Thursday, November 13, 2008

Tentang Hidup [2]

Bahasan tentang hidup kali ini sedikit mengerucut pada karir. Lewat blog-nya, Ilma rajin sekali meng-update visi karir.

Purpose of life akan ia perjelas setiap kali penulis menuliskan sesuatu pada jurnalnya, setiap kali langkah si penulis semakin mendekatkan ia pada purpose of life-nya... ini bisa menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk memiliki purpose of life yang jelas dan terus melangkah untuk mencapainya.”
(tulis Ilma di sini)

Hmm, lagi-lagi merujuk ke Ilma. Nggak apa-apa ya. Soalnya temanku yang satu ini orangnya memang terencana sekali *hehehe, apa nggak capek ya kejar-kejaran sama target*

Kembali ke soal karir. Berbicara tentang visi karir, di lembaga litbang seperti kantorku ini, banyak karyawan yang punya target dalam berkarir. Sebagai tempatnya para peneliti, banyak yang berharap bisa disekolahkan lagi ataupun mematok target tertentu dalam jabatan fungsional. Bagaimana denganku? S2? Nggak ah. Masuk ke fungsional? Sepertinya rada nggak berminat.

Lho bagaimana ini, apa nggak malu dengan para peneliti lain yang pada punya integritas? Nggak tuh. Karena untuk sekarang ini, prioritas utamaku adalah Hanif. S2 atau jabatan fungsional mah lewattt.

Dan karena prioritas utamaku adalah Hanif, maka aku nggak iri melihat pencapaian teman-teman lain dalam hal kerjaan ini. Anis Rohanda, temanku di BATAN Serpong, minggu lalu udah berhasil menampilkan poster hasil penelitiannya di Seminar Nasional TKPFN-14. Arum, temanku di BATAN Jogja, sebelumnya juga udah jadi peserta di seminar internasional MIPA di ITB. Tapi... bener-bener nggak iri tuh.

Aku baru iri sama Mbak Dini yang meskipun anaknya kembar dan ditinggal kerja, masih bisa mencukupi ASI-nya. Juga iri sama Bu Sinta, kolega dari BATAN Serpong, yang sampai sekarang *anaknya 1 tahun lebih* masih bisa ASI eksklusif. Trus ngerasa kecewa banget waktu kelewat momennya Hanif tengkurep untuk pertama kalinya.

Dan aku rasa bakal jadi my greatest achievement adalah kalau aku bisa jadi bunda terbaik buat Hanif *dan adik-adiknya kalau ada hehehe*. Visi karir menjadi stay-at-home mom? Teuteupp...

Tentang Hidup [1]

Sampai sekarang, selalu ada saja ketakutan bila berbicara tentang hidup. Kenapa ya? Hmm, mungkin karena sampai detik ini aku merasa masih menjalani someone else’s life.

Membaca Ilma bercerita tentang visi hidupnya yang tampak sangat jelas, aku jadi mikir sendiri. Betapa tertata rapi hidupnya dengan target-target yang riil, konkret, dan terencana. Dia tahu dengan pasti ke mana arah hidupnya, apa yang dia mau, dan apa yang harus dia lakukan.

Lalu membaca tentang launching novel perdananya Adenita, aku juga jadi mikir sendiri. Keren banget ya, udah bisa menghasilkan karya yang berarti.

Sedangkan aku? Hahaha *ketawa sarkastis*. Dulu aku pernah punya buku impian, target, dan keinginan yang menurutku lumayan ideal. Menikah dengan seseorang yang meskipun sangat mencintaiku namun ternyata visinya beda, membuatku memutar haluan. Kini tak jelas lagi ke mana arah hidupku, apa yang aku mau, dan apa yang harus aku lakukan. Meraba-raba lagi, memulai dari awal.

”...sayalah yang bertanggung jawab atas hidup saya dan semua yang terjadi pada saya, sehingga kesalahan bukan murni milik mereka.”
(tulis Ilma di sini)

Ya ya ya, aku tahu ini bukan salah siapapun. Aku-lah yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Ada filosofi dalam The Alchemist *aduh, ke mana ya perginya bukuku ini?* yang sampai sekarang masih terus kuingat: bila kau sangat menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan membantumu meraihnya, kira-kira begitu bunyinya.

Lalu ada juga filosofi dari The Secret: bila kau sepenuh hati berusaha meraih impian namun gagal, mungkin impian itu bukan yang terbaik bagimu; putar haluan dan cari impian lain. Dari dua filosofi itu aku jadi mikir: jangan-jangan buku impianku berisi impian-impian yang semestinya memang bukan tercipta untukku? Jangan-jangan mimpi-mimpiku terlalu absurd dan sama sekali tidak cocok untukku?

Entahlah, berbicara tentang hidup selalu membuatku bingung. Jadi kayak remaja lagi, berusaha menemukan jati diri *cieh bahasanya*. Udah umur segini, udah punya buntut satu, masih saja bingung mau ke mana.

”...yg penting kita tau kenapa kita mau jadi apa...”
(dikutip dari sini)

Ya, perasaan dulu aku udah tahu mau jadi apa dan kenapa, tapi kok mentok-mentok saja ya. Kok arah angin selalu meniupku jauh-jauh dari jalan yang tadinya kupilih ya.

Positive thinking saja lah. Ke mana pun itu, pasti itu yang terbaik yang Allah berikan buat aku. Dan aku nggak pernah ingin menyesali hidupku. It makes me just the way I am. Never regret. If it was good, then it was wonderful. If it was bad, then it was experience.

Tuesday, November 11, 2008

Plagiat !!!


Beberapa waktu lalu aku baca tentang kekesalan Mbak Helvy Tiana Rosa terhadap plagiator-plagiator karyanya. Eh, ternyata kejadian juga sama aku. Kemarin Astri ngasih tahu sebuah link, yang setelah aku lihat, ternyata tulisan hasil jiplakan dari blog-ku.

Masih mending kalau dikasih sumbernya ya. Lha ini dia jiplak, trus di-edit sedemikian rupa hingga seolah-olah itu tulisan dia. Bete banget! Kebayang kalau aku punya buku trus diplagiat, pasti bakal marah dan kesal kayak Mbak Helvy. Lha ini sekedar tulisan blog aja aku udah bete banget.

Hmm, ternyata nggak perlu punya buku buat jadi korban pembajakan *sigh*.

Gambar diambil dari sini.

Wednesday, October 15, 2008

Kenangan

Lagi blogwalking, tiba-tiba nemu puisi indah ini. Setelah kubaca, hmm... kok kayaknya menggambarkan pengalaman dan perasaan pribadi yak. Jadilah kukutip aja di sini.

Sajak Februari

:1991-1995

1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu

2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini

4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar

engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi

7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini


9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan

Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah


10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu


11
Hai

katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta

dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

(Helvy Tiana Rosa)

Tuesday, October 14, 2008

Tanpa Judul

Mataku berkaca-kaca membaca ini. Aku kehilangan kata-kata, hanya ada duka bercampur haru menyesaki dada. Seketika ingin rasanya aku memeluk Hanif erat.

Masya Allah...

