[catatan 6 Mei 2009]
Akhir pekan ini terasa singkat. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan terasa seperti mimpi. Seperti baru kemarin aku pulang dari clearance sale di lantai dasar BIP itu.
Jadi ceritanya, Jumat 1 Mei itu, sepulang kerja aku tidak langsung ke rumah. Aku pergi ke BIP untuk membeli bahan makanan Hanif dan berencana ke BEC untuk mengambil notebook yang hampir seminggu tak kunjung selesai juga perbaikannya.
Seperti layaknya perempuan biasa di awal bulan ketika melihat clearance sale besar-besaran, aku tergoda mampir ke gerai di lantai dasar BIP, lalu menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk memilih dan mencoba baju. Tak tahu saat itu di rumah Hanif sedang menangis kencang karena kesakitan.
Sesampai di rumah, aku merasa ada sesuatu yang gawat (halah!). Mbak Nunung, asisten rumah tanggaku yang biasanya cuma bekerja setengah hari, masih ada di situ sambil menggendong Hanif yang merintih. Mbak Sari, pengasuh Hanif, bilang Hanif baru saja menangis kencang seperti yang sudah-sudah. Keduanya menunjukkan padaku benjolan keras di atas skrotum Hanif (kalau di perempuan, posisinya mungkin sejajar sama rahim) sebelah kanan. Seketika hatiku berdesir. Hanif harus dibawa ke dokter saat itu juga.
Tanpa ganti baju atau kerudung, aku langsung memacu motor ke RS St. Borromeus memboncengkan Mbak Sari dan Hanif (nasib jadi single parent di hari kerja begini). Bingung harus ke mana (karena dokter spesialis anak dan dokter umum sudah pada tutup, posisi waktu ada di pukul 19.20), aku menuruti saran suster untuk langsung ke dokter bedah. Diagnosis dr. Arthur Tobing, Sp.B (dokternya baik dan ramah banget bo!) langsung bilang bahwa itu hernia dan disuruh langsung rawat inap. Aku bengong, nggak ada persiapan apapun untuk rawat inap. Makin bengong lagi setelah dokternya bilang, kalau benjolan masih ada juga dalam beberapa jam observasi ke depan, Hanif harus dioperasi malam itu juga (hah?!).
Sambil mendengarkan omongan dokter, ingatanku terbang. Sudah ada sebulan ini Hanif kadang menangis kencang. Kadang seminggu dua kali atau sekali. Kalau sudah menangis seperti itu, bisa makan waktu sejam lebih... nggak mau diam juga. Dokter juga menyebutkan beberapa gejala hernia, antara lain jadi susah BAB dan muntah-muntah. Hmm, Senin lalu Hanif memang sempat sembelit. Tapi setelah BAB (meski dengan perjuangan ekstra keras sampai nangis-nangis kencang), dia sudah ceria lagi. Jadi kupikir itu sembelit biasa. Hmmm, lalu malam Rabu dia juga muntah-muntah 7-8 kali semalaman. Tapi setelah bisa tidur, paginya dia sudah biasa lagi. Jadi kupikir itu masalah kembung biasa saja.
Makanya dokter langsung bilang kata “operasi“, karena gejalanya sudah cukup lama. Takut terlambat, takut usus sudah telanjur terjepit katanya. Jadi karena usus terjepit, sirkulasi makanan dan udara jadi tidak lancar. Akibatnya, susah BAB dan kembung trus muntah-muntah deh. Siyyal, kenapa aku nggak curiga sebelumnya yak.
Ketika sedang menunggui observasi Hanif di UGD, suamiku datang. Tadi sempat kutelepon untuk langsung datang ke UGD saja sesampainya dari Jakarta. Menimbang-nimbang sebentar, kami akhirnya setuju untuk operasi. Sepertinya terlalu berbahaya kalau operasi ditunda, mengingat gejalanya sudah cukup lama. Ingin menangis rasanya melihat Hanif kesakitan begitu. Ya sakit karena hernia, juga sakit karena ditusuk jarum infus sampai tiga kali. Sampai tersengal-sengal dia, saking lama dan kencang nangisnya.
Pukul 22.10, tiga jam setelah dibawa ke RS, Hanif masuk ruang operasi. Masya Allah, nggak kebayang aja, anak sekecil dia harus dioperasi. Kalau orang lain mungkin ada ya. Tapi ini terjadi pada anak sendiri, membayangkannya saja tidak pernah. Aku sempat menggendong Hanif sebentar, sebelum akhirnya terpaksa melepasnya pergi digendong suster ke balik pintu kamar operasi.
Malam itu di ruang tunggu, aku duduk sendiri. Suamiku pulang untuk mengantar Mbak Sari dan mengambil baju-baju Hanif. Pikiranku berkecamuk ke mana-mana. Semua terasa seperti mimpi. Masih setengah sadar kalau saat itu tengah menunggui Hanif dioperasi. Alhamdulillah doa dan dukungan terus mengalir, lewat sms, telepon, dan Facebook (hihihi, teteupp aja fesbukan). Aku jadi merasa tidak sendirian.
