Sunday, November 30, 2014

Destinasi Batam-Singapura Hari I: Golden Prawn

Suatu hari di minggu pertama bulan November, suamiku mengabari kalau dia akan dinas ke Manado. Dengan semangat dia mengajakku dan anak-anak untuk ikut serta. Sedianya awal minggu itu setelah dinas di Surabaya hari Senin, kemudian dinas di Pontianak hari Selasa hingga Rabu, dia akan terbang untuk dinas di Manado pada Kamis sampai akhir pekan. Wah sudah terbayang segarnya laut Bunaken tempat kami akan snorkeling nanti. Namun seketika itu juga aku langsung terbayang repotnya traveling hanya bertiga dengan anak-anak untuk menyusul suami, plus memikirkan load pekerjaan di kantor yang bisa ditinggal atau tidak. Dengan segala kerepotan yang terbayang di benak, tak pelak ada ragu-ragu yang melintas sejenak. Apalagi suami masih menundaku untuk hunting tiket karena menunggu kepastian perjalanan dinas dari kantornya.

Sementara menunggu kepastian dari suami, aku berselancar di dunia maya dan bertanya ke beberapa orang untuk menyusun itinerary yang dirasa asyik untuk dilakukan di Manado. Rabu, 5 November, beberapa agenda sudah berhasil aku rencanakan dan aku sudah mulai hunting tiket. Tiba-tiba suami mengabari kalau dia tak jadi dinas ke Manado, malah disuruh dinas ke Batam. Suami menyuruhku untuk menyusul ke Batam dan bahkan merencanakan untuk menyeberang ke Singapura. Alasannya, dia ingin mengajak anak-anak merasakan pengalaman baru naik MRT, sekaligus menjajal paspor yang aku dan anak-anak peroleh di awal tahun.

Waw, kalang kabut deh. Dua hari lagi kami sudah harus terbang, itinerary belum disusun (jangankan itinerary, browsing saja belum dilakukan!), dan aku belum tentu mendapat izin atasan untuk bolos di hari Jumat. Suamiku menyanggupi untuk mengambil alih urusan hunting tiket. Ada rute langsung Bandung-Batam yang ditawarkan oleh Lion Air saat itu. Okelah, sedikit mengurangi beban, jadi aku bisa fokus untuk mencari informasi mengenai tempat-tempat main yang asyik di Singapura.

Alhamdulillah atasan memberi izin dengan mulus. Ketika konfirmasi ke suami, alangkah kagetnya aku karena ternyata suami salah memilih tanggal keberangkatan. Untung baru booking, belum dibayar. Dan untungnya aku ricek dulu, kalau tidak, bisa-bisa peristiwa Lombok terjadi lagi *geleng-geleng kepala*. Saat akan membeli tiket untuk kedua kalinya, ternyata tiket Bandung-Batam sudah terjual habis. Hiks, itu berarti kami harus berangkat dari Jakarta, meskipun kalau dihitung-hitung, tiketnya lebih murah (sudah termasuk tiket travel) dengan maskapai Garuda yang tentu lebih baik. Ya sudahlah, daripada tak bisa berangkat.

Jumat, 9 November 2014


Dari rumah, aku dan anak-anak berangkat dengan taksi. Travel Bandung-Soekarno Hatta yang membawa kami, berangkat tepat pukul 08.00. Tadinya aku deg-degan harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan beberapa moda transportasi, hanya bertiga dengan anak-anak, tapi aku memberanikan diri. Alhamdulillah anak-anak sangat kooperatif. Mereka tidur cukup lama, dan ketika bangun kemudian asyik melihat-lihat pemandangan di luar jendela sambil mengudap. Satu hal yang paling kusyukuri adalah memiliki anak sulung seperti Hanif. Dia kakak yang sangat ngemong dan bertanggung jawab. Bisa menjaga adiknya dengan baik ketika kutinggal sebentar ke kamar mandi atau ketika check in di bandara. Sementara Dek Abi tipe yang suka keluyuran dan senang mengerjai kakaknya. Dia selalu berusaha kabur dari kakaknya sambil bertualang ke sana kemari memuaskan rasa ingin tahunya. Duh, resiko cuma pergi dengan anak-anak ya seperti ini deh, mesti cepat-cepat menyelesaikan urusan, tak bisa meleng, dan harus ekstra keras mengawasi dua anak laki-laki yang cukup aktif itu.

Menanti panggilan boarding

Kami sampai di Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.00. Setelah check in, aku mengajak anak-anak makan siang dulu, karena pesawat kami baru berangkat pukul 14.10. Sambil menunggu, mereka asyik mengawasi kesibukan kegiatan di bandara dan melihat pesawat cukup dekat dari balik kaca. Wah, mereka senang sekali. Setelah panggilan boarding menggema, kami masuk ke pesawat dengan antusias. Lagi-lagi Dek Abi tak mau duduk sendiri, seperti biasa. Kami harus merelakan kursi-yang-dibayar-penuh itu kosong tak berpenumpang. Tak apalah, yang penting anak-anak tidak rewel. Mereka menikmati penerbangan, sementara bundanya yang takut terbang ini deg-degan sepanjang perjalanan :D

Di dalam pesawat

Setelah mendarat di Bandara Hang Nadim pukul 16.00 lebih, aku langsung mencari musholla dan mengontak suami. Rupanya suami baru bisa menjemput sejam kemudian. Tak apalah, daripada harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendirian. Betapa leganya aku ketika melihat suami. Rasa waswas karena pergi cuma bertiga dengan anak-anak seketika lenyap sudah. Ah you really complete me. Setelah itu sopir kantor segera mengantar kami menuju Hotel Harris di Batam Center. Lokasinya tepat bersebelahan dengan pelabuhan Batam Center yang akan kami pakai sebagai tempat menyeberang ke Singapura esok paginya.

Golden Prawn


Selepas maghrib, aku mengusulkan untuk menjajal restoran seafood terkenal di Batam yang direkomendasikan oleh seorang teman. Namanya Golden Prawn, terletak di Bengkong Laut. Kami berkendara sekitar tiga puluh menit, diantar oleh sopir kantor. Bengkong Laut adalah wilayah Bengkong yang paling ujung. Dalam peta, wilayah Bengkong Laut sebenarnya dekat dengan daerah Batam Center, pusat kota. Namun, tidak ada jalan masuk lain selain masuk melewati jalanan Bengkong yang nyaris tanpa rambu lalu lintas. Posisinya akan berakhir jauh dari mana-mana. Meskipun jauh, wilayah Bengkong Laut ini tak pernah tak dianggap. Ribuan turis datang hampir setiap bulan. Masyarakat dari seluruh belahan Batam datang berkunjung. Alasannya untuk menikmati seafood, as simple as that.

Aku membaca di sini bahwa yang harus dilakukan begitu sampai di restoran ini adalah memesan. Abaikan sejenak pemandangan langit dan laut yang terhampar luas di kejauhan. Simpan hasrat melihat ikan sampai pelayan mencatat pesanan. Mengapa? Karena lama! Butuh waktu hingga tiga puluh menit untuk menunggu masakan jadi. Tergantung banyak tidaknya pesanan. Golden Prawn akan langsung menyediakan semua pesanan dalam satu waktu. Tidak satu per satu. Kelebihan ikan Golden Prawn terletak pada kesegaran ikannya. Ikan-ikan disimpan dalam keadaan hidup.

Ketika kami memasuki restoran, seorang pelayan sigap menyambut dan mengarahkan kami ke kolam-kolam kecil di bagian depan restoran tempat ikan hidup disimpan. Konon salah satu tips untuk menyantap hidangan lezat di sini dimulai dari pemilihan ikan, udang, kerang, dll. yang kita lakukan sendiri. So, datangi kolam-kolam kecil itu dan jangan hanya duduk menunggu ikan dipilihkan. Ikan yang ditangkap pelayan kemudian akan ditimbang, lalu kita memilih menu bagaimana ikan itu akan dimasak. Kita juga bisa meminta saran agar seafood yang kita minta sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita menikmatinya.

Memilih ikan

Sambil menunggu seafood dimasak, kami berjalan ke area restoran yang luas dan lapang untuk memilih tempat duduk. Kursi-kursi disusun mengelilingi meja bundar, 7-10 kursi untuk satu meja. Meja dan kursinya tidak terlalu bersih, mungkin jarang dilap kalau tidak dipakai pelanggan. Malam itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung di beberapa spot. Restoran ini mempunyai konsep terbuka dengan banyak bukaan menghadap laut, bangunannya dibuat mengapung dan di bawahnya ada kolam dengan banyak ikan. Saat itu angin laut bertiup kencang, aku sampai takut Dek Abi masuk angin.

Area restoran

Kami memesan tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli. Porsi yang disajikan cukup besar, lebih dari cukup untuk kami berempat (ya iyalah, yang dua masih krucil). Rasanya lumayan enak. Sensasi asam-manis-pedas dalam kerang kuah nanas membuat air liur mengalir, tapi lezatnya udang galah mentega dan rasa bawang pada tumis brokolinya adalah yang paling juara dari menu malam itu. Meskipun enak, seafood di sini ternyata tidak terlalu wow. Membaca ulasan di internet kadang membuat ekspektasi membumbung. Well, buang ekspektasinya jauh-jauh ya, agak-agak di luar ekspektasi soalnya. Sewaktu kami makan, ada serombongan turis dari wilayah Asia Timur juga sedang makan di situ. Mereka tertawa dan bercakap heboh sekali. Terakhir setelah makan, mereka bahkan berkaraoke dan berdansa di atas panggung, menciptakan sedikit pertunjukan yang lumayan menarik hati anak-anak dan membuat kami cekikikan.

Tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli

Seusai makan dan sedikit beristirahat karena kekenyangan, kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Hari sudah malam dan anak-anak membutuhkan istirahat setelah seharian di perjalanan. Ketika kami membayar di kasir, ternyata harganya mahal sekali—untuk ukuran kami *langsung tersedak*. Harga yang cukup fantastis untuk rasa yang sedikit di atas rata-rata alias so-so, alias “cuma segitu aja”. Iya memang enak sih, tapi kalau harganya segitu, harusnya bisa lebih enak lagi *remas-remas struk pembayaran*.

Struk pembayaran

Sambil menunggu sopir datang menjemput, kami duduk-duduk di pintu masuk restoran. Saat itu aku baru sempat memperhatikan sekeliling: halaman parkir restoran ini cukup luas sehingga mampu menampung banyak kendaraan termasuk bus. Tempat ini juga menjual aneka suvenir dan camilan untuk dijadikan oleh-oleh. Satu tips baru yang kuperoleh setelah makan di sini adalah: sebaiknya kita menanyakan dulu harga menu saat penimbangan, agar kita bisa menyiapkan budget dan tidak terlalu kaget ketika membayar di kasir *heuuu*.

Sampai di hotel kami langsung membersihkan diri dan beristirahat. Siap-siap menjelajah Singapura esok hari :)

...bersambung...

Thursday, November 20, 2014

Brownies Panggang

Fun cooking akhir pekan lalu: membuat brownies panggang, dengan topping choco chip, keju, dan kacang almond.

Kebetulan ada Daffa, sepupu Hanif, yang sedang main ke rumah. Jadilah mereka seru-seruan berdua. Dapur berantakan, tapi acara memanggang brownies-nya berhasil. Coklat banget!



Resep Brownies


Bahan:
  • 150 gram butter
  • 250 gram cooking chocolate
  • 50 mL susu cair
  • 50 gram chocolate powder
  • 4 butir telur
  • 250 gram gula pasir
  • 100 gram terigu


Topping:
  • Choco chip
  • Keju (dipotong dadu)
  • Kacang almond (disangrai dulu)


Cara membuat:
  1. Lelehkan butter, campur susu cair, cooking chocolate, chocolate powder, lalu aduk (gambar 2).
  2. Kocok telur dan gula pasir sampai lepas / mengembang (gambar 3).
  3. Campur adonan cokelat dengan kocokan telur (gambar 4 dan 5).
  4. Ayak terigu. Tuang ke campuran adonan cokelat tadi (gambar 6).
  5. Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah dialasi kertas roti dan dioles margarine (gambar 7). Oven setengah jam. Taruh topping (gambar 8), oven lagi sebentar.

Tuesday, November 04, 2014

Destinasi Lombok Hari IV: City Tour

Minggu, 1 Juni 2014


Hari terakhir di Lombok akan diisi dengan city tour mengelilingi Kota Mataram, sebelum kami pulang ke Pulau Jawa. Pesawat kami sekeluarga yang menuju Bandung dijadwalkan pukul 17.40, sementara rombongan teman-teman Mas Catur akan pulang ke Jakarta dengan pesawat pukul 14.45. Pagi-pagi aku sudah bangun untuk membereskan jemuran kumuh di balkon dan menata koper serta bawaan. Sekitar pukul 09.00 kami sekeluarga sudah siap di lobi hotel untuk melakukan check out. Proses check out seluruh rombongan akhirnya selesai pukul 10.00, lalu kami menaiki bus dan city tour pun dimulai.

Bersiap mengikuti city tour

Bus meninggalkan halaman Hotel Santosa dan menorehkan tekad di hatiku bahwa kami akan kembali lagi ke Senggigi suatu hari nanti. Roda bus menggelinding di jalanan Senggigi ke arah selatan melewati Ampenan, menuju Mataram. Mataram adalah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat dan merupakan kota terbesar di provinsi ini. Secara administratif Kota Mataram terbagi atas enam kecamatan, yaitu Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Sandubaya, Selaparang dan Sekarbela dengan 50 kelurahan dan 297 lingkungan.

Mataram sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Barat. Ibu kota Lombok Barat sendiri dipindahkan ke Gerung tahun 2000. Kota ini sebenarnya merupakan penggabungan dari empat kota yaitu Ampenan, Mataram, Cakranegara dan Bertais. Tempat-tempat tersebut dahulu merupakan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Ampenan merupakan kota pelabuhan tua sementara Mataram adalah pusat pemerintahan dan kantor provinsi, Cakranegara adalah pusat komersial utama di pulau tersebut, serta Bertais merupakan pusat transportasi umum darat. Empat kecamatan tersebut terhubung oleh sebuah jalan utama yang membentang dari Jalan Ampenan di Ampenan ke Jalan Selaparang di Bertais.

Orang-orang Sasak adalah suku asli Lombok yang beragama Islam dan merupakan mayoritas penduduk Mataram, bersama dengan suku Bali yang beragama Hindu. Perpaduan budaya Sasak dan budaya Bali menghasilkan budaya yang unik. Pengaruh Bali di kota Mataram cukup terasa, di dalam kota kita menemukan banyak pura atau rumah-rumah orang Bali yang ada puranya. Penduduk etnis Bali terkonsentrasi di wilayah Cakranegara. Mataram juga menjadi rumah bagi orang-orang pendatang dari Cina, Tionghoa peranakan, juga sejumlah kecil orang Indonesia keturunan Arab-Yaman yang bermukim di kota pelabuhan Ampenan. Penduduk kota yang merupakan orang Sasak masih memegang kuat asal-usul dan budaya mereka. Keragaman etnis di Mataram adalah hasil dari sejarah kota yang panjang sejak masa Kerajaan Laeq Suwung yang pernah menguasai pulau tersebut. Mereka adalah orang-orang dari Jawa (Majapahit), pedagang dari Asia dan Timur Tengah, invasi kerajaan Karangasem Bali, serta pendudukan Belanda dan Jepang.

Kaos Exotic khas Lombok


Di Cakranegara, kami mampir di toko kaos khas Lombok. Namanya Kaos Exotic, semacam Kaos Dagadu di Jogja atau Kaos Joger di Bali. Letak tokonya ada di Komplek MGM Plaza, Jl. Chairil Anwar nomor 6. Toko ini menjual berbagai macam kreasi kaos khas Lombok dan berbagai macam cendera mata unik berlabel Lombok. Selain kaos, ada pula beberapa jenis pakaian batik, topi, serta sandal-sandal. Kami tidak terlalu tertarik berbelanja di sini, maka kami hanya melihat-lihat saja.

Sop Buntut R.M. Istana Rasa


Menjelang tengah hari, bus berhenti di sebuah rumah makan yang dari luar tampak sederhana. Sebelumnya Pak Masren, pemandu kami, memang sudah memberitahukan bahwa menu makan siang kali itu adalah sop buntut—yang seketika disambut gembira oleh suamiku karena merasa tidak terlalu cocok dengan makanan khas Lombok. Katanya sop buntut di tempat ini adalah yang paling enak dan cukup terkenal.

R.M. Istana Rasa yang tampak sederhana. Gambar diambil dari sini.

Rombongan melangkah satu-satu memasuki rumah makan yang terletak di Jl. Subak III nomor 21 itu. Letaknya masih di kawasan Cakranegara. Bangunannya tidak terlalu mewah, bahkan bisa dikata lebih mirip rumah tinggal yang kemudian dijadikan sebagai rumah makan. Lahan parkir saja tak punya, dan letaknya di jalan perumahan yang tidak terlalu lebar. Maka tak heran bila para tamu agak kesulitan memarkir kendaraan. Terbayang kan bagaimana dengan bus yang kami tumpangi. Pasti rumah makan ini memiliki sajian yang wow sekali hingga sebegitu terkenalnya.

Tak perlu menunggu lama, barisan mangkok berisi sop buntut segera disajikan hangat-hangat. Tampak begitu menggugah selera. Pada gigitan pertama aku langsung membatin: ini sop buntut paling enak yang pernah aku rasakan. Dagingnya empuk sekali, dalam sekali gigit langsung terlepas dari tulangnya. Jadi tak perlu repot-repot menggigit-gigit sambil menarik-narik tulang dengan tangan. Kuah coklatnya yang kental terasa nikmat, sampai habis aku menyeruputnya. Memang benar apa yang dikatakan orang: sop buntut R.M. Istana Rasa paling juara.

Sop buntut yang endess banget. Gambar diambil dari sini.

Kalau kita browsing di internet, tidak banyak artikel yang mengulas kelezatan sop buntut di tempat ini. Meskipun tanpa promosi, rumah makan ini ramai pengunjung. Tak heran lah, sop buntutnya memang enak sekali. Si pemilik R.M. Istana Rasa, Ibu Melina, mengawali usaha kuliner ini dari kegemaran memasak. Meskipun tidak mengenyam pendidikan sekolah tata boga, Ibu Melina terus belajar hingga menemukan racikan yang pas untuk sop buntut.

Tahun 1999, ia memberanikan diri membuka usaha rumah makan yang diberi nama Istana Rasa. Sejak membuka usaha rumah makan, sop buntut buatannya ramai penggemar, terutama dari luar kota. Banyak artis dan tokoh terkenal hingga pembawa acara kuliner populer Bondan Winarno, pernah bertandang dan menikmati sop buntutnya. Sop buntut Istana Rasa dijamin halal, karena seluruh karyawan termasuk juru masaknya adalah muslim. Ibu Melina sendiri adalah seorang mualaf.