Monday, October 13, 2008

Kecanduan



Yup, aku kecanduan film ini. Kinda too late, I know. Soalnya di Trans 7 baru mulai diputer sih. Itupun baru Season 1, baru sampai Chapter 12. Nggak apa-apa lah telat, yang penting lumayan terhibur setelah penat di kantor seharian.

Gambar diambil dari sini.

Thursday, October 09, 2008

ASI Eksklusif


Di usia Hanif yang ke-3 bulan, aku terpaksa mengambil keputusan sulit: memberinya tambahan susu formula—di samping ASI tentunya. Hanif sudah bertambah besar saja, minumnya kuat. ASI perah yang selama ini memenuhi kebutuhannya kini makin terasa kurang saja. Dia makin sering merengek-rengek haus, seperti tidak pernah cukup.

Waktu itu berat badannya hampir 6 kg. Menurut dokter, kecukupan susunya dilihat dari berat ini, yaitu 100 mL untuk tiap kg. Berarti sehari minimal dia harus minum 600 mL. Ini minimal. Yah, secara kasar, angka minimal ini hanya cukup untuk hidup dan bernafas. Untuk optimalisasi tumbuh kembangnya, angka minimal ini harus ditambah. Untuk berat badannya yang segitu, paling bagus dia minum 800-900 mL sehari.

Aku tidak mau ambil resiko Hanif kurang minum. Nanti kecukupan gizi dan optimalisasi tumbuh kembangnya bagaimana? Karena ASI-ku juga makin berkurang, jadilah aku ambil keputusan sulit itu. Mengapa sulit? Karena dari awal, aku ingin Hanif menjalani program ASI eksklusif selama 6 bulan. Dengan adanya kejadian ini, berarti program ASI eksklusif-ku gagal :(

Mengenai pentingnya program ASI eksklusif selama 6 bulan, rasanya tidak perlu kuceritakan di sini. Banyak situs di internet yang menerangkan hal ini. Yah, pada intinya, aku sempat merasa sedih dan gagal menjadi ibu karena program ini gagal. Ada rasa malu ketika orang lain tahu bahwa ASI-ku hanya sedikit atau kadang tidak keluar saat Hanif berdecap-decap menyedotnya.

Berusaha menjadi positif, itu yang sekarang ingin kulakukan. Pernah ada SMS dari Mbak Liyan yang masuk ke inbox-ku, ”Gagal ASI eksklusif bukan akhir dari segalanya. Gagal ASI eksklusif bukan berarti kita gagal menjadi ibu. Berhasil ASI eksklusif juga belum menjamin kita bisa jadi ibu yang baik. Jalan kita untuk menjadi ibu masih panjang, Yus. Tetap semangat ya!”

I know, I know. Mungkin aku yang terlalu sedih—seperti biasa. Tapi aku yakin, semua usaha sudah kulakukan: minum susu, minum jamu, makan daun katuk, makan sayur dan buah, dsb. Jadi kalau ASI-ku berkurang, mungkin memang demikianlah Allah menentukan. Yang penting aku sudah berikhtiar. Dan... oh come on, baik buruknya menjadi ibu tidak bisa diukur dari pemberian ASI semata.

Dan setelah aku search di situs We R Mommies, ada artikel yang pas sekali. Berikut kutipannya.

Saat Tidak Bisa Memberi ASI

Pengirim: Retmawati
Selasa, 23 Januari 2007

Seorang teman curhat kepada saya. Dia merasa sangat malu untuk bertemu dengan teman-teman, apalagi untuk kopdar dengan teman milis yang sebagian besar adalah Mom. Mengapa? Karena dia tidak bisa memberi ASI untuk anaknya. Efeknya sampai sejauh itu?

Di tengah kampanye pemberian ASI eksklusif, di tengah maraknya diksusi ASI di milis-milis, di tengah banyaknya cerita tentang ibu yang bisa memberi ASI selama 6 bulan (bahkan sampai 2 tahun), ibu-ibu seperti teman saya (dan juga saya yang hanya bisa memberi ASI selama 3 bulan), merasa agak "tersingkir".

Moms, berbanggalah diri Anda yang bisa memberi ASI eksklusif ke buah hati. Tidak sedikit moms lain yang tidak bisa memberikan minuman terbaik itu ke anaknya. Bukan karena malas tentu saja. Bukan juga karena dia ingin tubuhnya tetap bagus. Tapi karena sesuatu sebab (sakit sehingga harus menghentikan pemberian ASI karena mengonsumsi obat; puting tidak keluar; atau sebab lain).

Berbagai cara, upaya, dan semua saran telah diikuti. Tapi apa daya, air susu tiba-tiba berhenti. Dampaknya ternyata tidak bisa dianggap enteng, terutama untuk moms yang sejak tahu dirinya hamil telah bertekad akan memberikan ASI. Shock... itu pertama-pertama yang terjadi. Sedih, menangis, kecewa, atau bahkan depresi. Dan terakhir... saat ditanya oleh orang lain, "Anaknya masih ASI kan?" Merasa bahwa diri adalah ibu paling buruk sedunia. Akibatnya bertemu dengan sesama ibu maupun teman (yang seringnya menanyakan hal itu), menjadi sesuatu yang "menakutkan". Paling tidak itu yang teman saya alami (dan tentu saja pernah saya alami).

Jangan Menyalahkan Diri

Minum jamu yang pahit, makan daun katuk dan memompa susu setiap hari, melakukan pijat, telah dilakukan. Tapi karena sesuatu hal, ternyata ASI tidak banyak keluar dan akhirnya berhenti. Apa yang salah? Tidak ada.

Jangan pernah menyalahkan diri sendiri karena hal itu. Toh kita telah berusaha semampu kita (kecuali ada yang enggak berusaha ya). Moms, yakinlah bahwa anak kita suatu saat akan memahami bahwa kita telah melakukan berbagai cara untuk memberinya ASI. Jangan pernah beranggapan bahwa tanpa memberi ASI dunia serasa runtuh.

Jadi jika ada seseorang bertanya, "Anaknya masih ASI kan?" Jawab saja apa adanya. Ceritakan apa yang telah mom lakukan untuk mendapatkannya. Mungkin tidak semua orang bisa menerima. Tapi pikirkan satu hal: saya telah berusaha melakukan yang terbaik.

Bukan Hanya ASI

Tidak bisa memberi ASI bukan suatu aib yang harus ditutup-tutupi. Berpikirlah positif. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Misalnya, karena tidak bisa memberi ASI, maksimalkan hubungan dan cara mengasuh anak: meluangkan waktu setiap weekend untuk anak (memandikan, menyuapi, bermain bersama, membacakan cerita, mengajak jalan-jalan keliling kompleks, mengajari naik sepeda, dan lain-lain). "Good parenting is more than breastfeeding," ujar Jan Barger, seorang konsultan laktasi.

Bisa tidaknya memberi ASI bukan patokan apakah dia ibu yang baik atau buruk. Bisa memberi ASI, namun kemudian mengabaikan anak tanpa membimbingnya, jauh lebih buruk. Memang paling bagus bisa memberi ASI dan memberi banyak perhatian ke buah hati. Tapi saat hal itu terjadi, saat ASI tidak bisa keluar dan segala daya telah dilakukan, tegarlah! Duniamu belum berakhir.

