Monday, August 23, 2021

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Hal yang paling drastis mengalami perubahan pada masa pandemi ini adalah kehidupan sosial. Betapa tidak … menjaga jarak dan tidak berkerumun adalah dua protokol kesehatan yang harus selalu diterapkan. Dua hal ini menjadi penghalang utama bagi manusia—yang katanya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain—untuk berkumpul dan bersosialisasi secara tatap muka.

Bicara tentang aspek manusia sebagai makhluk sosial, kebutuhan untuk bertemu dan berkumpul dengan orang lain itu sudah mendarah daging dalam filosofi hidup bangsa kita—mumpung masih bulan Agustus, nih … tema kebangsaan masih terasa hangat dalam ingatan. Itulah alasan sila keempat Pancasila dilambangkan dengan kepala banteng. Sekadar informasi, banteng adalah hewan yang suka berkumpul dengan kawanannya sehingga dipandang paling pas untuk menggambarkan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sejarah panjang nenek moyang kita yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong tentu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan berkumpul ini.

Untungnya kita sekarang hidup di zaman yang serba dimudahkan oleh teknologi. Meskipun tidak bisa bertatap muka secara langsung, kita masih bisa bertemu melalui aplikasi komunikasi yang menggunakan video dalam berbagai perangkat baik seluler maupun desktop. Dengan adanya internet of things, manusia di zaman milenial ini masih bisa berkumpul secara daring, menatap wajah yang lain, dan menyaksikan ragam ekspresi lawan bicara melalui layar. Hubungan sosial semacam ini tentu pada akhirnya menjadi lazim dilakukan di masa pandemi ini karena kita tidak memiliki pilihan lain.

Ada nilai plus dan minus dari kehidupan sosial yang seperti itu. Nilai plusnya banyak terkait dengan kepraktisan dan kemudahan. Kita tidak perlu pergi menaklukkan jarak keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Bahkan dalam kondisi berdaster pun kita bisa mengadakan rapat dari pojokan rumah. Namun, beberapa nilai minus juga terpaksa kita rasakan. Terlalu banyak screen time dan paparan gawai pada suatu titik justru dapat menjadikan kita antisosial dan teralienasi dari orang-orang terdekat. Bagi sebagian orang, engagement yang didapat dari jumlah like pada postingan dianggap lebih penting daripada kualitas hubungan pertemanan.

Mari berdoa semoga pandemi ini cepat berakhir agar kita dapat bertemu kembali dan berbagi jabat tangan, pelukan, tawa renyah, tatapan hangat, bahasa tubuh, dan kontak mata yang tak lagi berjarak.

In a world of algorithms, hashtags, and followers, know the true importance of human connection.” — unknown

Monday, August 16, 2021

Perayaan Tujuh Belasan

Yang selalu kuingat dari perayaan tujuh belasan adalah kemeriahan perayaan tujuh belasan zaman aku kecil dulu di Solo. Kami tinggal di lingkungan perumahan yang sangat guyub. Saat itu muda-mudi karang taruna dan pengurus RT/RW sangat aktif membuat kegiatan setiap 17 Agustus menjelang. Biasanya perayaannya merupakan satu rangkaian mulai dari jalan sehat, lomba tujuh belasan, panggung perayaan, hingga malam tirakatan.

Acara jalan sehat terbuka untuk semua warga dari segala usia. Rutenya dipilih sangat ramah untuk anak-anak dan lansia, jadi jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Kami melewati area pemukiman dan persawahan di tengah udara pagi yang sangat segar. Sepanjang rute kami sibuk mengobrol, bercanda, dan tertawa. Setelah sampai di garis finish, kami disuguhi aneka kudapan dan hidangan yang menggugah selera, terutama karena kami merasa kelaparan seusai berjalan beberapa kilometer, hahaha. Acara makan digelar secara prasmanan sehingga kami bebas mengambil apa saja. Sambil menikmati santapan, kami duduk lesehan dan menyaksikan pembagian doorprize.

Lomba tujuh belasan diadakan di lain waktu. Lomba untuk anak-anak dilaksanakan dalam beberapa cabang lomba yang cukup lazim seperti tarik tambang, memasukkan pensil ke dalam botol, balap karung, bakiak, balap cepat sambil mengulum sendok berisi kelereng, dll. Lomba untuk orang dewasa tidak terlalu banyak ragamnya, biasanya hanya berupa panjat pinang dan pertandingan voli saja.

