Tuesday, May 31, 2022

Sepatu Hemat untuk Pelari Hore

Ketika pertama kali mulai berlari pada 2015, aku sungguh tak punya ilmu apa pun soal olahraga yang satu ini. Niat untuk berlari awalnya terbersit dari self challenge untuk menaklukkan olahraga yang dulu amat kubenci. Perasaan senang melihat keriaan suami dan teman-temanku saat berlari membawaku pada keinginan untuk ikut menjajal, syukur-syukur bisa menemani suamiku berlari ketika ada race.

Saat itu aku hanya menggunakan sepatu yang ada saja, yang belakangan kutahu merupakan sepatu training belaka, hahaha. Bergabung dengan Mamah Gajah Berlari, aku mulai mendapatkan informasi mengenai pentingnya memilih sepatu lari yang tepat. Setiap sepatu itu memiliki peruntukannya masing-masing. Bahkan dalam kategori sepatu lari pun ada beraneka peruntukan. Berdasarkan tujuan pemakaian, ada sepatu lari untuk daily training, easy run, long run, speedwork (tempo run, interval run, fartlek), race, dan trail run. Berdasarkan tipe kaki, ada sepatu lari yang netral, slim, wide, atau stability shoes untuk flat feet, high arch, supination, dan pronation.

Dalam sebuah training plan yang lengkap, menu latihan seorang pelari sebaiknya mencakup berbagai jenis latihan endurance, easy run, long run, speedwork, serta strength training. Hal ini penting karena berlari tidak sekadar berlari: ada endurance yang harus dibangun dengan long run, ada kapasitas paru-paru yang harus dilatih dengan speedwork, ada otot-otot yang harus diperkuat dengan strength training. Jadi, sudah terbayang berapa jenis sepatu yang harus dimiliki oleh seorang pelari? Hahaha.

Selain itu, memiliki lebih dari satu pasang sepatu ternyata juga sangat dianjurkan. Ketika berlari, kaki kita menerima impak tekanan yang berulang-ulang. Hal ini semakin lama akan membentuk bagaimana otot di kaki bekerja menyerap tekanan. Berlari hanya dengan satu pasang sepatu lari membuat kaki hanya terbiasa pada satu kondisi tertentu. Ketika ada kondisi yang berubah–seperti kondisi jalan, pace, stride, cadence, atau bahkan berat badan–otot di kaki tidak terbiasa dengan kondisi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan kekuatan otot yang membuat otot tidak maksimal menyerap impak saat berlari sehingga berisiko cedera.

Tubuh manusia sebenarnya sangat pintar beradaptasi pada berbagai kondisi. Namun, ketika hanya dilatih pada satu kondisi saja, kemampuan adaptasi tersebut bisa melambat dan respon tubuh menjadi tidak maksimal ketika dihadapkan pada kondisi baru. Menurut @runtothefinish, lari dengan sepatu yang dirotasi melatih kaki untuk merespon pada kondisi yang berbeda-beda sehingga otot kaki jadi lebih siap menyerap impak tekanan saat lari.

Sebagai pelari hore yang berusaha serius berlatih, tentu aku berusaha menerapkan kaidah di atas. Namun, kapasitasku belum seserius atlet atau sekeren pelari-pelari kece sehingga aku merasa belum perlu membeli sepatu-sepatu terbaik di kelasnya. Maklum pace masih lambat banget, malu rasanya bila membeli sepatu mahal sekelas atlet-atlet marathon kenamaan. Levelnya belum sampai situ, cuy. Hahaha. Pilihanku rata-rata jatuh pada jenis-jenis sepatu overall / all rounder, yaitu sepatu yang dapat dipakai untuk semua jenis latihan, meskipun sebenarnya ia juga memiliki kekhasan peruntukan.

