Wednesday, June 24, 2009

Idealisme Vs Realitas

Aku sering takjub bagaimana waktu bisa begitu mengubah hidup seseorang. Aku tak terlalu paham apa yang telah terjadi, tapi melihat beberapa respon dari teman-teman… tampaknya saat ini aku telah berubah menjadi seseorang yang skeptis dan sinis. Kesadaran ini datang dari “ketersinggungan” beberapa teman atas komentar-komentar yang aku lontarkan. Hmm, benarkah? Am I being skeptical and cynical?

Ada suatu masa dalam hidupku di mana segala sesuatu yang tampak dalam benak rancangan hidup adalah kehidupan yang serba idealis. Dari pemahamanku tentang peran utama seorang perempuan, waktu itu aku sangat berharap bisa menjadi stay-at-home mom. Atau kalaupun berkarir, bisa berkarir dari rumah. Nyatanya Allah menakdirkan lain.

Dalam hal pernikahan, terinspirasi dari romantisme masa kecil tentang negeri dongeng, hal yang terbayang adalah sebuah pernikahan yang happily ever after tanpa tetek bengek yang menyusahkan. Tak ada bayangan cerita soal princess yang kebingungan mencari dayang untuk mengasuh anak-anaknya karena ia harus bekerja sementara pangeran tinggal beda kota dan beda istana, atau princess yang tidak akur dengan mertua, atau princess yang bertengkar dengan pangeran, misalnya. Let me tell you, there is no such a fairytale.

Ketika hidup berbenturan dengan idealismeku, maka yang menang adalah hidup. Hidup mengajarkanku bahwa ia tak seindah bayangan. Ya ya ya, terdengar klise memang. Tapi sungguh, ketika akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan menikah… maka itulah sebenar-benar hidup. Kita dihadapkan pada kerasnya kehidupan dunia. Tak ada lagi hal-hal yang serba ideal, serba manis… yang ada hanya sikap realistis bahwa hidup tak semulus dan seindah yang dibayangkan.

Mungkin dari pengalaman seperti itulah, aku jadi agak bersikap ajaib terhadap teman-teman yang masih hidup dalam idealisme mereka. Seakan ingin membangunkan mereka dari mimpi yang melenakan. Ingin berseru pada mereka, “Wake up! There is no such a fairytale…

Aku tidak sirik. Apalagi iri. Karena aku yakin bahwa hidup punya takdirnya masing-masing—sesuatu yang wajib juga kita syukuri, karena takdir Allah pastilah yang terbaik. Aku hanya ingin mengingatkan mereka: ada banyak hal pahit dalam hidup ini. Bila hal pahit itu belum datang pada mereka, jangan terlampau senang. Karena tak mungkin Allah membiarkan hidup hamba-Nya mulus dan lempeng tanpa ujian.

Aku tahu, pencapaian yang sederhana berawal dari mimpi yang melangit. Aku tidak melarang orang bermimpi setinggi langit. Tapi kalau lantas hal itu membuat mereka tidak realistis, ya tidak sehat juga rasanya. Hanya ingin mengingatkan.

Hmm, mungkin itu ya yang membuatku menjadi (terlihat) begitu skeptis dan sinis memandang kehidupan?

Catatan:
Kisah lain tentang idealisme vs realitas ada di sini. Baca saja. Bagus untuk renungan.

Monday, June 15, 2009

Sosialisasi

Masalah klasik yang selalu hadir dalam keseharian seorang ibu muda adalah sulitnya bergaul atau hang out dengan teman. Maklum, anak masih kecil dan masih suka bergelung di pelukan bundanya. Atau kalau tidak, bundanya yang sering kangen dan tidak tahan meninggalkan si kecil lama-lama.

Aku tipe yang senang main dan jalan-jalan. Apalagi kalau teman-teman yang ikut cukup banyak. Sebelum menikah, tak pernah terbayangkan bahwa kehidupan sosial di luar rumah akan “terkorbankan” seperti ini. Pastinya kesadaran tentang itu tetap ada. Hanya tak pernah berpikir bahwa hal ini akan menjadi masalah.

Yah, sebetulnya bukan masalah yang gawat juga sih. Sempat merenung sejenak soal ini ketika beberapa waktu lalu suami mengeluh bahwa kehidupan sosialnya dengan teman-teman sekantor tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Pasalnya, tiap akhir pekan ia mesti ke Bandung menyambangi anak istrinya, sementara biasanya justru di akhir pekan teman-temannya mengadakan acara. Sebut saja acara pernikahan, sebagai contoh. Untuk itu ia harus memilih, absen dari acara itu atau absen dari anak istrinya. Bukan pilihan yang menyenangkan kalau ia harus terus-terusan absen dari acara pernikahan teman-temannya.