Operasi berjalan satu seperempat jam. Setelahnya aku dipanggil ke dalam untuk menunggui Hanif yang masih setengah sadar. Dokter bilang operasi lancar. Ternyata usus Hanif benar sudah terjepit. Untung nggak sampai biru, kata dokter. Kalau yang versi parah, setelah usus terjepit, membiru, lalu jadi infeksi dan bisa membusuk. Kalau sudah busuk kan harus dipotong dan dibuang. Hiiii, ngeriii. Alhamdulillah belum terlambat bagi Hanif. Untung tadi kami langsung setuju operasi.
Sabtu menjelang subuh, Hanif sadar sepenuhnya. Menangis lah dia, rupanya lapar dan haus. Setelah kenyang disusui, langsung tidur lagi sampai jam sembilan pagi, hehehe. Setelahnya, semua berjalan lancar. Hanif bisa ceria lagi. Tingkah polahnya sudah ke sana kemari, seperti tak pernah sakit saja dia. Karena progresnya terus membaik, Minggu pagi dokter memutuskan Hanif boleh pulang. Tinggal perawatan luka operasinya saja yang harus hati-hati.
So, here I am. Mencoba mengambil hikmah dari segala yang terjadi. Kata mamiku, seorang ibu adalah dokter pertama anaknya. Ibu-lah yang harus pertama tahu kalau ada hal yang tidak beres pada anaknya, yang pertama aware kalau anaknya sakit. Berarti parah juga aku yak, sampai Hanif harus dioperasi begitu. Hhh, merasa tidak becus jadi ibu nih. Lagi-lagi merasa bersalah karena spend a lot of time di luar rumah dan tidak ada di sana ketika sesuatu terjadi pada Hanif (ini yang aku benci dari menjadi-ibu-bekerja). Hmm, rasanya skill keibuanku harus diasah lagi.
Terima kasih untuk semua yang peduli dan telah mendoakan ya. Atas perkenan Gusti Allah dan doa kalian, semuanya lancar jaya (mengutip kata-kata Nana, hehehe). Rencana akhir pekan yang semula akan jalan-jalan ke pameran buku Kompas – Gramedia di Sabuga, jalan-jalan ke Cikarang dan Jakarta, serta menghadiri pernikahan Baso, ternyata harus diganti dengan jalan-jalan di rumah sakit. Alhamdulillah, peristiwa ini makin menjadikan kami bersyukur bahwa hidup dan kesehatan adalah anugerah, dan bahwa Hanif adalah karunia dan amanah yang harus kami jaga baik-baik. Memang benar skenario Gusti Allah yang terbaik. There’s always a silver lining in every cloud.
Akhir pekan ini terasa singkat. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan terasa seperti mimpi. Seperti baru kemarin aku pulang dari clearance sale di lantai dasar BIP itu.
Jadi ceritanya, Jumat 1 Mei itu, sepulang kerja aku tidak langsung ke rumah. Aku pergi ke BIP untuk membeli bahan makanan Hanif dan berencana ke BEC untuk mengambil notebook yang hampir seminggu tak kunjung selesai juga perbaikannya.
Seperti layaknya perempuan biasa di awal bulan ketika melihat clearance sale besar-besaran, aku tergoda mampir ke gerai di lantai dasar BIP, lalu menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk memilih dan mencoba baju. Tak tahu saat itu di rumah Hanif sedang menangis kencang karena kesakitan.
Sesampai di rumah, aku merasa ada sesuatu yang gawat (halah!). Mbak Nunung, asisten rumah tanggaku yang biasanya cuma bekerja setengah hari, masih ada di situ sambil menggendong Hanif yang merintih. Mbak Sari, pengasuh Hanif, bilang Hanif baru saja menangis kencang seperti yang sudah-sudah. Keduanya menunjukkan padaku benjolan keras di atas skrotum Hanif (kalau di perempuan, posisinya mungkin sejajar sama rahim) sebelah kanan. Seketika hatiku berdesir. Hanif harus dibawa ke dokter saat itu juga.
Tanpa ganti baju atau kerudung, aku langsung memacu motor ke RS St. Borromeus memboncengkan Mbak Sari dan Hanif (nasib jadi single parent di hari kerja begini). Bingung harus ke mana (karena dokter spesialis anak dan dokter umum sudah pada tutup, posisi waktu ada di pukul 19.20), aku menuruti saran suster untuk langsung ke dokter bedah. Diagnosis dr. Arthur Tobing, Sp.B (dokternya baik dan ramah banget bo!) langsung bilang bahwa itu hernia dan disuruh langsung rawat inap. Aku bengong, nggak ada persiapan apapun untuk rawat inap. Makin bengong lagi setelah dokternya bilang, kalau benjolan masih ada juga dalam beberapa jam observasi ke depan, Hanif harus dioperasi malam itu juga (hah?!).