Nike Free RN 2017, sepatu lari pertama yang kuperoleh dari hasil berburu garage sale

Beberapa sepatu lari yang pernah aku pakai:

  • Nike Free RN 2017
  • Hoka One One Rincon
  • Nike Epict React Flyknit
  • Adidas Ultraboost 19
  • Asics GlideRide 2
  • Nike React Infinity Run Flyknit 2
  • Hoka One One Rincon 3

Dari semua sepatu di atas, tidak semuanya cocok dan nyaman kupakai. Sampai saat ini, ada dua sepatu yang jadi favorit banget karena terasa nyaman dan plek di kaki, yaitu Hoka One One Rincon dan Nike React Infinity Run Flyknit. Pada tulisan kali ini aku ingin mengulas dua jenis sepatu tersebut, barangkali bermanfaat buat pembaca yang sedang mencari sepatu lari.

Hoka One One Rincon

Yang paling juara dari Rincon adalah harga dan bobotnya. Rincon adalah sepatu keluaran Hoka One One yang paling low budget. Rincon versi pertama berbobot sangat ringan (218 gram) dan versi terbaru (versi ketiga) malah berbobot lebih ringan lagi (210 gram). Meskipun ditujukan untuk pemakaian speed training, Rincon juga cocok untuk daily run, easy run, dan long run.

Sepatu Rincon pertamaku: warna Heather Rose

Menempuh ratusan kilometer bersama Rincon Heather Rose

Bagian atasnya cukup breathable karena materialnya menggunakan mesh upper, bagian depannya cenderung wide, tipe arch support-nya untuk tipe kaki netral, lebih cocok untuk pelari yang landing-nya bertipe forefoot/midfoot strike, dan paling cocok untuk medan road running.

Satu-satunya kekurangan Rincon adalah durability. Sol kakinya cepat sekali aus meskipun pemakaiannya normal (tidak berlebihan) sehingga lifetime mileage-nya tak akan sampai 600 km seperti sepatu kebanyakan. Aku pernah terpeleset beberapa kali ketika sedang memakai Rincon karena masih juga kugunakan meskipun mileage-nya sudah 800-an km. Yah, memang masalah yang dicari-cari sendiri ini sih karena solnya sudah aus sekali, hahaha.

Hoka One One Rincon 3 warna Blue Glass, sepatu Rincon kedua yang kumiliki

Pada akhirnya aku membeli Rincon 3 sebagai ganti, dan menurutku versi terbaru ini lebih empuk dibandingkan versi pertama. Selain lebih nyaman, konon Rincon 3 juga lebih stabil dan lebih tahan lama dibandingkan seri-seri sebelumnya.

Heel to toe drop: 5 mm

Forefoot height: 24 mm

Heel height: 29 mm

Nilai keseluruhan dari Run Repeat:

  • 90 (superb) untuk Rincon
  • 88 (great) untuk Rincon 3

Nike React Infinity Run Flyknit 2

Yang paling aku sukai dari React Infinity adalah kemampuannya untuk nge-locked kaki saat dipakai. Jadi rasanya plek banget di kaki bagaikan diselimuti. Peruntukan sepatu ini adalah untuk daily running dan long run. Tidak seperti “saudaranya” Nike Vaporfly atau Alphafly yang memang ditujukan untuk speed training dan race, React Infinity memiliki spesifikasi yang pas sekali untuk daily running: cushion-nya terasa empuk dan nyaman, lebih responsif dibanding Nike Epic React (karena lebih mentul-mentul) tetapi masih stabil untuk sekadar dipakai berjalan kaki.

Nike React Infinity Run Flyknit 2 warna Black, sepatu paling favorit

Seperti yang aku kutip dari Run Repeat: “it's not going to make you run fast, but it does offer a smooth, easy, soft and cushioned ride”. That’s why cocok buat pelari hore macam aku, yang lebih butuh sepatu yang durable dan nyaman untuk pace pelan, dan lebih suka berlatih endurance daripada speed.

Sama seperti Rincon, bagian atas React Infinity ini cukup breathable karena materialnya menggunakan knit upper, bagian depannya cenderung slim (sehingga lebih baik membeli satu nomor lebih besar dibandingkan ukuran biasa), tipe arch support-nya untuk tipe kaki netral, lebih cocok untuk pelari yang landing-nya bertipe forefoot/midfoot strike dan heel strike, serta paling cocok untuk medan road running.