Pada malam hari setelah sorenya diadakan lomba tujuh belasan, panggung perayaan digelar. Para muda-mudi Karang Taruna menjadi panitia pagelaran panggung ini. Isi acaranya berupa pertunjukan unjuk bakat dan keberanian warga untuk tampil di atas panggung. Setiap orang bebas menyumbangkan penampilan setelah mendaftar dan latihan bersama sejak beberapa minggu sebelumnya. Pada pagelaran panggung ini biasanya aku menampilkan baca puisi, seni tari, atau drama sederhana bersama teman-teman sepermainan di bawah bimbingan pamanku yang sudah malang-melintang di dunia teater.

Sebagai puncak perayaan tujuh belasan, malam tirakatan diadakan pada tanggal 16 Agustus malam. Acara ini hanya melibatkan para warga yang sudah dewasa saja. Mereka akan mengenang jasa para pahlawan dan berdoa bersama untuk kebaikan negeri. Sebenarnya aku tidak terlalu paham bentuk acaranya seperti apa karena aku tidak pernah ikut serta, hihihi. Aku hanya mendengar cerita Ibu yang berkisah sepulang dari sana sambil makan camilan dari dus kudapan yang Ibu bawa pulang untuk anak-anaknya.

Setelah aku tumbuh dewasa dan berkeluarga, lalu menetap di Bandung dan sekarang Tangerang Selatan, aku belum pernah mendapati perayaan tujuh belasan semeriah zaman kecilku dulu. Mudah-mudahan setelah pandemi usai, acara semacam ini dapat kembali diadakan untuk mempererat relasi antarwarga.

Monday, August 09, 2021

ITBMotherhood dan MamahGajahBerlari





Salah satu hal yang kusyukuri dari menjadi alumni Institut Teknologi Bandung adalah bisa bergabung dengan komunitas ITBMotherhood. Komunitas ini dibuat pada 2010 untuk mewadahi mahasiswi atau alumni perempuan ITB yang tertarik pada dunia ibu dan anak. Hingga saat ini grup ITBMotherhood di Facebook telah memiliki 4.487 anggota dan kegiatannya berkembang menjadi lebih dari 30 komunitas internal―yang kegiatannya tidak hanya bersifat daring, tetapi juga luring.

ITBMotherhood memiliki iklim yang sangat kondusif untuk menjadi sebuah support system. Di dalamnya kita dapat bertanya tentang apa saja tanpa takut merasa dihakimi, dapat melakukan jual beli dengan rasa aman dan asas kepercayaan, atau mencari dukungan dalam bentuk apapun. Sebagai contoh, beberapa tahun silam aku sempat bergabung dengan subgrup ASIX dan subgrup ibu hamil yang sangat memberi dukungan dalam hal motivasi maupun pengetahuan seputar kehamilan, persalinan, dan ASI. Beberapa subgrup di ITBMotherhood juga bergerak dalam hal beasiswa, donasi, dan relawan.

Subgrup ITBMotherhood yang ingin kuceritakan dalam tulisanku kali ini adalah komunitas MamahGajahBerlari (MGB). Ketika mulai berlari beberapa tahun lalu, sedikit sekali ilmu yang kumiliki. Saat itu hanya terpikir, kalau mau rutin berlari ya tinggal berlari saja. Wong awalnya hanya bermula dari self challenge menjajal kemampuan diri: apakah benar bisa menaklukkan olahraga yang dulu amat kubenci ini.

Mendekati pertengahan 2019, iseng-iseng aku bergabung dengan MGB, salah satu subgrup ITBMotherhood yang berisikan mamah-mamah alumni ITB yang menekuni hobi berlari di tengah-tengah kesibukan mengurus keluarga dan karir. Pertemanan sehat bersama MGB ini ternyata di luar ekspektasiku. Selain beroleh banyak ilmu tentang lari, di sini aku bagai menemukan keluarga baru yang really fits the idea of being support group. Sekecil apapun progres kita, di sini kita dikeprokin ramai-ramai. Sesuai dengan tag #PaceRecehTapiKeceh: tidak ada hal yang remeh di sini, setiap orang dihargai dengan target dan pencapaian masing-masing. Having fun dengan berlari demi hidup yang lebih sehat dan bugar menjadi yang terpenting.

