Tuesday, June 14, 2011

Rumah(-Rumah)ku

Sepanjang usia pernikahanku yang baru empat tahun, terhitung kami sudah pernah merasakan tinggal di tiga rumah. Rumah pertama tentu di Cikarang, rumah pertama kami yang kini sudah dijual. Rumah kedua adalah rumah kontrakan di Cisitu, Bandung, yang baru saja kami tinggal pindahan dua minggu lalu. Rumah ketiga adalah rumah baru kami saat ini.

Kuingat-ingat lagi, aku selalu mengalami fase adaptasi yang tidak mudah. Awal-awal tinggal di kesemua rumah itu, aku pasti merasa sedih karena merasa belum betah, ada saja ini-itu yang dirasa tidak sesuai. Tapi setelah kuingat lagi, masa-masa meninggalkan rumah-rumah itu juga merupakan masa-masa yang berat. Yang tadinya merasa tidak betah, ternyata telah berubah menjadi sangat betah, bahkan cenderung susah untuk berpisah.



Kerinduan pada rumah Cikarang adalah kerinduan melankolis, semata-mata karena rumah itu adalah rumah pertama yang kami beli dari hasil jerih payah kami sendiri. Rumah yang mengawali kehidupan, tempat kami bercengkerama berdua sebelum punya anak. Rumah tempat kami berbulan madu, sekaligus tempatku belajar menjadi seorang istri. Yang tadinya tidak suka memasak, menjadi harus berkutat di dapur dan belajar memasak sesuatu. Rumah ini juga rumah pertama yang perabot dan dekorasinya kupilih sendiri, hingga tiap ruangan terasa punya sentuhan rasa pribadi. Tamannya adalah ajang pertama kami bereksplorasi dengan yang namanya gardening, meskipun hasilnya hampir semua tanaman mati :D



Rumah Cisitu adalah rumah terlama yang pernah kuhuni sampai saat ini, hampir empat tahun lamanya. Pertama tinggal di situ aku sempat sedih soal air yang tidak 24 jam mengalir, hingga memaksa kami harus membeli tandon-tandon air dan membuat kami harus siaga mengisinya di malam hari. Pertama kali punya anak adalah ketika tinggal di rumah ini. Rumah ini betul-betul menjadi saksi masa kehamilan dan kelahiran Hanif. Betul-betul menjadi saksi kerepotan belajar mengurus anak pertama, sekaligus saksi tumbuh-kembang Hanif pada masa tiga tahun pertama.

Di rumah Cisitu lah Hanif belajar ngesot, lalu merangkak, berjalan, dan akhirnya berlari. Dengan anak-anak sekitar masjid di gang itulah Hanif belajar bersosialisasi untuk pertama kali. Dan di rumah ini pula kutemukan makna hidup bertetangga dengan orang-orang yang sangat baik, yang tak pernah merasa berat membantu satu sama lain, sesuatu yang tidak kurasakan ketika tinggal di Cikarang karena di sana masyarakatnya cenderung individualis.



Aku betul-betul merindukan rumah Cisitu, sebagai tempat yang penuh kenangan dalam kehidupanku sebagai seorang bunda, dalam memori indah tentang masa-masa membesarkan Hanif di tahun-tahun pertama.



Bagaimana dengan rumah baru kami di Bojongkoneng? Sama dengan rumah Cikarang, rumah ini juga rumah yang terasa punya sentuhan rasa pribadi karena perabot dan dekorasinya kami pilih sepenuh hati. Tapi entah mengapa, rasanya belum klik benar dengan rumah ini. Memang belum ada dua minggu kami tinggal di situ. Mungkin masih perlu banyak waktu, seperti interaksiku dengan rumah yang sudah-sudah.

Sekarang pekerjaanku tiap hari adalah beres-beres rumah. Kardus sisa pindahan masih ada beberapa yang belum dibongkar, perabot masih ada yang kurang dibeli—terutama rak buku tempat menaruh buku-buku, serta kontainer yang kurencanakan sebagai tempat menaruh mainan Hanif yang seabreg itu. Yup, betul. Kerja beres-beres rumah ini adalah salah satu caraku untuk membuat rumah baru kami terasa lebih homy agar kami lebih betah, meskipun hal itu membuat skoliku sakit hampir tiap hari.

Home is where the heart is. Agaknya pernyataan itu benar adanya. Dan tampaknya, aku sudah harus mulai menaruh hati pada rumah baru kami, rumah yang akan menjadi tempat tumbuh-kembang adiknya Hanif di tahun-tahun pertamanya, dan akan menjadi saksi kehidupan keluarga kami di tahun-tahun selanjutnya, insya Allah.

