Membaca karya fiksi selalu menjadi kesenangan buatku, sejak zaman kecil dulu hingga kini sudah menjadi emak beranak lima. Aku ingat ketika masa-masa berlangganan Bobo, membaca cerpen selalu menjadi hal yang paling kunantikan, terutama karena aku harus bergantian membaca majalah itu dengan kakakku. Setelah menjadi penulis fiksi (abal-abal, hahaha), membaca karya fiksi seolah menjadi kewajiban untuk menambah ilmu dan memperkaya khazanah. Ibarat kata pepatah: teko hanya mengeluarkan isi teko, supaya dapat menulis fiksi dengan baik tentu aku harus mengisi pula asupan dengan banyak membaca karya fiksi.
Saat ini membaca karya fiksi buatku bukan hanya untuk mereguk kesenangan saja. Di dalam prakteknya aku juga mengamati bagaimana penulis membangun unsur-unsur intrinsik seperti membangun tema, menentukan sudut pandang, menciptakan penokohan beserta karakternya, menuliskan alur, menggunakan gaya bahasa, dan memilih latar. Ada banyak sekali novel yang menginspirasiku–tentu tak akan cukup aku bahas di sini–tetapi ada satu buku yang cukup sering kubolak-balik. Selain karena isi ceritanya sangat meninggalkan kesan di hatiku, buku itu juga cukup kaya untuk dipelajari sisi-sisi kepenulisannya. Buku apakah itu? Yuk, kita simak.
“Dear John” karya Nicholas Sparks
Aku pertama kali membaca “Dear John” pada tahun 2013. Novel ini adalah satu dari tujuh buku Nicholas Sparks yang kumiliki. Yes, dia memang penulis favoritku karena aku sangat menyukai genre kisah cinta romantis. Novel-novelnya sering berkisah tentang cinta abadi.
“Dear John” menceritakan kisah hidup seorang John Tyree yang pada masa awal kehidupannya hanya tinggal berdua dengan ayahnya, seorang pengidap Sindrom Asperger. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi relasi mereka. John tahu ada yang berbeda dengan ayahnya, tetapi ia tak pernah memahami hal itu. Perjalanan hidupnya yang rumit membuatnya mendaftar masuk ke US Armed Forces, dan pada suatu masa cuti dari ketentaraan ketika ia pulang ke rumah, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Savannah. Dari situlah kisah kemudian berkembang. Savannah mengajarkan John bagaimana memperbaiki hubungan dengan ayahnya, mengajarkannya tentang cinta, patah hati, dan kebahagiaan sejati.
Sparks yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, sebenarnya lebih suka menyebut ending novel ini sebagai bittersweet. Ia berusaha membangun konflik dengan cara seorisinal mungkin tentang alasan mengapa dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu selamanya. Konflik dalam kisah John dan Savannah ini diaduk-aduk sedemikian rupa sehingga tetap terasa nyata dan tidak mengada-ada. Jadi meskipun ringan dibaca, konfliknya tetap matang. Ini adalah suatu keahlian mumpuni yang dimiliki oleh Sparks (acung jempol).
Novel ini banyak menggambarkan detail Wilmington, North Carolina sebagai latar. Bagi sebagian orang yang tidak terlalu suka narasi, beberapa bagian penceritaan kota itu mungkin terasa panjang. Namun bagiku, hal ini menunjukkan kepiawaian Sparks dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.
Dalam hal penokohan, sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi. Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel, tetapi jarang ada novel romantis yang “aku”-nya adalah seorang laki-laki. John digambarkan sangat manusiawi: meskipun ia tentara–yang identik dengan sosok tangguh–ternyata ia memiliki perasaan yang halus … ia bisa mellow bahkan menangis, juga clueless jika menyangkut hubungannya dengan Savannah. Dari segi penggambaran emosi, perasaan John pun tersampaikan dengan baik seolah-olah ia benar-benar sedang curhat dengan pembaca. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.
Dari sekian banyak novel Nicholas Sparks, “Dear John” ini yang paling baik menurutku. Alih bahasa yang dilakukan Barokah Ruziati bagus dan tanpa cela, tidak seperti salah satu novel Sparks (no mention ah, wkwk) yang alih bahasanya acakadut dan bikin geregetan. Dalam situs pribadinya, Sparks menulis tentang buku ini, “In the end, I was proud of the novel. It is, in many ways, one of my favorites. It is also one that I think will resonate with readers long after the final page is turned.”
Ya, dia benar! Aku menangis ketika membaca novel ini, terutama ketika bab-bab akhir. Aku masih ingat, air mata terus mengalir di wajahku. “Dear John” is also my favorite, and it resonated with me long after the final page was turned, even many years later.
Penulis: Nicholas Sparks
Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 392 halaman
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari yang bertema “Buku Bacaan yang Berpengaruh”.