Jadi bagi Anda yang berkunjung ke Lombok, sempatkan deh singgah ke rumah makan ini. Sop buntutnya yang endess banget dijamin membuat ketagihan. Diam-diam aku mencatat dalam hati, selain Warung Menega, R.M. Istana Rasa adalah tempat yang wajib dikunjungi jika suatu hari nanti kami berkesempatan menginjak Lombok kembali.

Pulang!


Perjalanan kami hari itu berakhir di Bandara Lombok Praya. Kami sampai di bandara sekitar pukul 13.00 lebih. Terpaksa deh ikut itinerary rombongan—yang akan berangkat dengan pesawat pukul 14.45, meskipun pesawat kami sendiri baru akan take off empat jam kemudian. Sementara Mas Catur asyik bercengkerama dan berfoto dengan teman-temannya, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang tunggu bandara ini sangat mirip dengan mall. Ada banyak gerai toko dan cafe yang bisa dipakai untuk menghabiskan waktu. Suasananya tenang, nyaman, dan tidak terlalu ramai. Bangunannya lapang dan luas, anak-anak bisa berlari-lari riang demi membunuh bosan.

Bandara Lombok Raya yang mirip mall

Di bagian dalam ruang boarding, terdapat playground warna-warni. Ada arena panjatan dan perosotan, ada rumah-rumahan, juga ada meja kursi tempat anak-anak bisa bermain lego blok. Mereka antusias bermain di situ. Letaknya persis di pinggir jendela kaca besar yang menghadap landas pacu. Jadi kalau bosan bermain-main, kita bisa duduk-duduk sambil melihat pesawat. Sayangnya di ruang ini tidak terdapat AC. Meskipun ada bukaan ke arah ruang boarding yang ber-AC, tetap saja masih terasa panas. Anak-anak sampai berkeringat. Baru kali ini aku melihat ada playground di ruang tunggu bandara untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak bermain. Jempol deh untuk manajemen Bandara Lombok Praya yang cukup children friendly, meskipun akan lebih bagus lagi kalau fasilitas playground ditingkatkan.

Bermain di playground

Wings Air yang kami tumpangi mengudara tepat waktu dan mendarat di Denpasar untuk transit. Lion Air yang menuju Bandung ada di Gate 18 dan waktu transit mepet sekali. Setengah jam sebelum jadwal take off para penumpang masih menunggu bus jemputan yang akan membawa kami namun tak kunjung terlihat juga. Sebagian dari mereka—termasuk Mas Catur—sudah mulai marah-marah karena khawatir tertinggal pesawat. Beberapa kru maskapai mengarahkan kami untuk berjalan kaki menuju Gate 18 (Whattt??? Memangnya jaraknya dekat apa?). Sambil menggerutu akhirnya kami mulai berjalan kaki satu-satu. Untungnya di tengah jalan ada bus jemputan yang berhenti dan membawa kami semua. Fiuhhh...

Perjalanan Lombok-Denpasar menggunakan pesawat jenis ATR yang berkabin sempit.

Ketika kami sampai di Gate 18 lima belas menit sebelum jadwal take off, ternyata ada pengumuman kalau pesawat mengalami delay. Ah another dagelan. Tapi kami tak menggerutu lagi, mengingat saat berangkat kami “diselamatkan” oleh delay hehehe. Waktu menunggu kami habiskan untuk ke kamar kecil, selonjoran, juga mengudap. Anak-anak berlarian seperti biasa. Pukul 20.00 lebih, kami masuk ke dalam pesawat. Perjalanan berjalan lancar dan kami mendarat di Bandung dengan mulus. Liburan di Lombok usai sudah, menyisakan kenangan indah dan setumpuk pakaian kotor yang berlumur pasir pantai hehehe. Lombok, tunggu kami datang lagi yaa...

Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Mataram
- http://indonesia.travel/id/destination/668/mataram-jantung-hati-lombok
- http://www.beautyofindonesia.com/berburu-oleh-oleh-khas-pulau-lombok/
- https://www.facebook.com/lalumara.s.wangsa/posts/10203212315335880:0

Baca juga:

Monday, November 03, 2014

Destinasi Lombok Hari III: Gili Trawangan dan Menega

Sabtu, 31 Mei 2014

Insert: Tiga gili yang menjadi objek wisata di Lombok

Pagi-pagi sekali aku bangun dengan antusias karena menyadari bahwa hari itu kami akan berwisata ke Gili Trawangan. Anak-anak masih tidur, jadi selepas subuh ketika matahari mulai sedikit terlihat, aku dan Mas Catur memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak menyusuri Pantai Senggigi di belakang hotel, sekaligus mencari penjaja jasa henna untuk melukis tanganku yang satunya—karena hasil henna sebelumnya sangat memuaskan. Sayangnya hari masih terlalu pagi sehingga belum ada penjual berseliweran. Di pantai yang masih sepi itu, beberapa nelayan sedang menepi dan membongkar ikan hasil berlayar. Kami berjalan dengan santai dan leluasa—kesempatan untuk berduaan tanpa anak-anak, hihihi—menyusuri tepian pantai sampai mentok di bebatuan karang di barat daya, lalu berbelok menembus masuk ke area sebuah hotel lain untuk sampai di jalan raya Senggigi. Jalanan masih sangat sepi, dan kafe-kafe di pinggir jalan masih tertutup rapat.

Jalan-jalan berdua selepas subuh

Jalanan Senggigi yang masih sepi dan kafe-kafe yang masih tutup

Selesai sarapan, rombongan berkumpul di bus pukul 10.00 WITA—terlambat satu jam dari seharusnya. Bus menyusuri jalan di pinggiran pantai sebelah barat Lombok selama 30 menit, dari Senggigi melewati Malimbu sampai akhirnya berhenti di pelabuhan Teluk Kodek. Dari pelabuhan ini, rombongan menyewa dua perahu untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Perahu yang kami sewa merupakan perahu carteran yang akan membawa kami menyeberang pulang-pergi. Aku tak tahu berapa biayanya karena sudah diurus oleh pihak guide.

Selain pelabuhan Teluk Kodek, pelabuhan yang kerap dipakai untuk menyeberang ke Gili Trawangan adalah pelabuhan Bangsal. Berjarak sekitar 45 menit berkendara dari Senggigi, pelabuhan Bangsal merupakan pelabuhan penyeberangan reguler yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar dari dan menuju Gili, baik Gili Meno, Gili Air maupun Gili Trawangan. Apabila kita menggunakan taksi, mereka tidak diizinkan masuk sampai ke pelabuhan, melainkan hanya sampai ke tempat sejenis terminal kecil yang disebut sebagai stasiun. Dari sini kita bisa meneruskan perjalanan menggunakan kereta kuda yang disebut cidomo. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 200 meter, sehingga sejatinya bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Pelabuhan Bangsal tidak terlihat seperti pelabuhan, hanya berupa bibir pantai dengan bangunan kecil dari kayu sebagai administratur sekaligus penjual tiket, serta beberapa kursi untuk menunggu. Perahu yang digunakan sebagai penyeberangan reguler, harga tiketnya Rp 10.000 per orang dan baru bisa berangkat apabila pembeli tiket sudah berjumlah 20 orang. Jadi biasanya kita harus menunggu beberapa menit bahkan beberapa puluh menit untuk bisa menyeberang. Petugas akan memberitahu melalui pengeras suara berapa orang lagi yang masih diperlukan untuk perahu bisa berjalan. Karena penyeberangan reguler ini juga digunakan oleh masyarakat setempat selain wisatawan, jangan heran bila di dalam perahu seringkali terdapat banyak barang bahkan binatang seperti ayam dalam keadaan hidup. Alternatif lainnya ialah dengan menggunakan speed boat carteran dengan biaya sekitar Rp 250.000-700.000. (sumber dari sini dan sini)

Walaupun murah, pelabuhan Bangsal adalah pelabuhan yang tidak aman (apalagi nyaman) untuk wisatawan khususnya wisatawan asing. Pelabuhan ini penuh dengan scam dan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang setempat yang terjadi semenjak kita turun dari mobil. Berhati-hatilah selama berada di sini. Tips aman dan modus penipuan yang sering terjadi di pelabuhan Bangsal bisa dilihat di sini.

Gili Trawangan


Matahari bersinar cerah, barisan awan sesekali terlihat: cuaca yang sempurna untuk bermain di pantai. Perjalanan menyeberang ke Gili Trawangan kami tempuh dalam waktu 45 menit. Sepanjang perjalanan, Dek Abi menangis karena ingin menyusu. Sedih sih mendengar rengekannya, tapi entah mengapa Mas Catur melarangku menyusui Dek Abi di atas perahu, mungkin merasa tidak enak dengan teman-temannya yang lain. Gili Trawangan merupakan pulau terjauh dan terbesar di antara barisan tiga pulau selain Gili Meno dan Gili Air. Dibanding dua yang lain, ketinggian Gili Trawangan di atas permukaan laut cukup signifikan dan fasilitas pariwisatanya paling beragam. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, pulau kecil ini berpopulasi 800 jiwa. Bagian paling padat penduduk adalah bagian timur pulau ini, di mana perahu dan speed boat dari Lombok banyak merapat.