Alhamdulillah ASI-ku masih ada, jadi Hanif masih bisa minum ASI sampai dua tahun—insya Allah—meski disambung dengan susu formula. Semoga ASI-ku tidak berhenti sama sekali. Makin kuat tekad dan langkah ini, untuk berproses menjadi bunda terbaik. Insya Allah, insya Allah.

Perempuan-Perempuan Perkasa

Dua orang asisten rumah tangga di rumahku adalah perempuan-perempuan perkasa. Ada kesamaan yang jelas di antara mereka: sama-sama jadi tulang punggung keluarga. Suami-suami mereka kerjanya enggak jelas alias serabutan. Kadang kerja, kadang enggak. Terpaksa mereka ikut mencari nafkah agar asap dapur tetap mengepul. Kalimat ”ikut mencari nafkah” sebenarnya kurang tepat, karena justru dari mereka-lah pemasukan utama berasal.

Hmm, aku jadi mikir. Beruntung sekali aku punya suami yang punya penghasilan tetap, dan alhamdulillah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Memang aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja, tapi kalau dihadapkan pada realita seperti ini.. ya dilema juga sih.

Aku kurang tahu, suami-suami mereka yang kerjanya serabutan itu akibat keengganan atau akibat ketidakberuntungan. Kadang suka ada perasaan gemes ya kalau melihat laki-laki yang nggak mampu menghidupi keluarga. Apalagi kalau memang si lelaki adalah tipe orang yang malas dan nggak bertanggung jawab alias sa’enake dhewe. Masih mending kalau dia nggak mampu menghidupi keluarga karena bener-bener susah cari kerja misalnya. Wallahu’alam, aku nggak berhak men-judge.

Ada satu lagi perempuan perkasa yang atas kehendak Allah aku dipertemukan dengannya. Beliau adalah penjaja jamu keliling yang tiap hari lewat di depan rumah kontrakanku. Udah satu setengah bulan ini aku jadi langganannya. Dan lewat obrolan-obrolan ringan, jalinan silaturahim kami terbentuk.

Nama beliau Bu Ratmi, asli Wonogiri. Di sini dia tinggal dengan anak laki-lakinya, sementara suaminya tetap tinggal di kampung sebagai petani dan peternak kambing. Beliau mengaku hidup dengan sangat pas-pasan dari hasil jualan jamunya, maka dengan setia beliau berkeliling tiap hari, tak peduli hari hujan atau panas, dalam keadaan sehat maupun sakit. Yang membuatku tercengang dan kagum, anak laki-lakinya ini mahasiswa ITB lho. Bukan mahasiswa sembarangan kukira, karena ia kuliah dengan beasiswa dan IP yang tak pernah kurang dari 3 *bahkan biasanya lebih dari 3,5*.

Alhamdulillah karena Allah berkenan membuat hidupku beririsan dengan hidup tiga perempuan perkasa ini. Lewat mereka, aku belajar banyak tentang makna keikhlasan, sekaligus perjuangan dan kerja keras menghadapi hidup. Yang paling penting, lewat mereka, aku belajar banyak tentang rasa bersyukur dan kenikmatan berbagi.

Monday, September 22, 2008

Gender @ Work

Waktu itu aku sedang berbincang dengan suamiku. Aku lupa tentang apa, pokoknya suamiku sempat mengutip perkataan atasannya yang enggan mempekerjakan karyawan perempuan. Hmmm, jadi mikir. Kenapa yah beliau begitu?

Alasan pertama, bisa jadi karena perempuan banyak izin dan cutinya. Jadi enggak produktif di tempat kerja. Alasan kedua, mungkin si bapak mikir sebaiknya perempuan di rumah saja, supaya anak lebih terurus. Dalam satu kesempatan, aku pernah berbincang dengan istri si bapak. Istri ini memang di rumah saja, kata si istri biar bisa ngurus anak. Tapi sambil bikin usaha juga, jadi tetap berkarya.

Terlepas dari alasan mana yang sebenarnya bikin si bapak enggan mempekerjakan karyawan perempuan, aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja. Kalau sering baca blog-ku, pasti tahu alasan kenapa aku berpendapat begitu. Dengan catatan, perempuan juga tetap berkarya meskipun tinggal di rumah saja. Boleh-boleh saja ia punya karir, asal porsi anak dan suami tetap yang terbesar.

Jangan lantas berpikiran bahwa aku anti emansipasi. Memang aku sebel dengan gerakan feminisme yang kebablasan, ibu Kartini aja nggak segitunya *silakan baca buku Tragedi Kartini*. Ada banyak alasan kenapa aku berpikir sebaiknya perempuan di rumah saja. Salah satunya adalah karena seorang ibu punya kewajiban sebagai ummu madrasah. Di tangannya terletak masa depan anak yang jadi pilar utama generasi bangsa. Kalau anak nggak terurus, mau jadi apa keluarga kita? Lebih jauh lagi, mau jadi apa bangsa kita?

Mungkin ada yang berdalih, bisa-bisa aja tuh ngurus anak sambil kerja. Maap ya, menurutku itu omong kosong. Bagaimanapun juga, ngurus anak nggak akan bisa optimal kalau seharian kita di luar rumah. Bisa sih bisa, tapi dengan energi sisa. Bisa sih bisa, tapi ya ngurus seadanya. Susah ngejelasinnya kalau nggak mau memahami *silakan baca buku Mulai dari Rumah karangan Al Ghazali*.

It’s funny to realize that I used to be one of those feminists. Sejak dulu aku selalu berminat dengan isu keperempuanan. Siapa menyangka kini aku tak lagi sealiran dengan para feminis itu. Siapapun yang paham hakikat sesungguhnya Allah menciptakan perempuan, pasti akan sependapat denganku.

Blog Pribadi

Sekarang aku nggak lagi merasa nyaman nulis di blog ini. Gara-gara peristiwa ini, aku jadi merasa harus nulis yang senang dan yang baik saja dari kehidupanku. Nanti kalau aku nulis yang sedih dikit aja, ada yang protes lagi. Dibilangnya aku sebagai orang yang nggak bersyukur, yang selalu sedih dan mellow.

Hhhh, padahal sebenarnya siapa yang bisa melarang aku nulis apa aja? Ini kan blog pribadiku. Kalau aku nulis yang senang-senang aja, kalau aku pura-pura bahagia terus, apa malah nggak fake tuh? Tersenyum saat tertekan, tertawa saat hati menangis? *jadi ingat sms-nya Wiwit* Apa malah nggak bikin sakit jiwa tuh, bersikap palsu kayak gitu?

Tau nggak, derita jiwa *halah bahasanya* yang nggak dikeluarin itu bisa bikin sakit. Sebagai manusia, tentu ada hal-hal nggak enak, mana mungkin bahagia terus. Dan sebagai pemilik tunggal blog ini, seharusnya sah-sah aja kalau aku mau nulis yang sedih-sedih dong ya. Toh itu curhatku yang disalurkan lewat tulisan. Memangnya si pembaca yang protes itu bakalan mau nanggung kalau aku sakit jiwa?

Oke, oke... nggak perlu hiperbolis. Intinya, sekarang aku merasa nggak terlalu nyaman dengan blog ini. Sekarang aku punya blog rahasia yang bisa kutulisi sesuka hati, bahkan mengumpat pun nggak ada orang yang bakal protes hehehehehe. Nggak boleh pada tau, namanya juga rahasia.

