Ada banyak kisah duka tentang pandemi: kisah kehilangan
orang terkasih, kisah kehilangan sumber mata pencaharian dan naiknya angka
pengangguran, juga kisah perjuangan bertahan hidup yang sungguh menyayat hati.
Dan hidupku sepenuhnya berubah ketika angka penderita COVID-19 di negeri ini
melonjak sangat tinggi pada kuartal terakhir tahun lalu. Tepat pada hari ulang
tahun anakku yang kedua, hasil tes PCR suami keluar dan statusnya positif
dengan nilai CT yang cukup rendah.
Sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta,
suamiku memang masih sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Malam itu suami pulang
dalam keadaan demam, batuk, dan menggigil. Sekujur badannya terasa sakit. Setelah
hasil tes PCR-nya keluar, kami memutuskan untuk mencari kamar rawat inap karena
kondisinya bergejala cukup berat. Kami juga tidak mau mengambil risiko dia
tetap di rumah karena ada bayi dan lansia di keluarga kami. Alhamdulillah suami
mendapat kamar di salah satu rumah sakit tanpa menunggu terlalu lama.
Saat suamiku dirawat, duniaku runtuh satu demi satu.
Berkejaran dengan aktivitas mengasuh empat anak, mengawasi mereka PJJ sambil
tetap bekerja dari rumah dengan sistem WFH, juga mengirim keperluan suami ke
rumah sakit tiap hari kadang membuatku limbung. Apalagi ketika kondisi suami
mulai menurun: kedua paru-parunya meradang, saturasi oksigennya tidak stabil,
dan dia mulai merasakan sesak. Berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran
menyeruak. Kekalutan menghimpit dadaku hingga membuat air mataku mengalir
hampir tiap hari.
Dari Shuhaib bin Sinan dia berkata, Rasulullah bersabda:
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya
(membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika
dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan
baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah
kebaikan baginya” (HR Muslim)
Aku sungguh beruntung karena dukungan dari kerabat dan
teman terus mengalir. Meskipun kadang kondisi suami melemah dan membuatku
khawatir, aku tetap memanjatkan syukur karena aku, orang tua, dan anak-anak
semuanya dalam kondisi sehat dengan hasil tes PCR negatif. Setiap hari kami
menghubungi suami dan memberinya semangat untuk terus berjuang.
Hingga tibalah saat itu: hari ketika suami akhirnya bisa
pulang ke rumah setelah dua puluh lima hari. Kalimat kesyukuran tak
henti-hentinya menghiasi lisan dan batin kami. Dalam peristiwa dahsyat yang mengguncang
jiwa kadang kita disadarkan bahwa hanya Allah satu-satunya yang kita punya.
Sungguh tidak ada daya dan upaya melainkan hanya berasal dari pertolongan-Nya. Akibat
pandemi, kini semua peristiwa hidup tak lagi sama di mataku.
No comments:
Post a Comment