Banyak yang bertanya padaku, mengapa begitu sulit bagiku untuk berhenti senam aerobik, atau mengapa aku begitu konsisten dan disiplin melakukan senam aerobik empat kali seminggu. Seperti yang pernah kutulis di sini, Juni lalu ketika aku ketahuan mengidap skoliosis, memang ada seorang dokter ortopedi yang melarangku melakukan senam. Dan saat itu aku begitu bersikeras mencari dokter-dokter lain sehingga akhirnya aku mendapat second dan third opinion yang mengegolkan keinginanku untuk tetap senam.
Ada beberapa orang yang mengambil kesimpulan kalau aku terlalu takut menggendut sehingga tidak mau berhenti senam. Ada juga yang menyatakan simpati dan kekhawatirannya mengenai tulang punggungku bila aku terus senam. Bagaimanapun aku sangat menghargai segala bentuk perhatian mereka, namun apakah benar demikian adanya? Terlepas dari bagaimana pengaruh senam terhadap tulang punggungku—harus dengan observasi berkala untuk mengetahuinya—aku ingin bercerita sedikit mengenai ketertarikanku pada senam aerobik ini.
Pertengahan tahun 2005, sesaat setelah Ujian Akhir Semester selesai, aku dirawat inap di RS St. Borromeus karena demam berdarah. Sepulang dari rumah sakit, nafsu makanku meningkat pesat. Sehari bisa makan sampai lima kali. Lalu tiba-tiba aku merasa badanku berat. Ternyata aku menggendut. 56,5 kilogram untuk tinggi 153 sentimeter, well... you could imagine. Seorang teman yang sudah lebih dulu senam aerobik—meskipun tidak terlalu rutin—mengajakku ikut serta untuk meredakan kegundahanku. Nah, di sini awal mulanya. Sejak itulah aku rutin senam aerobik.
April 2007 ketika aku menikah, beratku sudah 44 kilogram, turun dua belas kilogram lebih sejak aku ikut senam pertama kali. Memang terlihat lama, karena cara ini sangat alami. Aku hampir tak mengubah pola makan sama sekali, tetap ngemil seperti biasa, jadi penurunan berat badan ini murni karena senam. Saat itu aku masih senam dua kali seminggu.
Setelah melahirkan, aku mulai senam tiga kali seminggu. Memang tak bisa menurunkan berat badan secara drastis seperti dulu, maklum sudah bukan gadis lagi dan sudah pernah “turun mesin”, hehehe. Tapi paling tidak bisa mempertahankan berat badan supaya tidak terlalu melar dan tetap menjaga kebugaran tubuh. Kemudian baru sebulan ini meningkat menjadi empat kali seminggu, di samping berenang rutin semenjak lima bulan lalu—kalau yang ini karena kewajiban dalam rangka terapi tulang punggung.
Kalau ada yang mengatakan aku tetap senam karena takut menggendut, mungkin tidak sepenuhnya salah. Aku memang selalu risau bila angka timbangan mulai merangkak naik, tapi buatku, senam sudah menjadi jauh lebih besar nilainya dari sekedar usaha untuk menurunkan berat badan. Apa pasal?
Buatku, senam sudah menjadi candu. Dulu sekali, ketika awal aku senam, aku sedang dalam masa menulis skripsi, cukup membuat stres. Dan ternyata kudapati kalau setelah senam, perasaan stres berkurang. Dengan senam, aku bisa bergerak bebas dan beban serasa menguar seiring berdentamnya irama. Pikiran menjadi lebih jernih seiring menetesnya peluh. Demikian pula ketika aku sudah mulai bekerja. Beban pikiran sepulang kerja, larut dalam keriangan gerakan senam. Mungkin ada yang berpikir aku lebay, tapi memang demikian adanya. Tak dapat kupungkiri, senam sudah menjadi jalan melepas stres dan sarana mendapatkan kegembiraan.
Selalu ada rasa yang hilang ketika aku berhalangan hadir senam, dan selalu ada keinginan mengganti sesi yang hilang dengan sesi di hari lain. Itulah sebabnya aku selalu konsisten dan disiplin melakukan senam sampai empat kali seminggu. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti senam, dan sangat sedih ketika dokter melarangku senam. In fact, berhenti senam adalah hal yang pertama kali menjadi kerisauanku ketika keluar dari ruangan dokter, lebih membuat risau daripada vonis skoliosis itu sendiri. Saat senam pertama kali setelah divonis skoliosis, aku sempat berkaca-kaca sambil membatin, “Ya Allah, senam sebegini menyenangkannya, kenapa aku sampai nggak boleh... tak kuasa aku kehilangan setiap detik momennya...”
Makanya aku sering heran dan geregetan melihat teman-teman yang senam dengan malas-malasan. Senam itu asyik, dan mereka tidak mendapat halangan medis apapun untuk bergerak. Ughh, ingin mereka tahu, bagaimana aku yang berpunggung abnormal mati-matian “berjuang” supaya bisa tetap senam. Karena bagiku, senam sudah menjadi kebutuhan.