Bagaimana dengan aku? Sama saja. Akhir pekan seperti jadi harga mati untuk berada di rumah, karena saat itu suami datang. Bisa ditebak, akhir pekan bakal full untuk anak dan suami, dan terpaksa harus menepis ajakan teman-teman untuk sekedar bertemu atau jalan-jalan.

Masalahnya tak akan jadi pelik kalau teman-teman sejawat juga sudah sama-sama punya anak. Jadi kan bisa seperti family gathering. Sayangnya sebagian besar belum menikah, dan acara hang out selalu identik dengan gaulnya kaum lajang. Tak enak juga kalau dalam acara-acara seperti itu kita sendiri yang mengajak anak dan suami.

Pernah suatu kali aku tak diajak dalam acara kumpul-kumpul. Entah karena aku yang terlalu sering menolak ajakan sejenis—karena alasan yang sudah aku ungkapkan di atas—atau memang karena kuota sudah terlalu banyak, yang jelas: ada sebersit rasa tak dianggap. Mungkin aku sedang agak sensitif juga sih waktu itu.

Pernah juga suatu kali aku ikut acara karaoke selepas maghrib hingga malam. Meskipun hati agak tak tenang karena sudah seharian meninggalkan Hanif di rumah, aku ikut juga karena ingin berpartisipasi dalam acara hang out teman-teman, dan supaya kejadian “tak dianggap” di atas tidak terulang. Sedikit memaksakan diri dan merasa bersalah setelahnya. Duh…

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, hanya aku di kantor ini yang notabene seorang ibu muda namun tetap eksis di acaranya kaum lajang kantor. Ibu-ibu muda yang lain lebih memilih untuk cepat-cepat pulang menjumpai anak. Bukannya aku tak sayang anak. Ini lebih kepada upaya untuk tetap eksis dalam dunia sosialisasi kantor. Tak dapat kupungkiri, aku masih mencari formula yang tepat untuk memposisikan diri di antara rumah dan luar rumah. So, any suggestion?

Friday, June 12, 2009

Narsis!

Ada seorang teman yang selalu membuatku merasa terintimidasi lewat update cerita, foto, dan komentar yang mengindikasikan keberhasilan dan pencapaiannya, di sebuah situs jejaring sosial. Semula aku mencoba berprasangka baik. Mungkin dia ingin membagi kisah suksesnya untuk memberi inspirasi bagi orang lain, atau sekedar berbagi cerita untuk menularkan kebahagiaannya.

Tapi lama-lama kok jadi eneg. Pasalnya, tiap kali aku berkomentar atau memberi pujian sedikit, dia makin ngelunjak. Komentar balasannya bernada meremehkan atau memberi indikasi-indikasi keberhasilannya berikutnya. Seakan-akan dia yang paling berhasil dan orang lain tidak seberhasil dia, atau orang lain tidak tahu apa-apa.

Bah! Sebenarnya maksud dia apa ya. Sebal sekali aku melihatnya. Sekaligus mengelus dada, betapa banyaknya media yang bisa dijadikan ajang narsisme sekarang ini. Juga betapa banyaknya orang yang menyalahgunakan media-media tersebut menjadi ajang narsisme untuk pamer pencapaian. Jadi ingat tulisan ini dan ini.

Well, sebenarnya mau narsis atau tidak narsis… itu hak setiap orang. Tapi kalau hal itu lantas membuat dia menyombongkan diri dan meremehkan orang lain… itu yang aku TIDAK SUKA.

Dua Sembilan ??

Ketika aku mempersiapkan pernikahanku dua tahun silam, beberapa pihak terkait tidak percaya akan usiaku yang menjelang dua puluh lima waktu itu. Mereka pikir usiaku masih di bawah itu (baca ini).

Sekarang pun aku masih sering dikira lebih muda daripada usiaku sebenarnya. Anak-anak PKL di kantor sering memanggilku “Mbak” dan tidak mengira aku sudah punya anak, bahkan ada satu yang mengira aku masih kuliah dan sedang PKL juga ^^

Maka ketika aku mengingat kejadian sore itu, aku bisa terkikik sendiri. Kira-kira begini nih dialog antara aku dan Apriel—teman di tempat senam—waktu itu.