Half Marathon kedua bersama React Infinity kesayangan 

Meskipun beratnya 302 gram (lebih berat daripada Rincon dan Epic React yang biasa kupakai), aku hampir tidak menemukan kekurangan lain dari React Infinity ini. Berat segitu masih bearable buatku, masih jauh lebih ringan daripada sepatu-sepatu Ad*d*s. Yes I’m a satisfied customer, hahaha. Oleh karena itu, sepatu ini adalah sepatu yang paling sering kupakai. Baru tujuh bulan, mileage-nya sudah hampir 600 km … dan solnya masih baik-baik saja.

Heel to toe drop: 7 mm

Forefoot height: 24 mm

Heel height: 33 mm

Nilai keseluruhan dari Run Repeat: 86 (great)

Baiklah, sepertinya sudah cukup yaa ulasan sepatu lari favoritku. Semoga bermanfaat. Ingat: yang penting bukan hanya sepatunya, melainkan juga konsisten latihan larinya, hehehe.

*Tulisan ini dibuat dalam rangka "Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog" bulan Mei 2022 dengan tema "Review Produk"

Saturday, May 28, 2022

Perbaikan Postur Tubuh Akibat Skoliosis

Susunan ruas tulang belakang

Aku didiagnosis mengidap skoliosis pada 8 Juni 2010. Skoliosis dengan sudut Cobb 20 derajat ke kiri yang aku idap disebut skoliosis thoracolumbal karena areanya terdapat pada ruas-ruas di antara thoracic spine dan lumbar spine, mulai dari ruas T9 hingga L5. Karena sejatinya skoliosis adalah kelainan tulang belakang, ia tidak dapat disembuhkan. Yang dapat dilakukan adalah mengurangi derajat kelengkungannya–dengan atau tanpa operasi–dan menjaga supaya derajat kelengkungannya tidak bertambah.

Skoliosisku

Dokter spesialis ortopedi dan traumatologi dari Rumah Sakit Fatmawati, dr. Luthfi Gatam, Sp.OT., mengatakan bahwa penyandang skoliosis berkategori ringan pada tahap sudut 20 derajat hanya memerlukan observasi rutin. Penyandang skoliosis berkategori sedang dengan tahap sudut antara 20 sampai 40 derajat dianjurkan mengenakan brace, sedangkan penyandang skoliosis berkategori berat dengan tahap sudut lebih dari 40 derajat–sehingga memiliki kemungkinan mengganggu kinerja organ–perlu dioperasi. Karena skoliosisku masih termasuk kategori ringan, tindakan operatif tidak diperlukan. Tak lama setelah itu, aku mulai berkenalan dengan pilates dan yoga sebagai salah satu upaya untuk terapi skoliosis.

Pilates

Menurut KBBI, pilates adalah metode senam ringan untuk memperkuat otot perut, memperbaiki postur tubuh, dan meningkatkan keseimbangan. Sebelum latihan dimulai, instruktur mengobservasi hasil rontgen dan posturku lalu merancang program yang sesuai dengan tujuan latihan, yaitu meringankan skoliosis dan meredakan keluhannya.

Pilates dengan bantuan alat-alat berfungsi menyeimbangkan otot-otot, melenturkan otot yang meregang, dan membuat persendian menjadi lebih sehat. Setiap gerakan dan hitungan dalam pilates dilakukan dengan penuh konsentrasi dan terkontrol. Gerakannya harus presisi, urut, berkesinambungan, dan menggunakan napas yang benar yaitu pernapasan perut. Pernapasan perut dapat mendorong tulang belakang bersama otot-ototnya kembali berfungsi secara seimbang. Pada akhirnya, postur tubuh yang benar, pernapasan yang benar, dan otot yang elastis membuat organ tubuh termasuk tulang belakang kembali berfungsi dengan baik.

Meskipun merasakan manfaatnya, aku tidak melanjutkan latihan pilatesku setelah 16 sesi karena harga yang lumayan mahal. Selain itu, kadang aku merasa frustrasi saat menjalani kelas privat karena harus melakukan gerakan yang betul-betul presisi. Pengawasan instruktur sangat ketat sehingga gerakan yang salah sering diulang-ulang sampai benar. Pada suatu titik ketika aku tak lagi merasa enjoy, aku memutuskan berhenti dan mulai melirik yoga sebagai alternatif lain.