Foto 1: Rumah Cikarang ketika terakhir kali aku tinggal di sana, awal April 2011. Rumah ini terjual pada 27 April 2011.

Foto 2: Gang Masjid kenangan, menuju rumah Cisitu. Foto ini diambil pada 13 Juni 2011.

Foto 3: Rumah Cisitu yang biru, sebiru haru hatiku ketika mengunjunginya kembali sepulang kerja sore itu. Hanya mengambil fotonya saja tanpa berani masuk, khawatir memori indah tentang rumah ini mendesak ruang rasa hingga membuat perih. Di pintu pagar inilah Hanif biasa menantiku pulang setiap sore, membukakan pintu dengan tawanya yang lebar. Tuh kan, jadi sedih lagi, hiks.

Foto 4: Rumah kami sekarang, yang masih terasa panas karena tidak ada pepohonan di sekitarnya. Sabtu pagi itu Hanif sedang membantu ayahnya mencuci motor di depan rumah.

Friday, June 10, 2011

Rumah Baru



Yang paling menyenangkan dari memiliki rumah baru adalah saat-saat memilih dekorasi dan perabot. Memilih dan memilah kain korden dan vitras ternyata bisa jadi sangat mengasyikkan. Belum lagi sensasi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk memilih sofa, kasur, kitchen set, dan lain-lain. Masih ditambah dengan keasyikan menata lay out ruangan dan mengatur sudut-sudut di sana-sini.

Namun, jangan salah. Pindah ke rumah baru ternyata juga sangat melelahkan. Prosesnya berlangsung lama, mulai dari nyicil packing, sortir barang-barang yang akan dibawa, sampai membuangi barang-barang yang ternyata sudah perlu dibuang. Ternyata aku manusia sampah juga. Baru pas pindahan kemarin kami terpaksa membuangi barang-barang yang tak perlu. Kalau dibawa rasanya akan memenuhi seisi rumah, sementara manfaatnya tak seberapa. Ya sudah, tak boleh merasa sayang, daripada membuat kumuh.

Nyicil packing ini sudah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Ndilalah pas waktunya pindahan, aku malah jatuh sakit. Batuk dan flu berat sampai tak bisa bangun dari tempat tidur saking pusingnya. Alhamdulillah Papi, Mami, adik, dan kakak datang membantu hingga membuat proses pindahan menjadi cepat dan mudah. Meskipun jadinya aku tak tahu, barang apa ada di kardus mana, karena aku bisa dikatakan hampir tak banyak terlibat.

Saat ini rumah baru kami sudah bisa dikatakan tidak terlalu berantakan lagi. Ruang tamu merangkap ruang keluarga, dapur, dan kamar utama sudah lumayan rapi. Kardus-kardus yang belum sempat dibongkar—karena aku belum fit benar—ditumpuk dan dikumpulkan dalam satu ruangan. Yang kasihan adalah Hanif. Dia belum berhasil menemukan kardus mainan-mainan favoritnya. Maafkan Bunda, Nak. Belum sempat membongkar semua kardus itu.

Sudah seminggu kami di rumah baru, aku belum menemukan irama yang pas. Masih terbayang enaknya tinggal di kontrakan lama karena jauh lebih adem dan jauh lebih dekat ke kantor. Adem karena banyak bukaannya sehingga udara selalu terasa segar mengalir. Dekat sehingga hanya memerlukan waktu 5-7 menit untuk pulang-pergi ke kantor. Lingkungannya juga sangat dinamis, banyak warung makanan murah, serta selalu ramai karena merupakan daerah kos mahasiswa.

Rumah baru kami memang lebih lega dan lebih luas, tapi ternyata jauh lebih panas. Sama sekali tak berasa tinggal di Bandung. Bagaimana tidak, kami selalu berlumur keringat. Jendela dan pintu mau dibuka pun tak bisa, karena nyamuk besar-besar akan segera menyerbu. Lingkungannya masih sepi karena merupakan lingkungan perumahan baru yang belum “jadi”. Dengan tetangga juga belum banyak kenal karena aku selalu pergi pagi dan pulang sore. Semoga waktu akan mengubah segalanya, hingga kami bisa merasa lebih nyaman dan lebih betah tinggal di rumah kami sendiri ini.

Hhh, buatku... adaptasi tak pernah jadi mudah.

Foto: Rumah baru kami ketika masih belum jadi, November 2010.