Yes, I’ll do anything to keep moving.
Gambar: Diambil dari sini.
Ada beberapa orang yang mengambil kesimpulan kalau aku terlalu takut menggendut sehingga tidak mau berhenti senam. Ada juga yang menyatakan simpati dan kekhawatirannya mengenai tulang punggungku bila aku terus senam. Bagaimanapun aku sangat menghargai segala bentuk perhatian mereka, namun apakah benar demikian adanya? Terlepas dari bagaimana pengaruh senam terhadap tulang punggungku—harus dengan observasi berkala untuk mengetahuinya—aku ingin bercerita sedikit mengenai ketertarikanku pada senam aerobik ini.
Pertengahan tahun 2005, sesaat setelah Ujian Akhir Semester selesai, aku dirawat inap di RS St. Borromeus karena demam berdarah. Sepulang dari rumah sakit, nafsu makanku meningkat pesat. Sehari bisa makan sampai lima kali. Lalu tiba-tiba aku merasa badanku berat. Ternyata aku menggendut. 56,5 kilogram untuk tinggi 153 sentimeter, well... you could imagine. Seorang teman yang sudah lebih dulu senam aerobik—meskipun tidak terlalu rutin—mengajakku ikut serta untuk meredakan kegundahanku. Nah, di sini awal mulanya. Sejak itulah aku rutin senam aerobik.
April 2007 ketika aku menikah, beratku sudah 44 kilogram, turun dua belas kilogram lebih sejak aku ikut senam pertama kali. Memang terlihat lama, karena cara ini sangat alami. Aku hampir tak mengubah pola makan sama sekali, tetap ngemil seperti biasa, jadi penurunan berat badan ini murni karena senam. Saat itu aku masih senam dua kali seminggu.
Setelah melahirkan, aku mulai senam tiga kali seminggu. Memang tak bisa menurunkan berat badan secara drastis seperti dulu, maklum sudah bukan gadis lagi dan sudah pernah “turun mesin”, hehehe. Tapi paling tidak bisa mempertahankan berat badan supaya tidak terlalu melar dan tetap menjaga kebugaran tubuh. Kemudian baru sebulan ini meningkat menjadi empat kali seminggu, di samping berenang rutin semenjak lima bulan lalu—kalau yang ini karena kewajiban dalam rangka terapi tulang punggung.
Kalau ada yang mengatakan aku tetap senam karena takut menggendut, mungkin tidak sepenuhnya salah. Aku memang selalu risau bila angka timbangan mulai merangkak naik, tapi buatku, senam sudah menjadi jauh lebih besar nilainya dari sekedar usaha untuk menurunkan berat badan. Apa pasal?
Buatku, senam sudah menjadi candu. Dulu sekali, ketika awal aku senam, aku sedang dalam masa menulis skripsi, cukup membuat stres. Dan ternyata kudapati kalau setelah senam, perasaan stres berkurang. Dengan senam, aku bisa bergerak bebas dan beban serasa menguar seiring berdentamnya irama. Pikiran menjadi lebih jernih seiring menetesnya peluh. Demikian pula ketika aku sudah mulai bekerja. Beban pikiran sepulang kerja, larut dalam keriangan gerakan senam. Mungkin ada yang berpikir aku lebay, tapi memang demikian adanya. Tak dapat kupungkiri, senam sudah menjadi jalan melepas stres dan sarana mendapatkan kegembiraan.
Selalu ada rasa yang hilang ketika aku berhalangan hadir senam, dan selalu ada keinginan mengganti sesi yang hilang dengan sesi di hari lain. Itulah sebabnya aku selalu konsisten dan disiplin melakukan senam sampai empat kali seminggu. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti senam, dan sangat sedih ketika dokter melarangku senam. In fact, berhenti senam adalah hal yang pertama kali menjadi kerisauanku ketika keluar dari ruangan dokter, lebih membuat risau daripada vonis skoliosis itu sendiri. Saat senam pertama kali setelah divonis skoliosis, aku sempat berkaca-kaca sambil membatin, “Ya Allah, senam sebegini menyenangkannya, kenapa aku sampai nggak boleh... tak kuasa aku kehilangan setiap detik momennya...”
Makanya aku sering heran dan geregetan melihat teman-teman yang senam dengan malas-malasan. Senam itu asyik, dan mereka tidak mendapat halangan medis apapun untuk bergerak. Ughh, ingin mereka tahu, bagaimana aku yang berpunggung abnormal mati-matian “berjuang” supaya bisa tetap senam. Karena bagiku, senam sudah menjadi kebutuhan.
Yes, I’ll do anything to keep moving.
Gambar: Diambil dari sini.
Semangat... aku akan mengikutimu.Aku berusaha akan senang melakukannya,bukan terpaksa...biar gak males..have fun...
ReplyDeleteiya, say. kamu kan ga punya halangan medis apapun, dan masih diizinkan Allah untuk terus bergerak.
ReplyDeletesemangat yaaa...