Anak adalah amanah, tentu semua orang tahu. Tapi ternyata tidak semua orang paham bagaimana men-treatment anak semenjak usia dini. Tak terkecuali saya. Empat tahun berkubang dalam buku-buku bertema pernikahan (huehehe…), membuat saya merasa harus berkata, “Cukup. Kini beralih ke fase berikutnya.”. Meski ilmu tentang pernikahan tak ada habisnya, melihat teman-teman sebaya sudah mulai menimang momongan, mau tak mau saya merasa butuh juga mengintip dunia futuristik berjudul “dunia anak” itu.
Menjadi kakak dari seorang adik yang usianya terpaut sepuluh tahun ternyata membawa keasyikan tersendiri dalam urusan intip-mengintip ini. Bagaimana tidak, perkembangan adik dari tahun ke tahun termonitor dengan cukup jelas. Lumayan asyik juga mengamati bagaimana pendidikan yang diberikan kedua orang tua kepada adik. Bahkan saya juga turut andil bereksperimen dalam pendidikan itu (hehehe, ngaku-ngaku...).
Eksperimen yang paling berhasil saya lakukan adalah menumbuhkan minat baca adik. Saya pernah membaca (entah di mana), bahwa anak yang terbiasa berinteraksi dengan buku sejak usia dini, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi cerdas. Maka sejak adik memasuki bangku sekolah dasar, dengan semangat empat lima saya selalu rutin menghadiahi buku-buku. Tentu buku-buku itu disesuaikan dengan perkembangan usianya: mulai dari buku-buku bergambar, buku cerita berhuruf besar, sampai --kini usia adik hampir tiga belas-- novel-novel tebal.
Hasilnya? Luar biasa. Minat baca adik melebihi minat baca saya kala seusianya. Harry Potter 5 habis dilahap hanya dalam tempo tiga hari. Kalau buku-buku bacaannya sudah terbaca semua, maka ia akan beralih ke surat kabar langganan bapak saya. Bahkan Kompas yang bagi sebagian orang merupakan surat kabar yang “berat”, buat adik saya sudah menjadi bacaan selingan selain novel-novelnya. Kini ia sudah memiliki buku tulis yang sudah disulap menjadi buku kumpulan cerpen dan puisi yang ditulisinya untuk menuangkan imajinasi.
Yang lebih menggembirakan lagi, minat belajar adik juga tinggi (kalau ini sih akibat treatment dari orang tua yang notabene memang praktisi pendidikan). Ia rajin sekali mengerjakan lembar-lembar soal LKS, beberapa kali lipat lebih jauh dari yang ditugaskan oleh sang guru. Tanpa disuruh, ia kini sudah terbiasa mematikan televisi dan beranjak ke meja belajar selepas maghrib. Subhanallah, jauh lebih rajin daripada si kakak ini, hehehe…
Beberapa waktu lalu, Kompas memuat sebuah feature tentang pendidikan prasekolah. Artikel itu mematahkan anggapan bahwa lembaga pendidikan prasekolah yang baik harus serba mahal. Di situ dikisahkan tentang Salam (Sanggar Anak Alam) di kampung Nitiprayan, Kabupaten Bantul. Dengan kesederhanaan, lokalitas, dan persahabatan dengan lingkungan, Salam mampu menawarkan pendidikan yang menarik bagi anak usia prasekolah.
Jangan bayangkan Salam memiliki fasilitas permainan edukatif import, peralatan multimedia, atau program bahasa asing mutakhir. Salam sangat sederhana. Jalan menuju ruang depan yang digunakan sebagai sekolah hanyalah jalan setapak dari bambu. Di depan sekolah terhampar sawah milik penduduk. Sebagian besar kegiatan belajar dilakukan di lantai beralas karpet. Alat-alat permainannya pun sangat sederhana.
Yang membuat saya tertarik adalah: buku menjadi menu utama dalam kegiatan belajar Salam (nah lho, buku lagi kan...). Dalam pertemuan selama dua jam, anak-anak mendengarkan guru mendongeng dan membacakan buku cerita, menggambar, bermain, atau bernyanyi. Sebagaimana halnya bapak saya, Salam tidak memaksakan anak harus bisa menulis dan membaca pada usia prasekolah ini. Bapak saya selalu bilang, adalah salah jika orang tua terlalu menargetkan: anak usia sekian harus bisa ini, harus bisa itu. Biarkan saja semua mengalir menurut perkembangan usianya. Tidak ada gunanya pula anak diperkenalkan pada hal-hal yang serba modern dan global, tetapi tidak mengenal identitas lokal.
Ada hal lain yang membuat saya tertarik pada Salam. Lembaga pendidikan prasekolah berbasis komunitas ini juga menggunakan model pembelajaran alami. Setiap Sabtu (kegiatan belajar hanya tiga kali sepekan) seluruh kelas digabung dengan acara ke sawah dan berkebun. Pemandangan yang mengesankan ketika anak-anak itu takjub saat mencabut tanaman kacang dan menemukan kacang tanah bergelantungan di bagian akar. Asyiknya lagi, uang sekolahnya sukarela, rata-rata Rp 15.000 tiap bulan. Sejumlah sukarelawan mengajar tanpa memperoleh bayaran.
Membaca fenomena Salam mengingatkan saya pada Tomoe Gakuen, sekolah Totto Chan yang terkenal itu. Saya bahkan mau mengajar sukarela di sekolah-sekolah seperti itu, yang benar-benar memperhatikan aspek pendidikan anak tanpa sisi komersial. Seperti itulah seharusnya sekolah: ia dibangun atas dasar kesadaran akan pentingnya pendidikan anak semenjak usia dini.
Hehehe... serius amat ya, artikel saya kali ini. Mungkin ini akibatnya kalau terlampau sering berdiskusi dengan ibu-ibu muda, serta beberapa kali ikut seminar pendidikan anak. Ah, tak apa. Sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan yang dapat melindungi anak-anak kita dari dunia yang makin rusak. Toh itu semua, kelak juga demi anak-anak saya tercinta...