Well, aku nggak suka sama orang yang palsu. Makanya aku nggak mau jadi seperti itu.

Sindrom

Masih inget dengan suasana hatiku (yang berimbas pada tulisan-tulisan di blog ini) yang cenderung kelabu pada masa kehamilanku? Yang akhirnya jadi rame karena ini. Waktu itu sering banget aku resah, gundah, nangis tanpa sebab, dan berbagai perilaku gloomy lainnya. Satu hal yang membuat terasa berat adalah ketakberdayaan menghadapi kehamilan sendirian. Butuh dukungan dan kehadiran suami di sisi. Pada waktu itu, mungkin ada di antara pembaca yang ngecap aku manja dan nggak mandiri.

Guess what, saat ini aku jauh dari semua perasaan itu. Sekarang ini rasanya lebih kuat dan nggak terlalu khawatir menghadapi dunia di luar sana sendirian. Nggak tahu deh kenapa bisa begitu. Karena udah jadi seorang bunda? Atau karena memang aku nggak lagi sendiri di rumah? *ada Hanif dan si mbak*

Satu lagi pertanyaan besar: apakah semua itu memang hanya sindrom yang dialami oleh seorang ibu hamil? Aku selalu tertarik dengan pembahasan sindrom-sindrom yang banyak dialami oleh perempuan, misalnya PMS dan baby blues. Lalu apakah pengalamanku itu salah satu dari sekian banyak sindrom? Apakah merasa tak berdaya, butuh dukungan, terus-terusan merasa khawatir, sensitif, dan gampang stres merupakan gejala-gejala sindrom ibu hamil?

Ada yang mau berkomentar?

Gaji PNS

Beberapa waktu lalu, seorang teman mampir ke Bandung. Teman ini bekerja sebagai PNS di lingkungan SekJen MPR. Obrolan tentang gaji PNS yang bermula di Pizza Hut berlanjut sampai ke rumah. Terusik oleh perbedaan yang sangat njomplang antara aku dengannya.

Temanku ini golongan II/d, tiap bulannya membawa pulang gaji lebih dari 7 juta rupiah. Jauh sekali bedanya denganku yang ”hanya” kurang dari 2 juta rupiah per bulan, meskipun bergolongan III/a. Oke, jadi di mana letak perbedaannya?

Kata dia, di tempatnya banyak tunjangan (waktu itu sempat dia sebutkan satu-satu, tapi sekarang aku lupa apa aja). Kalau nggak salah, ada tunjangan operasional kegiatan per hari senilai 130 ribu rupiah (kalikan aja jadi berapa per bulannya). Masih ditambah dengan ”uang lelah” untuk pekerjaan yang seharusnya memang ia digaji untuk itu. Jadi total take home pay-nya ya lebih dari 7 juta itulah. Lebih banyak daripada gaji pegawai swasta (yang berlevel staf) di Jakarta.

Pfff, di mana-mana gaji pokok PNS memang sama. Lalu apa yang melegitimasi tunjangan para PNS di rumah rakyat itu harus besar? Apa supaya mereka enggak korupsi? Atau karena beban kerja mereka memang lebih berat? Mikirin negara? *Jadi inget ucapan syaikhut tarbiyah Rahmat Abdullah di film Sang Murabbi. Ada yang lebih berat daripada mikirin negara, yaitu mikirin umat.*

Ketika obrolan tentang gaji semakin memanas dan aku curhat tentang dana riset instansiku yang sering dipotong oleh pemerintah, dia cuma berujar enteng, ”Habis kantormu miskin sih.” Aku cuma bisa tersenyum kecut.

Me-Time [2]

Selama dua bulan menjalani cuti melahirkan, aku selalu di rumah ngurusin Hanif. Hampir nggak pernah aku keluar rumah karena selalu was-was dan nggak tega ninggalin Hanif. Maklum, dia masih ASI eksklusif. Asupan tubuhnya cuma dari ASI. Jadi tiap kali keluar rumah, aku harus memastikan stok ASI di kulkas cukup. Nah, bagaimana kalau pas ditinggal dia kehabisan stok ASI? Nah, itu yang selalu bikin aku deg-degan tiap kali keluar rumah.

Minggu pertama aku kembali kerja, ada semacam euforia yang melegitimasi perasaan bebas dari keterkungkunganku di rumah. Akhirnya bisa juga aku jalan sendiri, begitu pikirku. Don’t get me wrong. Aku amat sangat menikmati hari-hari di rumah. Aku masih tetap pengen jadi ibu rumah tangga. Tapi ngurus anak bisa sangat melelahkan. Setiap hari aku capek dan kurang tidur karena Hanif bangun dan pipis sesuka hati, bahkan tengah malam sekalipun. Belum lagi kalau dia nggak mau tidur-tidur dan minta gendong terus. Makanya ketika akhirnya aku bisa keluar rumah, sejenak lepas dari Hanif, nggak bisa kupungkiri... ada sedikit kelegaan karena bisa ”beristirahat dari rutinitas”.

Minggu pertama aku kembali kerja itu pula, aku jalan sendiri ke Gramedia, Merdeka Arcade Factory Outlet, dan Hypermart BIP. Ceritanya aku lagi pengen punya me-time, meski sebenarnya ke Hypermart buat belanja kebutuhan Hanif juga. Pas di Gramedia sih masih asyik cari dan baca buku lama-lama. Tapi pas di Merdeka Arcade Factory Outlet dan Hypermart BIP, nggak sadar aku udah makin gelisah. Sebentar-sebentar lihat jam. Milih-milih dan nyoba baju jadi nggak fun lagi. Malah pas di Hypermart, aku hampir lari-larian ambil barang yang dibutuhkan aja. Nggak sempat lagi window shopping.

Ternyata me-time-nya nggak berhasil. Setelah punya anak, jarang-jarang aku jalan sendiri seperti ini. Niatnya pengen memanjakan diri sendiri, yang ada malah perasaan gelisah. Inget Hanif di rumah, bertanya-tanya apakah stok ASI masih cukup, dan sedikit merasa bersalah karena ninggalin dia. Huhuhu, jadi emak-emak gini emang susah ya ke mana-mana sendiri, udah punya ekor sih.

Hanif... cepetan gede, biar bisa ikut jalan-jalan sama Bunda :p

Wednesday, September 17, 2008

Me-Time [1]

Sebagai ibu dan istri, perempuan biasanya hampir nggak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan me-time. Apalagi kalau dia juga berkarir di luar rumah. Ketika di rumah, waktunya habis untuk ngurus anak dan suami. Ketika di luar rumah, waktunya habis untuk pekerjaan kantor. Anak, suami, dan pekerjaan kantor jadi prioritas utama. Alhasil, banyak perempuan yang lantas kehabisan energi untuk pay attention terhadap kebutuhan dirinya sendiri.

Perempuan macam ini adalah perempuan yang disebut Oprah sebagai ”woman who loses herself” atau ”woman who lets herself go”. This woman always puts herself after other things: her kids, her husband, her job, her social activities, etc.

Teri Hatcher dalam bukunya Burnt Toast juga membahas soal ini. Dari judul bukunya aja udah tersirat. Jika kita, para ibu, mendapati sebagian roti yang kita panggang gosong… bagian yang tidak gosong kita berikan pada anak atau suami, sementara bagian yang gosong --burnt toast-- dengan rela kita makan. Sounds familiar? Begitulah. Ini sebuah perumpamaan yang tepat untuk perempuan yang puts herself after other things.