Perjalanan menuju Gili Trawangan

Sesampai di Gili Trawangan, aku dan Hanif langsung menukar pakaian dengan baju renang. Sesaat kami masih bingung akan mengisi waktu dengan kegiatan apa (ragam aktivitas wisata yang bisa dilakukan di Gili Trawangan bisa diintip di sini), sementara beberapa orang dari rombongan sedang bernegosiasi harga dengan penjual jasa glass-bottom boat. Sejak dulu aku ingin sekali melakukan snorkeling, maka hal itu yang pertama kali akan kami lakukan. Awalnya kami memutuskan untuk snorkeling di sekitar pantai saja. Peralatan snorkeling bisa diperoleh dengan mudah dari persewaan yang tersebar di pinggir pantai, biayanya kalau tidak salah sekitar Rp 25.000. Namun ternyata, spot koral yang menarik tidak berada di bibir pantai, melainkan di perairan antara Gili Trawangan dan Gili Meno. Jasa perahu yang ditawarkan sekitar Rp 650.000-700.000, terlalu mahal kalau cuma diisi oleh kami sekeluarga. Maka kami segera mengejar rombongan yang sedianya akan naik glass-bottom boat—untung belum berangkat—dan menumpang perahu tersebut untuk melakukan snorkeling. Ada tujuh orang dalam perahu yang bersiap akan menceburkan diri ke laut dengan peralatan snorkeling.

Setelah beberapa menit bertolak dari pantai, perahu berhenti di spot yang katanya memiliki keindahan pemandangan bawah laut. Kami sempat kecewa karena koral-koral itu tak seindah yang kami bayangkan, bahkan banyak yang sudah mati. Tapi beberapa jenis ikan yang berseliweran cukup membuat anak-anak di dalam perahu memekik riang. Aku segera memakai pelampung dan menceburkan diri dari arah belakang perahu. Sekedar info, aku belum pernah melakukan snorkeling sebelumnya, jadi aku tidak tahu bagaimana menggunakan snorkel, sekaligus belum bisa membayangkan snorkeling itu seperti apa. Meskipun bisa berenang, tak urung kepanikan melanda ketika badan ini sudah tercelup ke air sepenuhnya. Panik karena kaki menjejak-jejak tanpa bisa merasakan dasar, dan panik karena mulai menelan air laut dari alat snorkel yang tak terpasang sempurna. Kulihat tukang perahunya sedikit menahan tawa ketika melihat kepanikanku. Uh, memalukan sekali.

Di atas glass-bottom boat

Tukang perahu itu jelas bukan pemandu atau instruktur selam. Salah satu dari mereka cuma memberi petunjuk pemakaian ala kadarnya. Lalu demi melihatku yang masih panik, dia menyuruh salah satu temannya untuk menjadi guide-ku dalam melakukan snorkeling. Setelah beradaptasi sejenak dengan kondisi badan terapung yang bergoyangan ke sana kemari karena ombak, aku membetulkan pemakaian snorkel dan beberapa kali berlatih bernapas dengan snorkel. Setelah itu aku merasa lebih mantap dan mulai mengayuh kaki dan tangan untuk menjauhi perahu menuju titik-titik yang diarahkan oleh guide. Alhamdulillah masker selam yang kupakai cukup bagus, jadi pas menempel ke wajah dan cukup kedap air melindungi mata dan hidung. Namun aku memilih untuk tidak menggunakan kaki katak, daripada nanti panik lagi karena belum terbiasa. Lagipula aku merasa lebih bebas bergerak bila kakiku polos, meskipun sebenarnya kaki katak (sirip selam) itu berfungsi untuk menambah daya dorong pada kaki. Sedikit informasi tentang apa itu snorkeling dan apa saja peralatannya, bisa dilihat di sini.

Snorkeling

Tak berapa lama kemudian, Mas Catur dan teman-temannya menyusul. Satu demi satu mulai berceburan dari lambung perahu dan berenang kian kemari. Aku yang sudah keenakan snorkeling lalu menoleh ke belakang, rupanya aku berenang cukup jauh dari perahu. Perahu berhenti sekitar 30-45 menit menunggu orang-orang yang sedang snorkeling, sementara rombongan yang lain menikmati pemandangan ikan dan koral dari balik jendela kaca yang tertanam di dasar perahu. Setelah naik ke perahu, aku berjemur di atap perahu sepanjang perjalanan merapat kembali ke bibir pantai Gili Trawangan. Dan rupanya bukan hanya aku, beberapa orang dari rombongan juga mengalami mabuk laut. Aku turun dengan sempoyongan lalu langsung terduduk lemas di pasir sambil merasa mual. Olala..

Setelah itu kami menuju ke tempat di mana sebelumnya kami meninggalkan Dek Abi dan eyangnya bermain pasir. Rupanya mereka sudah tidak di sana, maka kami bersegera menuju Juku Marlin, restoran sederhana yang menjadi base camp rombongan. Setelah membersihkan diri, kami menyantap makan siang dengan menu khas Lombok: ayam taliwang dan plecing kangkung. Rasanya cukup standar, alias biasa-biasa saja. Sambil makan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai. Banyak sekali turis bule di sini. Jalanan di sini sudah cukup bagus, bukan aspal tapi sudah diperkeras dengan semen. Kendaraan bermotor dilarang keras beroperasi. Sebagai gantinya, alat transportasi yang digunakan adalah sepeda dan cidomo. Kanan kiri jalan utama dipenuhi dengan restoran yang berjejer. Banyak di antaranya menawarkan menu western. Aku melihat ada kedai es krim (home-made gelato) yang membuatku mencecap air liur—es krim adalah sesuatu yang tepat untuk siang yang panas seperti saat itu, sayangnya aku tak sempat mencicipi.

Setelah makan siang, Mas Catur dan anak-anak mengelilingi pulau dengan cidomo. Ketika aku berjalan menuju masjid, sekali lagi aku melayangkan pandangan ke sekeliling. Ada banyak persewaan alat snorkeling, alat diving, juga persewaan sepeda yang bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan waktu. Aku juga melihat beberapa penginapan yang tampak cozy. Sepertinya asyik juga menginap dan merasakan suasana malam di pulau ini. Masjid yang dibangun di Gili Trawangan ini rupanya cukup besar. Bangunannya baru dan pembangunannya belum selesai sempurna. Meskipun demikian, ruangan shalat sudah bisa dipakai. Ketika aku leyeh-leyeh sebentar seusai shalat, eyangnya anak-anak ternyata datang memanggil untuk bersiap pulang. Astaga, cepat sekali waktu berlalu, aku bahkan belum berkesempatan jalan-jalan keliling pulau. Ya beginilah minusnya ikut rombongan, segala sesuatu harus tunduk pada itinerary, tak bisa jalan suka-suka :(

Pemandangan di Gili Trawangan

Perjalanan menyeberang kembali ke Pulau Lombok berjalan lebih lambat daripada ketika kami berangkat, karena hari sudah sore dan ombak mulai besar. Seringkali air ombak menciprat masuk perahu dan membasahi penumpang yang duduk di depan. Perahu terayun-ayun cukup hebat hingga membuat Dek Abi ketakutan. Kali ini dia tidak menangis kencang, hanya sedikit memekik dalam pelukan. Rupanya perjalanan ini lumayan menegangkan baginya. Setelah tiba kembali di pelabuhan Teluk Kodek, aku mengikuti langkah Mas Catur menuju sebuah warung yang ramai dipenuhi tukang ojek. Sambil menunggu perahu yang satunya merapat, kami memesan mie instan, teh manis hangat, kopi, serta mengudap kacang goreng dan keripik.

Bukit Malimbu


Dalam perjalanan kembali ke Senggigi, kami berhenti di puncak Bukit Malimbu. Di puncak bukit kita bisa menikmati indahnya pemandangan laut dan pantai dari atas, karena di sinilah spot atau angle terbaik untuk menikmati Pantai Malimbu, Pantai Satangi, Gunung Agung, tiga gili di seberang lautan, dan momen matahari terbenam. Spot yang sering dijadikan sebagai stop over ini merupakan sebuah tikungan pinggir jalan yang berada di puncak bukit yang langsung menghadap ke laut, sekitar 15 menit dari kawasan Senggigi. Tepi bukit ini jurangnya cukup dalam, sehingga terdapat pagar yang menyerupai pagar jembatan yang dibangun untuk keselamatan pengunjung. Di sekitar situ juga terdapat area parkir yang cukup memadai untuk beberapa kendaraan.

Keindahan Pantai Malimbu yang berkarang dengan ombaknya yang bergulung-gulung dan hamparan pasir putih yang terbentang di hadapan akan terlihat indah dari atas bukit. Wisatawan banyak yang berdecak kagum ketika berkunjung ke tempat ini. Pada pagi hari, pemandangan pantai yang memantulkan cahaya matahari akan terlihat jelas, menyebabkan birunya laut Malimbu semakin terang dan menarik. Pada sore hari, ada pemandangan sunset yang menawan yang menyebabkan jumlah pengunjung berada pada tingkat tertingginya, sehingga tidak jarang orang sampai rela parkir di bahu jalan. Setelah turun dari bus, aku, Mas Catur, dan Hanif segera menuju ke pagar jembatan. Garis Pantai Senggigi yang panjang terlihat jelas dengan mata telanjang. Lautan biru dengan gradasi warna pun terlihat cantik. Sengatan cahaya matahari yang terik itu tak mampu mengurungkan niat kami untuk panas-panasan meresapi kecantikan Bukit Malimbu dan berfoto-foto sejenak.

Berfoto di puncak Bukit Malimbu

Tak berapa lama kemudian, bus kembali melaju menuju Ampenan. Di perjalanan kami melewati Pura Batu Bolong yang terletak di wilayah Senggigi, sekitar 12 kilometer dari Kota Mataram. Arus lalu lintas yang melewati kompleks pura di pinggir pantai ini agak tersendat karena saat itu masyarakat Hindu di wilayah Lombok Barat sedang mengadakan peribadatan di situ. Pura ini disebut Batu Bolong karena terletak di atas batu hitam yang memiliki lubang di tengah. Dengan posisinya yang menjorok ke laut, Pura Batu Bolong memiliki suasana keindahan tersendiri. Tempat suci umat Hindu ini sekilas akan mengingatkan kita pada Pura Tanah Lot yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan posisi menjorok ke laut. Pura yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok dan Gunung Agung Bali ini juga memiliki pemandangan sunset yang indah.