Yoga

Aku tidak mengikuti kelas yoga secara privat, tetapi mengikuti kelas yoga general. Sebelum mulai berlatih, aku mengomunikasikan perihal skoliosisku kepada instruktur sehingga ia pun memahami keterbatasanku. Program latihan di kelas tidak didesain secara khusus untuk pasien skoliosis, tetapi secara umum semua gerakan yoga bermanfaat untuk perbaikan postur tubuh.

Gerakan yoga berfungsi meningkatkan kelenturan dan kekuatan otot (dalam kaitannya dengan skoliosis, hal ini juga termasuk otot-otot yang menunjang tulang belakang), mengoreksi lengkungan dan rotasi tulang belakang, serta memperkuat kaki sebagai penyangga tulang belakang. Ketidakseimbangan postur yang kerap dialami oleh pasien skoliosis akibat misalignment tulang belakang juga diperbaiki oleh yoga dengan memperkuat sisi tubuh yang lemah.

Alhamdulillah, yoga sangat membantuku mengurangi pegal dan backpain, mengoreksi postur, menguatkan otot dan tulang punggung, serta menstabilkan panggulku yang tinggi sebelah. Siapa sangka dari situ aku malah jadi jatuh cinta pada yoga. Lebih dari sekadar treatment skoliosis yang aku dapatkan, yoga juga membantuku menyeimbangkan pikiran, tubuh, dan jiwa.  Dalam beberapa hal yoga membuatku tetap waras karena aku juga belajar untuk terkoneksi dengan diri, mencintai diri, dan menerima diri apa adanya.

Setelah hampir sepuluh tahun rutin beryoga, kini aku berhasil membangun kesadaran terhadap perbaikan postur. Muscle memory yang dibangun selama bertahun-tahun itu sering “mengingatkanku” bila aku melakukan gerakan yang berisiko menyebabkan ketidakseimbangan tulang belakang dan memperparah skoliosisku. Bahkan secara random aku pun menjadi gampang “gatal” untuk mengoreksi postur tubuh seseorang bila kurasa ia sedang melakukan sikap tubuh yang buruk, hahaha.

Sunday, May 15, 2022

Kesetaraan dalam Secangkir Kopi

Sudah lama aku terusik pada kenyataan seringnya para pelayan restoran atau kafe salah menempatkan gelas teh dan cangkir kopi di hadapan aku dan suamiku. Suamiku penggemar teh; aku penyuka kopi. Mereka–para pelayan itu–hampir selalu meletakkan cangkir kopi di hadapan suamiku dan gelas teh di hadapanku. Aku jadi berpikir: apakah secangkir kopi mengandung bias gender?

Secara umum konstruksi sosial memang cenderung menampilkan kopi sebagai minuman macho. Namun, lama-kelamaan hal itu runtuh seiring perkembangan zaman dan gaya hidup yang menyertainya. Saat ini kopi lazim dikonsumsi oleh berbagai kalangan, tak peduli apa pun gendernya. Bahkan orang yang bukan penikmat kopi sejati pun kini dapat menikmati setitik sensasi kopi karena secara kreatif, kopi telah dibuat dalam berbagai varian yang lebih ringan kadar kafeinnya.

Bicara soal kopi dan kesetaraan, pada zaman kolonial silam, kopi memang menjadi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elite. Masyarakat yang menanam dan memetiknya justru tidak dapat menikmatinya karena kelas sosial yang termarginalkan. Namun, kini kopi dapat dinikmati oleh semua kalangan dalam berbagai situasi dan keadaan seperti kata Paox Iben Mudaffar, “Di hadapan kopi, kita semua sama.”

