Friday, March 28, 2014

Mencari Sebuah Gendongan (2)

Tulisan ini adalah sambungan kisah di sini.
 

Perjalanan mencari gendongan ini belum berakhir sampai akhirnya aku bertemu dengan gendongan berjenis soft structured carrier (SSC). Gendongan model SSC dilengkapi dengan panel badan serta sabuk bahu dan pinggang seperti ransel. Tali bahu yang lebar dengan bantalan yang tebal namun lembut, sangat nyaman bila dipakai menggendong lama. Sedangkan sabuk di bagian pinggang memang didesain khusus untuk memindahkan beban dari bahu ke panggul dan membaginya dengan rata, sehingga bahu dan punggung kita tidak cepat pegal.
 
Soft structured carrier (SSC)

Kelebihan SSC dibanding babywrap adalah dari segi kepraktisannya: cara memakainya sangat mudah, tinggal mengkaitkan strap-nya and then you’re ready to go. Bandingkan dengan babywrap yang harus dibelit-belit ke tubuh terlebih dahulu. Selain itu, dari segi keamanan, SSC memiliki safety buckle yang besar di bagian pinggang untuk meminimalkan risiko gendongan terlepas secara tidak sengaja. Di pasaran, SSC hadir dengan berbagai merk. Harganya cukup mahal dibanding gendongan biasa. Tapi kurasa itu sepadan, karena pembuatan gendongan semacam ini pasti telah melalui berbagai riset dan uji coba hingga menemukan model yang tepat untuk tidak membebani tubuh ibu secara berlebihan. Tipe gendongan yang sangat tepat untuk seorang ibu yang menyandang skoliosis.

Karena harganya yang mahal, aku sempat maju mundur untuk membelinya. Harga SSC lokal berkisar 400-600 ribu, sementara yang impor berkisar 1-1,5 juta rupiah. Sebuah harga yang fantastis untuk sebuah gendongan. Waktu itu alhamdulillah ada kenalan yang menawari untuk membeli SSC impor miliknya. Memang sudah lawas, tapi semua komponennya masih berfungsi baik. Awalnya SSC second itu ditawarkan seharga 350 ribu. Akhirnya SSC itu kubeli dengan harga 400 ribu, tapi sudah dengan bonus teething pads yang kalau beli baru harganya 180 ribu.

SSC untuk Dedek

Selain berpengaruh positif terhadap tulang punggung sang ibu, pemilihan SSC ternyata juga terkait dengan kesehatan persendian pangkal paha anak yang digendong. Pemilihan gendongan yang tidak benar dapat menyebabkan hip dysplasia atau displasia pangkal paha, yaitu suatu perkembangan tidak normal dari persendian pangkal paha dengan paha, yang mengakibatkan terlepasnya tulang paha (femur) dari asetabulum tulang panggul (pelvis).
Hip Dysplasia means that the bones of the hip joint are not aligned correctly. It affects thousands of children and adults each year and is known by many different names: Developmental Dysplasia of the Hip (DDH), Hip Dislocation, Congenital Dislocation of the Hip (CDH), or Loose Hips.

Hip Dysplasia prevents the hip joint from functioning properly and the joint wears out much faster than normal, much like a car’s tires will wear out faster when out of alignment. It is also a “silent” condition that means pain is not normally felt until much later stages, making it harder to detect.

Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) is commonly used when talking about hip dysplasia in children. Approximately 1 out of every 20 full-term babies has some hip instability and 2-3 out of every 1,000 infants will require treatment. In spite of the frequency of DDH in babies and the potential for life-long disability caused by DDH, the awareness of this condition is poor outside of the medical profession.

Hip dysplasia in babies is most frequently discovered at the time of newborn examinations by physicians but dysplasia and dislocation can develop after this time in some children. This is why hip dysplasia is greatly considered developmental. It is also hard to detect because hip dysplasia is known as a “silent” condition. It does not cause pain in babies and doesn’t normally prevent them from learning how to walk at a normal age. Early diagnosis, prevention, and simple treatment is the best solution, however many hip dislocations are difficult to treat with the current methods of care.


