Monday, March 29, 2021

Menikmati Manis Takdir-Nya

Dalam kajian yang aku ikuti pekan lalu, aku belajar banyak mengenai takdir dan pilihan. Di dunia ini, ada hal-hal yang tidak kita kuasai dan sepenuhnya menjadi wilayah kekuasaan Allah. Manusia, alam semesta, dan seluruh kehidupan sesungguhnya dikendalikan oleh ketentuan-Nya. Ada yang menyebutnya qada. Sebagian besar dari kita mengenalnya sebagai takdir.

Demikian pula halnya dengan pandemi, ia datang ke tengah-tengah kita sebagai salah satu ketentuan dari Allah. Ada beberapa aspek terkait takdir dan pilihan yang sejatinya dapat membantu kita memahami kejadian-kejadian yang digariskan-Nya. Setelah kita paham bahwa pandemi merupakan takdir dari-Nya, kita harus memilih penyikapan yang tepat dalam menghadapinya. Mengapa? Karena takdir adalah ketentuan yang telah tertulis di Lauh Mahfuzh: kita tidak dapat mengubahnya dan kita tidak akan di-hisab karenanya. Sikap kita terhadap takdirlah yang akan di-hisab, dan hal itu akan menentukan apakah kita akan diganjar pahala atau dosa.

Akibat pandemi, banyak sekali nyawa melayang. Hal itu mungkin tampak menyedihkan di mata manusia, tetapi sesungguhnya ada balasan yang diberikan Allah untuk orang-orang yang wafat karena pandemi. Dari Aisyah ra, ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang tho'un. Rasulullah lalu menjawab, 'Sesungguhnya wabah tho'un (penyakit menular dan mematikan) itu adalah ujian yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah juga menjadikannya sebagai rahmat (bentuk kasih sayang) bagi orang-orang beriman. Tidaklah seorang hamba yang ketika di negerinya itu terjadi tho'un lalu tetap tinggal di sana dengan sabar (doa dan ikhtiar) dan mengharap pahala di sisi Allah, dan pada saat yang sama ia sadar tak akan ada yang menimpanya selain telah digariskan-Nya, maka tidak ada balasan lain kecuali baginya pahala seperti pahala syahid.'" (H.R. Al-Bukhari).

Dalam hadis lain disebutkan dari Abu Hurairah diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, "Orang syahid itu ada lima: orang terkena wabah penyakit, orang mati karena sakit di dalam perutnya, orang tenggelam, orang tertimpa reruntuhan bangunan, dan orang syahid di jalan Allah (mati dalam perang di jalan Allah)." (H.R. Al-Bukhari).

Kita tentu ingat janji Allah dalam Q.S. Al-Insyirah: 5-6, bahwa sesungguhnya bersama kesulitan … Allah juga menurunkan kemudahan. Bukankah di masa pandemi yang menyesakkan ini, kita juga berbahagia karena dapat leluasa membersamai anak sepanjang hari karena mereka menjalani PJJ? Bukankah kita lantas dapat dengan mudah menemani suami bersantap siang di meja makan karena ia sedang WFH? Bukankah dengan keterbatasan mobilitas, kita justru dapat dengan mudah mengakses kajian dan event daring yang tinggal diklik seujung jari?

Bahasan tentang takdir selalu terasa pelik dan membingungkan. Namun, sesungguhnya tidak demikian. Takdir apa pun yang menimpa kita, harus kita imani bahwa itu adalah ketentuan Allah yang terbaik. Hidup ini semudah menjalani pilihan yang berpahala karena itulah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sementara untuk hal-hal yang memang tidak dapat kita ubah, kita harus mensyukurinya, baik itu pahit maupun manis. Tidak ada kejadian sia-sia di muka bumi ini. Ada hikmah yang dapat selalu kita petik.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'" (Q.S. Ali Imran: 190-191)

 

Monday, March 22, 2021

Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental Saat Pandemi


Di masa pandemi seperti sekarang ini, kesehatan menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya. Sebagai upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, kami sekeluarga selalu menerapkan perilaku 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kami juga tak lupa untuk sering-sering menyemprot tangan dengan cairan pembersih tangan dan menyemprot barang belanjaan dengan cairan disinfektan.

Selain beberapa kebiasaan baru tersebut, upaya menjaga kesehatan keluarga juga kami lakukan dengan memperhatikan asupan. Alhamdulillah selama ini kami sudah terbiasa mengonsumsi sayur dan buah. Imunitas keluarga ditingkatkan dengan mengonsumsi vitamin dan suplemen tambahan. Salah satu hal yang agak susah dilakukan adalah minum air putih secara cukup per hari. Aku harus selalu mengingatkan suami dan anak-anak untuk rajin minum air putih karena mereka acap kali terlupa, apalagi jika sudah disibukkan dengan PJJ atau WFH. Berdasarkan penelitian, kebutuhan air minimal setiap orang adalah 50 ml per kg berat badan. Konsumsi air adalah hal yang sangat penting karena air merupakan komponen tubuh yang terbesar (60-70% dari berat badan), serta memiliki fungsi untuk membuang kotoran dari tubuh, menyediakan kelembaban, dan membawa nutrisi ke sel.

