Beberapa tahun lalu ketika praktikum Kimia Dasar sedang berlangsung di laboratorium, tiga orang praktikan, dua ikhwan dan satu akhwat, sibuk berceloteh sembari melakukan titrasi. Samar-samar terdengar, mereka sedang membicarakan asyiknya percobaan itu, sampai kemudian salah satu ikhwan berkata, “Serasa jadi ilmuwan nih. Asyik juga ya misalnya jadi ilmuwan yang ngelakuin percobaan-percobaan kayak gini.”
Perbincangan pun lambat laun menghangat ke arah orientasi karir dan cita-cita. Selain menimpali perkataan temannya tentang menjadi ilmuwan, ikhwan yang lain lalu bertanya kepada si akhwat, “Omong-omong, pingin jadi apa kamu nanti?”
Setelah beberapa detik, si akhwat dengan yakin berkata, “Jadi ibu rumah tangga saja…” Sebelum jawaban si akhwat selesai, tawa sudah terdengar dari dua orang ikhwan tadi. Dengan senyum dikulum, salah satu ikhwan berkata, “Ngapain susah-susah kuliah di ITB kalau cuma jadi ibu rumah tangga?” Gantian si akhwat melongo. Pikirnya, seburuk itukah pemahaman mereka tentang peran seorang ibu rumah tangga?
* * *
Salah satu masalah yang tidak pernah tuntas didiskusikan adalah wanita, ia menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang. Kejadian nyata di atas adalah satu dari sekian banyak contoh. Masalah itu tetap tidak akan tuntas, karena wanita telah diperlakukan dan memperlakukan dirinya tidak sesuai dengan fitrah mereka. Wanita dihinakan, dipuja, dan menuntut untuk setara di segala bidang yang sering dikenal dengan istilah emansipasi dan karirisasi, yang sesungguhnya tidak pernah menemukan titik temu dengan hukum Allah.
Islam menjunjung tinggi derajat wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat di dunia ini, tidak ada yang boleh menghinakannya karena dalam hadits telah dikatakan “Syurga itu terletak di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ahmad). Bahkan Rasul mengatakan wanita itu lebih berharga dari keindahan seluruh isi alam ini, “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim). Untuk menjaga kesucian serta ketinggian derajat dan martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan batasan dan perlindungan bagi kehidupan wanita, semuanya itu untuk kebaikan wanita, agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan Allah terhadap dirinya, semuanya merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.
Seorang wanita yang memutuskan untuk menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan sebaik-baiknya memiliki keutamaan yang sangat besar, yang bahkan dijamin Allah dengan pahala berjihad di jalan-Nya. Rasulullah bersabda, “Siapa di antara kalian para istri dan ibu ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibu adalah madrasah pertama. Ibu merupakan penentu terbesar dalam pembinaan akhlak dan citra diri seorang anak. Dialah yang bertanggung jawab mendidik dan membesarkan anaknya. Meskipun ada bantuan dari pihak suami, tetapi peranan dan tanggung jawab suami sebagai pembina keluarga, mencari nafkah, dan sebagainya memberikan implikasi bahwa sebagian besar tanggung jawab pembentukan diri anak-anak tertumpu di bahu si ibu.
Di sinilah pentingnya seorang ibu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas, karena mustahil ia dapat mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan mereka mengarungi hidup bila ia sendiri tidak berpengetahuan. Siapa bilang seorang wanita tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi bila ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga? Terlepas dari apakah akhirnya ia nanti bekerja di luar rumah atau tidak, kecerdasan intelektual ibu itu tetap perlu untuk mendidik anak dan me-manage rumah tangga. Dalam hadits telah dikatakan, “Dan seorang istri itu adalah pengatur di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang diaturnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tentu saja proses pembelajaran tidak boleh berhenti begitu saja ketika seorang wanita sudah menjadi ibu rumah tangga. Pengembangan pola pikir tetap perlu, di mana hal itu bukan lagi merupakan sesuatu yang merepotkan mengingat bahwa iptek telah berkembang sangat pesat pada era globalisasi ini, sehingga dengan demikian fenomena penurunan prestasi setelah menikah dapat dihindari.
Dalam perspektif Islam wanita tidak dibebani mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, yang bertanggung jawab adalah ayahnya jika ia belum berkeluarga, suaminya jika ia telah berkeluarga, saudara laki-laki dan pamannya jika ayah dan suaminya tidak ada. Dispensasi ini akan memberikan peluang kepada wanita untuk dapat mendidik anak-anaknya, mengurus suaminya, sehingga dapat dilindungi dari pelecehan atau penistaan.
Namun wanita bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah sesuatu yang haram. Pada prinsipnya, Islam mengarahkan kaum wanita supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah yang dibawa Rasul.
Namun wanita bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah sesuatu yang haram. Pada prinsipnya, Islam mengarahkan kaum wanita supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah yang dibawa Rasul.
Bila ia bekerja, hendaklah ia tidak melanggar fitrah dan syariat yang telah ditetapkan, hendaklah ia tetap menjaga kehormatan keluarga, sehingga tidak muncul peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah terhadap wanita di tengah masyarakat. Adapun pekerjaan yang dilakukan itu hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut, pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan dan sesuai fitrah wanita, misalnya dokter kandungan, perawat, guru, dosen. Dalam pelaksanaannya, tidak bercampur baur dengan laki-laki. Jam kerja yang dilakukan tidak melebihi kewajiban pokoknya mengurus keluarga. Syarat lainnya adalah adanya persetujuan dari ayah, suami, atau saudara laki-laki yang bertanggung jawab terhadap wanita tersebut.
Dengan memperhatikan aturan tersebut, wanita tetap dapat menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah. Ia tidak akan melanggar syariat dan fitrah dirinya. Ia akan tetap menjaga harkat dan martabat diri dan keluarganya, sehingga kemampuan dan ilmu yang ada pada dirinya dapat bermanfaat untuk orang lain, dan ia pun dapat membantu meringankan beban keluarga tanpa harus mengorbankan harga dirinya.
Manusia menyatukan alam dan cahaya. Alam membuat tuntutan kepadanya dan cahaya membuat tuntutan terhadapnya. Cahaya dituntut untuk tetap tersembunyi dan menahan diri dari sebagian besar kebaikannya dan apa yang dituntut oleh realitasnya sendiri dikarenakan kepentingan alam. Maka Nabi berkata, ketika ditanya kepada siapa kebaikan yang penuh cinta harus ditunjukkan: ibumu, ibumu, ibumu. (“Rasa’il Al-Arabi” oleh Ibn Al-Arabi Ayyam Al-Syan dalam Sachiko Murrata. 1996. The Tao of Islam. Mizan: Bandung.)Maka, masihkah kita tetap tertawa bila ada seorang akhwat dengan tegas dan tulus mengatakan bahwa ia ingin menjadi ibu rumah tangga saja? Wallahu a'lam bishshowaab.
No comments:
Post a Comment