Thursday, November 05, 2009

Keajaiban

Keajaiban itu bernama Hanif. Dari awal mula penciptaannya di dunia, ia sudah menjadi keajaiban itu sendiri. Keajaiban juga yang mengantarnya bertahan, tak terdeteksi selama delapan minggu pertama. Meskipun saat itu flek-flek kerap terjadi dan gaya hidupku begitu sradak-sruduk, keajaiban mewujud dalam keadaannya yang sempurna tanpa kurang suatu apa.

Keajaiban itu bernama Hanif. Langkah patah-patah yang menjelma menjadi lari kecil. Goyangan joget, kerlingan genit, senyum manis, dan tawa renyah. Gaya meniru dan proses belajar yang menakjubkan. Sungguh sebuah keajaiban dalam rentang waktu bertajuk golden age.

Keajaiban itu bernama Hanif. Suka-duka mengandung, melahirkan, dan membesarkannya. Sensasi rasa yang demikian menggelora. Membuat hati menahan perih rindu bila tak bersua, meski itu belum lagi setengah hari lamanya. Bahagia yang tak dapat dideskripsikan dengan kata ketika merengkuhnya, mampu menerbangkan penat dan letih tak bersisa.

Keajaiban itu bernama Hanif. Karunia dan titipan dari Gusti Allah yang tiada terkira. Love you always, Nak. Sampai akhir hayat Bunda.

Pillow Talk

Fiuuhh, tak dapat menemukan padanan istilah ini dalam Bahasa Indonesia. Masak iya disebut “obrolan bantal”? Eniweiii… tak hendak membahas hal ihwal kata serapan dan sebangsanya. Kali ini ingin membahas sedikit tentang asyiknya pillow talk ini.

Dalam sebuah kehidupan pernikahan, komunikasi adalah komponen penting. Komunikasi mungkin bukan segalanya, tapi segalanya berawal dari komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi adalah pillow talk, yang lazim dilakukan para pasangan menjelang tidur. Karena aktivitas seharian yang bejibun—apalagi kalau keduanya bekerja—mengakibatkan pertemuan hanya intens di malam hari, pillow talk merupakan resep jitu berbagi hari. Di dalamnya bisa terjadi tukar pikiran, tukar cerita, atau diskusi mengenai apapun. Pillow talk adalah sarana mujarab untuk mengembalikan komitmen yang sempat beterbangan dari pikiran setelah dikejar aktivitas seharian. Dibumbui dengan kemesraan, ia bisa juga menjadi sarana recharge cinta kasih dan sarana pelepas rindu pada pasangan setelah terpisah seharian. Kadang-kadang malah pillow talk bisa menjadi ajang mencari solusi dalam menghadapi permasalahan kehidupan.

Sebenarnya pillow talk adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling kusukai. Bercerita ngalor-ngidul sambil merem-melek menahan kantuk, wuahh nikmatnya :D Sayangnya karena beberapa hal di bawah ini, pillow talk hanya bisa kami lakukan kadang-kadang.
  • Suamiku bukan tipe orang yang senang bercerita. Dulu semasa masih tinggal bersama di Cikarang, sementara aku berkisah macam-macam, suami cuma bisa merem-melek dan ujung-ujungnya berkata, “Aku bobok ya”. Halahh…
  • Dalam dua tahun pernikahanku, aku hanya sempat mengecap sepuluh bulan tinggal bersama. Otomatis seterusnya, pillow talk cuma bisa dilakukan selama weekend saja.
  • Setelah Hanif lahir, ia selalu tidur di tengah-tengah, di antara ayah-bundanya. Selain menjaga agar ia lebih hangat, cara ini sebenarnya lebih pada tindakan pengamanan supaya ia tidak terguling ke bawah :D Ditambah dengan sensitifnya telinga Hanif mendengar sekedar bisikan pun—yang membuatnya terbangun, pillow talk selalu gagal dengan suksesnya.

Kemarin seusai acara ngundhuh mantu adik ipar yang berlangsung sampai larut malam, menjelang tidur, tak dinyana dan tak diduga… berlangsunglah pillow talk yang selama ini begitu aku rindukan. Yang dibicarakan sih cuma hal yang ringan-ringan saja, tapi itu cukup untuk mengurai kepenatan seharian itu. Ditambah dengan suami yang mengakui kalau pillow talk bisa lebih mendekatkan kami dan ditutup dengan kecupan hangat di kening, sempurna sudah malam itu :)

Miss you always. Love you always, Cintaku.

*ditulis ketika sang belahan jiwa sedang tugas dinas ke Manado. Teringat kutipan dari Pablo Neruda, “And one by one the nights between our separated cities are joined to the night that unites us.”