Friday, January 28, 2011

Eksklusivitas

[heuheu, ternyata asik juga curhat dengan QN ala Tobie]

Kenapa sih di semua kantor di dunia ini, ada yang namanya eksklusivitas? Ya, dalam kasusku, hal itu berbentuk geng-geng gaul yang selalu mojok barengan ketika di kantin, atau ketika pergi jalan pas main sepulang kantor.

Dari dulu, aku tidak pernah suka dengan geng-geng gaul semacam ini. Kenapa sih, nggak membaur saja dengan orang lain? Kenapa sih, musti pilih-pilih pergaulan berdasar status pegawai atau status outsourcing, atau bahkan cuma gara-gara satu bidang pekerjaan?

Well, aku pernah terlibat dalam satu geng gaul ketika SMP, dan berakhir dengan sangat menyedihkan *haha, lebay*. Tentu menyedihkan, lha wong aku didepak dari geng gaul itu karena dianggap tidak bisa "in" dengan dinamika geng. OMG, dinamika apanya... kalau yang dimaksud adalah pergi jalan ke mall sepulang sekolah, bareng-bareng pakai aksesoris yang sama, shopping ke mana-mana. Yah, namanya masih SMP, maka alasan gaulnya juga "secetek" itu. Akibatnya, aku yang sepulang sekolah langsung pulang ke rumah karena musti ngasuh adik dan bantu Mami dengan pekerjaan rumah (di rumah tidak ada pengasuh ataupun pembantu) terpaksa harus rela didepak karena dianggap tidak bisa mengikuti standar gaul mereka.

Itulah kali pertama dan yang terakhir aku terlibat dengan yang namanya geng gaul. Sejak saat itu, aku lebih nyaman pergi ke mana-mana sendiri dan bersikap nonblok terhadap semua geng-geng di sekolah. Dan hasilnya ternyata lebih menyenangkan. Aku jadi bisa ngaclok dan gaul dengan semua geng (karena dianggap tidak memihak geng tertentu), diundang datang ke acara semua geng, dan tentu yang paling menyenangkan: tak ada lagi tuh yang ngatur-ngatur aku musti gaul yang bagaimana.

Hal itu berlanjut sampai sekarang. Waktu kuliah aku juga ke mana-mana sendiri, waktu sekarang sudah bekerja pun demikian. Asyiknya lagi, karena suka ngaclok di mana-mana, aku jadi tahu banyak tentang gosip yang berkembang, hihihi. Tapi tenang saja, aku bukan manusia ember kok.

Hanya saja, masih kerap sebal dengan fenomena eksklusivitas geng-geng gaul ini. Kadang-kadang mereka menganggap gengnya yang paling penting, yang paling sibuk, bla bla bla.

Hmm, eksklusivitas... does it really matter?

Tentang Senam

Kemarin anak-anak di ruangan pada sibuk guyonan tentang SKJ zaman sekolah dulu. Awalnya gara-gara ada yang streaming di Youtube soal SKJ ini. Diikuti dengan meledaknya tawa mereka melihat dan mengingat rangkaian gerakan yang jadul.

Entah mengapa, beberapa tahun lalu, SKJ sangat populer di kalangan pelajar. Pengalamanku dulu, senam wajib dilakukan seminggu sekali tiap hari Jumat. Dan buatku yang dulu masih sangat polos *halah* soal gerakan senam, SKJ sudah merupakan gerakan senam yang paling keren :D

Setelah kuingat-ingat lagi, "bibit-bibit" kesukaanku pada senam memang dimulai sejak era SKJ ini. Tiap kali senam, aku bergerak dengan penuh semangat dan power tinggi. Kadang heran dengan teman-teman yang bergerak seadanya. Karena buatku waktu itu, dengan mindset di kepala tentang SKJ sebagai senam paling keren, bergerak diiringi musik merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan.

Dan ternyata, berlanjut kan sampai sekarang. Begitu kenal dengan senam aerobik, keasyikan itu menggila menjadi kecanduan. Tak terasa sudah benar-benar melupakan masa-masa "menggilai" SKJ dulu, sampai kemarin diingatkan oleh guyonan anak-anak itu. Pikirku, hmm, berarti memang dari dulu aku hobi sekali senam.

