Monday, April 26, 2021

Berdaya Bagi Umat

Banyak perempuan di negara maju menganggap bahwa dia tidak bisa berdaya ketika sudah menikah dan memiliki anak. Pemikiran seperti ini lantas membawa pada pilihan-pilihan hidup untuk tetap melajang, atau menikah tapi memilih untuk tidak memiliki anak. Pada beberapa budaya tipikal masyarakat tertentu, stereotip seperti  ini memang berlaku. Perempuan-perempuan di Jepang misalnya, ketika mereka menikah, mereka akan meninggalkan karier yang sudah dibangun dan berfokus mengurus keluarga. Tak heran perempuan-perempuan di sana akhirnya banyak yang memilih untuk tidak menikah sehingga demografi penduduknya mewujud menjadi piramida terbalik akibat minimnya pertambahan penduduk.

Padahal kalau kita mau menilik lebih jauh, seorang perempuan sebenarnya bisa tetap berdaya meskipun dia telah menikah. Pernikahan sejatinya adalah kawah candradimuka. Dengan dukungan dan lingkungan yang tepat, seorang perempuan bisa tumbuh dan berkembang. Dalam pernikahan, setiap orang belajar untuk melejitkan potensi pasangannya dan sosok keluarga inilah yang berfungsi menguatkan ketika seorang perempuan menghadapi kesulitan.

Berkaca dari pengalaman pribadi, aku belajar banyak dari suamiku. Proses healing-ku dari rasa minder dan depresi bermula ketika aku dekat dengannya, lalu berlanjut ketika menerima pinangannya. Dia tak pernah berhenti menyemangatiku dan memberiku perspektif lain bahwa aku mampu, di saat aku bahkan tidak yakin dengan diriku sendiri. Dia juga yang mencintaiku tanpa syarat sehingga menghempaskan ketidaksukaanku pada diriku sendiri. Kemudian lambat laun aku bangkit, meskipun masih tertatih-tatih mencari arah untuk melangkah.

Dukungannya terhadap proses pemberdayaanku mengejawantah dalam dorongannya padaku untuk berkiprah di luar rumah. Dia percaya aku punya potensi untuk disalurkan di luar sana. Maka satu demi satu surat lamaran kerja kulayangkan ke berbagai instansi, hingga akhirnya jodohku tertambat pada sebuah instansi penelitian di kota Bandung. Perjuangan long distance marriage pun dimulai. Dia tak henti-hentinya menyemangati bahwa kami mampu, mulai dari berdua saja … hingga kini kami sudah berenam.

Suamiku juga yang kemudian memberiku semangat untuk melanjutkan sekolah. Saat itu aku sedang mengandung anak kedua tetapi dia percaya bahwa aku mampu. Ketika anak keduaku berusia dua tahun, aku diwisuda … dan momen itu kurasakan sebagai momen keberhasilan kami sebagai keluarga. Keberhasilan itu bukan hanya kesuksesanku tetapi juga kesuksesan suami dan anak-anak. Mengingat ketika rasa malas melanda, aku menjadi terhibur dan bersemangat kembali dengan melihat polah tingkah anak-anak.

Dukungan dari support system yang tepat juga terasa benar-benar berarti buatku. Berkat bantuan tanteku dan seorang pengasuh, aku bisa menitipkan anak-anak dan berbuat lebih dari sekadar bekerja di luar rumah. Aku aktif dalam beberapa organisasi, belajar lebih banyak melalui berbagai komunitas, memiliki keluangan untuk berolahraga secara rutin, bahkan mengambil sertifikasi untuk melatih yoga. Memang sejak dulu aku beranggapan: seseorang berdaya bila dia bisa bermanfaat untuk umat. Apapun peran yang diambil—dari dalam rumah atau di luar rumah—selama dia berbuat untuk perbaikan dan kebaikan umat, maka itulah makna berdaya yang sesungguhnya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesamanya?

Bagi seorang perempuan, pernikahan justru bisa menjadi batu loncatan untuk lebih berdaya. Banyak prestasi yang bisa diukir dengan dukungan orang-orang tersayang. Melalui pengaturan peran, penyusunan prioritas, dan pengenalan yang lebih dalam terhadap kapabilitas dan kompetensi diri, seorang perempuan akan mampu menemukan hakikat pemberdayaan dirinya untuk kemaslahatan umat.