Aku jadi teringat lawatanku ke Belitung beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku menyesap kopi Manggar sambil mendengarkan pemandu wisata berkisah. Manggar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Belitung Timur yang dijuluki dengan kota seribu warung kopi. Di tempat itu warung kopi bertebaran bak cendawan di musim hujan. Sejak dulu masyarakat Belitung memang gemar minum kopi. Bagi mereka, kopi adalah social drink dan kegiatan ngopi merupakan ajang berinteraksi secara sosial sambil membicarakan apa saja, jauh sebelum coffee shop modern mulai merebak di kota-kota besar.

Kopi Manggar dan kue talam yang kunikmati saat itu

Aku rasa bukan hanya di Manggar hal seperti itu jamak terjadi. Saat ini kopi menjadi minuman paling egaliter di muka bumi. Semua orang menikmatinya, mulai dari pekerja rendahan hingga pimpinan perusahaan dan artis terkenal. Yah, meskipun sebenarnya kopi juga punya kelas-kelas berdasarkan kualitasnya–yang tentu berpengaruh terhadap harga–kita tak bisa menafikan kenyataan bahwa kopi adalah minuman yang sangat populer dinikmati dalam suasana kekeluargaan dan persahabatan lewat aktivitas ngopi bareng.

Semangat kesetaraan yang diusung oleh kopi ternyata tidak hanya sebatas pada kalangan yang mengonsumsinya. Di balik industri kopi yang mendunia, ada semangat kesetaraan gender dalam pengolahan dan pembuatannya. Sebut saja City Girl Coffee Co. yang didirikan oleh Alyza Bohbot di Amerika Serikat. City Girl Coffee Co. hanya melibatkan perempuan dalam seluruh pengelolaan kopinya. Di ranah lokal, ada Intan Westlake yang mendirikan Java Mountain Cafe dengan misi untuk mengangkat petani kopi perempuan. Pembangunan kesetaraan gender melalui pemberdayaan perempuan secara ekonomi juga dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Arum di Sumedang yang mewadahi anggota perempuan yang bergerak di bidang pertanian dan pengolahan kopi.

Salah satu contoh lain yang erat kaitannya dengan kopi dan kesetaraan yang membuat hatiku hangat adalah semangat yang dibawa oleh Putri Santoso ketika ia mendirikan Kopi Tuli. Ia adalah seorang penyandang disabilitas sejak usia balita yang kerap mengalami diskriminasi ketika mencari pekerjaan. Bersama dua temannya yang juga sama-sama penyandang disabilitas, ia mendirikan Kopi Tuli dengan prinsip bahwa setiap kaum disabilitas harus memiliki kesetaraan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Kini warung kopi yang semua pekerjanya memiliki keterbatasan pendengaran itu telah memiliki beberapa cabang di Depok dan Jakarta.

Kembali ke pertanyaanku di awal tulisan ini: apakah secangkir kopi mengandung bias gender? Hmm, aku rasa para pelayan yang salah menempatkan cangkir kopi itu harus membaca tulisanku ini, hahaha.


Friday, May 06, 2022

Makanan Khas Kota Solo

Mudik lebaran adalah momen yang tepat untuk menuntaskan rindu terhadap berbagai kuliner khas kota kelahiran. Bagiku–yang lahir dan besar di Solo tetapi sudah dua puluh dua tahun merantau semenjak kuliah–makanan khas yang membuat kangen adalah nasi liwet, lenjongan, dan cabuk rambak. Tiga menu itu wajib dibeli saat aku mudik, bahkan untuk yang disebut terakhir itu aku hampir tiap hari membelinya, hahaha.

Makanan favorit dari kota kelahiran mungkin rasanya biasa saja bagi orang lain, tetapi sejatinya yang membuat makanan-makanan itu istimewa adalah kenangannya. Mereka sarat akan kenangan masa kecil, seperti aktivitas jajan selepas sekolah, atau simply karena yang membuatkan atau membelikannya dulu adalah orang-orang tersayang–yang bisa jadi kini telah tiada. Jadi seperti apa makanan khas Solo yang menjadi favoritku itu? Yuk kita simak.

Nasi Liwet

Penjual nasi liwet langganan. Musim lebaran begini antrinya sampai satu jam.