Pas aku pulang ke Solo beberapa hari lalu dan sempat berbincang tentang senam dengan adikku yang masih pelajar, ternyata sekarang ini SKJ sudah tak terlalu populer di kalangan pelajar. Aku tak tahu apakah SKJ masih menjadi agenda wajib mingguan di sekolah, yang jelas: popularitas SKJ sudah tergeser dengan senam aerobik. Bagaimana tidak, untuk ujian praktek anak-anak kelas tiga saja, materi yang diujikan adalah materi senam aerobik. Dan guru olahraga mereka sampai mengundang seorang instruktur senam aerobik untuk mengajari mereka beberapa gerakan. Oalahh, mbok ya ngundang aku, gratis wis :D

Akhirnya kepulangan kemarin juga diisi dengan sesi konsultasi adikku tentang beberapa gerakan dan musik untuk mengiringi senam. Oh yes, senam aerobik memang mengasyikkan.

NB: Ini ceritanya lagi latihan nulis QN ala Tobie. Tapi ya nggak mungkin ikut lomba, lha wong kontakku yang aktif komen (di Multiply) cuma Mbak Mia, Mbak Shanti, sama Adenita. Ya jelas didiskualifikasi lah :D

Tuesday, January 11, 2011

Job Hunting, Karir, dan Pekerjaan

Beberapa waktu lalu, seorang teman lama mampir ke rumah. Dia menempuh perjalanan yang cukup panjang dan memerlukan tempat untuk beristirahat, untuk kemudian menghadiri sesi wawancara yang dijadwalkan hari itu. Teman ini baru saja melahirkan seminggu sebelumnya, jadi bayangkan saja bagaimana payahnya. Ia bahkan tak bisa sekedar menginap untuk memulihkan kondisi, karena seorang balita dan seorang bayi mungil nun jauh di sana, memaksanya pulang-balik hari itu juga.

Ketika ia sudah dalam perjalanan pulang, aku menerima pesan singkatnya bahwa wawancara yang dijalaninya dengan susah payah—baik dari segi waktu, biaya, tenaga, sampai harus jauh-jauh meninggalkan anak-anaknya—ternyata tidak membuahkan hasil. Ya begitulah, ia tidak lolos dalam sesi wawancara kali itu untuk mendapatkan beasiswa S2.

Aku menyebut temanku ini sebagai seorang pejuang. Bagaimana tidak, sejak ia lulus S1 beberapa tahun silam, rasanya belum pernah ia menapak kesuksesan dalam hal karir. Lulus dengan penuh perjuangan, lalu bertahun-tahun mengirim lamaran dan wawancara ke sana-sini. Sempat bekerja sebentar, sebelum akhirnya berakhir dengan tidak memuaskan dan memaksanya beralih jalur untuk mencoba S2 alih-alih berusaha mencari pekerjaan kembali.

Bicara tentang temanku ini adalah bicara tentang keprihatinan. Bahwa kehidupan pascakampus adalah kehidupan yang keras, kehidupan yang sesungguhnya. Dan hidup tak pernah mudah baginya. Mengingat temanku ini sejatinya juga mengingatkanku pada diriku sendiri. Tak bisa kupungkiri, pada sosoknya, aku melihat sosokku juga bertahun-tahun lalu.

Kami berdua lulus dengan berdarah-darah dari sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Nama besar almamater tidak selalu menjadi jaminan bahwa urusan mencari pekerjaan menjadi gampang. IPK kami yang kecil, membuat kami menjadi pecundang di hadapan perusahaan-perusahaan elit atau badan-badan bergengsi tempat para kawan kami masuk dengan mudah. Aku sendiri menganggur hampir dua tahun lamanya sebelum akhirnya diterima menjadi PNS di sebuah lembaga penelitian. Muara yang baik dari sebuah pencarian panjang, alhamdulillah. Tapi itu tidak lantas membuatku lupa, bahwa selama hampir dua tahun itu, aku telah mengirim beratus-ratus aplikasi lamaran, menjalani berpuluh-puluh tes dan wawancara, bahkan sempat dikeluarkan oleh suatu perusahaan kala menjalani probation period.