Rasanya udah otomatis aja gitu ya, menempatkan hal lain selain diri kita (baca: anak dan suami) di atas kepentingan kita. Padahal itu nggak sehat lho. Biar bagaimanapun juga, diri kita juga butuh perhatian. Tidak, itu bukan sesuatu yang egois. Juga tak perlu perasaan bersalah.

Semua itu ibarat menyusui. Kalau asupan makanan kita baik, ASI yang kita keluarkan pasti berkualitas. Begitu juga kalau kita pengen melayani orang lain dengan baik, terlebih dulu kita harus melayani diri kita sendiri dengan baik. Bagaimana kita bisa memberi, sementara dari dalam diri kita nggak ada apa-apa untuk diberikan ke orang lain? Bagaimana kita bisa kasih cinta pada orang lain, sementara kita nggak pernah cinta diri kita sendiri? Bagaimana kita bisa kasih senyum ke orang lain, sementara kita nggak pernah senyum ke diri sendiri?

Nah, makanya... seorang perempuan wajib punya me-time. Karena seorang perempuan adalah sumber energi bagi lingkungannya *apa jadinya dunia bila nggak diurusi sama perempuan, coba?*, ia harus punya energi berlebih. Energi ini di-recharge lewat me-time. Terserah dia mau ngapain, yang penting me-time ini khusus buat memanjakan dirinya sendiri. Sekali lagi, itu bukan sesuatu yang egois. Juga tak perlu perasaan bersalah.

Mau shopping ke mall? Boleh. Mau baca buku atau majalah? Silakan. Atau pilih baca Qur’an dan nambah hafalan? Monggo. Suka-suka ajalah. Yang penting, ketika me-time usai dijalani dan rasa jenuh serta letih berangsur menghilang… jangan lupa untuk kembali ke realita. Karena dunia membutuhkan kita, para perempuan perkasa.

Tuesday, September 16, 2008

Senam Aerobik

Akhirnya, setelah berbulan-bulan berhenti senam, aku memulai lagi program senamku. Setiap Jumat di kantor memang ada senam, tapi cuma setengah jam. Kurang ah. Sekarang ini kan aku pengen lebih langsing, secara habis melahirkan ini beratku jadi 52 kg.

Jadilah aku berburu studio senam, mengingat Bulova, studio senamku dulu, lagi direnovasi dan entah kapan buka lagi. Sebenarnya di Sabuga juga ada, tapi kudengar di situ bukan studio khusus wanita dan kadang-kadang instrukturnya malah laki-laki. Kan enggak bebas ya kalau gitu. Alhamdulillah akhirnya ketemu studio senam Lohita di Dago.

Pertama kali ikut senam di Lohita, tanpa sadar aku langsung membanding-bandingkan dengan Bulova. Lohita ini lebih luas, tapi pesertanya juga jauh lebih banyak, jadi kesannya berjubel gitu. Hmm, sebenarnya nggak terlalu suka kalo berjubel gini. Mau gerakan menyamping jadi bentur sana sini. Trus gerakannya juga lebih heboh, jadi habis senam rasanya capek banget (atau karena aku baru saja mulai lagi ya???).

Sebenarnya semua senam aerobik itu tergantung instrukturnya. Ada orang yang cocok-cocokan sama instruktur atau suka sama instruktur tertentu. Kalau aku sih nggak pengen kayak gitu. Sebisa mungkin semua instruktur dicoba. Makin banyak instruktur, makin bervariasi gerakannya kan. Lagipula semua instruktur sama aja kok, sama-sama senam aerobik ini. Nah, di Lohita ini instrukturnya cuma Teh Dyan. Dibantu sama dua asistennya sih, tapi tetep aja instruktur utama kan Teh Dyan. Jadi gerakannya ya hampir gitu-gitu aja. Rada monoton.

Untuk saat ini, aku harus puas dengan Lohita. Tapi nggak apa-apa lah, yang penting tetep senam aerobik. Yang penting keringetan. Yang penting bugar dan sehat. Dan yang lebih penting lagiiiii... jadi makin langsing hehehehe.

“Kita Bertiga Sama-Sama Ya”

Ada satu postingan dari Afif yang bikin aku tertegun sedih. Afif ini teman mayaku yang tinggal di Norwegia. Sebulan setelah aku melahirkan, Afif juga melahirkan bayi cantik bernama Nadiyya. Ini kutipan postingannya.

Jadiii..sekarang tinggal kita bertiga nih...sang istri..suami dan anak bayi
dirumah ini...karena nggak punya baby sitter apalagi pembantu...jadilah kita
bekerja sama bertiga...

Istrinya menyusui...suami nya menggantikan
popok....trus nanti kalau suami udh pulang..sang istri masak..dan suami yg
ngejagain tuan putri dirumah ini...kalau memandikan tuan putri ini...berdua yang
mandiin...mas yang megangin Nadiyya dan aku yang ngelap dan bersiin Nadiyya..

Kalau lagi malem2 dan kerjaan udah beres semua...sambil gendong
Nadiyya...kita pelukan bertiga...walo cuma bertiga...dan harus kerja sama (kalau
kata mas sih...kerja sama ama Nadiyya nya...Nadiyya yang lapar..uminya yang
nyusuin...kalau Nadiyya basah..abinya yang gantiin popok hihi) daan sempet
sedih-sedihan ditinggal balik ke Indonesia sama mama papa...tapi kerasa banget
kerja sama nya...mudah2an bisa kompak selalu ya Allah..amien amien..

Kalau udah pelukan gitu...aku sama mas sambil tatapan bilang 'Kita
bertiga sama-sama ya'...

Terus terang, aku pengen seperti Afif. Meskipun jauh dari orang tua dan sanak saudara, masih tetap ada suami yang menemaninya mengasuh anak. Tetap bisa mesra-mesraan dan kompak sama suaminya. Nggak kayak aku yang setelah Hanif lahir jadi makin banyak beda pendapat *kalau nggak bisa dibilang bertengkar* sama suamiku.

Pfff, ada Hanif kok malah jadi makin stres.

Oh ya, aku juga bisa bilang “Kita bertiga sama-sama ya”. Tapi bilangnya bukan sama suami, melainkan sama si mbak pengasuh. Nggak banget :((

Kalau Bunda Bisa Memilih

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Tentu Bunda memilih bersamamu 24 jam
Menemani tidur dan bangunmu
Menjadi saksi tiap detik tumbuh kembangmu

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu mendekapmu
Menyanyikan lagu nina bobo untuk menidurkanmu
Dan bukannya meninggalkanmu di pelukan pengasuh

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu memandikanmu tiap pagi dan sore
Bukan terburu-buru pergi sebelum kau bangun
Dan pulang kelelahan setelah kau terlelap

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda memilih menyusuimu setiap saat kau ingin
Bukan memeras-meras ASI di kantor
Dan menghadapi kenyataan bahwa kau harus menyusu dari botol

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu ada untukmu
Menenangkan tangismu dan tertawa bersamamu
Selalu bisa membelai dan menciummu

Maafkan Bunda, Nak...

