Friday, December 31, 2004

Sendu

Hujan rintik-rintik. Terkenang sosok yang itu juga. Ia tak lagi di sini, namun hidup dan perginya memberi banyak arti dan inspirasi. Teringat perkataan seseorang, “Saya rasa yang paling menakjubkan dari orang-orang yang kita kasihi adalah, sebagian dari diri mereka sebenarnya terus hidup dalam diri kita meskipun mereka telah tiada. Itulah persembahan cinta mereka yang terdalam.”

Benar juga. Ia masih hidup dalam diri kita semua; dengan segala pemikirannya, segala sikap dan perilakunya, segala fenomena hidupnya, segala mimpi-mimpinya, dan segala cintanya…

(Belakangan ini hujan sering menghentikan dominasi, menghadirkan ruang kontemplasi begitu mudahnya. Sejenak berhenti, untuk kemudian kembali berlari.)

Aku dan Jiwaku

Berjalan di selasar kampus diiringi rintik gerimis, aku tercenung. Telah begitu banyak hal terjadi, melintas-lintas dalam benak bagai tercerabut satu-satu meloncati waktu, tak putus-putus. Beberapa saat sebelumnya, aku baru saja keluar dari kompleks Masjid Salman setelah rutinitas menunggu usainya shalat Jumat, sambil berbincang seru dengan dua orang teman. Berbincang seru tentang banyak hal, tentang pengingatan.

Pengingatan itu… Betapa kerdilnya jiwa ini. Jiwa ini tahu tentang pengabdian tertinggi, tapi masih juga sibuk sendiri. Justifikasi bertebaran berusaha menghibur depresi yang membelit diri akibat akademik yang menekan. Lalu segala hal menghablur, menciptakan sebuah ruang yang hanya cukup untuk jiwa ini seorang. Berbincang sendiri, berkontemplasi sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, menjerit sendiri… Hingga tiba suatu masa saat asa tak lagi ada, jiwa terbang merana tanpa peduli sesiapa.

Orientasi serasa sia-sia karena realitas bermusuhan dengan ekspektasi. Tangan-tangan terentang yang berbingkai ukhuwah tak sepenuhnya nyata. Mereka bahkan sering semu. Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu, salahkah aku bila kini aku juga sibuk dalam duniaku sendiri, berusaha menimbun waktu dengan aktivitas-aktivitasku sendiri?

Di luar sana, banyak orang bicara tentang idealisme, karir, dan masa depan cerah. Ah, sesuatu di ujung jalan. Punyakah aku? Dan kala bersentuhan dengan jiwa-jiwa langit, jiwaku berontak tak nyaman. Tentu saja, aku tidak hidup di langit: aku tinggal di bumi. Lalu, manakah sayang yang dulu mereka agung-agungkan? Manakah senyum yang katanya menyejukkan? Mana…?

Ia tetap jiwaku. Hanya ia yang membelaiku dengan sayang teramat dalam. Hanya ia yang ada di sana sepanjang hari. Maka ketika sekat-sekat itu kian menyempit, menghimpit asa hingga makin sekarat, setidaknya aku masih bisa tersenyum: aku masih punya jiwaku. Pada masa yang kian kabur, aku dan jiwaku masih tetap ada di sana. Ya, hanya aku dan jiwaku. Berdua.

Obrolan Hujan

Menjelang petang, hujan deras, dan selasar TVST. Di sampingku, dua teman menunggu reda sembari berbincang tentang sesuatu yang sangat sangat serius (?). Aku nggak fokus, sibuk memandang butiran hujan sambil menikmati ritmenya. Hmm, terapi alam yang efektif, bikin rileks dan bikin lupa (sebentar) sama masalah.

Seorang teman menghentikan bicara, meminta pendapat. Hah, aku kaget. Nggak nyangka bakal nanya. Nggak ngerti mau ngomong apa. Jadinya aku malah ungkapkan saja apa yang ada di otak, apa yang ada di hati. Nggak peduli nyambung atau nggak.

Ah, teman. Mengapa kau terlampau serius memandang hidup ini? Kita ini kan manusia juga, bukan malaikat. Atau, tunggu… mungkinkah aku yang terlalu santai menjalani semuanya? Iya, gitu? Hidup sudah sumpek, tak usah dibikin tambah sumpek. Gitu aja kok repot.

SMS

Jumat, 3 Desember lalu, saya tergolek lemas di atas kasur. Ternyata dua hari bed rest belumlah cukup. Pusing juga harus tiduran terus. Tahukah Anda, ternyata masih ada perhatian-perhatian yang membuat rasa haru merambati hati kala itu?

“Iya teh.Klo ga slh td pak redy jg ga ada.Aku masi mkn,tp abis ini k smile.Cpt smbh y teh..Ud bnyk yg mulai tepar,dr titah,karlisa,aku jg ga tralu enak bdn..” (Ani, Jumat 3 Desember, 11.32)

“Asswrwb. besok kan ada rapat besar SMC, bs hadir? lg sakit ya? kalo bs hadir, tlg APK yg sudah pernah dibicarakan, dipaparkan. makasih.” (Mas Firman, Jumat 3 Desember, 17.46)

“Aslm.lg sakit?cpat sembuh ya!btw,td SMILE banyak anak 2001 nya.ws.fai” (Fatimah, Jumat 3 Desember, 20.12)

“Ass.yustika, ktnya sakit, skt apa,skrg gmn kondisinya? Tadi ksmc,n g jd rpt koq, n salim blg Yustika sakit.Syg g tau kostny,g bs nengok.Ok, Cpt sembuh ya.” (Diyah, Jumat 3 Desember, 21.39)

“Ass. Ktnya Kak Yus sakit ya? Smoga cpt sembuh ya kak.. =)” (Feni, Jumat 3 Desember 22.08)

“Ass,yt bru dengar kmrn kalo Yustika sakit,istirahat yg byk ya biar sehat lgi,pas blk k bdg kan blm fit bgt” (Yuti, Sabtu 4 Desember, 04.06)

Jujur, sakit kala itu adalah sakit yang teramat istimewa. Thanks, Guys! Perhatian-perhatian kalian membuat saya merasa bahwa saya ada.