(disalin dari sini dan sini)

Pencegahan DDH bisa dilakukan dengan penggunaan baby tools (car seat, baby carrier, baby sling, dsb) yang tepat. Nah, SSC ini aman karena titik berat yang ditimpakan oleh beban bayi tidak jatuh ke selangkangan (which is amat berbahaya karena bisa menyebabkan DDH), melainkan ditimpakan ke pantat bayi dengan posisi seperti duduk. Berikut ini gambarnya.
 
Gambar diambil dari sini


Sekedar catatan, membedong bayi juga bisa menyebabkan DDH. Keterangannya bisa dibaca di sini.
 

Dengan gendongan bertipe SSC, Dek Abi terlihat nyaman sekali. Sekarang gendongan ini menjadi favoritku. Dan karena gendongan ini sangat aman, aku sering memakainya untuk menggendong Dek Abi sambil bersepeda. Suamiku juga sering memakai gendongan ini ketika naik motor sambil menggendong Dek Abi. What a life saver :)

Thursday, March 20, 2014

Berkah S2

Mengambil S2 mungkin adalah keputusan yang tak akan pernah kusesali sepanjang hidup, meskipun dulu awal-awal mendapat beasiswa dari kantor, aku sempat gamang. Ya, gamang karena asal mula ikut seleksi beasiswa adalah karena iseng. Dan ketika iseng itu membuahkan hasil lolos, aku “terpaksa” harus mendaftar S2. Kemudian ketika lulus seleksi S2 dan berhasil masuk ke almamaterku, nyaliku menciut karena takut. Takut tak bisa mulus menjalani studi, mengingat berdarah-darahnya aku ketika S1 dulu *lebay hehehe. Kali ini aku ingin bercerita tentang keberkahan yang aku rasakan karena mengambil S2.

Menurut beberapa sumber yang aku baca, berkah adalah bertambahnya kebaikan. Berkah tidak selalu identik dengan jumlah. Di dalam kamus Arab, berkah memiliki arti pertumbuhan atau pertambahan kebaikan. Berkah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179) yang masuk dalam kelas kata nomina memiliki arti ‘karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia’. Sedangkan kata berkat dalam KBBI Pusat Bahasa, memiliki empat makna, masing-masing adalah 1. karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia; 2. doa restu dan pengaruh baik dari orang yang dihormati (guru); 3. makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri; 4. mendatangkan kebaikan atau bermanfaat (2008:179-180).

Ada pula yang mengartikan berkah dengan kalimat ‘dapat melakukan hal yang banyak dalam waktu yang sempit’ atau ‘mendapatkan kebaikan lebih banyak dari takaran yang semestinya’. Apapun artinya, berkah yang kumaksud meliputi semua arti di atas.

Berkah S2 pertama yang sangat kusyukuri adalah mendapat teman-teman seperjuangan yang sangat baik, pengertian, dan menyenangkan. Bersama teman-teman ini, mengerjakan tugas tak pernah menjadi beban. Menjalani hari-hari kuliah dengan gelak tawa, saling bantu ketika yang lain kesulitan. Maha Suci Allah yang mempertemukan aku dengan pertemanan seperti ini, hingga studi tak terasa dijalani sendiri, melainkan full support. Entah apa jadinya studiku bila tak kulakukan bersama bantuan mereka. Miss you a lot, guys!
 
Beberapa momen bersama teman-teman seangkatan. Kiri atas: diskusi selepas kuliah menjadi santapan sehari-hari.

Berkah kedua adalah waktu luang yang kudapatkan untuk mengurus anak. Aku melahirkan Dek Abi ketika perkuliahan menginjak semester satu. Kondisi studi yang fleksibel—tak seperti jam kantor—membuatku leluasa memberi ASI, terutama ketika enam bulan pertama, hingga membuat Dek Abi menjadi bayi ASI yang nemplok banget sampai hari ini. Kemudian masih leluasa pula untuk mengatur menu dan memasak MPASI untuk Dek Abi pada bulan-bulan berikutnya. Tak lupa juga leluasa mengantar jemput Hanif ke sekolah dan sesekali mengiringinya dalam kegiatan outing ke beberapa tempat.