Monday, April 19, 2021

Ibuku

Ibuku orang Jawa tulen. Pengaruh kejawaan dari kedua orang tuanya sangat kental karena Eyang Putri masih memiliki garis keturunan Sultan Hamengkubuwono I, tapi kejawaan Ibu termasuk yang moderat. Jika Eyang Kakung masih memegang teguh pusaka adat dan ritual adat, Ibu justru menolaknya dengan halus. Kata Ibu, beliau menolaknya karena faktor kepraktisan, tapi jauh dalam hati aku tahu jika sebenarnya Ibu tidak setuju dengan praktik-praktik adat yang jauh dari Islam.

Dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu sebagai sulung dari sembilan bersaudara membuat masa muda Ibu tidak pernah mudah. Eyang Kakung tidak pernah punya rumah. Semasa menjadi pegawai PJKA, Eyang Kakung sekeluarga tinggal di rumah dinas. Setelah Eyang Kakung pensiun, mereka hanya mampu mengontrak rumah petak di tengah kampung. Bahkan Ibu pernah bercerita jika gorden penutup jendela saja mereka tidak punya. Ketika sudah bekerja dan menikah, Ibu masih harus membesarkan dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Tidak heran Ibu tumbuh menjadi seseorang yang keras, tegas, tegar, mandiri, soliter, dan sangat koleris. Semasa kecil Ibu tidak pernah diajari ilmu agama oleh Eyang. Ibu belajar agama dari lingkungannya, salah satunya dengan cara ikut-ikutan temannya mengaji di surau. Faktor ketidakcukupan materi membuat masa remajanya akrab dengan minder dan depresi. Alhamdulillah Ibu mampu bangkit dan sedikit demi sedikit mencoba mencari uang sendiri dengan membantu temannya berjualan.

Ibu adalah sosok wanita karir yang cukup sibuk selama masa produktifnya. Sejak aku kecil, aku ingat selalu ditinggal Ibu bekerja. Meskipun statusnya cuma sebagai guru, Ibu juga memiliki aktivitas sosial yang menuntutnya selalu sibuk. Aku kerap merasa kesal karena merasa masa kecilku sering terlewatkan oleh Ibu. Jika ditanya alasan mengapa beliau bersibuk-sibuk di luar rumah, beliau cuma menjawab agar anak-anaknya berkecukupan dengan uang yang beliau hasilkan. Ibu tidak mau anak-anaknya punya masa kecil yang sama dengan beliau.

Begitulah ibuku. Semenjak aku lulus kuliah, beliau sering menanamkan pesan supaya aku lekas bekerja demi punya penghasilan yang bisa mencukupi keluarga dan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan suami. Pesan Ibu selalu kuingat sebagai nasihat yang sarat dengan spirit mandiri dan aktualisasi diri.

Di sisi lain, sosok Ibu yang cenderung keras menyebabkan komunikasi kami sering tidak nyambung. Aku yang sensitif dan gampang merajuk, kadang-kadang menangis menghadapi Ibu. Menurut beliau, aku ini anaknya yang paling sering membantah sehingga harus diperlakukan dengan keras. Aku membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memperbaiki hubungan dengan Ibu. Hubungan kami yang seperti ini juga membuatku bertekad: kelak aku ingin dekat dengan anak-anakku. Aku ingin bisa menjadi sahabat mereka, tempat berbagi apa pun dan kapan pun, serta selalu ada bila mereka butuh. Aku tidak ingin memiliki hubungan yang berjarak dengan anak-anakku.

Terlepas dari semua itu, aku sangat bangga dengan Ibu. Tak bisa kupungkiri, Ibu memiliki andil besar dalam hidupku. Kalau tidak ada Ibu, mungkin aku bakal lebih cengeng daripada sekarang. Ibu mengajariku tentang nilai-nilai kehidupan, terutama tentang bagaimana seorang perempuan menjadi mandiri sehingga tidak dipandang remeh oleh orang lain. Ketika aku kecil dan remaja, beliau memaksaku untuk belajar mengendarai sepeda dan sepeda motor supaya aku bisa pergi ke mana-mana sendiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Masih teringat jelas perkataan beliau, “Dadi wong wedok kuwi ojo dadi gawene wong lanang.”