Apriel : “Bu, hari ini aku ulang tahun lho.”

Aku: “Oh ya? Selamat ya. Yang keberapa?”

Apriel: “Dua puluh tiga, Bu.”

Aku: “Wah, masih muda ya. Selisih… umm… empat tahun sama aku nih.”

Apriel: “Ha? Cuma empat tahun? Jadi ibu dua tujuh ya. Aku kira ibu dua sembilan.”

Aku: “Haaaa?? Dua sembilan???”

Giliran aku yang ternganga. Memangnya tampangku setua itu ya? *garuk-garuk kepala*

Tuesday, June 02, 2009

Lika-Liku Laki-Laki

Dalam kesempatanku mengunjungi kembali rumah kami di Cikarang akhir Mei lalu, tak ada yang lebih mengejutkan selain berita itu. Tetangga yang kami kenal baik, sebut saja pasangan suami istri Bu M dan Pak J, sedang dalam proses bercerai. Berita itu kudengar dari asisten rumah tangga mereka ketika aku sedang mengasuh Hanif di jalan depan rumah kami.

Di mataku, mereka adalah pasangan ideal. Sama-sama satu rumpun sebagai orang Jawa, yang satu cantik dan yang satu ganteng, satu almamater di UGM, dua-duanya sukses dalam karir, dan dikaruniai seorang putri cantik yang menyenangkan. Mereka ini pasangan muda, paling-paling keduanya masih di kisaran usia pertengahan 30-an. Putri mereka saja masih kelas 1 SD. Secara materi, mereka berkecukupan. Rumah bagus, dua kali lebih luas daripada rumah lain—karena mereka membeli dua rumah berdampingan lalu dijadikan satu, serta dilengkapi dua mobil pribadi.

Kehidupan mereka pun tampak menyenangkan. Selalu tampil sebagai keluarga harmonis dan bahagia. Selalu tampak rukun dan saling mendukung. Yah, setidaknya seperti itulah kesan yang kutangkap ketika aku tinggal di sana dulu. Tapi di balik kehidupan ideal itu, ada sesuatu yang harus dikorbankan: waktu Pak J. Sebagai karyawan ASTRA yang berkantor di Sunter, tiap hari Pak J harus pergi pagi-pagi dan pulang larut malam. Waktu luang untuk keluarga hanya ada di akhir pekan.

Aku tak pernah mengira mereka akan berakhir seperti ini. Dengar-dengar dari asisten itu (Ya Allah, bukan maksud hamba bergosip, asisten itu yang bercerita sendiri sementara hamba diam saja) Pak J sudah menikah dengan sekretarisnya di kantor dan sudah pisah ranjang dengan Bu M dua bulan ini. Mereka bercerai karena Bu M tidak mau dimadu.

Sore itu ketika putri mereka sedang bermain bersama Hanif, aku memandangnya iba. Aku ingat betapa riangnya ia tiap kali mereka bertiga berkumpul atau meluangkan waktu bersama. Sebagai anak dari kedua orang tua yang berkarir, waktu dengan ayah bundanya tentu menjadi hal yang mahal, hal yang membuatnya berbinar. Kini ia terpaksa bermain-main sendiri karena bundanya jadi sakit-sakitan akibat kejadian ini. Aku miris membayangkannya merindui ayahnya. Aku miris membayangkannya merindui keceriaan bundanya. Aku miris karena ia terpaksa harus jadi anak tunggal korban perceraian, tak ada saudara tempat berbagi. Masya Allah...

Aku terhenyak. Tak tahu harus berpendapat apa. Terlepas dari siapa yang bersalah, aku ingin membahas hal ini sedikit. Sebenarnya, apa sih yang membuat para suami pindah ke lain hati? Mengingat mereka ini pasangan muda, seharusnya jenuh atau bosan bukan faktor utama. Seharusnya kenangan merajut impian di masa-masa awal pernikahan masih jelas terpatri. Mengapa semudah itu jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah karena jarang bertemu dengan sang istri? Apakah karena lebih sering bertemu dengan si sekretaris?

Kalau jawabannya ya, alangkah mengerikannya kehidupan Jakarta. Faktor jarak dan waktu merampas kehidupan keluarga. Demi alasan bisnis, keluar dengan perempuan lain menjadi hal biasa. Ingat bahwa witing tresna jalaran saka kulina. Apa karena itukah?