Upaya yang tak kalah penting untuk menjaga kesehatan fisik adalah dengan melakukan olahraga secara rutin. Jauh sebelum pandemi muncul, aku dan suami sudah terbiasa berolahraga. Aku rutin melakukan senam aerobik sejak 2005, beryoga sejak 2013, dan berlari sejak 2015. Setahun yang lalu ketika wabah Covid-19 mulai melanda Indonesia, perlombaan lari banyak dibatalkan, menyusul kemudian sarana-sarana olahraga ditutup. Aku sempat kebingungan dan merasa kehilangan karena sudah terbiasa berlari di track Saraga dan sudah terbiasa mengikuti perlombaan lari secara berkala. Euforia berolahraga outdoor benar-benar menjadi sebuah kehilangan yang besar.

Orang bijak mengatakan bahwa bila ada satu pintu tertutup, bisa jadi pintu yang lain tengah membuka. Begitu pula yang akhirnya aku rasakan. Aku tetap berlari, tapi beralih ke aktivitas road running: kadang berlari di jalanan kompleks, kadang berlari di jalan raya. Proses ini juga membutuhkan adaptasi karena berlari di jalan tentu berbeda dengan berlari di lintasan. Berlari di jalan membutuhkan fokus dan perhatian lebih karena kita harus selalu waspada terhadap pengguna jalan lain dan kondisi jalan yang tidak ideal (tidak ada trotoar, berlubang, dsb.). Berlari di jalan juga membutuhkan peralatan lari yang lebih lengkap: tas pinggang untuk menyimpan botol minum, gelang identitas, dan sepatu lari yang lebih empuk.

Aku juga mulai mengikuti kelas-kelas olahraga secara daring, seperti kelas yoga dan kelas pound fit. Bahkan dengan adanya sistem WFH yang fleksibel, aku bisa mengatur waktu olahraga sesuai kebutuhan dan mengikuti kelas-kelas yang selama ini belum pernah aku ikuti, seperti kelas dance cover dan kelas privat dengan pelatih pribadi di tempat gym. Keleluasaan waktu seperti ini benar-benar aku syukuri karena aku dapat dengan mudah mengatur jadwal kerja, jadwal olahraga, sekaligus mendampingi anak-anak melakukan PJJ.

Tentunya kebiasaan yang bersifat penjagaan kesehatan fisik harus diikuti dengan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mental. Pada awal pandemi aku sempat terkena serangan panik: hampir tiap malam aku tidur dengan ketakutan sambil memeluk anak-anak, membayangkan jika kami terkena Covid-19. Kemudian, ketika akhirnya hal itu benar-benar terjadi pada suamiku, aku sempat terkena depresi ringan. Covid-19 ini benar-benar meluluhlantakkan jiwa dan raga.

Kami berusaha menguatkan mental dan iman keluarga dengan lebih sering mengikuti kajian keislaman. Alhamdulillah dengan adanya pandemi, banyak sekali kajian yang diadakan secara daring, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Setiap akhir pekan, jadwal kajian padat merayap. Kemudahan ini sungguh kami syukuri karena bila kajian-kajian tersebut diadakan secara luring, belum tentu kami bisa menghadiri karena terhalang jarak dan waktu.

Allah tidak menurunkan ujian di luar kesanggupan hamba-Nya. Bersama kesulitan pandemi yang datang, sesungguhnya Allah juga tengah menurunkan kemudahan-kemudahan.




Monday, March 15, 2021

Perubahan Akibat Pandemi

Di dunia ini, sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang adaptif tentu mengalami penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan situasi dan kondisi, termasuk ketika manusia dihadapkan pada kondisi luar biasa seperti pandemi. Pandemi yang terjadi secara global memaksa dunia ini berhenti sejenak. Kemudian, ketika perlahan roda kehidupan mulai berputar kembali setelah kita mengalami lockdown, tentu ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Dari aspek kesehatan, kita diperkenalkan pada perilaku 3M sebagai upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker kain dapat menurunkan risiko penularan Covid-19 sebesar 45 persen, sedangkan masker bedah mampu menekan penyebaran virus Covid-19 hingga 70 persen.

Sebagai upaya untuk menghindari kerumunan dan mengurangi risiko penularan, sekolah-sekolah dan institusi perguruan tinggi menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Perkantoran merombak sistem kerja menjadi Work From Home (WFH) untuk mencegah karyawannya terpapar virus corona ketika berada di kantor maupun di perjalanan. Tak ayal dengan sistem semacam ini, masyarakat dipaksa beralih dari tatap muka ke sistem yang menggunakan platform digital dan memerlukan koneksi internet sebagai imbasnya.

Perubahan ini tentu dialami pula oleh keluarga kami. Masker, cairan pembersih tangan, serta disinfektan menjadi peralatan wajib. Kami menjadi jarang keluar rumah bila tidak ada urusan yang terlalu penting. Kegiatan berbelanja kami lakukan melalui aplikasi belanja daring. Agenda jalan-jalan saat liburan terpaksa harus kami buang jauh-jauh.