Berkah ketiga adalah kelonggaran waktu untuk melakukan olahraga sepuasnya. Senam aerobik yang dulunya aku lakukan dua kali seminggu, frekuensinya bertambah menjadi 3-4 kali seminggu. Kemudian aku juga sempat mengikuti kelas pilates selama 20 kali pertemuan, yang sedikit banyak berpengaruh positif terhadap skoliosisku. Lalu aku mengikuti kelas yoga seminggu sekali dan merutinkan berenang seminggu sekali. Juga masih sempat bersepeda beberapa kali dalam seminggu. Ahh nikmatnya hidup ketika kita bugar beraktivitas sepanjang hari. Tak hanya sehat yang didapat, ketika olahraga yang disukai dilakukan, tubuh juga akan mengeluarkan hormon endorfin yang membuat kita lebih bahagia.

Berkah berikutnya adalah kesempatan yang terbuka untuk aktif dalam berbagai kegiatan komunitas. Karena waktu kuliah yang longgar, aku berkesempatan aktif ikut banyak seminar dan pelatihan parenting dari berbagai pihak. Ini keberkahan yang luar biasa dalam mencari ilmu mengenai pengasuhan dan pendidikan anak. Jadi ilmu dari bangku kuliah bertambah, ilmu sebagai orang tua juga bertambah. Lewat kesempatan itu pula aku berkenalan dengan Bunda Rani dan Komunitas Cinta Keluarga (KCK), yang membuatku merasa menemukan supporting system yang baik dalam menjalani dunia parenting. Hal ini diikuti pula dengan terlibatnya aku dalam penyelenggaraan seminar dan pelatihan mengenai parenting dan kesehatan anak.

Bersama Bunda Rani dan teman-teman KCK saat launching Gerakan Bandung Cinta Keluarga di Sabuga

Selain itu aku juga aktif di Masyarakat Skoliosis Indonesia (MSI) cabang Jawa Barat. Komunitas penggiat skoliosis ini berperan sebagai pusat informasi skoliosis dan sebagai wadah pemersatu bagi penyandang dan pemerhati skolisosis di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Visinya mulia sekali, yaitu meningkatkan kualitas hidup penyandang skolisosis. Lewat MSI aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Serasa menemukan saudara senasib sepenanggungan di sini. Kami bersama-sama mengadakan kegiatan, baik yang lingkupnya kecil seperti pertemuan kopdar untuk sharing, berbagi informasi, nonton film atau jalan-jalan bersama, maupun yang lingkupnya lebih besar seperti talkshow di radio, seminar, atau penggalangan dana untuk operasi skolioser yang tidak mampu.

Maka ketika tugas belajarku resmi berakhir minggu ini, ada rasa senang sekaligus sedih. Senang karena sidang tesis telah terlampaui dengan baik, sekaligus sedih karena aku kehilangan keleluasaan waktu untuk hal-hal yang aku sukai. Well, suatu tanggung jawab yang telah selesai di satu tempat memang menuntut tanggung jawab baru di tempat lain. Harapanku: seiring dengan mulai aktifnya aku bekerja kembali, aku tidak kehilangan waktu untuk mengembangkan diri agar bisa menjadi orang tua yang baik, juga tidak kehilangan waktu untuk melakukan aktivitas sosial di masyarakat. Masih ada satu mimpi yang belum sempat kulakukan semasa studi, yaitu mengikuti pelatihan untuk menjadi konselor laktasi. Semoga Allah masih memberiku kesempatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang bermanfaat bagi orang banyak. Aamiin.

Tesis

Rabu, 19 Februari 2014 menjadi hari yang mendebarkan dalam hidupku, karena hari itu aku melakukan ujian sidang tesis tertutup untuk mempresentasikan tesisku yang berjudul “Penerapan Metrik Keamanan Mean Time-to-Compromise dan VEA-bility dalam Pemeriksaan Keamanan Jaringan Komputer”. Untungnya tiga dosen yang siang itu menguji bersikap santai. Ujian juga diawali dengan canda tawa. Lumayan lah untuk mencairkan suasana dan meredakan degup jantung yang tak karuan sedari pagi. Ketika lambat laun ujian berubah menjadi serius, aku sudah dapat menguasai diri dengan baik.