Nyesek memang, tapi itulah kenyataan. Aku memang merasa diriku ini tidak terlalu kompetitif dan berkompetensi dalam bidang yang kugeluti, sayangnya ijazah yang kupunya ya hanya ijazah di bidang itu. Akan jadi cerita panjang kalau aku membeberkan bagaimana sebenarnya aku tidak suka dan merasa salah jurusan, tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Semoga jadi pelajaran bagi siapa saja, bahwa memilih jurusan ketika kuliah tidak bisa semata-mata diputuskan hanya karena jurusan itu “laku”, banyak teman yang memilih itu, orang tua menyarankan itu, jurusan itu terlihat keren dan mentereng, prospeknya bagus, bla bla bla. Semoga jadi pelajaran juga bahwa memilih jurusan harusnya didasarkan pada minat dan kemampuan. Bertanya pada hati, bertanya pada Allah. Karena sekali “nyemplung” dalam bidang itu, seumur hidup akan berkutat di bidang itu. Yah, mungkin terkecuali untuk orang-orang tertentu, yang bisa juga sukses di luar bidang ijazahnya.

Seringkali orang berpikir, nama besar almamater identik dengan kompetensi yang luar biasa, atau kemampuan akademik yang mumpuni. Kemudian hal itu akan berbanding lurus dengan ekspektasi pada kami, para lulusannya. Dan celakanya, cap semacam ini seperti menempel erat di jidat, sehingga komentar orang menjadi jauh lebih kejam ketika kami gagal. Aku ingat, pada sebuah sesi wawancara, si pewawancara meloloskan aku dengan sangat mudah ketika tahu aku lulus dari mana. Kasihan sekali kandidat lain di sampingku, yang masih harus dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan panjang. Well, itu diskriminasi yang positif. Tapi jangan salah, diskriminasi yang negatif juga banyak. Ya itu tadi, ketidakmampuan orang lain memaklumi kemampuanku yang sebenarnya alakadarnya, hanya karena melihat dari mana aku berasal.

Kemarin ketika aku melihat film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), ketika menyaksikan sang tokoh utama—yang pengangguran—sedang berkeliling Jakarta sembari mengempit tas untuk melamar pekerjaan ke sana kemari, hatiku mendadak basah. Been there, done that. Aku juga pernah punya pengalaman serupa: berkeliling Jakarta, masuk ke gedung-gedung megah untuk mengikuti tes atau walk-in interview sambil mengempit map berisi ijazah. Hmm, jangan-jangan nilai tes TOEFL-ku tinggi gara-gara aku dulu keseringan ikut tes TOEFL ketika seleksi karyawan ya? Hehehe.

Back to reality. Ketika melihat hidupku sekarang, I can’t be more grateful. Alhamdulillah, Gusti Allah memberi segala yang kubutuhkan. Dalam hal pekerjaan, meskipun tidak sekeren kawan-kawan lain sealmamater yang bergaji juta-juta-jutaan itu, menjadi PNS memberiku keleluasaan lebih untuk mengasuh anak dibanding mereka. Dan tentu sangat lebih beruntung dibanding seorang temanku yang kuceritakan tadi di awal tulisan ini.

Tapi memang bukan manusia kalau tak pernah puas. Adakalanya kenyataan hidup membawaku pada perenungan, apakah pantas aku meneruskan pekerjaanku ini. Selain karena sebenarnya aku tak terlalu suka pada bidang yang kugeluti sekarang—seperti ceritaku di atas tadi—kadang aku juga merasa berdosa pada negara. Ada satu pemikiran idealis dalam diriku, mungkin sebaiknya aku resign saja supaya negara bisa menggaji orang lain yang memang kemampuannya lebih dibutuhkan negara. Yah, kalau aku merasa tidak berkompetensi, pilihannya kan cuma ada dua: upgrade diri atau resign. Padahal upgrade diri, totalitas, dan integritas susah dilakukan jika tidak ikhlas menyukai bidang yang digeluti.

Belum lagi kalau bicara tentang kehidupan rumah tanggaku yang tidak ideal karena harus pisah kota demi pekerjaan. Belum lagi kalau bicara soal pengasuhan Hanif dan cita-cita awalku tentang menjadi stay-at-home mom. Beuhh, banyak benar yang bisa membuat stres. Kalau sudah begini, kata ‘resign’ memang selalu bermain-main di benak. Tapi kalau aku resign, kok rasanya kurang bersyukur ya. Melihat ribuan orang tidak lolos tes PNS, melihat betapa banyaknya orang yang menganggur dan sulit sekali mencari pekerjaan, selalu membuatku berpikir: jangan-jangan aku kufur nikmat kalau aku resign?