*ditulis dengan segunung perasaan sedih dan bersalah*

Monday, August 18, 2008

Sunday, August 17, 2008

Kembali Bekerja


Nggak terasa sudah dua bulan aku di rumah. Waktunya kembali ke kantor. Hanif udah gendut sekarang. Mungkin udah 5 kg, aku belum tahu karena belum timbang berat badan dia lagi. Tapi kalau melihat progresnya yang naik 200-300 gram per minggu, harusnya sekarang dia udah 5 kg.

Rasanya berat sekali meninggalkan Hanif di rumah. Bukannya nggak percaya sama Mbak Sur, pengasuhnya. Tapi lebih karena perasaan bersalah nggak bisa bener-bener full ngasuh dia. Apalagi sekarang ASI-ku rada berkurang. Dulu pas awal-awal Hanif lahir, ASI-ku banyak banget, sampai netes-netes. Tapi sekarang nggak gitu lagi, sedihnya. Aku jadi pesimis bisa kasih ASI eksklusif sama Hanif, padahal aku pengen banget. Mungkin, stres karena mau balik kerja ini juga ngaruh ke produksi ASI-ku.

Ditambah, ada rasa cemburu melihat dia digendong dan didekap Mbak Sur. Dulu-dulu dia kan 24 jam selalu sama aku, selalu di sisiku. Sekarang melihat dia bersama orang lain rasanya cemburu banget. Takut kalau nanti dia malah jadi lebih terbiasa sama Mbak Sur. Apalagi Mbak Sur tuh dikit-dikit ambil Hanif dari aku. Yah, aku sih positive thinking aja. Mbak Sur memang digaji buat ngasuh Hanif aja, di luar nyuci dan bersih-bersih yang udah di-handle sama Mbak Nunung. Jadi mungkin dia ngerasa tanggung jawab buat selalu pegang Hanif. Tapi kan nanti aku jadi jauh sama Hanif kalau dia jarang sama aku. Aku takut kalau aku bilang gitu ke Mbak Sur, dikiranya aku nggak percaya sama dia. Serba salah.

Hhhh, banyak ketakutan dan kekhawatiran yang membayangi langkah ini kembali ke kantor. Stres banget. Kemarin aku nangis mikirin semua ini. Ternyata kayak gini to rasanya kena sindrom baby blues. Blue melulu.

Pengen di rumah ajaaaaaa...

Pengen terus sama Haniffff....

Foto: Hanif pas usia 6 hari (kiri) dan usia 48 hari (kanan).

Pulang ke Solo


Awalnya sih untuk menghadiri acara ngundhuh mantu pernikahan Mas Didik – Mbak Mita. Tapi akhirnya malah sekalian menghabiskan masa cuti melahirkan. Jadilah dari 18 Juli s.d. 10 Agustus aku dan Hanif “mengganggu“ kehidupan Mami, Papi, dan Yesti di Solo :)

Menyenangkan sekali hari-hari kami di Solo. Jauh dari perasaan sepi dan sendiri yang kulalui di Bandung *ya iyalah, setelah Hanif lahir dan mertua tak lagi menunggui, aku kan cuma luntang-lantung sendirian sama Hanif di Bandung*. Untung aku memutuskan pulang ke Solo.

Sehari-hari Mami, Papi, dan Yesti membantu menggendong-gendong Hanif. Senangnya melihat mereka akrab sama Hanif. Mami dan Papi suka sekali cucunya ini tinggal di Bandung. Hanif dicium-cium terus sama Mami. Kalau Yesti malah lebih intens lagi. Nggak cuma mencium dan gantian menggendong, dia juga terlibat dalam hampir semua kegiatan Hanif: ganti popok, ganti baju, mandi, dll.

Ah, sekarang mereka pasti merasa kehilangan Hanif. Terutama Yesti tuh. Sehari sebelum pisah, nggak henti-hentinya dia mencium Hanif.

Mami, Papi, Yesti... we’ll be back soon. Until we meet again.

Akad Nikah dan Resepsi Pernikahan Mas Didik – Mbak Mita


Kakakku Nikah!


Alhamdulillah akhirnya Mas Didik, kakakku tersayang, mengakhiri masa lajangnya juga :)

Sabtu pagi, 5 Juli 2008, akad nikah berlangsung di kediaman Mbak Mita di Kompleks PRV, Gegerkalong, Bandung. Malamnya, resepsi dilaksanakan di gedung La Veranda, Kompleks PRV. Konsep resepsinya outdoor di pinggir kolam renang. Nice!

Sabtu malam, 19 Juli 2008, diselenggarakan acara ngundhuh mantu di Gedung Wanita, Solo. Gara-gara ini aku bersikeras pulang ke Solo. Nekat juga bawa Hanif perjalanan jauh, mengingat usianya saat itu baru 32 hari.

Mas Didik – Mbak Mita, barakallahu laka wa baraka ’alaika wa jama’a bainakuma fi khair. Lekas kasih ponakan yaaa ;)

Foto: Mereka berdua pas foto-foto prewedding.

Wednesday, July 09, 2008

Suami Terbaik


Sejak awal aku menikah, aku sudah sadar sepenuhnya kalau aku menikahi orang yang benar-benar sayang dan baik padaku *hehehe, bukan GR lho*. Makin hari, kesadaran ini makin nyata. Terutama ketika aku hamil. Meskipun terpisah jarak dan waktu, hal itu tak pernah menghalanginya untuk "melayaniku". Dia selalu dengan senang hati peduli padaku, memijat punggungku, membuatkan aku susu, mengupaskan buah, menyuapiku makan, mengambil alih pekerjaan rumah tangga, dan seabrek kebaikan lainnya.

Ketika aku melahirkan, suamiku juga mengantar, menunggui, dan menguatkan di kala aku kesakitan. Mungkin ini terdengar seperti komitmen yang biasa dilakukan seorang suami. Tapi sungguh, dia tampak seperti pahlawan di mataku karena mendampingi aku dari awal hingga akhir.

Ketika aku dan Hanif pulang ke rumah, sikap pahlawannya pun bertambah-tambah. Dia masih dengan senang hati peduli padaku, memijat punggungku, membuatkan aku susu, mengupaskan buah, menyuapiku makan, dan mengambil alih pekerjaan rumah tangga. Dia juga selalu jadi yang pertama bangun ketika Hanif menangis malam-malam, mengganti popok, atau menggendong Hanif kepadaku untuk kususui. Benar-benar breastfeeding father sejati.

Yang paling menggembirakanku adalah... dia pendukung utama program ASI eksklusif-ku. Padahal dulu aku pernah sangsi. Dia-lah orang yang meyakinkanku bahwa aku bisa memberi ASI eksklusif pada Hanif di saat orang-orang meragukan, bahkan di kala aku sendiri hampir menyerah: akan memberi Hanif susu formula ketika harus kutinggal dua hari satu malam untuk acara pernikahan kakakku.

Ah, andai suamiku selalu ada di sampingku untuk bersama-sama mengasuh, merawat, dan membesarkan Hanif. Bahkan kala aku cuti melahirkan seperti saat ini, aku masih tak bisa serumah dengannya. Karena sesuatu dan lain hal, terpisah jarak Jakarta-Bandung masih menjadi kenyataan yang harus dijalani.

