Sudah lama aku merasa gerah dengan mainan-mainan Hanif yang banyaknya
sampai tiga kontainer itu. Sebagian besar di antaranya adalah mobil-mobilan. Paling
sebal kalau dia mulai menumpahkan kontainer dan membuat isinya berserakan. Makin
sebal lagi kalau tiap minggu dia masih minta mobil-mobilan dan ayahnya dengan
gampang menurutinya.
Sudah lama pula aku punya keinginan untuk mengajarkan Hanif sesuatu, bahwa
ada anak-anak di luar sana yang tidak seberuntung dirinya yang berkelimpahan
mainan. Dulu aku menawarinya komitmen: kalau ada mainan yang masuk, maka harus
ada mainan yang keluar. Maksudnya ‘keluar’ di sini adalah menyumbangkan
mainannya untuk anak-anak panti asuhan yang pernah kami kunjungi dulu. Namun,
selalu saja dia menolak, mungkin masih merasa sayang dengan mainan-mainannya
itu.
Akhirnya pagi tadi, setelah diawali dengan episode nangis-nangis, jadilah
kami menjalani komitmen itu. Terharu rasanya Hanif mau diajak memilah dan
menyortir mainannya: mana yang akan disimpan buat dirinya, mana yang sudah
rusak dan perlu dibuang, serta mana yang akan disumbangkan ke panti asuhan. Setelah
tersortir, mainan-mainan yang akan disumbangkan dimasukkan ke kotak, diselotip
rapi, dan dimasukkan ke kantong plastik.
Menjelang siang, Hanif dan ayahnya siap berangkat. Satu agenda untuk ‘mengajarkannya
sesuatu’ akhirnya terselesaikan. Semoga ke depan, Hanif tumbuh menjadi anak
yang suka bersyukur, berbagi, dan berempati dengan kesusahan orang lain.