Keberadaan Pura Batu Bolong secara langsung memiliki makna tradisi yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat Hindu di Lombok yang diwariskan oleh budaya Bali. Walaupun ada kedekatan secara historis-geografis, namun masyarakat Hindu setempat tetap melekatkan makna tradisi di dalamnya. Kemiripan makna tradisi dengan yang ada di Bali terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura ini. Uniknya, saat lebaran tiba, umat muslim di Lombok akan datang beramai-ramai ke pantai di depan pura. Mereka beramai-ramai menikmati opor ayam, ketupat, ayam taliwang, serta serundeng. Inilah bukti nyata kerukunan antara umat Islam dan Hindu yang menunjukkan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis. (sumber dari sini)

Pura Batu Bolong

Pemandu wisata kemudian menawarkan dua opsi pemberhentian, antara tempat penjualan mutiara atau tempat penjualan oleh-oleh. Mayoritas rombongan sontak memilih tempat penjualan oleh-oleh hahaha. Mungkin mereka sudah bosan dengan penjaja mutiara yang banyak mereka lihat dua hari terakhir ini, atau memang ingin memborong oleh-oleh untuk sanak-saudara. Pusat oleh-oleh yang kami masuki tak terlalu besar, hanya seluas satu unit ruko, namun letaknya sangat strategis di pinggir jalan utama Ampenan yang menghubungkan Senggigi dengan Mataram. Oleh-oleh yang dijual berupa makanan khas Lombok, beberapa di antaranya sebenarnya ada juga di daerah lain dengan nama yang berbeda. Aku hanya tertarik membeli makanan yang belum pernah aku jumpai, di antaranya adalah keripik ikan hiu yang belakangan setelah dimakan, terasa alot sekali hahaha.

Makan Malam di Warung Menega


Setelah puas membeli oleh-oleh, bus melaju menuju tempat kami akan makan malam di pinggir Pantai Batu Layar. Tempat itu bernama Warung Menega, yang merupakan cabang dari Kafe Menega yang ada di Jimbaran, Bali, yang sempat terkena ledakan bom Bali II. Warung Menega terletak di Jl. Raya Senggigi nomor 6, Lombok Barat.

Ketika kami masuk, kami diarahkan berjalan menuju ke bagian belakang restoran. Meja dan kursi yang disiapkan untuk rombongan kami terletak di bibir pantai, di atas hamparan pasir pantai yang lembut. Saat itu menjelang maghrib, lilin-lilin kecil di atas meja sudah dinyalakan. Hmm, aku langsung membayangkan candle light dinner yang romantis. Langit tampak cerah, angin bertiup tak terlalu kencang, suasana yang pas untuk makan malam di luar ruangan.

Setelah memilih kursi dan meletakkan tas di sana, aku segera menyusul Hanif yang sudah menghambur ke garis air begitu kami datang tadi. Dek Abi digandeng ayahnya sedang menyusuri pasir yang menurun landai ke arah tepi pantai. Aku tercengang. Sunset yang menjelang saat itu terlihat indah sekali. Sambil menikmati suasana, aku mengamati sekeliling: Hanif yang kembali mengotori bajunya dengan pasir dan air, Dek Abi yang takut-takut terkena ombak, serta mentari jingga yang bersiap menyusup ke peraduan di penghujung cakrawala. Ah indahnya.

Sunset dan suasana di Warung Menega

Setelah membantu Hanif membasuh diri, aku menuju meja karena aroma masakan sudah menggoda iman. Konon kabarnya aneka seafood di sini dipilih langsung sebelum diolah, tapi karena kami menggunakan jasa agen perjalanan, pemilihan menu sudah dilakukan oleh mereka. Seafood yang dipesan dimasak di atas tungku yang terbuat dari batok kelapa, dibakar dengan sabut kelapa, sehingga memberikan sensasi aroma yang berbeda dengan seafood kebanyakan. Kenikmatan seafood bakar Menega memang disebut-sebut memiliki nilai di atas rata-rata.

Seafood mentah yang disediakan untuk dipilih pengunjung semuanya dalam keadaan segar. Lobster, kerang, cumi, dan udang semuanya masih hidup sampai sesaat sebelum diolah, sehingga memiliki cita rasa manis dan segar, tanpa bau amis. Harga yang diberikan sesuai dengan berat seafood yang dipesan. Layaknya restoran di Lombok pada umumnya, Menega juga menyajikan plecing kangkung sebagai sayur andalan.

Setiap orang dari rombongan mendapatkan sepiring plecing kangkung dan sepiring seafood bakar yang terdiri atas ikan, sate cumi, dan udang galah. Nasinya diambil dari bakul, satu bakul untuk 2-3 orang. Yang paling menarik dari Warung Menega adalah sambalnya yang luar biasa nikmat. Plecing kangkungnya bahkan yang terenak di antara beberapa plecing kangkung yang aku makan beberapa hari terakhir. Seafood bakarnya juga nikmat sekali: perfectly succulent, smoky, sweet and spicy at the same time, kata salah satu blog perjalanan.

Menu di Warung Menega. Gambar didapat dari sini dan sini.

Selesai makan, rombongan tidak langsung pulang. Mas Catur dan teman-teman seangkatannya asyik mengenang masa lalu, sementara aku dan anak-anak bermain-main di lingkungan restoran. Aku sempat pula menengok dagangan yang digelar oleh penjaja mutiara di sekitar restoran, tapi tidak ada yang menarik hatiku. Khawatir palsu juga sih, mengingat harganya jauh lebih murah dibanding perhiasan mutiara yang aku beli di toko pada hari sebelumnya. Setelah mengobrol hampir tiga jam, Pak Masren—pemandu wisata kami—mengingatkan kami untuk segera bersiap menuju hotel untuk beristirahat. Keesokan hari sebelum kami pergi ke bandara, agen perjalanan berencana akan membawa kami mengunjungi Mataram untuk city tour. Oleh sebab itu, kami sebaiknya segera kembali ke hotel dan tidak tidur terlalu malam.

Dengan perut kenyang, kami pun kembali ke hotel. Namun aku tak bisa segera leyeh-leyeh di kasur. Baju kotor yang basah hari itu ada banyak sekali. Semuanya berlumur pasir pantai yang meskipun dibilas berulang kali, tetap saja bandel menempel. Setelah membilas baju-baju itu di kamar mandi hotel, aku menjemurnya dengan cara menyampir-nyampirkan di pagar balkon kamar hotel. Untunglah balkon kamar kami menghadap ke taman yang sepi, jadi aku tak perlu khawatir bakal ada orang yang melihat jemuran jorok itu. Berasa kumuh karena disampir-sampirkan di pagar, hihihi.

...bersambung...

Catatan: Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).

Baca juga:

Saturday, November 01, 2014

Fruitcake

Fun cooking hari ini: membuat fruitcake, dengan isian kurma dan kacang almond. Ini edisi perdana baking dengan oven. Setelah hampir setahun lalu membeli oven dan cuma ngejogrok manis dalam plastik, hari ini aku berhasil melawan malas dan akhirnya merambah dapur.

Yang mengenalku dengan baik, pasti tahu bahwa masuk dapur itu adalah suatu perjuangan berat *lebay hahaha*. Untuk sementara, slogan "I'm not good at cooking so I stop doing it" ini terpatahkan. Hanif membantu jadi asisten di dapur.


Fruitcake identik dengan taburan buah kering (sukade) di dalamnya. Rasa sukade yang manis membuat fruitcake menjadi nikmat. Kita juga bisa mengganti sukade dengan kurma cincang. Selain lebih nikmat, kandungan kurma menyehatkan, apalagi jika dipadukan dengan kacang almond.


Resep Fruitcake


Bahan:
  • 200 gram tepung terigu untuk cake
  • 25 gram tepung maizena
  • 25 gram susu bubuk low fat (aku menggunakan susu cair, entah berapa mL, lupa tidak diukur :p)
  • 200 gram mentega
  • 75 gram gula palem
  • 75 gram gula pasir
  • 4 butir telur ukuran sedang
  • 1 sdt kayu manis
  • 1 sdt baking powder
  • 3 sdm madu
  • 100 gram kurma, cincang kasar
  • 50 gram almond, sangrai, cincang kasar


Cara membuat:
  1. Campurkan mentega, gula palem dan gula pasir, kocok hingga lembut dan mengembang. Tambahkan telur satu per satu berselingan dengan tepung terigu yang sudah diayak. Kocok kembali hingga rata dan benar-benar mengembang.
  2. Masukkan sisa tepung terigu, maizena, susu bubuk, kayu manis, baking powder dan madu. Aduk hingga adonan larut dan tercampur rata.
  3. Tuangkan campuran kurma dan almond ke dalam adonan.
  4. Oles margarin pada loyang berukuran 20x20x4, tuangkan adonan kemudian oven kurang lebih 60 menit hingga matang.
  5. Angkat cake, dan potong sesuai selera. Sajikan dengan secangkir teh madu.


Komen tentang hasil:
Aroma kayu manisnya harum sekali. Manisnya pas, tidak giyung atau kemanisan. Isian kacang almond membuat sensasi renyah pada kue yang lembut. Yummy!