Wednesday, December 01, 2004

Etika Meminjam

Kenapa ya, orang sering tidak sadar bahwa meminjam barang pun ada etikanya? Motor dihujan-hujanin tanpa dilap, bensin diabisin tanpa diisi ulang, duhh...
Bukan apa-apa sih sebenarnya. Cuma kesel aja. Kalo udah gini, hati yang semula ikhlas meminjamkan (karena berharap dengan motor itu urusan saudara saya tersebut bisa lancar), jadi rada-rada error juga. Duh, ternyata susah ya, berusaha menyenangkan hati saudara...
Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah...

Saturday, November 13, 2004

Beda

Ramadhan dan Lebaran kali ini benar-benar beda. Berbagai peristiwa mengaduk-aduk rasa: ketidakhadiran Eyang Kakung, kepergian Sigit, sampai meninggalnya Yasser Arafat...
Kapan tibanya akhir? Jiwa ini rindu menemui-Nya, tapi didera takut yang sangat akan tak cukup bekal untuk sampai ke sana...

Tanya

Berada di antara toples-toples kaastengel dan nastar, berada di antara bahan-bahan untuk membuat kue, saya tercenung. Ramadhan sebentar lagi pergi. Ia akan tiada, sementara ibadah masih belum apa-apa. Orang beriman harusnya berduka ketika Ramadhan berpamitan, tapi mengapa ada sedikit gembira di hati ini? Ah, semoga kegembiraan ini hanya sekedar kegembiraan bertemu keluarga…

Sigit Firmansyah: Sebuah Kepergian yang Begitu Tiba-Tiba

Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.30. Saya tengah berbincang santai dengan seorang teman di selasar depan tempat wudhu putri di Salman, sembari menunggu adik-adik mentor berkumpul. Tiba-tiba datang seorang teman lain dengan mata berkaca-kaca, “Teh, doakan ya. Semalam Kak Sigit Elektro meninggal…” Saya tertegun tak percaya. Ini lagi bercanda ya? Kok saya --yang nota bene sejurusan dengan Sigit-- tidak tahu?

Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.37. Ada sms masuk dari teman sejurusan saya, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. telah pulang ke hadapan Allah saudara kita Sigit F (EL ‘01) td mlm. mohon doakan beliau dan tolong sebarkan. jazakillah.” Tak kurang selama dua jam berikutnya, rentetan sms dengan kabar senada berebut masuk ke inbox saya. Saya semakin tertegun. Ini bukan main-main. Ini bukan bercanda. Lalu air mata saya menitik ketika seorang adik kelas sejurusan dengan serta merta memeluk saya begitu mendengar kabar serupa.

Sabtu, 6 November 2004, pukul 14.30. Saya memandang rintik-rintik hujan di luar jendela bis yang tengah melaju menuju Brebes, kota kelahiran Sigit. Lintasan-lintasan kenangan menyeruak, membuncahkan rasa perih yang tak mampu saya lukiskan. Sementara rintik hujan semakin menderas, menderas pulalah air yang meloncati kedua pipi saya. Ada rasa tak percaya, ada rasa tak rela…

“Yus, udah nyoblos?” kata Sigit mengingatkan ketika kami bertemu pada Senin, 1 November 2004, di tangga jurusan. Saya mengiyakan sambil lalu. Saat itu memang sedang masa pencoblosan pemilu Ketua HME. Tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Hari itu juga, saat saya melihatnya di barisan jamaah shalat ashar di Salman, saya tak pernah menyangka pula, bahwa saat itu adalah saat terakhir kali saya melihatnya.

Di mata saya, Sigit identik dengan pengingatan. Setiap detik darinya adalah pengingatan. Tiap kali bertemu, tak pernah lupa tausiyah-tausiyahnya bertebaran menyejukkan, mengingatkan kami akan hakikat kehidupan. Bahkan saat pertemuan terakhir dengannya, ia masih saja mengingatkan saya agar tak kehilangan hak suara pada pemilu Ketua HME tahun ini. Ia seorang teman yang luar biasa, sekaligus rekan kerja yang hebat.

Sabtu, 6 November 2004, pukul 18.15. Sebuah keluarga yang ramah dan sederhana menyambut saya dan teman-teman. Potret kesedihan tak terkira akibat kehilangan dua orang tersayang --Sigit dan ayahanda-- tampak jelas membayang ketika kami melangkah satu-satu memasuki rumah bercat putih itu. Sembari tergugu, ibunda Sigit menuturkan kisahnya kepada kami.

Kepergian Sigit begitu istimewa. Malam sebelum ia pergi adalah malam ke-23 bulan Ramadhan. Menurut penuturan seorang teman yang menyertai perjalanannya, malam itu ia habiskan dengan tilawah Al Qur’an. Selepas subuh pada Sabtu, 6 November 2004, beberapa saat setelah sang ibunda menghampirinya di ruang ICU, Sigit menghembuskan nafas terakhir setelah mengucap, “Allah…” Bahkan sejak malam sebelumnya sampai saat kepergiannya, sang ibunda tak henti-hentinya mencium wangi bunga melati semerbak memenuhi udara…

Kepulangan Sigit adalah jua untuk menuntaskan rindu sang ibunda. Tiga tahun di Taruna Nusantara dan tiga tahun menggeluti aktivitas kampus yang penuh dinamika, membuatnya senantiasa jauh dari rumah. Kepulangan demi kepulangan sering disinggahinya hanya sebentar, membuat sang ibunda tak bisa berlama-lama melepas rindu. Siapa menyangka, kepulangan kali ini adalah untuk yang terakhir kali. Seolah-olah ia berkata, “Sigit pulang, Bu. Dan nggak akan pergi-pergi lagi.”

Sebuah pengingatan yang sangat berbekas di hati saya yang juga anak rantau, tentang sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele: pulang. Jauh dari rumah, kita terlalu asyik berkutat dengan hal-hal yang kita anggap lebih penting. Sementara di rumah, orang tua --terutama ibunda-- sedang berkubang dalam kerinduan dan pengharapan akan sukses kita. Padahal tak kalah penting, kita meluangkan waktu sejenak untuk pulang, untuk kembali bergelung di pelukan ibunda. Selamanya kita tetap kanak-kanak ibunda. Biarkan binar-binar bahagianya menyambut kepulangan kita. Biarkan decak-decak gembiranya mendengarkan kisah-kisah kita. Biarkan lembut sayangnya membelai jiwa kita. Biarkan desah harunya memaknai kedewasaan kita. Maka pulanglah, sebelum tak ada lagi kesempatan buat kita untuk pulang, sebelum kepulangan itu tinggal kepulangan abadi.

When every boat has sailed away
And every path is marked and paved
When every road has had its say
Then I'll be bringing you back home to stay

When every town looks just the same
When every choice gets hard to make
When every map is put away
Then I'll be bringing you back home to stay

Ahad, 7 November 2004, pukul 00.30. Bis yang saya tumpangi menggerung mendaki tanjakan dalam perjalanan kembali ke Bandung. Saya masih juga terisak, merasakan kepedihan atas kehilangan seorang mujahid dakwah. Seharusnya tidak secepat ini ia pergi. Seharusnya ia masih di sini, merenda mimpi-mimpi bersama barisan kami. Seharusnya masih banyak kebaikan yang mampu ia sebarkan pada semesta. Seharusnya canda garingnya masih merenyahkan tawa-tawa kami. Seharusnya masih banyak hal yang mampu ia tunaikan. Seharusnya… seharusnya… beribu kata ‘seharusnya’ menjejali benak saya, bercampur dengan basah air mata membuat saya pusing kepala.

Rela tak rela, kami harus rela. Toh ia bukan milik kami. Toh ia milik Pencipta-nya. Ketidakpercayaan itu, ketidakrelaan itu… sedikit menguap ketika kami menyadari indah kepergiannya.

Sigit Firmansyah. Nama yang akan lekat abadi dalam hati. Selamat jalan, Akhi. Masih jua tak percaya kau telah pergi. Berbahagialah, mungkin Allah telah menyiapkan untukmu seorang bidadari di surga-Nya…

Psikologi

Hari-hari ini saya sedang tertarik memikirkan efek-efek psikologi yang dihasilkan oleh sensasi-sensasi kehidupan. Betapa ternyata manusia merupakan makhluk yang teramat rumit. Lintasan kejadian yang mungkin dianggap sepele oleh seseorang, bisa jadi merupakan sebuah peristiwa besar yang menggoreskan rasa pada diri orang lain. Menggoreskan suatu rasa --yang disadari atau tidak-- berimbas pada kondisi psikologi orang tersebut, yang semula ‘baik-baik saja’ menjadi tidak ‘baik-baik saja’.

Beberapa waktu lalu, saya mengalami ‘kejadian’ yang cukup membuat saya shock. Yang paling membuat saya shock adalah: seharusnya ‘kejadian’ itu tak perlu terjadi. Ada banyak cara lain yang lebih ‘cantik’ untuk menyelesaikan masalah daripada harus mengalami ‘kejadian’ itu. Saat itu, saya benar-benar merasa tertekan dan powerless (really hate that feelings!). Sesaat setelahnya, saya merasa tidak enak badan: pusing dan mual. Menurut penuturan beberapa orang teman, saya mengalami apa yang disebut sebagai gejala efek psikosomatis (?). Entahlah, saya tak terlalu tahu. Yang jelas, sebelumnya saya memang sehat-sehat saja. Mungkin benar, ‘kejadian’ itu menorehkan luka di hati saya hingga saya merasa tertekan. Lalu perasaan tertekan itu langsung berimbas pada kondisi fisik saya. Sampai saat ini, saya masih sering trauma kala mengingatnya, apalagi kala berjumpa dengan orang yang bersangkutan. Aih…

Bicara tentang efek psikosomatis, saya jadi ingat dengan kelinci-kelinci paman saya. Lho? Iya, tentu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau kelinci adalah hewan yang sangat perasa dan lembut, yang sangat rentan terhadap efek psikosomatis ini. Bila seekor kelinci merasa tertekan, ia akan sangat mudah jatuh sakit dan akhirnya mati. Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di awal bangku sekolah dasar, paman saya memelihara beberapa ekor kelinci di kebun samping rumah. Saat itu paman sudah wanti-wanti, agar saya tidak membuat kelinci-kelinci itu terkejut, karena sensasi kaget akan sangat mudah membuat mereka jatuh sakit.

Tapi apa yang saya lakukan? Dasar anak kecil, bukannya berusaha menjaga ‘perasaan’ kelinci-kelinci itu, saya malah asyik mengagetkan mereka. Mungkin waktu itu saya mencoba bereksperimen: emang iya kagetnya kelinci bisa bikin mereka mati? :) Ternyata fatal akibatnya. Satu demi satu, kelinci-kelinci itu jatuh sakit. Begitu tahu kelinci-kelincinya sakit, paman langsung berinisiatif menyembelih mereka. Jadi begitulah. Tiap kali saya mengagetkan kelinci, beberapa hari berikutnya saya makan sate kelinci. Ah, saya jadi merasa bersalah pada kelinci-kelinci itu. Lebih bersalah lagi ketika menyadari bahwa ternyata saya juga rentan terhadap efek psikosomatis ini… :(

Beberapa hari terakhir ini saya masih juga sibuk memikirkan pengaruh sensasi kehidupan terhadap fisik dan psikis seseorang. Pasalnya, setelah saya mudik ke kampung halaman dalam rangka lebaran, saya menemui banyak perubahan pada keluarga saya. Perubahan secara emosional, terutama. Dan tentu ada kaitannya dengan sensasi-sensasi kehidupan yang mereka alami dan rasakan. Pertama, kondisi emosi Eyang Putri yang berubah drastis setelah kepergian Eyang Kakung: beliau jadi gampang marah-marah dan sering merasa useless. Lalu kondisi emosi Bapak yang lebih mudah uring-uringan setelah menderita diabetes dan setelah beberapa waktu lamanya berkutat dengan penyelesaian disertasinya. Juga kondisi emosi Ibu yang ikut mengalami perubahan, mungkin akibat amanah kantor yang menggunung, atau akibat perhatian yang tersita berlebihan untuk Bapak dan segala permasalahan lain.

Rangkaian peristiwa yang terjadi semakin mengukuhkan kesadaran saya, bahwa ada banyak hal yang tak bisa dikendalikan manusia. Seorang teman saya boleh saja bilang, “Itu sesuatu yang bisa dikontrol”. Tapi kenyataan lebih banyak berbicara: manusia sulit mengendalikan efek psikis dari sensasi kehidupan yang dijalaninya, apalagi bila ia tak sadar --atau tak mau sadar-- ia tengah terluka. Ada guratan lelah dan sedih di tengah-tengah tawa. Ada tanya menggugat, ada tanya tak terjawab. Maka kepada Allah-lah seharusnya kita selalu kembali, agar kedamaian itu senantiasa bersemayam di hati, tak peduli seperti apa kehidupan menghantam psikis kita.

Saturday, October 23, 2004

Pada Sebuah Rumah

aku menemukan diriku pada sebuah rumah:
tumbuh, tertawa, sepatah-patah melangkah pada tahun-tahun pertama
untuk kemudian dilepaskan ke dunia

aku mengikatkan ujung taliku pada sebuah rumah:
sementara ujung yang satu kubawa berkelana
suatu saat kugulung satu-satu untuk menemukan jalan pulang

aku menuntaskan rinduku pada sebuah rumah:
pada rasa memiliki, pada rasa kehilangan, pada bingkai-bingkai kenangan
yang terserak antara ada dan tiada

meski jauh dan melelahkan rupa-rupa perjalanan
aku tak pernah lupa pada sebuah rumah:
tak akan pernah mampu aku berumah dalam pengembaraan dan keterasingan

pada akhirnya, betapa ingin aku segera melabuhkan asa pada sebuah rumah:
yang tersandar pada sebidang bahu yang kukuh
untuk bersama meraih rumah tertinggi di sisi-Nya

Tuesday, October 19, 2004

Terkenang Eyang

Ini Ramadhan pertama tanpa Eyang Kakung. Semalam ketika tarawih di masjid kampung, di barisan jamaah laki-laki saya melihat sesosok sepuh yang mirip Eyang Kakung. Lalu menderaslah kenangan-kenangan tentang Eyang Kakung, lengkap dengan kesedihan yang mendera-dera.

Sejak lahir, saya selalu tinggal serumah dengan Eyang Kakung. Saat saya masih kecil, beliau yang kebagian mengasuh saya saat ditinggal bapak dan ibu bekerja. Lalu saat saya tumbuh dewasa, beliau juga mengisi hari-hari saya dengan berjuta-juta kenangan. Keluarga saya memang sangat dekat dengan kakek-nenek dari pihak ibu karena memang tinggal serumah sejak bapak-ibu saya menikah. Saya masih ingat, sejak masa SMU ketika saya sudah terbiasa bangun di sepertiga malam, saya tidak pernah sendirian. Saya hampir selalu ditemani oleh beliau yang memang juga terbiasa bangun dini hari. Saya dan beliau sama-sama penggemar berat sepakbola, berita, dan koran. Masih terekam jelas di ingatan, betapa serunya kami berteriak-teriak di depan televisi saat pertandingan sepakbola ditayangkan, atau betapa seringnya kami berebut koran pagi saking inginnya jadi yang pertama membaca berita hari itu.

Memang sudah bertahun-tahun Eyang Kakung menderita gangguan prostat. Sudah bertahun-tahun pula beliau tidak pernah mau pergi ke rumah sakit dan hanya mengandalkan obat-obatan dari paman saya yang seorang dokter umum. Minggu-minggu terakhir sebelum meninggal, gangguan prostat beliau mencapai puncaknya sehingga diputuskan untuk operasi. Setelah operasi baru diketahui bahwa pada prostat beliau terdapat kanker. Dan kanker itu semakin mengganas seusai operasi, menjalar ke mana-mana hanya dalam waktu seminggu. Sampai akhirnya menjalar sampai ke ginjal, membuat ginjal beliau tak lagi berfungsi. Sabtu 1 Mei beliau menjalani cuci darah. Dan itulah terakhir kalinya beliau sadar. Setelah beliau cuci darah, beliau mengalami koma sampai meninggal pada Selasa 11 Mei.

Saya sampai di Solo pada Ahad 2 Mei (saya tak pernah lagi menemui Eyang Kakung dalam keadaan sadar) dan langsung diberi tahu keluarga bahwa waktu Eyang Kakung sudah tak lama lagi. Meski sudah diberi tahu dokter, kami tetap tak mengira beliau akan pergi secepat ini. Meski kami sudah bersiap menerima kemungkinan yang terburuk, meski kami sudah berusaha memupuk ikhlas jika sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh-Nya, tetap saja rasa kehilangan itu begitu perih. Sangat perih…

Eyang Kakung adalah dari siapa saya mewarisi kejawaan saya. Ritual adat dan literatur-literatur beraksara Jawa merupakan teman beliau sehari-hari. Di saat anak-anak muda Jawa saat ini mengalami krisis kejawaan yang sangat parah, saya merasa beruntung telah dibesarkan dalam suatu kultur yang adiluhung. Suatu kultur yang masih menghargai tradisi dan bahasa yang penuh pakem, tata krama, dan ewuh-pakewuh. Oh ya, tentu saya merasa beruntung. Betapa banyaknya anak-anak muda Jawa saat ini yang tidak bisa berbahasa krama bahkan kepada kedua orang tua mereka sendiri. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa?

Namun, memang tidak semua tradisi Jawa melekat dalam pribadi saya. Banyak tradisi kejawen yang tidak islami yang saya buang jauh-jauh dari hidup saya. Usaha yang sulit tentu, mengingat Eyang Kakung mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam keluarga besar kami. Apalagi adat patriarkat yang berlaku di Jawa cenderung membuat kami berlaku sendika dhawuh pada titah Eyang Kakung. Pernah juga saya merasa risih bercampur geli ketika mendengar wejangan Eyang Kakung seusai lebaran, “Kamu itu orang Jawa, Ndhuk. Kalau kamu tidak membiasakan diri berbusana Jawa, kamu bisa lupa asal-usulmu. Malah membiasakan diri berpakaian seperti orang Arab.”. Jujur, waktu itu saya ingin marah sekaligus ingin tertawa. Marah karena seharusnya busana muslimah itu tidak hanya untuk orang Arab. Memangnya orang Jawa tidak boleh berbusana muslimah? Saya juga merasa tersinggung karena di mana pun saya berada, saya tidak pernah lupa bahwa saya adalah orang Jawa! Saya sekaligus merasa geli ketika membayangkan diri saya sendiri berbusana adat Jawa ke mana pun saya pergi. Memangnya sedang ada perayaan Hari Kartini sampai saya harus berbusana adat Jawa terus? Memangnya saya hidup di lingkungan keraton? Pikir saya, orang keraton saja nggak gitu-gitu amat.

Ah, masa-masa yang penuh kenangan bersama Eyang Kakung.

Saya tak tahu berapa lama hati saya bisa pulih atas rasa kehilangan ini. Kedekatan kami begitu nyata, dan tampaknya baru kemarin saya mencium takzim tangan keriput yang masih kukuh itu. Tak ada lagi yang menemani saya bangun di sepertiga terakhir malam, tak ada lagi yang berebut baca koran dengan saya, tak ada lagi suara seruan beliau yang begitu bersemangat kala menonton sepakbola, tak ada lagi yang memberi wejangan panjang buat saya. Saya begitu rindu pada beliau. Saya tahu ini yang terbaik dari Allah buat Eyang Kakung dan buat kami semua. Saya tahu, tapi tetap saja berat buat saya. Bahkan hari ini, air mata saya belum lagi kering…

Lost In Space

Pernahkah kau melihat gelisah berjela-jela di bawah kakimu?
Pernahkah kau menemui asa tengah termangu menunggu waktu yang entah sedang di mana; sementara asa makin lama makin tergugu?
Pernahkah kau merasa pagi begitu sunyi hingga membuatmu merasa telah lama mati?
Pernahkah kau menyaksikan kuncup mawar merah merekah penuh indah, lalu tiba-tiba darinya menetes peluh berdarah-darah?
Pernahkah kau menatap mentari yang menghangat, kian memanas, untuk kemudian menghanguskan korneamu?
Lalu pernahkah kau mencoba lari dari segalanya: menusuk-nusuk, menghujat, menuduh, menuntut?
Aku pernah
Ah, tidak: aku bahkan sedang mengalaminya
Dan aku muak karenanya

Friday, October 15, 2004

Bincang-Bincang dengan Seno Gumira Ajidarma

“Jadikan menulis itu nafas.”
Rabu sore, 12 Oktober 2004, saya dan seorang teman berkesempatan untuk bertemu dengan sastrawan Seno Gumira Ajidarma, tepat sehari setelah ia menerima Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2004. Suatu kesempatan yang saya nantikan (lagi) sebenarnya, dapat berbincang-bincang sejenak dengan sastrawan kelas nasional, setelah sebelumnya saya pernah bertemu dengan Helvy Tiana Rosa dan Dewi “Dee” Lestari.
Saya sedikit terlambat menjemput teman saya dari kantornya sehingga sesampainya saya di Common Room —tempat diadakannya acara— bangku-bangku sudah penuh. Ups, tampaknya memang harus berdiri nih, kata saya dalam hati. Sembari menyusup-nyusup mencari tempat strategis, saya memandang berkeliling. Semua mata yang hadir tampak menatap ke satu titik yang menjadi center point di ruangan kecil itu. Setengah celingak-celinguk, akhirnya saya berhasil menempatkan diri sebagai audience yang baik (eh, benarkah?). Perhatian saya langsung terpaku pada sosok eksentrik yang duduk di bagian depan audience. Oh, jadi ini Mas Seno itu, pikir saya. Segera saya larut dalam bincang-bincang santai dan sharing kepenulisan yang sore itu berlangsung dengan penuh guyon.
Beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan 'kegemaran' Mas Seno mengangkat tema 'senja' dalam tulisan-tulisannya. Banyak di antara audience yang menanyakan, mengapa harus senja? Dengan ringan Mas Seno menjawab, "Saya malah heran kalau ada orang yang tidak menyukai senja. Betapa tidak, senja itu kan sebuah keindahan yang sempurna (sambil menarik nafas). Tapi dengan keindahan yang sempurna itu, senja tidak bertahan lama. Dia dengan niscaya akan menghilang, akan menggelap. Dan itu sebuah inspirasi besar buat saya."
Mas Seno juga menyisipkan beberapa tips menulis. Bagi penulis pemula, it's okay kalau mereka menerapkan proses imitasi dalam awal proses kreatif mereka sebagai penulis. Semua penulis pada awalnya pasti seperti itu, tak terkecuali Mas Seno sendiri. Dulu sekali, ketika awal-awal menulis puisi, Mas Seno melakukan proses imitasi terhadap karya-karya Sapardi Djoko Damono. Namun, mungkin karena saking berbakatnya Mas Seno, proses imitasi itu hanya sebatas proses kreatif saja. Bahkan ketika hal tersebut dikonfirmasi ke Sapardi sendiri, ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa puisi-puisi Mas Seno berbeda dengan karyanya :)
Ada satu pertanyaan dari audience yang menarik perhatian saya. Seseorang bertanya, mengapa karya-karya sastra Mas Seno begitu susah dipahami, alias harus dibaca berulang-ulang untuk bisa mengerti. Pesan penulis sebenarnya seperti apa? Jawaban Mas Seno begitu simpel. Katanya, saat sebuah karya selesai dibuat, maka saat itulah pengarangnya mati. Maksudnya, ketika seorang pembaca membacanya, maka ia bebas menafsirkan bagaimana pesan penulis dalam karya tersebut. Bebas sebebasnya, dan si pengarang tidak 'berwenang' mencampuri interpretasi pembaca terhadap karyanya. Untuk memahami karya sastra yang tidak mudah dipahami, memang diperlukan kemampuan lebih. Dan itu yang membuat kita menjadi seorang pembaca yang bermutu. Tidak sebatas membaca hal-hal yang ringan saja. Jadi jika kita tidak berhasil memahami karya sastra semacam itu, berarti kita belum berhasil menjadi pembaca yang bermutu (ups, kesindir nih :p)
Mas Seno berkata, untuk menjadi penulis yang baik, kita harus menjadi pembaca yang baik terlebih dahulu (oh ya, tentu saja). Baca apa saja yang bisa menambah wawasan kita. Mengembara dalam wacana, istilahnya. Tanamkan dalam pola pikir kita, bagaimana caranya kita dapat terus menulis. Cari inspirasi tentang apa saja. Jadikan menulis itu nafas.
Sepulang saya dari Common Room, saya jadi terpikir untuk membeli buku Negeri Senja-nya Mas Seno :)

Thursday, October 14, 2004

...

Aku marah lewat raungan keras kemudi gas melonjak-lonjak

Aku memaki lewat raut kebencian dan tatap berapi

Aku lari lewat hentakan alas kaki dan lesatan roda kendara

Aku pergi tanpa peduli sesiapa

Aku memberontak

Dalam diam

Cinta

Adakah berpaling sedikit saja?

Gelegak rasa tepiskan nurani

Sehangat senyum mentari namun semu bak fatamorgana

Adakah berpaling sekejap mata?

Senandung lirih pujangga menjelma nyanyian dewa-dewi

Menyambut rekahnya kelopak bunga palsu

Adakah berpaling sekecap rasa?

Berpeluh darah, berderai air mata

Segala tak ada guna, cuma sia-sia

Limbung tanpa arah

Kontemplasi tiada orientasi

Indah tapi salah

Wednesday, October 13, 2004

Menulis Itu...

"Writing is about making choices"
Saya mendengar kalimat itu terucap dalam salah satu dialog di film Dawson's Creek semalam. Dialog itu terjadi antara seorang dosen dengan mahasiswinya. Sang dosen berusaha menyemangati si mahasiswi agar tidak menyerah dalam melanjutkan tulisan yang telah dibuatnya. Karena tanpa ia sadari, sebenarnya ia seorang penulis yang --kata sang dosen-- bagus. Paling tidak, ia berhasil memukau sang dosen lewat tulisan yang dibuatnya.
Padahal, si mahasiswi tidak suka kenyataan itu. Tulisan yang dibuatnya adalah kisah nyata yang terjadi pada dirinya. Ia tidak suka melanjutkannya karena ia tidak suka pada kenyataan yang terjadi pada dirinya: ditinggalkan oleh cowok yang disukainya.
Sang dosen berkata, "Menulis itu seperti melanjutkan hidupmu."
Melanjutkan tulisan itu seperti melanjutkan kisah cintanya yang menggantung. Ia pikir kisah cintanya sudah selesai, tetapi sang dosen malah berkata, “Cerita (tulisan) ini berakhir tepat di saat seharusnya ia dimulai.”
Bagi si mahasiswi, melanjutkan tulisan tersebut adalah hal yang sulit. Karena itu berarti ia juga harus menata hatinya dan merumuskan seperti apa ending kisah cintanya. Maka ia harus mulai membuat pilihan-pilihan. Tidak hanya pilihan-pilihan penokohan, alur, dan ending tulisannya, melainkan juga pilihan-pilihan nyata dalam kisah cintanya.
Menulis memang seperti itu: membuat pilihan-pilihan. Pun buat saya, menulis merupakan proses kreatif tersendiri yang melibatkan banyak pilihan. Lalu mengapa sampai saat ini saya memilih untuk senantiasa mengakrabi tulisan? Satu hal yang terpikir adalah kenyataan bahwa lewat tulisan, saya benar-benar menemukan siapa saya sebenarnya. Ini memerlukan penggalian yang cukup dalam terhadap masa lalu saya, kepribadian dasar saya, keinginan-keinginan saya, cara saya berekspresi, bahkan terhadap cara saya bergaul.
Cukup kompleks? Memang. Karena buat saya, menulis adalah suatu aktivitas yang lebih dari sekedar merangkai huruf demi huruf, menjadi seuntai tulisan bermakna. Tidak, buat saya menulis memiliki arti lebih dari itu.
Saya orang yang cukup pendiam. Datar. Cenderung menutup diri. Dan tidak pernah bersikap vokal, apalagi frontal. Sejak kecil saya mengakrabi tulisan karena lewat tulisan, saya bisa mengekspresikan hal-hal apa saja yang saya mau tanpa batasan-batasan rasa malu, rendah diri, atau putus asa. Dengan menulis, saya bisa mengemukakan gagasan atau pikiran menurut cara yang saya mau.
Saat remaja, saya menemukan kenyataan menarik, bahwa menulis fiksi ternyata juga menyenangkan. Sudah lama saya merasa tidak puas terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar saya. Bahkan seringkali saya tidak punya kuasa untuk mengubahnya. Nah, lewat tulisan fiksi, saya bisa menciptakan sebuah kondisi yang saya kehendaki, lengkap dengan penokohan, alur, dan ending-nya. Sedikit demi sedikit, saya mulai mengakui keberadaan saya. Ternyata saya juga bisa mengendalikan sesuatu.
Berbicara tentang menulis, berarti juga berbicara tentang membuat pilihan-pilihan. Maka ketika saya bebas membuat pilihan kepuasan dan aktualisasi diri, saat itulah saya merdeka.

Tuesday, October 12, 2004

Motorku Sayang, Motorku Malang

Sore tadi selepas menghabiskan waktu di Salman Media Center --menunggu pertemuan yang akhirnya dibatalkan-- seorang teman meminta diantar membeli sedap malam di kios bunga di Wastu Kencana. Hari sudah gelap ketika kami berboncengan keluar dari parkir basement Salman, menyusuri Taman Sari dan Pajajaran. Waktu terasa berjalan sangat lambat karena kemacetan terjadi di mana-mana. Saya mengendarai motor dengan merambat, pelan-pelan berusaha mengikuti arus ke arah yang saya tuju.
Di perempatan Cihampelas - Wastu Kencana, saya mengambil lajur sebelah kanan menuju jalur searah Wastu Kencana. Tiba-tiba tanpa saya sadari, sebuah mobil sudah berada di sebelah kiri saya, tepat ke arah saya. Dengan panik, saya mengerem seketika. Kondisi yang tiba-tiba dan berat motor yang tidak seimbang, membuat kami berdua terjungkal ke kanan, di atas aspal dengan posisi yang menggelikan. Tertatih saya bangun. Dengan gemetar berusaha menepikan sepeda motor dan meredam degup-degup tak beraturan. Di tengah keramaian arus lalu lintas, tentu saja.
Sesampai di kios bunga, saya mempersilakan teman saya membeli bunga, sementara saya sibuk memeriksa sepeda motor, kalau-kalau ada kerusakan. Sial. Handel rem tangan membengkok tidak sempurna. Lampu sen berkedip-kedip aneh tidak seperti biasanya. Dan lebih parah, dashboard stang sebelah kanan pecah dengan suksesnya! Bukankah kami tadi jatuh dengan amat pelan? Waduh, bakal dimarahin kakak deh...
Seingat saya, ini pertama kalinya saya jatuh lagi --dengan sepeda motor saya-- setelah terakhir kalinya saya jatuh di Buah Batu sekitar tiga tahun lalu. Wah, jatuh di Buah Batu lebih seru lagi. Saya jatuh di tengah-tengah arus lalu lintas yang melaju kencang. Stang sepeda motor sampai bengkok dan miring. Rok kesayangan saya sampai bolong tersisir aspal. Alhamdulillah saya masih diberi keselamatan.
Memandangi motor kesayangan saya itu, ada rasa perih. Betapa kondisinya kini sudah begitu compang-camping akibat terlalu sering membentur aspal jalanan. Dulu semasa saya SMU, bisa dikatakan saya jatuh hampir tiap dua bulan. Akibatnya, spion sebelah kiri patah, bagian depan pecah, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Sampai sekarang, saya tidak pernah memperbaikinya. Sebagai pengingat bahwa saya terlalu sering mendhalimi motor saya itu, agar saya bertekad tidak akan pernah 'menyakitinya' lagi. Tetapi tetap saja tidak ada yang berubah sampai sekarang. Saya masih gadis yang dulu: suka kebut-kebutan, grasa-grusu, dan sembarangan di jalan. Hei, bahkan baru dua hari lalu saya diberhentikan polisi karena breaking the rules di jalanan. Duh, bandelnya...
Bagi saya, motor saya itu lebih dari sekedar sebuah motor. Dia sahabat saya, yang selalu saya jadikan tempat bicara dan berkeluh kesah saat pulang, setelah seharian lelah menempuh rutinitas. Dia sobat kental saya, yang selalu ikut meraung keras kala saya marah, lewat hentakan tangan saya pada handel gas. Dia teman yang tahu kapan ikut melonjak-lonjak gembira atau ikut tertunduk sedih, sepanjang jalan. Dia juga yang membawa saya pulang dengan sangat pelan ketika saya ngantuk di jalanan :) Ah, motor saya itu begitu setianya, sejak tahun pertama saya di SMU hingga tahun keempat saya kuliah. Dan dia begitu relanya saya banting-banting keras di jalanan, kadang menyerempet orang, kadang menyerempet mobil, kadang menubruk motor, kadang menyisir aspal, dengan dramatisnya. Duh, motor yang begitu setia...
Meski kini knalpotnya telah keropos, sekrup-sekrupnya kendor di sana-sini, spionnya patah satu, beberapa bagiannya pecah dan mengelupas, dia masih akan tetap setia mengantar saya. Ke mana saja. Dia sahabat terbaik saya di dunia.

Monday, October 11, 2004

Rindu Pada Rabb-ku

Tik-tak jarum hidup sayup tertatih
Reyot namun telah dalam tertoreh
Meninggalkan ukiran kebahagiaan maupun guratan kepedihan
Pada wajah keriput yang bersinar

Telah lama aku mencumbui kehidupan, kataku
Jatuh bangun dan kadang tersaruk melangkah
Tapi aku bahagia dan memaknai, kataku
Karena aku hidup bersama Rabb-ku dan kekasih-Nya

Helai-helai benang yang dulu terjalin kini terurai
Terawang mata dan senyum lembut sapa kilau sang sutra
Namun tiada tertekuk saat sambut yang kusut
Niscaya semua ada artinya

Kala helai terakhir tecerabut
Kupastikan mentari perlahan tenggelam
Dan aku akan pulang
Karena rindu mengalirkan air mata dan meringankan jiwa

Ada Apa Dengan Pernikahan?

Benarkah menikah didasari oleh kecocokan? Kalau dua-duanya doyan musik, berarti ada gejala bisa langgeng. Kalau sama-sama suka sop buntut berarti masa depan cerah... (that simple?)

Berbeda dengan sepasang sandal yang hanya punya aspek kiri dan kanan, menikah adalah persatuan dua manusia, pria dan wanita. Dari anatomi saja sudah tidak sebangun, apalagi urusan jiwa dan hatinya. Kecocokan, minat, dan latar belakang keluarga bukan jaminan segalanya akan lancar. Lalu apa?

MENIKAH adalah proses pendewasaan. Dan untuk memasukinya diperlukan pelaku yang kuat dan berani. Berani menghadapi masalah yang akan terjadi dan punya kekuatan untuk menemukan jalan keluarnya. Kedengarannya sih indah, tapi kenyataannya? Harus ada komunikasi dua arah, ada kerelaan mendengar kritik, ada keikhlasan meminta maaf, ada ketulusan melupakan kesalahan, dan keberanian untuk mengemukakan pendapat.

Sekali lagi, MENIKAH bukanlah upacara yang diramaikan gending cinta, bukan rancangan gaun pengantin ala cinderella, apalagi rangkaian mobil undangan yang memacetkan jalan.

MENIKAH adalah berani memutuskan untuk berlabuh, ketika ribuan kapal pesiar yang gemerlap memanggil-manggil.

MENIKAH adalah proses penggabungan dua orang berkepala batu dalam satu ruangan dimana kemesraan, ciuman, dan pelukan yang berkepanjangan hanyalah bunga.

Masalahnya bukanlah menikah dengan anak siapa, yang hartanya berapa, bukanlah rangkaian bunga mawar yang jumlahnya ratusan, bukanlah perencanaan berbulan-bulan yang akhirnya membuat keluarga saling tersinggung, apalagi kegemaran minum kopi yang sama...

MENIKAH adalah proses pengenalan diri sendiri maupun pasangan anda. Tanpa mengenali diri sendiri, bagaimana anda bisa memahami orang lain? Tanpa bisa memperhatikan diri sendiri, bagaimana anda bisa memperhatikan pasangan hidup?

MENIKAH sangat membutuhkan keberanian tingkat tinggi, toleransi dalam samudra, serta jiwa besar untuk menerima dan memaafkan.
Teori? (^_^) Fuuh, kapan ya saya menikah?

Suatu Pagi di Laboratorium Kimia Dasar

Beberapa tahun lalu ketika praktikum Kimia Dasar sedang berlangsung di laboratorium, tiga orang praktikan, dua ikhwan dan satu akhwat, sibuk berceloteh sembari melakukan titrasi. Samar-samar terdengar, mereka sedang membicarakan asyiknya percobaan itu, sampai kemudian salah satu ikhwan berkata, “Serasa jadi ilmuwan nih. Asyik juga ya misalnya jadi ilmuwan yang ngelakuin percobaan-percobaan kayak gini.”
Perbincangan pun lambat laun menghangat ke arah orientasi karir dan cita-cita. Selain menimpali perkataan temannya tentang menjadi ilmuwan, ikhwan yang lain lalu bertanya kepada si akhwat, “Omong-omong, pingin jadi apa kamu nanti?”
Setelah beberapa detik, si akhwat dengan yakin berkata, “Jadi ibu rumah tangga saja…” Sebelum jawaban si akhwat selesai, tawa sudah terdengar dari dua orang ikhwan tadi. Dengan senyum dikulum, salah satu ikhwan berkata, “Ngapain susah-susah kuliah di ITB kalau cuma jadi ibu rumah tangga?” Gantian si akhwat melongo. Pikirnya, seburuk itukah pemahaman mereka tentang peran seorang ibu rumah tangga?

* * *

Salah satu masalah yang tidak pernah tuntas didiskusikan adalah wanita, ia menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang. Kejadian nyata di atas adalah satu dari sekian banyak contoh. Masalah itu tetap tidak akan tuntas, karena wanita telah diperlakukan dan memperlakukan dirinya tidak sesuai dengan fitrah mereka. Wanita dihinakan, dipuja, dan menuntut untuk setara di segala bidang yang sering dikenal dengan istilah emansipasi dan karirisasi, yang sesungguhnya tidak pernah menemukan titik temu dengan hukum Allah.
Islam menjunjung tinggi derajat wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat di dunia ini, tidak ada yang boleh menghinakannya karena dalam hadits telah dikatakan “Syurga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad). Bahkan Rasul mengatakan wanita itu lebih berharga dari keindahan seluruh isi alam ini, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim). Untuk menjaga kesucian serta ketinggian derajat dan martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan batasan dan perlindungan bagi kehidupan wanita, semuanya itu untuk kebaikan wanita, agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan Allah terhadap dirinya, semuanya merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.
Seorang wanita yang memutuskan untuk menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan sebaik-baiknya memiliki keutamaan yang sangat besar, yang bahkan dijamin Allah dengan pahala berjihad di jalan-Nya. Rasulullah bersabda, “Siapa di antara kalian para istri dan ibu ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibu adalah madrasah pertama. Ibu merupakan penentu terbesar dalam pembinaan akhlak dan citra diri seorang anak. Dialah yang bertanggung jawab mendidik dan membesarkan anaknya. Meskipun ada bantuan dari pihak suami, tetapi peranan dan tanggung jawab suami sebagai pembina keluarga, mencari nafkah, dan sebagainya memberikan implikasi bahwa sebagian besar tanggung jawab pembentukan diri anak-anak tertumpu di bahu si ibu.
Di sinilah pentingnya seorang ibu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas, karena mustahil ia dapat mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan mereka mengarungi hidup bila ia sendiri tidak berpengetahuan. Siapa bilang seorang wanita tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi bila ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga? Terlepas dari apakah akhirnya ia nanti bekerja di luar rumah atau tidak, kecerdasan intelektual ibu itu tetap perlu untuk mendidik anak dan me-manage rumah tangga. Dalam hadits telah dikatakan, “Dan seorang istri itu adalah pengatur di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang diaturnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tentu saja proses pembelajaran tidak boleh berhenti begitu saja ketika seorang wanita sudah menjadi ibu rumah tangga. Pengembangan pola pikir tetap perlu, di mana hal itu bukan lagi merupakan sesuatu yang merepotkan mengingat bahwa iptek telah berkembang sangat pesat pada era globalisasi ini, sehingga dengan demikian fenomena penurunan prestasi setelah menikah dapat dihindari.
Dalam perspektif Islam wanita tidak dibebani mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, yang bertanggung jawab adalah ayahnya jika ia belum berkeluarga, suaminya jika ia telah berkeluarga, saudara laki-laki dan pamannya jika ayah dan suaminya tidak ada. Dispensasi ini akan memberikan peluang kepada wanita untuk dapat mendidik anak-anaknya, mengurus suaminya, sehingga dapat dilindungi dari pelecehan atau penistaan.
Namun wanita bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah sesuatu yang haram. Pada prinsipnya, Islam mengarahkan kaum wanita supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah yang dibawa Rasul.
Bila ia bekerja, hendaklah ia tidak melanggar fitrah dan syariat yang telah ditetapkan, hendaklah ia tetap menjaga kehormatan keluarga, sehingga tidak muncul peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah terhadap wanita di tengah masyarakat. Adapun pekerjaan yang dilakukan itu hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut, pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan dan sesuai fitrah wanita, misalnya dokter kandungan, perawat, guru, dosen. Dalam pelaksanaannya, tidak bercampur baur dengan laki-laki. Jam kerja yang dilakukan tidak melebihi kewajiban pokoknya mengurus keluarga. Syarat lainnya adalah adanya persetujuan dari ayah, suami, atau saudara laki-laki yang bertanggung jawab terhadap wanita tersebut.
Dengan memperhatikan aturan tersebut, wanita tetap dapat menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah. Ia tidak akan melanggar syariat dan fitrah dirinya. Ia akan tetap menjaga harkat dan martabat diri dan keluarganya, sehingga kemampuan dan ilmu yang ada pada dirinya dapat bermanfaat untuk orang lain, dan ia pun dapat membantu meringankan beban keluarga tanpa harus mengorbankan harga dirinya.
Manusia menyatukan alam dan cahaya. Alam membuat tuntutan kepadanya dan cahaya membuat tuntutan terhadapnya. Cahaya dituntut untuk tetap tersembunyi dan menahan diri dari sebagian besar kebaikannya dan apa yang dituntut oleh realitasnya sendiri dikarenakan kepentingan alam. Maka Nabi berkata, ketika ditanya kepada siapa kebaikan yang penuh cinta harus ditunjukkan: ibumu, ibumu, ibumu. (“Rasa’il Al-Arabi” oleh Ibn Al-Arabi Ayyam Al-Syan dalam Sachiko Murrata. 1996. The Tao of Islam. Mizan: Bandung.)Maka, masihkah kita tetap tertawa bila ada seorang akhwat dengan tegas dan tulus mengatakan bahwa ia ingin menjadi ibu rumah tangga saja? Wallahu a'lam bishshowaab.

Saturday, October 09, 2004

Picture of Me




It's me... trying to always put that smile on my face...

Maknai Saja

Maknai sederhana saja.
Aku mencintaimu dengan tiga kata.
Sunyi. Binar. Harapan.