Kehidupan menjadi orang dewasa sungguh sulit. Keputusan yang dibuat tidak bisa didasarkan pada keinginan pribadi saja, melainkan harus mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan lain yang beririsan. Tanggung jawab, aku rasa ini kata yang tepat yang memberi nilai sesungguhnya pada kehidupan orang dewasa.

Monday, January 03, 2011

Senam Aerobik

Banyak yang bertanya padaku, mengapa begitu sulit bagiku untuk berhenti senam aerobik, atau mengapa aku begitu konsisten dan disiplin melakukan senam aerobik empat kali seminggu. Seperti yang pernah kutulis di sini, Juni lalu ketika aku ketahuan mengidap skoliosis, memang ada seorang dokter ortopedi yang melarangku melakukan senam. Dan saat itu aku begitu bersikeras mencari dokter-dokter lain sehingga akhirnya aku mendapat second dan third opinion yang mengegolkan keinginanku untuk tetap senam.

Ada beberapa orang yang mengambil kesimpulan kalau aku terlalu takut menggendut sehingga tidak mau berhenti senam. Ada juga yang menyatakan simpati dan kekhawatirannya mengenai tulang punggungku bila aku terus senam. Bagaimanapun aku sangat menghargai segala bentuk perhatian mereka, namun apakah benar demikian adanya? Terlepas dari bagaimana pengaruh senam terhadap tulang punggungku—harus dengan observasi berkala untuk mengetahuinya—aku ingin bercerita sedikit mengenai ketertarikanku pada senam aerobik ini.

Pertengahan tahun 2005, sesaat setelah Ujian Akhir Semester selesai, aku dirawat inap di RS St. Borromeus karena demam berdarah. Sepulang dari rumah sakit, nafsu makanku meningkat pesat. Sehari bisa makan sampai lima kali. Lalu tiba-tiba aku merasa badanku berat. Ternyata aku menggendut. 56,5 kilogram untuk tinggi 153 sentimeter, well... you could imagine. Seorang teman yang sudah lebih dulu senam aerobik—meskipun tidak terlalu rutin—mengajakku ikut serta untuk meredakan kegundahanku. Nah, di sini awal mulanya. Sejak itulah aku rutin senam aerobik.

April 2007 ketika aku menikah, beratku sudah 44 kilogram, turun dua belas kilogram lebih sejak aku ikut senam pertama kali. Memang terlihat lama, karena cara ini sangat alami. Aku hampir tak mengubah pola makan sama sekali, tetap ngemil seperti biasa, jadi penurunan berat badan ini murni karena senam. Saat itu aku masih senam dua kali seminggu.

Setelah melahirkan, aku mulai senam tiga kali seminggu. Memang tak bisa menurunkan berat badan secara drastis seperti dulu, maklum sudah bukan gadis lagi dan sudah pernah “turun mesin”, hehehe. Tapi paling tidak bisa mempertahankan berat badan supaya tidak terlalu melar dan tetap menjaga kebugaran tubuh. Kemudian baru sebulan ini meningkat menjadi empat kali seminggu, di samping berenang rutin semenjak lima bulan lalu—kalau yang ini karena kewajiban dalam rangka terapi tulang punggung.

Kalau ada yang mengatakan aku tetap senam karena takut menggendut, mungkin tidak sepenuhnya salah. Aku memang selalu risau bila angka timbangan mulai merangkak naik, tapi buatku, senam sudah menjadi jauh lebih besar nilainya dari sekedar usaha untuk menurunkan berat badan. Apa pasal?

Buatku, senam sudah menjadi candu. Dulu sekali, ketika awal aku senam, aku sedang dalam masa menulis skripsi, cukup membuat stres. Dan ternyata kudapati kalau setelah senam, perasaan stres berkurang. Dengan senam, aku bisa bergerak bebas dan beban serasa menguar seiring berdentamnya irama. Pikiran menjadi lebih jernih seiring menetesnya peluh. Demikian pula ketika aku sudah mulai bekerja. Beban pikiran sepulang kerja, larut dalam keriangan gerakan senam. Mungkin ada yang berpikir aku lebay, tapi memang demikian adanya. Tak dapat kupungkiri, senam sudah menjadi jalan melepas stres dan sarana mendapatkan kegembiraan.