Tuesday, June 10, 2014

Destinasi Lombok Hari II: Wisata Budaya

Jumat, 30 Mei 2014


Hari kedua di Lombok dimulai dengan bangun siang-siang, hehe. Maklum masih terbiasa dengan jam WIB. Lalu aku, Mas Catur, dan Dek Abi berjalan-jalan pagi mengeksplorasi sudut-sudut hotel yang asri. Matahari sudah tinggi ketika kami sampai di kolam renang. Kolam renangnya bagus, luas, dan nyaman. Takjub kami memandang ke belakang kolam renang. Ternyata antara hotel dengan pantai Senggigi hanya dibatasi pagar pendek setinggi pinggang orang dewasa. Ada dua pintu gerbang kecil di situ. Keluar pagar sudah langsung bisa menginjak pasir pantai. Di sepanjang pagar rendah itu ada trotoar yang bisa digunakan untuk berjalan-jalan menyusuri pantai. Banyak penjaja kaos murah, suvenir, juga penjaja jasa henna langsung menyambut begitu kami keluar pagar. Dari dulu aku tertarik dengan henna. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya tanganku dilukis dengan henna seharga Rp 20 ribu saja. Cantik sekali hasilnya, aku sangat puas. Di sini Mas Catur membeli beberapa kaos dan celana pendek, karena setelah kericuhan hari sebelumnya, ternyata dia tidak membawa cukup baju ganti untuk liburan kali ini.

Kiri: dilukis henna. Tengah: sesaat setelah dilukis, masih basah. Kanan: setelah tiba di Bandung.

Kolam renang hotel yang berbatasan langsung dengan Pantai Senggigi

Berjalan sedikit ke arah pantai, kami mendapati sebuah dermaga kecil menjulur ke laut. Dari dermaga itu para turis bisa menyeberang ke Gili Trawangan dengan speed boat selama 1-1,5 jam. Meskipun waktu baru menunjukkan angka 7.30, matahari sudah terasa terik sekali. Foto-foto di dermaga dilakukan sambil kepanasan karena menghadap ke arah matahari muncul. Hanif yang bangun belakangan kemudian menyusul ke pantai, dia langsung bermain pasir dan air. Anak yang dulu takut air ini sekarang menjelma jadi anak yang memuja pantai, hehehe. Sementara Dek Abi masih takut air seperti biasa. Main air kemudian dilanjutkan di kolam renang hotel, sebelum akhirnya kami menyantap sarapan.

Pantai Senggigi

Sudut hotel yang asri

Pukul 10.00 kami keluar dari hotel, siap mengikuti tur keliling Lombok yang dipandu oleh Pak Iskandar. Sementara rombongan teman-teman Mas Catur dari Jakarta rencananya baru akan tiba siang itu, jadi kami mendahului mengeksplorasi Lombok dengan mobil sewaan.

Gambar diambil dari sini

Mutiara Lombok


Dari Senggigi, mobil meluncur ke arah selatan melewati Ampenan, sampai ke Kota Mataram. Pak Iskandar menghentikan mobil di salah satu toko yang menjual beraneka perhiasan mutiara. Lombok dikenal dengan budidaya mutiara Laut Selatan. Peternakan mutiara Lombok terletak di pantai bagian barat laut, di sebelah barat kota Sekotong Timur, Sekotong Tengah, dan Lembar. Peternakan mutiara di Lombok terletak di dalam rantai sepuluh pulau-pulau (Gili) di sepanjang sisi utara semenanjung Sekotong, antara Sekotong Timur dan Bangko Bangko di ujung barat. Selain mutiara Laut Selatan, Lombok juga dikenal dengan budidaya mutiara air tawar. Mereka hampir sama cantik dan populernya dengan mutiara alam atau mutiara air asin. Maka tak heran toko-toko perhiasan mutiara tersebar di seantero Lombok. Penjaja suvenir di tepi-tepi jalan juga banyak yang menjual perhiasan mutiara, tapi konon yang mereka jual adalah mutiara palsu. Cara membedakan mutiara asli dengan palsu bisa dilihat di sini. (sumber dari sini)

Toko tempat mobil kami berhenti, menjual mutiara air laut dan mutiara air tawar asli. Bros mutiara air tawar dijual seharga Rp 60-80 ribu, sementara bros mutiara air laut harganya ratusan ribu: ada yang Rp 500 ribu, bahkan Rp 800 ribu. Beberapa bros mutiara air laut yang dibuat dari emas harganya malah Rp 3-5 juta *pingsan*. Toko ini juga menjual mutiara yang belum dirangkai, masih dalam bentuk butiran-butiran warna-warni. Kalau tak salah ingat, harganya Rp 250 ribu per gram.

Display mutiara air laut asli di etalase toko

Mutiara dari Lombok Barat termasuk yang paling elok di Indonesia, karena mutiara ini dibudidayakan secara alami. Banyak investor asing yang tertarik menanamkan modal di industri itu. Di tengah air laut yang tenang, ratusan bola pelampung berwarna biru dan hitam mengapung di sepetak keramba yang “berenang” 100 meter dari bibir pantai. Di bawah pelampung-pelampung itulah ratusan indukan kerang diikat dalam jaring-jaring khusus. Setelah 40 hari dirawat di bak-bak khusus dalam laboratorium, kerang-kerang penghasil mutiara itu memang harus “ditanam” di laut lepas. Biasanya di kedalaman 5 meter atau 10 meter. Di situlah kerang-kerang tersebut dibiarkan hidup dan tumbuh dengan makanan plankton-plankton yang ada.

Setelah umur kerang mencapai dua tahun, peternak biasanya melakukan proses operasi yaitu proses injeksi nukleus ke dalam organ seksual kerang. Tujuannya, nukleus bisa diselimuti selubung-selubung alamiah dari kerang. Karena itu, pembudidayaan kerang secara alami bisa memakan waktu hingga empat tahun atau lebih. Besarnya kerang yang siap panen pun bervariasi. Namun, kerang yang dihasilkan perairan Indonesia rata-rata berdiameter 10-11 milimeter. Mutiara yang baik harganya memang selangit. Mutiara berdiameter 18 milimeter, misalnya, dibanderol Rp 24 juta per biji. Untuk ukuran 16 milimeter dihargai Rp 18 juta, sedangkan yang 14 milimeter berharga Rp 10 juta. (sumber dari sini).

Sentra Perajin Gerabah di Desa Banyumulek


Setelah puas melihat-lihat mutiara, kami kembali naik mobil. Tujuan berikutnya adalah sentra perajin gerabah di Desa Banyumulek, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. Banyumulek adalah salah satu desa wisata di Pulau Lombok yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Mataram, atau sekitar 45 menit dari kawasan Senggigi. Sebagian besar penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai perajin gerabah. Di desa ini banyak terlahir tangan-tangan terampil dan cekatan pembuat gerabah berkualitas ekspor. Awalnya jenis gerabah yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya gentong yang berfungsi sebagai tempat air, kendi yang berfungsi sebagai tempat minum, tong sampah yang berfungsi untuk tempat pembuangan sampah, dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu serta berkembangnya pariwisata di Pulau Lombok, terjadi pergeseran nilai yang lebih mengarah ke elemen dekorasi, dalam artian gerabah yang dihasilkan digunakan untuk dekorasi, misalnya penghias taman, ruangan hotel, atau rumah. (sumber dari sini)

Memasuki desa ini, kita akan melihat berbagai barang hasil kerajinan gerabah, seperti pot bunga, pajangan, genteng, interior taman dan ruangan, hingga asbak. Proses pembuatan gerabah di Desa Banyumulek diawali oleh para pria yang mengambil tanah liat di Gunung Sasak. Tanah liat di sini begitu khas dan bagus untuk pembuatan gerabah, konon tanahnya bahkan sampai dikirim ke luar kawasan untuk pembuatan gerabah di tempat lain. Tanah liat itu dikeringkan lalu diinjak-injak agar halus. Kemudian, tanah dicampur dengan pasir dan disaring. Jika sudah cukup halus, tanah liat itu dicampur air secukupnya kemudian dipakai sebagai bahan dasar membuat gerabah. (sumber dari sini)
 
Atas: display gerabah di salah satu toko setempat. Kiri bawah: gerabah yang belum dihias dan kulit telur sebagai penghiasnya. Kanan bawah: berfoto di workshop.

Proses membuat gerabah dikerjakan oleh para perempuan Banyumulek. Mereka hanya mengandalkan tangan, sebuah sikat, talenan, amplas, seember air untuk meratakan permukaan tanah liat, dan kain untuk menghaluskan. Setelah selesai, lantas produk diangin-anginkan sehari. Setelah itu barulah dilakukan pembakaran. Proses pembakaran biasanya dilakukan sekitar 1-2 jam. Bila membakar menggunakan sekam maka hasilnya akan berwarna hitam. Jika menggunakan kayu, hasilnya berwarna merah. Faktor panas api betul-betul diperhatikan agar pembakaran merata. Selanjutnya proses mempercantik produk pun dilakukan dengan menggunakan rotan, kulit telur, dan sebagainya (sumber dari sini)

Para perajin wanita di Desa Banyumulek (gambar diambil dari sini)

Produk gerabah unik yang menarik perhatian wisatawan adalah kendi maling. Bentuknya seperti kendi biasa, yakni sebagai tempat menyimpan air untuk diminum. Yang unik adalah cara mengisi air ke dalam kendi tersebut. Kendi biasa diisi air tentu dari atas, di mana kendi paling atas berlubang sebagai tempat memasukkan air. Nah, kendi maling ini diisi dari bagian bawah. Ajaibnya, air di dalam kendinya tidak tumpah dan masih bisa diminum. Kendi tersebut dibuat berdasarkan sistem kerucut di dalamnya. Jadi, air minum dimasukkan dari bagian bawah kendi yang dibalik. Lalu ketika dikembalikan ke posisi semula, air kendi tersebut tidak tumpah. Air dari kendi bisa dituang ke dalam gelas dan diminum.