Tapi aku tak boleh mengeluh. Hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan mengeluh. Apalagi kini, setelah pangeran kecilku yang tampan hadir menemani hari-hariku. Meskipun kini waktuku dan suami habis untuk Hanif, meskipun kini kami tak leluasa pacaran seperti dulu *hehehe*, semoga kemesraan suamiku dan segala kebaikannya tak pernah berkurang. Justru makin bertambah-tambah. Thanks to Allah for giving me the best husband on earth. Alhamdulillah.

Cerita Persalinan


Pengen sharing sedikit soal kelahiran Hanif. Alhamdulillah, prosesnya lancar dan terbilang cepat untuk ukuran anak pertama. Hitung aja: aku masuk RS St. Borromeus kira-kira pukul 18.00 dan pada pukul 23.25 Hanif udah lahir. Kurang dari enam jam. Berikut kronologisnya.

16 Juni 2008

10.00-11.00
Aku lagi nonton Oprah Winfrey Show sambil main The Sims 2. Jumat sebelumnya aku udah dapat installer game ini *thanks to Nana*. Karena HPL Hanif masih tanggal 26 Juni, kupikir aku masih punya waktu lumayan banyak untuk menjajal game favoritku ini. Tapi pas aku main, kok kerasa pegel-pegel di punggung belakang dan sedikit sakit perut.

11.00
Aku beranjak ke kasur. Kupikir istirahat akan cukup untuk membuat pegel-pegel itu hilang. Tapi kok makin teratur sakit perutnya. Inikah yang namanya kontraksi? Kulihat jam di HP. Masih 12-14 menit sekali.

12.00
Flek-flek udah muncul. Mulesnya jadi 10 menit sekali. Aku telepon Mas Catur, ngabarin. Dia nanya itu kontraksi beneran atau nggak, kujawab aja nggak tahu. Ya iyalah, kan belum pernah melahirkan.

13.00
Mas Catur telepon. Nanyain masih kontraksi atau nggak. Aku jawab iya. Dia siap-siap berangkat ke Bandung. Aku siap-siap packing barang-barang yang mau dibawa ke rumah sakit.

14.00
Masih sempat nyuci dan mandi. Trus tiduran sambil nunggu Mas Catur datang. Masih santai-santai aja. Kupikir: ah, anak pertama ini, paling-paling pembukaannya lama. Masih males pergi sendiri ke rumah sakit. Nunggu Mas Catur aja. Dia lagi on the way.

16.30
Mas Catur telepon, katanya udah hampir sampai di Padalarang.

17.30
Mas Catur sampai di rumah, naik taksi dari Pasir Koja. Pakaiannya basah kuyup, katanya di Pasir Koja ujan deres. Habis ganti baju, kita berdua berangkat ke rumah sakit.

18.00
Resmi masuk rumah sakit. Mas Catur ngurus registrasi. Aku diperiksa. Baru pembukaan dua. Denyut jantung bayi juga diperiksa. Makan malam diantar ke kamar *laper banget euy*.

19.00
Udah selesai makan malam. Denyut jantung bayi dimonitor tiap jam. Siap-siap melahirkan. Kontraksi udah makin kuat aja.

21.00
Kontraksi makin kuat, makin sering, dan makin sakit. Tiap kali kontraksi datang, aku menggenggam tangan Mas Catur kuat-kuat.

21.30
Sakit banget rasanya. Aku merintih-rintih. Sama suster diperiksa. Udah pembukaan lima. Aku disuruh pindah ke kamar bersalin.

22.30
Hehehe, ternyata aku tuh nggak tahan sakit ya. Tiap kali kontraksi datang, aku teriak. Nggak tahu udah kayak apa tampangku saat itu.

23.00
Sakiiiitttt bangetttt. Udah pengen mengejan terus. Sama suster diperiksa lagi. Udah pembukaan sembilan. Suster manggil dokter. Alat-alat persalinan disiapkan.

23.15
Perjuangan dimulai. Antara sadar dan nggak sadar. Sakitnya nggak tertahankan. Kayaknya ketuban mulai pecah.

23.25
Aku mengejan kuat-kuat. Bagian bawahku terasa panas. Aduh, digunting deh, pikirku *hehehe, masih sempat mikir*. Sampai akhirnya aku denger Mas Catur menyebut hamdalah dua kali. Oh, bayiku udah lahir. Tangis kerasnya segera kedengeran. Proses selanjutnya berlangsung cepat di mataku. Aku kelelahan dan kewalahan mengikuti gerakan-gerakan cepat di sekitarku. Bayiku diperiksa, dibersihkan jalan nafasnya, dilap badannya, diletakkan di atas dadaku, sambil dokter menjahit bagian bawahku *dijahit ini sakit juga, weww*. Mas Catur mengadzani si bayi. Lalu suster ambil kamera, jepret-jepret untuk mengabadikan momen *foto di atas itu salah satu hasil karya sang suster*.

17 Juni 2008

01.30
Semuanya beres. Aku selesai dimandikan. Bayiku dibawa ke kamar bayi. Aku diantar ke kamar rawat inap.

01.45
Sampai di kamar, rasanya pengen tidur. Capek banget. Mas Catur nonton Euro sambil menunggui aku.

Penutup

Semua proses yang telah kujalani bikin aku tambah sayang sama Mami. Kebayang seperti apa dulu perjuangan beliau membawaku lahir ke dunia. Tak lupa mengucap syukur pada Allah, karena tanpa Dia, segala hal tak akan semudah dan selancar ini.

Seminggu pertama Hanif di rumah, Mami datang dari Solo dan membantuku beradaptasi merawat Hanif. Ketika Mami pulang, suara beliau tercekat dan aku tahu beliau berkaca-kaca. Dan seperti biasa, Mami berusaha menutupinya. Belakangan aku tahu dari Yesti kalau sebenarnya beliau nggak tega ninggalin Bandung, ninggalin cucu pertama beliau... Mami sayang, terima kasih atas segalanya. Penghargaan tulusku setinggi-tingginya untukmu. I love you even more and more and more...

Monday, June 09, 2008

Kehamilanku


Sembilan bulan itu hampir berakhir. Pas aku nulis ini, usia kehamilanku 37 minggu jalan ke 38 minggu. Berarti kira-kira dua sampai tiga minggu lagi aku akan menyandang status sebagai bunda. Jadi perempuan, lalu istri, dan akhirnya bunda.

Fiuhhh, benar-benar nggak kerasa lho perjalanan sembilan bulan ini. Rasanya baru kemarin aku mewek karena nggak kunjung-kunjung hamil. Rasanya juga baru kemarin aku tersenyum-senyum melihat hasil testpack yang positif. Pengen flashback sebentar ah.

Kehamilan bulan pertama dan kedua kujalani dengan sembarangan. Hehehe, habis waktu itu nggak tahu kalau udah hamil. Bulan-bulan itu ada flek-flek yang keluar, jadi kukira aku masih haid aja. Tapi kok mual dan muntahnya nggak karu-karuan. Dan sebelumnya udah testpack juga, hasilnya negatif.

Mual dan muntah semakin berlanjut. Testpack kedua dijalani. Positif! Langsung bangunin suami untuk kasih tahu. Aku nggak akan pernah lupa ekspresinya waktu itu. Lebih kepada ekspresi tertegun daripada ekspresi bahagia. Maklum, waktu itu suami pengen aku punya pekerjaan dulu baru punya anak. Mungkin dia agak kecewa *sigh*.

