Banyak perempuan di negara maju menganggap bahwa dia tidak bisa berdaya ketika sudah menikah dan memiliki anak. Pemikiran seperti ini lantas membawa pada pilihan-pilihan hidup untuk tetap melajang, atau menikah tapi memilih untuk tidak memiliki anak. Pada beberapa budaya tipikal masyarakat tertentu, stereotip seperti ini memang berlaku. Perempuan-perempuan di Jepang misalnya, ketika mereka menikah, mereka akan meninggalkan karier yang sudah dibangun dan berfokus mengurus keluarga. Tak heran perempuan-perempuan di sana akhirnya banyak yang memilih untuk tidak menikah sehingga demografi penduduknya mewujud menjadi piramida terbalik akibat minimnya pertambahan penduduk.
Padahal kalau kita mau menilik lebih jauh, seorang perempuan
sebenarnya bisa tetap berdaya meskipun dia telah menikah. Pernikahan sejatinya adalah
kawah candradimuka. Dengan dukungan dan lingkungan yang tepat, seorang
perempuan bisa tumbuh dan berkembang. Dalam pernikahan, setiap orang belajar
untuk melejitkan potensi pasangannya dan sosok keluarga inilah yang berfungsi
menguatkan ketika seorang perempuan menghadapi kesulitan.
Berkaca dari pengalaman pribadi, aku belajar banyak dari
suamiku. Proses healing-ku dari rasa minder dan depresi bermula ketika aku dekat
dengannya, lalu berlanjut ketika menerima pinangannya. Dia tak pernah berhenti
menyemangatiku dan memberiku perspektif lain bahwa aku mampu, di saat aku
bahkan tidak yakin dengan diriku sendiri. Dia juga yang mencintaiku tanpa
syarat sehingga menghempaskan ketidaksukaanku pada diriku sendiri. Kemudian
lambat laun aku bangkit, meskipun masih tertatih-tatih mencari arah untuk
melangkah.
Dukungannya terhadap proses pemberdayaanku mengejawantah
dalam dorongannya padaku untuk berkiprah di luar rumah. Dia percaya aku punya
potensi untuk disalurkan di luar sana. Maka satu demi satu surat lamaran kerja
kulayangkan ke berbagai instansi, hingga akhirnya jodohku tertambat pada sebuah
instansi penelitian di kota Bandung. Perjuangan long distance marriage pun
dimulai. Dia tak henti-hentinya menyemangati bahwa kami mampu, mulai dari
berdua saja … hingga kini kami sudah berenam.
Suamiku juga yang kemudian memberiku semangat untuk
melanjutkan sekolah. Saat itu aku sedang mengandung anak kedua tetapi dia
percaya bahwa aku mampu. Ketika anak keduaku berusia dua tahun, aku diwisuda …
dan momen itu kurasakan sebagai momen keberhasilan kami sebagai keluarga. Keberhasilan
itu bukan hanya kesuksesanku tetapi juga kesuksesan suami dan anak-anak.
Mengingat ketika rasa malas melanda, aku menjadi terhibur dan bersemangat
kembali dengan melihat polah tingkah anak-anak.
Dukungan dari support system yang tepat juga terasa
benar-benar berarti buatku. Berkat bantuan tanteku dan seorang pengasuh, aku
bisa menitipkan anak-anak dan berbuat lebih dari sekadar bekerja di luar rumah.
Aku aktif dalam beberapa organisasi, belajar lebih banyak melalui berbagai
komunitas, memiliki keluangan untuk berolahraga secara rutin, bahkan mengambil
sertifikasi untuk melatih yoga. Memang sejak dulu aku beranggapan: seseorang berdaya bila dia bisa bermanfaat untuk umat. Apapun peran yang
diambil—dari dalam rumah atau di luar rumah—selama dia berbuat untuk perbaikan
dan kebaikan umat, maka itulah makna berdaya yang sesungguhnya. Bukankah
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesamanya?
Bagi seorang perempuan, pernikahan justru bisa menjadi batu
loncatan untuk lebih berdaya. Banyak prestasi yang bisa diukir dengan dukungan
orang-orang tersayang. Melalui pengaturan peran, penyusunan prioritas, dan
pengenalan yang lebih dalam terhadap kapabilitas dan kompetensi diri, seorang
perempuan akan mampu menemukan hakikat pemberdayaan dirinya untuk kemaslahatan
umat.