Kendi maling (gambar diambil dari sini)

Selepas dari Banyumulek, kami mampir makan siang di RM “Ujung Landasan”. Rumah makan ini memang terletak di jalan utama yang menuju ke arah Bandara Lombok Praya. Makanannya lumayan enak, meskipun tidak terlalu istimewa. Udara Lombok yang panas membuatku memesan es leci dan salad buah segar, sementara Mas Catur memesan burung puyuh goreng dan anak-anak makan soto. Di sini ada pelaminan berornamen yang kami jadikan tempat berfoto. Sebenarnya ada playground juga, tapi siang yang terik membuat kami enggan bermain lama-lama.

RM "Ujung Landasan"

Sentra Perajin Tenun di Desa Sukarara


Perhentian berikutnya adalah sentra perajin tenun di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Dari Mataram, perjalanan menuju Sukarara sepanjang 20 kilometer ke arah selatan ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Jalur yang ditempuh adalah jalur Mataram-Cakranegara-Kediri-Sukarara. Dari Jalan Raya Praya, satu-satunya jalan raya besar yang mengarah ke Sukarara, kami berbelok dan masuk ke gang yang kondisi jalannya beraspal seadanya. Suasana desa sebagai sentra tenun langsung terasa demi melihat rumah-rumah di sepanjang jalan desa yang menyediakan kain tenun.

Para penduduk Sukarara, terutama para perempuan wajib belajar menenun. Sejak usia kanak-kanak, sekitar 9-10 tahun, para perempuan tersebut sudah diajari menenun. Kewajiban perempuan Desa Sukarara bisa menenun menjadi aturan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Menurut adat, perempuan yang belum bisa menenun tidak boleh menikah. Perempuan Desa Sukarara yang belum bisa menenun tapi berani menikah bisa terkena denda. Dendanya berupa uang, padi, atau beras. Keterampilan menenun menjadi satu pegangan hidup bagi perempuan Sukarara. Barangkali aturan ini memang dibuat untuk para perempuan itu sendiri agar bisa mandiri dan menghidupi dirinya. Di Sukarara, pemberdayaan perempuan sudah mulai sejak zaman dulu.

Aturan soal kewajiban tenun ini tidak berlaku bagi kaum lelaki, meski ada pula lelaki yang bekerja sebagai penenun kain ikat. Terdapat sebuah mitos bahwa apabila kaum lelaki mengerjakan tenunan songket, pria tersebut akan mandul. Biasanya, para pria mengerjakan tenunan ikat, sementara kaum perempuan mengerjakan tenunan songket.

Lombok memiliki dua jenis tenun yaitu songket dan ikat. Tenun songket hanya dibuat oleh para perempuan dengan alat manual. Tenun ikat dibuat oleh para lelaki dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kain songket biasa digunakan oleh para perempuan. Ciri khasnya, kain songket ini memiliki sisi depan dan sisi belakang. Songket biasanya menggunakan benang emas sebagai campuran dari bahan katun yang biasa dipakai. Paling sulit dari pembuatan songket ini terletak pada penentuan motif. Pengerjaannya yang manual membuat waktu tenun menjadi lama. Para perempuan yang bekerja menenun songket dari pukul 08.00 hingga 17.00 biasanya hanya bisa menenun minimal 10 sentimeter hingga maksimal 15 sentimeter. Salah satu perempuan yang mengajariku menenun mengatakan bahwa untuk durasi kerja 9 jam itu mereka hanya diupah Rp 10 ribu per hari. Duh, sedihnya.

Biasanya para perempuan menenun songket dengan lebar 60 sentimeter dan panjang 4 meter. Setelah selesai, songket itu akan dipotong dan disambungkan sehingga menjadi kain dengan panjang 2 meter dan lebar 120 sentimeter. Sambungan untuk menyatukan dua kain itu berada di tengah. Penyambungan kain itu tentu saja dilakukan oleh penjahit yang terampil agar motif dua belahan kain ini bisa menyatu sempurna. Untuk menenun satu helai kain, rata-rata diperlukan waktu dua minggu hingga satu bulan. Harga jual tenun songket Lombok bervariasi mulai dari angka Rp 200 ribu hingga Rp 5 juta per lembar.

Adapun tenun ikat memiliki waktu produksi yang lebih singkat. Penenun ikat bisa menyelesaikan hingga panjang 3 meter tenun ikat per hari dengan ATBM. Tenun ikat memiliki motif bolak-balik sehingga tidak dibedakan antara bagian depan dan bagian belakang. Tenun ikat hanya menggunakan bahan dari kain katun saja. Proses awalnya dimulai dari pemintalan benang. Setelah benang dipintal, benang-benang itu digambar motif dengan pensil. Motif tersebut lalu diikat dengan tali rafia untuk kemudian dicelupkan pada pewarna untuk dasarnya. Kain ikat biasanya dipakai untuk bahan selimut, seprai, atau bahan pakaian. Harga tenun ikat ini mulai dari Rp 100 ribu per meter untuk tenun ikat katun dengan warna kimia, dan Rp 150 ribu per meter untuk tenun ikat dengan pewarna alam. (sumber dari sini)


Di Sukarara, Mas Catur membeli dua helai sarung untuk sholat seharga Rp 200 ribu per buah. Aku juga ditawari kain songket seharga Rp 400 ribu, sudah termasuk selendangnya. Tapi aku menolak dengan halus, karena sebelumnya di sebelah toko mutiara pagi harinya, aku sudah membeli satu stel kain songket yang harganya cuma Rp 100 ribu. Hmm, jadi curiga kain songket yang sudah kubeli itu dibuat dengan mesin karena harganya yang murah. Di rumah tenun tempat kami mampir di Sukarara, semua kain tenunnya memang dibuat dengan alat tenun manual, mungkin karena itu harganya menjadi mahal.

Oh iya, di sini aku juga mencoba belajar menenun: memasukkan benang motif ke kolom-kolom benang utama, lalu menghentakkan kayu kuat-kuat agar benang-benang tersusun rapat. Lumayan capek juga kalau harus seharian mengerjakannya. Kami juga ditawari untuk berfoto ala suku Sasak dengan didandani menggunakan kain tenun ini, tapi kami menolaknya karena masih ada dua lagi destinasi wisata yang akan kami kunjungi.

Dusun Adat Sade


Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Dusun Sade, yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar 30 kilometer dari Kota Mataram. Dusun Sade dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Sebagai desa wisata, Sade punya keunikan tersendiri. Meski terletak persis di samping jalan raya Praya-Kuta yang beraspal nan mulus, penduduk Sade masih berpegang teguh menjaga keaslian desa.

Pertama kali kami memasuki gerbang Sade, kami melihat ada sebuah meja kecil di sebelah kiri. Meja itu difungsikan sebagai meja resepsionis, lengkap dengan penjaga, buku tamu, dan kotak kecil untuk memberi bantuan dana seadanya. Setiap kali ada tamu datang ke Sade, beberapa pemuda setempat akan menyambut dan menawarkan jasa sebagai pemandu wisata. Mereka dibayar seikhlasnya, rata-rata 20-50 ribu untuk mengantarkan kita berkeliling sambil memperkenalkan budaya lokal.

Bisa dibilang, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok. Walaupun listrik dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Dusun Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok. Hal itu bisa dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Rumah-rumah di Sade dibangun berbaris, atapnya dari ijuk, daun rumbia, atau daun alang-alang kering, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan langsung beralaskan tanah. Jalan-jalannya terdiri dari gang-gang sempit yang berundak-undak sehingga cara untuk bisa melihat-lihat keadaan sekitar kampung ini adalah dengan berjalan kaki.

Dusun Sade

Orang Sasak Sade menamakan bangunan sebagai “bale”. Ada delapan bale yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya.
  • Yang paling menonjol dan khas Lombok adalah lumbung yang didirikan di atas empat tumpukan kayu dengan atap berbentuk topi terbuat dari alang-alang atau rumput gajah. Lumbung ini biasa digunakan sebagai tempat menyimpan padi, hasil panen, atau untuk menyimpan segala kebutuhan, yang dimasukkan melalui jendela terbuka. Pada bagian bawah lumbung terdapat bale-bale tempat penduduk berinteraksi sekaligus menjaga lumbung.
  • Bale Tani adalah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal. Bale Tani terbagi menjadi dua bagian yaitu Bale Dalam dan Bale Luar. Ruangan Bale Dalam biasanya diperuntukkan bagi anggota keluarga wanita, yang sekaligus merangkap sebagai kamar dan dapur. Sedangkan ruangan Bale Luar diperuntukkan bagi anggota keluarga lainnya, dan juga berfungsi sebagai ruang tamu. Antara Bale Dalam dan Bale Luar ini dipisahkan dengan pintu geser dan anak tangga, untuk memasuki Bale Dalam kita harus melewati pintu kayu yang berukuran kecil dengan tinggi sekitar 150 cm dan berbentuk oval. Di dalam ruangan Bale Dalam terdapat dua buah tungku yang menyatu dengan lantai terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk memasak. Masyarakat di perkampungan Sade biasanya memasak dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Bale Dalam tidak memiliki jendela dan hanya memiliki satu buah pintu yang terletak di bagian depan sebagai jalan untuk keluar-masuk.
  • Berugag adalah balai desa atau ruang upacara yang berdiri di atas enam pilar dan atapnya juga terbuat dari  rumput gajah, memberikan suasana sejuk ketika cuaca terik dan hangat pada malam hari yang dingin. (sumber dari sini dan sini)

Mata pencaharian penduduk di Sade adalah bertani dan pekerjaan menenun adalah pekerjaan sambilan kaum wanita di sini setelah selesai bekerja di sawah. Mereka menenun dengan hanya menggunakan alat tenun tradisional yang sangat sederhana. Hasil tenunan mereka beraneka ragam seperti taplak meja, kain sarung, kain songket, selendang, dan lain-lain. Sarung tenun di sini dibanderol seharga Rp 100 ribu—lebih murah daripada sarung tenun Sukarara. Meskipun demikian, sarung tenun Sukarara jauh lebih halus buatannya. Ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) di Sade. Dulu penduduknya banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali sholat dalam sehari). Namun sekarang, banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya. (sumber dari sini)

Menurut pemandu kami, warga desa memiliki kebiasaan unik yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. Zaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Sekarang setelah sebagian dari mereka sudah membuat plester semen, kotoran kerbau itu tetap dioleskan di atasnya. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya tetap hangat di musim hujan dan tetap sejuk di musim panas, serta dijauhi nyamuk.