Nasi liwet Solo berbeda dengan nasi liwet khas Sunda, juga berbeda dengan nasi uduk–meskipun sama-sama gurih karena diolah dengan santan. Rasa gurih nasinya terasa lebih ringan dibanding nasi liwet dari daerah lain sehingga kelezatan aneka lauknya terasa lebih nge-blend. Jika nasi uduk bisa digabungkan dengan lauk kering atau tidak berkuah, nasi liwet Solo biasa disantap dengan campuran sayur labu siam, sambal goreng, opor ayam, telur pindang, dan areh santan. Areh santan inilah yang menjadi kekhasan nasi liwet Solo. Areh adalah kuah santan pekat yang dimasak lebih lama hingga mengeluarkan minyak dari santannya. Hal inilah yang menyebabkan areh lebih gurih dari sekadar santan biasa.

Ada pula lauk tambahan yang biasa ditawarkan, misalnya sayap ayam, kepala ayam, atau uritan. Uritan adalah bakal telur ayam atau telur muda yang belum berkembang di dalam perut ayam, biasa disajikan satu paket dengan usus ayam. Aku pribadi tidak terlalu suka makan uritan karena kadar kolesterolnya tinggi, hehehe. Beberapa pelengkap lain yang biasa disantap dengan nasi liwet adalah tahu, tempe, aneka satai (satai usus, satai telur puyuh, satai ati ampela, dll.), serta kerupuk.

Lenjongan

Lenjongan (gambar diambil dari sini)

Lenjongan adalah sebutan dari satu set camilan manis yang terdiri atas gendar, klepon, sawut, jongkong, gatot, getuk, tiwul, cenil, ketan hitam, ketan putih, dan gerontol. Isinya sebagian besar terbuat dari singkong, jagung, ketan, dan aneka jenis tepung sehingga mengenyangkan. Topping-nya yang berupa parutan kelapa memberikan cita rasa gurih. Meskipun demikian, manis menjadi rasa dominan lenjongan karena parutan kelapa seringkali ditaburi dengan gula pasir atau dituangi juruh (gula merah cair).

Lenjongan menjadi favorit karena menyatukan berbagai jenis rasa kudapan tradisional dalam satu wadah. Teksturnya pun beraneka ragam: ada yang lunak seperti ketan dan getuk, ada yang kenyal seperti klepon dan cenil, ada juga yang seret seperti tiwul yang biasa digunakan sebagai pengganti nasi. Lenjongan dihidangkan dengan sebuah pincuk yang terbuat dari daun pisang. Seporsi lenjongan dijual seharga Rp5.000,00 hingga Rp6.000,00.

Lenjongan tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2020. Jajanan ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan tak pernah lekang oleh waktu hingga kini. Buatku pribadi, lenjongan menyimpan banyak memori masa kecil sebagai camilan yang kerap dibeli ketika menemani ibu atau nenekku berbelanja di pasar.

Cabuk Rambak

Penjual cabuk rambak langganan yang saus wijennya paling pas di lidah.

Selain lenjongan, jajanan khas Solo yang menjadi kesukaanku adalah cabuk rambak. Makanan ini dulu dijajakan berkeliling oleh penjualnya—biasanya ibu-ibu berjarik—dengan menggendong bakul. Meskipun sudah mulai langka, makanan ini masih bisa ditemukan di pasar dan pusat jajanan tradisional. Cabuk rambak dibuat dari irisan ketupat yang kemudian disiram dengan saus yang terbuat dari wijen dan kelapa sangrai. Pelengkapnya adalah kerupuk gendar yang biasa disebut karak. Harga satu porsi cabuk rambak bervariasi antara Rp5.000,00 hingga Rp7.500,00.

Cabuk rambak yang murah meriah ini dulu menjadi jajanan kesukaanku semasa sekolah. Dengan uang saku yang pas-pasan, membeli cabuk rambak adalah salah satu trik supaya tetap kenyang hingga waktu pulang sekolah tiba. Meskipun sering diejek sebagai makanan rakyat jelata karena miskin gizi, cabuk rambak selalu menjadi makanan incaran yang wajib dibeli kala aku mudik ke Solo.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei yang bertema "Makanan Khas Kota Mamah".