Kuota internet kami tingkatkan karena ada tiga anak yang mengikuti PJJ dan dua orang dewasa yang menjalankan WFH. Suasana rumah yang semula sepi di siang hari menjadi ramai oleh suara-suara kami yang tengah mengikuti pertemuan melalui aplikasi komunikasi daring berbasis video. Kami bahkan harus ekstra bersabar karena gangguan-gangguan kecil dari anak-anak sering muncul menghiasi layar komputer saat kami sedang melakukan pertemuan daring.



Di satu sisi, kami bersyukur bisa melewati pandemi ini sebagai keluarga yang berkumpul bersama. Tentunya ini adalah kebahagiaan karena selama tiga belas tahun pernikahan, aku dan anak-anak terpisah jarak Bandung-Jakarta dengan suamiku. Namun, di sisi lain, frekuensi bertemu yang semakin meningkat dan kecenderungan anak-anak untuk mulai bosan karena banyak terkurung, mengakibatkan rumah menjadi lebih riuh karena pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi jika kami sebagai orang tua kadang kelepasan dan tidak dapat mengontrol diri karena beban pekerjaan, sementara anak-anak sedang susah diatur … wah, rumah rasanya seperti sedang mengalami perang dunia.

Pandemi ini memang berat bagi semua orang. Setiap keluarga memiliki perjuangan masing-masing untuk bisa bertahan. Kebiasaan baru yang bersifat penjagaan kesehatan fisik seperti 3M harus dibarengi dengan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mental. Kita harus memupuk syukur, kesabaran, dan tawakal supaya lebih waras menghadapi pandemi ini. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kita semua.

Monday, March 08, 2021

Setahun Kisah Pandemi


Aku tak akan pernah lupa hari di mana hidupku berubah. Tepat setelah hari ulang tahunku tahun lalu, pemerintah memberlakukan lock down di seluruh negeri. Cerita tentang pandemi yang dulu hanya bisa kubaca di sejarah dunia kini menjelma nyata di depan mata. Kasus demi kasus yang tadinya hanya terjadi di luar negeri dan terasa jauh di belahan bumi lain, kini benar-benar merangsek masuk ke Indonesia dan membuat suasana menjadi mencekam.

Ada banyak kisah duka tentang pandemi: kisah kehilangan orang terkasih, kisah kehilangan sumber mata pencaharian dan naiknya angka pengangguran, juga kisah perjuangan bertahan hidup yang sungguh menyayat hati. Dan hidupku sepenuhnya berubah ketika angka penderita COVID-19 di negeri ini melonjak sangat tinggi pada kuartal terakhir tahun lalu. Tepat pada hari ulang tahun anakku yang kedua, hasil tes PCR suami keluar dan statusnya positif dengan nilai CT yang cukup rendah.

Sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, suamiku memang masih sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Malam itu suami pulang dalam keadaan demam, batuk, dan menggigil. Sekujur badannya terasa sakit. Setelah hasil tes PCR-nya keluar, kami memutuskan untuk mencari kamar rawat inap karena kondisinya bergejala cukup berat. Kami juga tidak mau mengambil risiko dia tetap di rumah karena ada bayi dan lansia di keluarga kami. Alhamdulillah suami mendapat kamar di salah satu rumah sakit tanpa menunggu terlalu lama.

Saat suamiku dirawat, duniaku runtuh satu demi satu. Berkejaran dengan aktivitas mengasuh empat anak, mengawasi mereka PJJ sambil tetap bekerja dari rumah dengan sistem WFH, juga mengirim keperluan suami ke rumah sakit tiap hari kadang membuatku limbung. Apalagi ketika kondisi suami mulai menurun: kedua paru-parunya meradang, saturasi oksigennya tidak stabil, dan dia mulai merasakan sesak. Berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran menyeruak. Kekalutan menghimpit dadaku hingga membuat air mataku mengalir hampir tiap hari.

Dari Shuhaib bin Sinan dia berkata, Rasulullah bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya” (HR Muslim)

Aku sungguh beruntung karena dukungan dari kerabat dan teman terus mengalir. Meskipun kadang kondisi suami melemah dan membuatku khawatir, aku tetap memanjatkan syukur karena aku, orang tua, dan anak-anak semuanya dalam kondisi sehat dengan hasil tes PCR negatif. Setiap hari kami menghubungi suami dan memberinya semangat untuk terus berjuang.

Hingga tibalah saat itu: hari ketika suami akhirnya bisa pulang ke rumah setelah dua puluh lima hari. Kalimat kesyukuran tak henti-hentinya menghiasi lisan dan batin kami. Dalam peristiwa dahsyat yang mengguncang jiwa kadang kita disadarkan bahwa hanya Allah satu-satunya yang kita punya. Sungguh tidak ada daya dan upaya melainkan hanya berasal dari pertolongan-Nya. Akibat pandemi, kini semua peristiwa hidup tak lagi sama di mataku.