wednesday, May 24, 2006

Doa Nabi Musa

Pagi tadi ketika aku bersiap ke kampus untuk bimbingan, sebuah sms masuk ke HP.

”Piye ta-mu? Dosene gelem nompo gak?” (Mas Didik, 24/05/06, 08.20)

Ternyata Mas Didik, nanyain perkembangan TA. Fiuuh, kujawab aja baru mau ketemu dosen sambil berharap bapaknya mau nerima penjelasanku soal detil sistem yang kubuat. Maklum, beberapa minggu ini aku dan bapaknya uber-uberan soal itu.

”Mugo2 lancar. Ndonga, moco dongane nabi musa. Quran surat 20 ayat 25-28” (Mas Didik, 24/05/06, 08.27)

Hah? Doa Nabi Musa? Kalau nggak salah, ini doa yang juga selalu dibaca Mas Didik selama bimbingan dan semasa sidang TA-nya ya?

Berkata Musa, ”Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,” (Q.S. Thaha: 25-28)

Maknyessss... serasa disiram air es hati ini. Sejukkk...