Hati laki-laki seperti gua. Gelap dan sulit diraba. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran mereka, juga hati mereka. Mengapa suatu saat mereka bisa sangat romantis, lalu mengapa kali lain juga bisa menyakiti hati perempuan sedemikian rupa? Apa yang laki-laki cari dalam diri seorang perempuan? Apakah ikatan suci pernikahan tak ada maknanya? Apakah anak-anak tak ada artinya?

Kalau sudah begini, aku jadi ngeri membayangkan kehidupan Jakarta. Yang tak kuat iman bisa tergoda. Lihat saja berita-berita di televisi itu, betapa godaan perempuan maha dahsyatnya. Aku sadar sepenuhnya, kehidupan pernikahanku yang sangat tidak ideal karena hidup terpisah dengan pasangan—kalau dipikir-pikir—rentan dengan hal-hal semacam ini. Sementara umur pernikahan ini baru seumur jagung, masih terus membangun komunikasi—yang tak juga kunjung solid. Semoga Allah menyelamatkan dan menjaga kami.

Ayahku Idolaku

Dulu ketika aku menjalani masa kehamilan dan masa awal lahirnya Hanif, aku hampir selalu khawatir bila Hanif tidak punya figur kuat tentang ayahnya. Kehadiran ayahnya yang cuma dua hari setiap minggu cukup beralasan untuk membuatku berpikir bahwa ia tidak akan pernah bisa akrab dan dekat dengan ayahnya. Bagiku ini adalah masalah pelik, mengingat ia laki-laki dan butuh figur ayah sebagai role model. Ternyata dugaanku meleset.

Tiap kali Ayah datang, Hanif dengan semangat empat lima menyongsongnya. Sambil tertawa-tawa riang, ia menghambur ke pelukan Ayah. Selanjutnya bisa ditebak. Selama akhir pekan, tak mau dia pisah dari Ayah. Inginnya bermain-main terus bersama Ayah, tak peduli malam sudah larut sekalipun. Bunda jadi tak laku, apalagi si Mbak.

Berdua, mereka memainkan permainan yang tak pernah Hanif mainkan bersama Bunda. Permainan laki-laki, sebut Bunda. Seperti loncat-loncatan, jungkir balik, gendong-gendongan di atas pundak dan punggung, dan sederet permainan lain yang Bunda males mainkan karena bikin capek, hehehe.

Syukurlah kalau Hanif sangat dekat dengan Ayah. Meskipun masih kecil, ia sudah punya ikatan dengan Ayah. Tak apalah Bunda tak laku, toh jadi malah bebas punya waktu untuk diri sendiri, hehehe.

Senior = Tidak Nyaman ??

Dalam dunia kerjaku di kantor, selain kegiatan rutin yang menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sehari-hari, aku juga terlibat dalam kegiatan dua tim pelaksana—yaitu Tim Web dan Tim Inventaris Barang Milik Negara—serta kepanitiaan Seminar Nasional 2009.

Selama ini, rekan kerja maupun rekan tim mayoritas adalah anak-anak muda yang sebaya denganku. Oleh karena itu, aku sangat terbiasa dengan gaya dan dunia yang hampir sama. Pertama kali ikut serta dalam rapat Tim Inventaris Barang Milik Negara, aku kaget juga. Ternyata sebagian besar anggota yang lain sudah jauh lebih senior. Olala!

Masalah senioritas seharusnya bukan masalah besar. Tapi tetap saja, hal itu menyisakan banyak kecanggungan buatku. Yah, bayangkan bila selama ini kerap beradu diskusi dengan teman yang seumuran, kini tiba-tiba berhadapan dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang seumur papi-mamiku. Bagaimana tidak kaget, adaptasinya harus seperti apa, coba. Cara kerjanya berbeda, cara berpikirnya berbeda, bahkan guyonannya pun berbeda. Fiuhh...

Sebenarnya aku tahu, cepat atau lambat aku pasti akan berurusan dengan para senior juga. Cuma kok ya masih terkaget-kaget saja. Ada selintas pikiran negatif, bahwa bekerja dalam tim ini tidak akan senyaman seperti di tim lain yang sudah-sudah. Huh, lagi-lagi masalah comfort zone yah. Masalah klasik.

So, positive thinking sajalah. Jalani dengan sebaik-baiknya. Have fun saja, barangkali ini malah kesempatan baik untuk menggali ilmu dari para senior itu. Ayo Yustika, semangatttt!!!