Sambil mendengarkan omongan dokter, ingatanku terbang. Sudah ada sebulan ini Hanif kadang menangis kencang. Kadang seminggu dua kali atau sekali. Kalau sudah menangis seperti itu, bisa makan waktu sejam lebih... nggak mau diam juga. Dokter juga menyebutkan beberapa gejala hernia, antara lain jadi susah BAB dan muntah-muntah. Hmm, Senin lalu Hanif memang sempat sembelit. Tapi setelah BAB (meski dengan perjuangan ekstra keras sampai nangis-nangis kencang), dia sudah ceria lagi. Jadi kupikir itu sembelit biasa. Hmmm, lalu malam Rabu dia juga muntah-muntah 7-8 kali semalaman. Tapi setelah bisa tidur, paginya dia sudah biasa lagi. Jadi kupikir itu masalah kembung biasa saja.
Makanya dokter langsung bilang kata “operasi“, karena gejalanya sudah cukup lama. Takut terlambat, takut usus sudah telanjur terjepit katanya. Jadi karena usus terjepit, sirkulasi makanan dan udara jadi tidak lancar. Akibatnya, susah BAB dan kembung trus muntah-muntah deh. Siyyal, kenapa aku nggak curiga sebelumnya yak.
Ketika sedang menunggui observasi Hanif di UGD, suamiku datang. Tadi sempat kutelepon untuk langsung datang ke UGD saja sesampainya dari Jakarta. Menimbang-nimbang sebentar, kami akhirnya setuju untuk operasi. Sepertinya terlalu berbahaya kalau operasi ditunda, mengingat gejalanya sudah cukup lama. Ingin menangis rasanya melihat Hanif kesakitan begitu. Ya sakit karena hernia, juga sakit karena ditusuk jarum infus sampai tiga kali. Sampai tersengal-sengal dia, saking lama dan kencang nangisnya.
Pukul 22.10, tiga jam setelah dibawa ke RS, Hanif masuk ruang operasi. Masya Allah, nggak kebayang aja, anak sekecil dia harus dioperasi. Kalau orang lain mungkin ada ya. Tapi ini terjadi pada anak sendiri, membayangkannya saja tidak pernah. Aku sempat menggendong Hanif sebentar, sebelum akhirnya terpaksa melepasnya pergi digendong suster ke balik pintu kamar operasi.
Malam itu di ruang tunggu, aku duduk sendiri. Suamiku pulang untuk mengantar Mbak Sari dan mengambil baju-baju Hanif. Pikiranku berkecamuk ke mana-mana. Semua terasa seperti mimpi. Masih setengah sadar kalau saat itu tengah menunggui Hanif dioperasi. Alhamdulillah doa dan dukungan terus mengalir, lewat sms, telepon, dan Facebook (hihihi, teteupp aja fesbukan). Aku jadi merasa tidak sendirian.
Operasi berjalan satu seperempat jam. Setelahnya aku dipanggil ke dalam untuk menunggui Hanif yang masih setengah sadar. Dokter bilang operasi lancar. Ternyata usus Hanif benar sudah terjepit. Untung nggak sampai biru, kata dokter. Kalau yang versi parah, setelah usus terjepit, membiru, lalu jadi infeksi dan bisa membusuk. Kalau sudah busuk kan harus dipotong dan dibuang. Hiiii, ngeriii. Alhamdulillah belum terlambat bagi Hanif. Untung tadi kami langsung setuju operasi.
Sabtu menjelang subuh, Hanif sadar sepenuhnya. Menangis lah dia, rupanya lapar dan haus. Setelah kenyang disusui, langsung tidur lagi sampai jam sembilan pagi, hehehe. Setelahnya, semua berjalan lancar. Hanif bisa ceria lagi. Tingkah polahnya sudah ke sana kemari, seperti tak pernah sakit saja dia. Karena progresnya terus membaik, Minggu pagi dokter memutuskan Hanif boleh pulang. Tinggal perawatan luka operasinya saja yang harus hati-hati.
So, here I am. Mencoba mengambil hikmah dari segala yang terjadi. Kata mamiku, seorang ibu adalah dokter pertama anaknya. Ibu-lah yang harus pertama tahu kalau ada hal yang tidak beres pada anaknya, yang pertama aware kalau anaknya sakit. Berarti parah juga aku yak, sampai Hanif harus dioperasi begitu. Hhh, merasa tidak becus jadi ibu nih. Lagi-lagi merasa bersalah karena spend a lot of time di luar rumah dan tidak ada di sana ketika sesuatu terjadi pada Hanif (ini yang aku benci dari menjadi-ibu-bekerja). Hmm, rasanya skill keibuanku harus diasah lagi.
Terima kasih untuk semua yang peduli dan telah mendoakan ya. Atas perkenan Gusti Allah dan doa kalian, semuanya lancar jaya (mengutip kata-kata Nana, hehehe). Rencana akhir pekan yang semula akan jalan-jalan ke pameran buku Kompas – Gramedia di Sabuga, jalan-jalan ke Cikarang dan Jakarta, serta menghadiri pernikahan Baso, ternyata harus diganti dengan jalan-jalan di rumah sakit. Alhamdulillah, peristiwa ini makin menjadikan kami bersyukur bahwa hidup dan kesehatan adalah anugerah, dan bahwa Hanif adalah karunia dan amanah yang harus kami jaga baik-baik. Memang benar skenario Gusti Allah yang terbaik. There’s always a silver lining in every cloud.