Pantai Kuta


Perjalanan ke selatan berakhir di Pantai Kuta. Pantai ini terletak di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar 56 kilometer dari Kota Mataram. Saat kami tiba, air laut sedang surut sehingga tepian air jaraknya cukup jauh dari garis pasir. Mentari sore masih bersinar terik, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 16.15. Sebelum kami turun, Pak Iskandar memperingatkan kami supaya berhati-hati terhadap pedagang suvenir keliling. Mereka jauh lebih agresif dibanding pedagang suvenir pada umumnya. Jika kita tidak berniat membeli, jangan coba-coba untuk menanggapi apalagi bertanya. Sekali kita bertanya, kita akan susah untuk menghindari bujukan mereka, salah-salah bahkan bisa dipaksa membeli barang yang mereka jajakan.

Pantai Kuta, Lombok. Kanan bawah: konon bongkahan batu itu adalah tempat Putri Mandalika menceburkan diri ke laut.

Yoga on the beach :)

Suasana Pantai Kuta ini sangat tenang, setenang ombaknya yang memecah karang di kejauhan. Wisatawan yang saat itu berkunjung tak banyak, para bule yang berjemur pun jumlahnya hanya segelintir. Pantai ini memang terbilang sepi dari pengunjung, apalagi di hari kerja seperti saat itu. Pasir putih di Pantai Kuta terbentang di perairan yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Area pantai yang dangkal terbilang cukup luas. Air lautnya masih tampak bersih dan jernih. Wilayah pantai juga aman untuk mandi dan berenang. Kabarnya kita bisa menikmati sejumlah rekreasi dan olahraga air seperti banana boat, windsurfer, atau jetski, namun sejauh pandangan mataku saat itu, aku tak mendapatinya. Mungkin wahana air tersebut letaknya ada di sisi pantai yang berlainan. Di pantai ini juga terdapat deretan bukit-bukit yang menjorok ke laut. Perpaduan antara bukit, laut, serta butiran pasirnya yang seperti merica, membuat pantai ini terlihat semakin memikat.

Butiran pasir Pantai Kuta yang seperti merica (gambar diambil dari sini)

Selain keindahan alam yang dapat dinikmati, satu kali dalam setahun diadakan upacara adat Sasak di pantai ini. Dalam upacara yang disebut upacara Bau Nyale ini para pelaut mencari cacing Nyale di laut. Bau Nyale dilaksanakan setiap tanggal 20 pada bulan ke-10 berdasarkan penanggalan masyarakat Sasak, biasanya sekitar bulan Februari atau Maret. Kata “bau” artinya menangkap, sedangkan “nyale” merupakan jenis cacing laut yang hidup di dasar laut, seperti di lubang batu karang. Cacing laut ini muncul di sepanjang pantai selatan Kabupaten Lombok Tengah, tetapi lokasi yang paling ramai didatangi oleh pengunjung adalah Pantai Kuta dan Pantai Seger yang letaknya berdekatan.

Tradisi Bau Nyale didasarkan pada legenda Putri Mandalika yang telah dipercayai oleh masyarakat Sasak secara turun-temurun. Menurut cerita, dahulu kala ada seorang putri kerajaan bernama Putri Mandalika yang sangat cantik, banyak pangeran dan pemuda yang ingin menikah dengannya. Karena ia tidak dapat mengambil keputusan, dan karena ia tidak ingin ada pertumpahan darah bila ia memilih salah satu dari pemuda tersebut, maka ia terjun ke laut. Ia berjanji sebelumnya bahwa ia akan datang kembali satu kali dalam setahun. Rambutnya yang panjang kemudian menjadi cacing Nyale tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Sasak, cacing laut ini diyakini membawa kesejahteraan dan keselamatan. Mereka percaya bahwa cacing ini bisa menyuburkan tanah sehingga bisa mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Biasanya cacing yang ditangkap ini akan ditaburkan di sawah, atau disantap sebagai lauk.

Pemandangan saat festival Bau Nyale berlangsung (gambar diambil dari sini dan sini)

Makan Malam


Setelah sekitar setengah jam bermain-main di Pantai Kuta, mobil bergegas menderu menuju Kota Mataram. Kami berjanji bertemu dengan rombongan teman-teman Mas Catur untuk makan malam di RM “Taliwang Irama” tepat pukul 18.00 WITA. Dalam perjalanan kami sempat berbelok ke mal untuk membeli buah, serta sandal jepit untuk persiapan ke Gili Trawangan esok harinya.

RM “Taliwang Irama” terletak di Jln. Ade Irma Suryani nomor 10, Cakranegara. Saat kami tiba, listrik sedang padam. Hmm, rupanya di Lombok sering mati lampu ya. Malam sebelumnya kami juga sempat mengalami mati lampu di hotel, untungnya pihak hotel memiliki cadangan sumber listrik sendiri. Pada jam-jam makan, RM “Taliwang Irama” selalu penuh. Kerja sama tak tertulis antara pengelola rumah makan dengan perusahaan jasa perjalanan menjadi pengantar konsumen yang berkesinambungan untuk tempat ini. Sampai-sampai tempat parkir yang tak luas itu, penuh dengan mobil-mobil travel dan bus. Kabarnya kalau jam istirahat kantor tiba, seisi ruangan juga penuh diisi oleh karyawan-karyawan kantor yang mencari makan siang. Makan malam untuk rombongan kami disajikan secara prasmanan. Beberapa menu khas Lombok yang kuingat disajikan malam itu adalah plecing kangkung, ayam bakar taliwang, serta sup iga bebalung.

Menu di RM “Taliwang Irama” (gambar diambil dari sini)

Ayam bakar taliwang tak hanya mengacu pada kota Taliwang di Sumbawa Barat, tetapi lebih berasosiasi pada ayam bakar muda yang berkecap manis dan pedas. Ayam bakar taliwang biasanya disajikan dalam ukuran ekor, bukan potong. Selain itu, yang menjadi penanda paling khas ayam bakar taliwang adalah diolah dari ayam kampung liar berusia 4-5 bulan. Kriteria muda dan liar ini penting untuk menjaga kualitas rasa. Ayam muda memberi rasa manis pada daging dan liar menambahkannya dengan tekstur daging yang sedikit kenyal. Kalau bukan ayam liar, daging akan lembek dan cenderung hancur. Syarat menggunakan ayam berusia muda itu membuat ukuran ayam taliwang tak lebih besar dari kepalan orang dewasa.

Paduan manis dan kenyal ayam taliwang ini diberi bumbu pelalah yang pedas. Bumbu pelalah diracik dari bahan-bahan seperti kemiri, cabai kering, terasi, bawang putih, dan santan. Minyak dalam bumbu setengah cair ini berasal dari kemiri dan santan. Saat bersantap, daging ayam bisa dicolekkan pada bumbu atau seluruh bumbu dilumurkan pada ayam. (sumber dari sini)

Sedangkan sup iga bebalung merupakan sup berbahan tulang iga sapi yang dicampur dengan racikan bumbu, yang terdiri dari garam, cabe rawit, bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, ditambah jahe. Walaupun mirip sup daging pada umumnya, sup bebalung ini memiliki kekhasan tersendiri seperti penggunaan asam jawa dalam kuah kaldunya. Racikan bumbu semacam ini oleh masyarakat Sasak disebut sebagai ragi rajang. Cara membuatnya pun sangat sederhana. Tulang iga dipotong sesuai selera. Setelah dibersihkan dan direbus hingga matang dan dagingnya empuk, barulah dicampur dengan racikan bumbu yang telah dihaluskan dan ditumis. Bumbu dan bahan baku bebalung yang telah matang ini direbus kembali sekitar 30 menit agar bumbunya meresap ke dalam daging. Keistimewaan bebalung adalah dagingnya sangat lunak sehingga tanpa gigitan yang kuat, dagingnya mudah lepas dari tulang. (sumber dari sini)

Selesai makan, kami kembali ke hotel dengan bus rombongan. Berdasar kesepakatan awal, Pak Iskandar memang hanya mengiringi traveling kami hari itu sampai RM “Taliwang Irama” saja. Biaya sewa mobil biasanya berkisar Rp 350-450 ribu per hari. Setelah menunggu proses check in sambil beramah-tamah dengan teman-teman Mas Catur beserta keluarga mereka, akhirnya kami masuk kamar. Kamar kami berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini kami mendapat jatah dua kamar yang bersebelahan. Gedung kamarnya terletak di area hotel bagian barat, sedikit lebih jauh dari lobi jika dibanding kamar kami sebelumnya. Tapi sinyal seluler di kamar baru ini jauh lebih kencang, syukurlah hehehe. Tur wisata budaya hari kedua lumayan menyisakan kepenatan, saatnya istirahat. Siap-siap ke Gili Trawangan esok hari, yippiii...

...bersambung...

Catatan: Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).

Baca juga: