Tuesday, October 12, 2004

Motorku Sayang, Motorku Malang

Sore tadi selepas menghabiskan waktu di Salman Media Center --menunggu pertemuan yang akhirnya dibatalkan-- seorang teman meminta diantar membeli sedap malam di kios bunga di Wastu Kencana. Hari sudah gelap ketika kami berboncengan keluar dari parkir basement Salman, menyusuri Taman Sari dan Pajajaran. Waktu terasa berjalan sangat lambat karena kemacetan terjadi di mana-mana. Saya mengendarai motor dengan merambat, pelan-pelan berusaha mengikuti arus ke arah yang saya tuju.
Di perempatan Cihampelas - Wastu Kencana, saya mengambil lajur sebelah kanan menuju jalur searah Wastu Kencana. Tiba-tiba tanpa saya sadari, sebuah mobil sudah berada di sebelah kiri saya, tepat ke arah saya. Dengan panik, saya mengerem seketika. Kondisi yang tiba-tiba dan berat motor yang tidak seimbang, membuat kami berdua terjungkal ke kanan, di atas aspal dengan posisi yang menggelikan. Tertatih saya bangun. Dengan gemetar berusaha menepikan sepeda motor dan meredam degup-degup tak beraturan. Di tengah keramaian arus lalu lintas, tentu saja.
Sesampai di kios bunga, saya mempersilakan teman saya membeli bunga, sementara saya sibuk memeriksa sepeda motor, kalau-kalau ada kerusakan. Sial. Handel rem tangan membengkok tidak sempurna. Lampu sen berkedip-kedip aneh tidak seperti biasanya. Dan lebih parah, dashboard stang sebelah kanan pecah dengan suksesnya! Bukankah kami tadi jatuh dengan amat pelan? Waduh, bakal dimarahin kakak deh...
Seingat saya, ini pertama kalinya saya jatuh lagi --dengan sepeda motor saya-- setelah terakhir kalinya saya jatuh di Buah Batu sekitar tiga tahun lalu. Wah, jatuh di Buah Batu lebih seru lagi. Saya jatuh di tengah-tengah arus lalu lintas yang melaju kencang. Stang sepeda motor sampai bengkok dan miring. Rok kesayangan saya sampai bolong tersisir aspal. Alhamdulillah saya masih diberi keselamatan.
Memandangi motor kesayangan saya itu, ada rasa perih. Betapa kondisinya kini sudah begitu compang-camping akibat terlalu sering membentur aspal jalanan. Dulu semasa saya SMU, bisa dikatakan saya jatuh hampir tiap dua bulan. Akibatnya, spion sebelah kiri patah, bagian depan pecah, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Sampai sekarang, saya tidak pernah memperbaikinya. Sebagai pengingat bahwa saya terlalu sering mendhalimi motor saya itu, agar saya bertekad tidak akan pernah 'menyakitinya' lagi. Tetapi tetap saja tidak ada yang berubah sampai sekarang. Saya masih gadis yang dulu: suka kebut-kebutan, grasa-grusu, dan sembarangan di jalan. Hei, bahkan baru dua hari lalu saya diberhentikan polisi karena breaking the rules di jalanan. Duh, bandelnya...
Bagi saya, motor saya itu lebih dari sekedar sebuah motor. Dia sahabat saya, yang selalu saya jadikan tempat bicara dan berkeluh kesah saat pulang, setelah seharian lelah menempuh rutinitas. Dia sobat kental saya, yang selalu ikut meraung keras kala saya marah, lewat hentakan tangan saya pada handel gas. Dia teman yang tahu kapan ikut melonjak-lonjak gembira atau ikut tertunduk sedih, sepanjang jalan. Dia juga yang membawa saya pulang dengan sangat pelan ketika saya ngantuk di jalanan :) Ah, motor saya itu begitu setianya, sejak tahun pertama saya di SMU hingga tahun keempat saya kuliah. Dan dia begitu relanya saya banting-banting keras di jalanan, kadang menyerempet orang, kadang menyerempet mobil, kadang menubruk motor, kadang menyisir aspal, dengan dramatisnya. Duh, motor yang begitu setia...
Meski kini knalpotnya telah keropos, sekrup-sekrupnya kendor di sana-sini, spionnya patah satu, beberapa bagiannya pecah dan mengelupas, dia masih akan tetap setia mengantar saya. Ke mana saja. Dia sahabat terbaik saya di dunia.

No comments:

Post a Comment