Sejak pandemi aku belum berkesempatan menjumpai Ibu kembali. Sudah enam belas bulan berselang tanpa aku bisa memeluk Ibu dan mencium tangannya dengan takzim. Ah, tak bisa kulukiskan seperti apa rasanya rindu ini. Di sini aku terus berdoa: semoga Allah senantiasa memberi Ibu berkah dan kesehatan, serta memberi kami kesempatan untuk dapat kembali bertemu dalam keadaan sehat dan bahagia.

Monday, April 12, 2021

Masa Kecil Sebagai Perempuan: Insecure

Sepanjang ingatanku menjalani masa kecil sebagai perempuan, ada satu kata yang kerap membersamaiku saat itu: insecure. Mungkin aku bisa dibilang cukup cemerlang dalam hal prestasi, tapi sesungguhnya ada banyak hal yang membuatku merasa tidak aman. Aku sering merasa khawatir tidak memiliki teman. Saat kecil aku sungguh pemalu. Terhadap orang yang tak dikenal, aku cenderung menarik diri dan tertutup. Beberapa orang kawan yang cukup dekat denganku membuatku merasa ditinggalkan ketika akhirnya mereka dekat dan bersahabat akrab dengan kawan yang lain. Sebagai seorang gadis kecil, tidak memiliki teman dekat adalah sesuatu yang menyedihkan.

Beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah unggulan, aku melihat teman-teman perempuan banyak yang membentuk geng. Tanpa sengaja aku terlibat akrab dengan salah satu geng di kelas. Peer pressure sangat terasa dalam interaksi sehari-hari. Aku dianggap gaul jika mengikuti standar mereka, dan aku sering dicibir bila menolak ajakan hang out karena aku harus buru-buru pulang untuk menjaga adikku. Sampai suatu ketika aku didepak keluar dari geng itu dengan cara yang mungkin buat mereka biasa, tapi buatku terasa sangat menyakitkan. Hingga hari ini aku tidak tahu alasannya. Dugaanku: karena aku sering berbeda pendapat dan kerap menolak ajakan hang out mereka, sehingga bagi mereka mungkin aku bukan teman yang asyik.

Peristiwa itu menorehkan luka teramat dalam, sampai-sampai aku bertekad untuk tak akan pernah lagi bersahabat dekat dengan sesama perempuan. Perjalanan mencari teman membawaku pada satu kesimpulan bahwa lebih baik sendirian daripada merasa tersakiti oleh sahabat. Maka ketika aku duduk di bangku SMA, aku mulai menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi dan berteman dengan banyak teman laki-laki. Bahkan beberapa kali aku berpacaran dan merasa bisa menjalani hari-hari tanpa sahabat perempuan.

Kenangan-kenangan di masa lalu berperan besar membentuk kepribadianku. Hingga sekarang aku lebih nyaman bepergian seorang diri tanpa teman. Zaman kuliah aku sampai kenyang mendapat pertanyaan “Sendirian aja, Yus?” ketika pergi ke mana-mana. Bahkan saat ibu-ibu di kantor pergi beramai-ramai ke mal ketika jam istirahat, aku merasa lebih nyaman pergi sendiri dalam diam.

Melihat kenyataan hidup di sekeliling saat ini, sering sekali kita dapati perempuan satu dengan yang lain saling menjatuhkan. Di kalangan ibu-ibu, sudah jamak terjadi mom war dalam berbagai hal, mulai dari ASI versus susu formula, ibu bekerja versus ibu di rumah, melahirkan normal versus melahirkan C-section, dan masih banyak lagi. Seolah pengalaman masa kecilku belumlah cukup, aku merasa sangat lelah melihatnya.

Perempuan harus saling mendukung satu sama lain. Seorang perempuan bisa memberdayakan perempuan lain dan hal itu tak akan pernah mengecilkan  peran dan makna dirinya sendiri. Di dunia yang keras ini, kita harus memberangus kebencian, kecemburuan, atau perasaan iri antara sesama perempuan.

Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan kesulitan yang sama.

Andai saja sejak kecil kita diajari untuk saling mendukung satu sama lain sebagai perempuan, mungkin tidak perlu ada gadis-gadis lain yang mengalami nasib sama denganku. Tak perlu ada persaingan saling menjatuhkan, tak perlu ada perundungan, tak perlu adu debat meskipun berbeda pendapat.