Akhirnya pada 26 November 2007, aku periksa ke dokter untuk pertama kalinya. Ketemu sama dokter kandungan yang baik dan sabar banget, enak plus perhatian, namanya dr. Piliansjah Thomas, SpOG. Kaget juga waktu dikasih tahu kehamilanku udah 10 minggu. Fiuhh, ke mana aja, Buuuu. Untung bayiku sehat. Padahal dua bulan pertama itu aku pontang-panting cari kerjaan ke Jakarta, naik bus pagi-pagi, kadang nggak sarapan, dan sering makan sembarangan. Masya Allah.

Bulan-bulan selanjutnya aku masih periksa ke dr. Piliansjah Thomas, SpOG... tapi pindah ke tempat prakteknya di R.S. Siloam International, Lippo Cikarang. Deket rumah banget tuh. Layanan dan fasilitas rumah sakitnya oke. Aku dulu selalu mengira akan melahirkan di sini. Ternyata Allah berkehendak lain.

2 Februari 2008 (kehamilan 20 minggu), aku pindahan ke Bandung. Meninggalkan segala kenangan di Cikarang dengan perasaan campur aduk. Waktu itu aku nggak bisa dibilang bahagia, meskipun keterima kerja sebagai pegawai negeri, karena aku nggak bisa ngebayangin bakal hidup sendirian di Bandung, tanpa keluarga dan tanpa suami, dalam keadaan hamil pula. Maka bulan-bulan awal di Bandung hampir tiap hari kulalui dengan menangis... kangen suami, merasa kesepian, tak berdaya, dan butuh dukungan.

Lambat laun aku nggak lagi gloomy. Meskipun sampai detik ini aku masih berjuang menemukan jawaban dari pertanyaan ”kenapa aku musti bekerja?”, meskipun sampai sekarang kantor dan pekerjaan belum juga berhasil menarik minatku... alhamdulillah aku udah bisa tersenyum. Yah, mungkin ada hikmah di balik ”dipisahkannya” aku dari suami. Hikmah itu yang sampai sekarang masih berusaha kukais terus *tapi belum ketemuuuu*.

Trimester kedua adalah masa kehamilan yang paling menyenangkan. Mual dan muntah udah jauh berkurang dan kandungan belum terlalu berat. Meskipun kondisi psikologis carut marut, sesungguhnya semua serba dimudahkan oleh-Nya. Semua hal berjalan sebagaimana mestinya. 5 April 2008 (kehamilan 29 minggu), aku mulai periksa ke dr. Eddy Haswidi, SpOG di R.S. St. Borromeus, Bandung. Dokternya sebenarnya baik, tapi sayang kalau meriksa cepet banget karena pasiennya banyak.

Memasuki trimester ketiga, aku ikut Diklat Prajabatan. Baca kisahnya di sini. Aku mulai ikut senam hamil di R.S. St. Borromeus. Aku udah menjatuhkan pilihan, insya Allah akan melahirkan di sini. Nah, trimester ketiga ini yang paling berat. Jalannya udah berat karena kandungan makin berat. Mau cari posisi tidur yang enak pun sulit karena perut udah gede.

24 Mei 2008 (kehamilan 35 minggu), aku periksa lagi. Dokter bikin reaksi yang sedikit mengejutkan, mukanya tampak kuatir karena posisi bayiku masih juga belum bener. Bukan sungsang, agak melintang tepatnya. Kepala sih udah di bawah, tapi masih miring ke kiri. Padahal *katanya* usia segitu kepala udah harus masuk ke rongga panggul. Sama suster aku dibilangin supaya nungging dua kali sehari, masing-masing 15 menit. Orang-orang pada nuduh aku nggak banyak jalan, padahal aku suka jalan pagi dari rumah ke kantor lho. Aku juga dirujuk ke bagian USG untuk USG lengkap.

5 Juni 2008 (kehamilan 37 minggu), bayiku di-USG lengkap, mulai dari kepala, spinal, thorax, abdomen, jantung, bla bla bla, dan banyak lagi (nggak ngerti aku istilah medisnya). Alhamdulillah semua baik, senangnya. Posisi kepala udah pas. Detak jantungnya bagus. Aliran darah dari plasenta ke bayi dan sebaliknya juga lancar. Beratnya 2,8 kg. Pokoknya semua baik. Alhamdulillah. Jadi pas kontrol ke dr. Eddy Haswidi, SpOG tanggal 7 Juni kemarin, tinggal cek-cek sebentar terus pulang deh. Lega.

Masuk kerja tinggal seminggu lagi. Perlengkapan bayi udah dibeli semua. Sekarang tinggal nunggu lahiran. Kemarin aku sempat beli buku soal persalinan dan menyusui, juga soal serba-serbi bayi baru lahir. Hihihihi, habis baca itu kok malah jadi takut. Ngeri aja ngebayangin sakitnya. Allah, mudahkanlah dan lancarkanlah segalanya.

Satu hal yang masih jadi ganjalan di pikiranku, ke mana ya aku harus cari babysitter buat bayiku nanti? Aku nggak mau cari sembarangan, secara sekarang ini banyak cerita serem soal pengasuh. Yang menganiaya anak lah, yang bawa kabur anak lah, yang ngurung anak sementara dia pacaran di luar lah... bikin paranoid aja.

Minta doa dari semuanya yaaaa... Semoga persalinan dan pasca-nya bisa berjalan mudah dan lancar. Aminnn.

Foto diambil dari sini.

Tuesday, June 03, 2008

Mantan

Siang tadi ada yang menyapaku via Yahoo Messenger. Guess who? Yup, tak lain adalah mantan pacar suami. Perempuan ini nih, pernah bikin aku sebel setengah mati. Soalnya dulu dia masih suka hubungin suami via HP, pake kata-kata sayang pula. Akhirnya berhenti juga, setelah aku omelin dengan kata-kata yang rada kasar *hiks, seandainya aku nggak seemosi itu... habis dianya juga sih...*.

Entah kenapa, meski masa-masa itu udah lama berlalu, sampai sekarang aku masih aja bete kalau teringat dia. Sontak perasaan sebel itu muncul lagi, padahal udah pengen banget melupakan. Apalagi kalau dia udah mulai nyinyir nanya-nanya kabarku dan suami via YM kayak tadi siang. Pengen nimpuk aja tuh perempuan pakai sandal.

Sebenarnya satu hal yang paling bikin aku sebel adalah: ada satu kata-katanya yang bener *baca ini*. Suamiku itu ternyata seneng lihat pertandingan basket, satu hal yang dulu aku nggak tahu *hiks, jadi ngrasa nggak mengenal suami sendiri*. Masih nggak paham? Makanya baca ini. Hal itu bikin aku sebelllll bangetttt, sampai-sampai sekarang kalau suamiku lihat pertandingan basket, aku jadi ingat perempuan itu dan ujung-ujungnya... jadi bete deh.

Hiks hiks, kenapa ya aku masih kayak anak kecil (baca: belum bisa bersikap dewasa) kalau berhadapan dengan perempuan itu? Selalu aja pengen nimpuk.