Di dunia ini, sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang adaptif tentu mengalami penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan situasi dan kondisi, termasuk ketika manusia dihadapkan pada kondisi luar biasa seperti pandemi. Pandemi yang terjadi secara global memaksa dunia ini berhenti sejenak. Kemudian, ketika perlahan roda kehidupan mulai berputar kembali setelah kita mengalami lockdown, tentu ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Dari aspek kesehatan, kita diperkenalkan pada perilaku 3M sebagai
upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, yaitu memakai
masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker
kain dapat menurunkan risiko penularan Covid-19 sebesar 45 persen, sedangkan masker
bedah mampu menekan penyebaran virus Covid-19 hingga 70 persen.
Sebagai upaya untuk menghindari kerumunan dan mengurangi risiko
penularan, sekolah-sekolah dan institusi perguruan tinggi menerapkan Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ). Perkantoran merombak sistem kerja menjadi Work From
Home (WFH) untuk mencegah karyawannya terpapar virus corona ketika berada di
kantor maupun di perjalanan. Tak ayal dengan sistem semacam ini, masyarakat
dipaksa beralih dari tatap muka ke sistem yang menggunakan platform
digital dan memerlukan koneksi internet sebagai imbasnya.
Perubahan ini tentu dialami pula oleh keluarga kami. Masker,
cairan pembersih tangan, serta disinfektan menjadi peralatan wajib. Kami
menjadi jarang keluar rumah bila tidak ada urusan yang terlalu penting. Kegiatan
berbelanja kami lakukan melalui aplikasi belanja daring. Agenda jalan-jalan saat
liburan terpaksa harus kami buang jauh-jauh.
Kuota internet kami tingkatkan karena ada tiga anak yang
mengikuti PJJ dan dua orang dewasa yang menjalankan WFH. Suasana rumah yang
semula sepi di siang hari menjadi ramai oleh suara-suara kami yang tengah
mengikuti pertemuan melalui aplikasi komunikasi daring berbasis video. Kami bahkan harus ekstra bersabar karena gangguan-gangguan kecil dari anak-anak sering muncul menghiasi layar komputer saat kami sedang melakukan pertemuan daring.
Di satu sisi, kami bersyukur bisa melewati pandemi ini
sebagai keluarga yang berkumpul bersama. Tentunya ini adalah kebahagiaan karena
selama tiga belas tahun pernikahan, aku dan anak-anak terpisah jarak Bandung-Jakarta dengan
suamiku. Namun, di sisi lain, frekuensi bertemu yang semakin meningkat dan kecenderungan
anak-anak untuk mulai bosan karena banyak terkurung, mengakibatkan rumah
menjadi lebih riuh karena pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi jika kami
sebagai orang tua kadang kelepasan dan tidak dapat mengontrol diri karena beban
pekerjaan, sementara anak-anak sedang susah diatur … wah, rumah rasanya seperti
sedang mengalami perang dunia.
Pandemi ini memang berat bagi semua orang. Setiap keluarga
memiliki perjuangan masing-masing untuk bisa bertahan. Kebiasaan baru yang
bersifat penjagaan kesehatan fisik seperti 3M harus dibarengi dengan kebiasaan untuk
menjaga kesehatan mental. Kita harus memupuk syukur, kesabaran, dan tawakal supaya lebih
waras menghadapi pandemi ini. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi
kita semua.
Pada akhirnya ini pasti jadi momen yang dirindukan
ReplyDeleteIya memang selalu ada hikmah di balik semuanya yaa
Delete