Selalu ada rasa yang hilang ketika aku berhalangan hadir senam, dan selalu ada keinginan mengganti sesi yang hilang dengan sesi di hari lain. Itulah sebabnya aku selalu konsisten dan disiplin melakukan senam sampai empat kali seminggu. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti senam, dan sangat sedih ketika dokter melarangku senam. In fact, berhenti senam adalah hal yang pertama kali menjadi kerisauanku ketika keluar dari ruangan dokter, lebih membuat risau daripada vonis skoliosis itu sendiri. Saat senam pertama kali setelah divonis skoliosis, aku sempat berkaca-kaca sambil membatin, “Ya Allah, senam sebegini menyenangkannya, kenapa aku sampai nggak boleh... tak kuasa aku kehilangan setiap detik momennya...”

Makanya aku sering heran dan geregetan melihat teman-teman yang senam dengan malas-malasan. Senam itu asyik, dan mereka tidak mendapat halangan medis apapun untuk bergerak. Ughh, ingin mereka tahu, bagaimana aku yang berpunggung abnormal mati-matian “berjuang” supaya bisa tetap senam. Karena bagiku, senam sudah menjadi kebutuhan.

Yes, I’ll do anything to keep moving.

Gambar: Diambil dari sini.

Belajar Seluncur Es

Seumur hidupku, aku belum pernah menjajal arena seluncur es. Jangankan sepatu luncur, sepatu roda saja, baik yang roda empat maupun yang in-line-skate, aku belum pernah. Jadi coba bayangkan saja penampilan perdanaku masuk ke arena seluncur es pada libur natal yang lalu.

Tiket masuk ke Gardenice, Paris Van Java ini 75 ribu rupiah per orang. Aku masuk berdua adikku, sementara anggota keluarga yang lain duduk-duduk di pinggir arena. Hanif kutitip ke ayahnya, bundanya mau main dulu :)

Karena belum bisa sama sekali, kami memilih menyewa coach dengan tarif 60 ribu per setengah jam. Sayangnya jumlah coach ini terbatas, baru ada yang bebas sejam setelah kami masuk. Bermain di arena ini tidak dibatasi waktu, kami mencoba berlatih sendiri sambil menunggu para coach datang. Yaa gitu deh, pakai acara jatuh-jatuh hihihi.

Ketika akhirnya sesi latihan dengan coach dimulai, aku sudah berhasil belajar berdiri stabil. Sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Sesi latihan awal adalah berjalan melangkah sambil mengangkat kaki. Lalu dilanjutkan dengan menggeser sepatu luncur satu-satu. Baru kemudian belajar meluncur dengan jarak luncur agak jauh. Tentu pakai acara jatuh-jatuh dan berkali-kali dibantu berdiri sama si coach ini.

Jangan dibayangkan sesi latihannya romantis seperti di film-film. Kita kan sering lihat tuh, ada adegan romantis ketika pacaran di arena seluncur es *wah, kebanyakan nonton dorama nih*. Pas jatuh pegangan tangan, pandang-pandangan, lalu ada lagu romantis. Boro-boro, yang ada juga si coach ini nyolot banget. Ngajarinnya pakai komentar bernada meremehkan, “gitu aja nggak bisa”, bla bla bla. Damn, I wanted to slam his face ketika dia ngetawain aku jatuh :(

Pada akhirnya, aku lega banget ketika sesi latihan berakhir. Baru bisa sedikit. Meluncur saja belum lancar. Tapi lega karena akhirnya berpisah dengan si coach nyolot. Sayangnya ketika akan mencoba berlatih sendiri, pengunjung disuruh keluar karena arena akan di-resurface. Yah, kecewa deh.

Kesimpulannya, belajar seluncur es itu mengasyikkan. Meskipun badan dan tangan sakit semua karena kebanyakan jatuh, well... it’s worth trying. Ada semacam perasaan tertantang kalau aku harus bisa. Ketakutan dan kekhawatiran yang sempat ada di awal, sedikit tergantikan dengan perasaan puas ketika aku sudah sedikit bisa. Cukuplah sebagai stretching untuk menantang diri sendiri.

Lain kali aku akan coba lagi :)

Foto: Aku sedang belajar seluncur es, diajari coach yang nyebelin.