Dulu sebelum pandemi, selain berlari dan coaching bersama, mamah-mamah MGB rajin bertemu luring untuk acara santai, makan-makan, botram, juga popotoan. Kami juga rajin saling jastip belanja perintilan lari dan saling menularkan semangat shopping, hahaha. Grup selalu ramai membahas tentang girls stuff dalam dunia lari, suatu hal yang tak akan mungkin ditemui di grup runners umum yang isinya juga ada para bapak 😛

Setiap orang akan bisa tumbuh dan berkembang jika mereka berada di lingkungan dan komunitas yang tepat. Begitulah yang kurasakan ketika berada di dalam MGB. Selama dua tahun bergabung di dalamnya, ada banyak pencapaian yang aku peroleh, mulai dari berhasil membangun training plan dan mengatur waktu untuk menyempatkan berlari di tengah kesibukan, memperbaiki heart rate dan VO2Max, memperbaiki endurance, hingga berhasil menempuh long run mulai dari 10 km sampai 21,1 km. Hal-hal ini mungkin tak akan tercapai bila aku tidak tahu ilmunya dan tidak punya motivasi seperti yang selalu disemangatkan oleh para mamah MGB.

Perempuan memang harus saling mendukung satu sama lain. Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan kesulitan yang sama. Mudah-mudahan dengan adanya ITBMotherhood dan subgrup-subgrup lain di bawahnya, para alumni perempuan ITB dapat memberikan manfaat yang nyata demi Tuhan, bangsa, dan almamater.

Monday, August 02, 2021

Keberagaman di Mata Anak-Anak

Anak-anakku mengenal konteks keberagaman kira-kira ketika mereka memasuki usia SD. Pasalnya ada pelajaran Bahasa Sunda di sekolah, yang akhirnya membuat kami bercerita lebih banyak tentang asal-usul leluhur mereka akibat lontaran pertanyaan “Kenapa Ayah dan Bunda nggak ngerti bahasa Sunda?”, hahaha. Ya, kami memang sudah dua puluh satu tahun tinggal di Bandung. Namun, karena seluruh keluarga berasal dari Jawa Tengah dan sejak dulu lingkaran pertemanan kami banyak berkisar di komunitas orang Jawa, kami tidak terlalu fasih berbahasa Sunda.

Konsep keberagaman ini merupakan konsep yang unik bagi anak-anak. Maklum, di usia itu mereka masih mempertanyakan banyak hal akibat keingintahuan yang tinggi, terutama ketika mereka melihat ada orang yang berbeda dengan mereka. Sesederhana kenyataan mengapa orang lain menggunakan bahasa yang berbeda atau mengapa orang lain memiliki agama yang berbeda, dapat mengusik keingintahuan mereka. Sebagai orang tua, kami tentu harus membahasakan perbedaan itu dengan kalimat yang baik dan mudah dimengerti, tanpa menimbulkan rasa intoleransi.

Di sekolah mereka belajar teori mengenai bermacam-macam suku, budaya, bahasa, atau agama. Mereka juga belajar adab saling menghargai dari buku teks. Namun di dunia nyata, kehidupan tidak semudah teori. Adakalanya anak-anak tidak mengerti apa yang teman-teman mereka obrolkan karena berbeda bahasa. Untungnya hal itu tidak pernah menjadi masalah sejauh ini. Mereka punya cara sendiri untuk bisa berbaur dengan teman meski berbeda bahasa ibu.

Yang agak susah adalah menyederhanakan pemahaman mereka soal perbedaan agama atau keyakinan. Terus terang aku agak kelimpungan menjelaskan mengapa orang lain melakukan ritual agama yang berbeda dengan kami. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi susah karena sebelumnya kami harus meletakkan pondasi ketauhidan terlebih dahulu dalam dada mereka, sehingga ketika mereka melihat orang lain yang berbeda … hal itu tidak akan menjadi masalah sebab mereka tahu bagaimana harus menyikapinya. Yang lebih tricky sebenarnya ketika mereka melontarkan pertanyaan dengan suara keras di depan orang yang bersangkutan, misalnya “Bun, kenapa Tante itu nggak pake jilbab?”. Kalau sudah begitu kami terpaksa harus cepat-cepat menarik mereka untuk menjauh karena khawatir perkataan mereka dapat menyinggung orang lain.

Konsep keberagaman memang seharusnya tidak hanya diajarkan secara teoritis. Bukankah banyak manusia di negeri ini yang sudah hafal kalimat-kalimat yang menggaungkan toleransi sejak mereka SD, tetapi gagal menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat? Saat ini anak-anak kami memang masih bersekolah di sekolah islami demi penguatan pondasi nilai-nilai beragama, tetapi aku berharap kelak suatu hari nanti mereka dapat pergi ke berbagai tempat, menuntut ilmu di beraneka institusi, dan bertemu dengan bermacam-macam orang supaya mereka memahami arti perbedaan dan arti toleransi yang sesungguhnya.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)