Draft tesis, awal Februari 2014

Tesisku bercerita tentang pemeriksaan keamanan jaringan (network security audit) dengan pengukuran yang menggunakan metrik keamanan yang sudah ada. Hasil akhir pengukuran berupa nilai numerik yang kuantitatif sehingga mudah dipahami oleh sebagian besar pengguna, bahkan yang awam sekalipun. Hasil dari pemeriksaan dapat dijadikan rekomendasi untuk penilaian kelayakan keamanan jaringan dan referensi untuk menentukan kebijakan terkait dengan pengelolaan jaringan komputer.

Aku mengerjakan tesis ini selama dua semester dua bulan, sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Semester pertama aku disibukkan dengan membaca jurnal penelitian sampai botak, setelah itu penelitian baru dilakukan secara resmi pada semester kedua. Alhamdulillah sangat dimudahkan Allah, baik dalam proses pengambilan dan pengolahan data, penulisan laporan, masa-masa bimbingan, sampai akhirnya ujian sidang.

Ketika akhirnya aku dinyatakan lulus, aku langsung mengungkapkan perasaan bahagia dengan memesan beberapa buku sekaligus, dari sebuah toko buku online dan dari beberapa orang teman. Yap, membaca buku itu menyenangkan. Dan kurasa hobi ini bisa menjadi pelipur setelah bosan membaca jurnal penelitian selama berbulan-bulan :D

Ngeborong buku, tiga buku di kanan adalah karya Adenita, seorang teman yang berbakat :)

Sebagai bentuk penghormatan kepada teman-teman seangkatan karena telah membantuku melewati masa perkuliahan dengan pertemanan yang luar biasa, aku mengundang mereka pada syukuran kelulusan di Warung Pasta. Sayangnya hanya sedikit yang datang, mengingat sebagian besar dari mereka sedang berada di luar Bandung. Yo wis ra popo, sing penting seneng yo, Cah :)

Makan-makan di Warung Pasta. Dari kiri ke kanan: Oktaf, Syawal, Kun, Ncie, dan Anti.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas kemurahan-Nya.

Wednesday, March 19, 2014

Mengurus Mutasi SIM

Sudah lama aku ingin mengurus proses mutasi SIM untuk mengubah status SIM Solo menjadi SIM Bandung, karena sejak 2012 lalu KTP-ku sudah resmi berubah menjadi KTP Bandung. Karena alasan malas dan belum merasa statusnya mendesak, aku menunda-nunda terus urusan ini. Kemudian kesibukan mengejar tenggat tesis beberapa bulan ini, sukses membuatku lupa sama sekali pada urusan mutasi.

Akhirnya beberapa hari menjelang ulang tahunku yang ke-32, setelah semua urusan revisi tesis dan persyaratan wisuda selesai, aku menyempatkan diri mengurus mutasi. Selain juga karena terdesak oleh masa berlaku SIM yang akan segera habis, hehe. Mulailah aku berkunjung ke kantor Satlantas Bandung di Jl. Jawa dan menanyakan bagaimana mengurus mutasi SIM. Oh, ternyata harus ada berkas-berkas yang dikirim dari Satlantas Solo. Maka aku menghubungi Mami untuk membantu mengurus berkas pengantar mutasi dari Satlantas Solo.

Syarat untuk mendapatkan berkas pengantar mutasi dari Satlantas Solo:
  • Fotokopi KTP Bandung.
  • Fotokopi SIM A yang dikeluarkan Satlantas Solo.
  • Fotokopi SIM C yang dikeluarkan Satlantas Solo.
Masing-masing satu lembar saja.

Rabu, 12 Maret 2014, aku meluncur ke Jl. Jawa. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi ketika aku muncul di loket pendaftaran. Ternyata berkas Kartu Keluarga ketinggalan, Saudara-saudara! Nggak ngeh juga kalau harus melampirkan itu. Setelah pulang pergi ke rumah mengambil KK yang ketinggalan, jam 11 kurang aku sudah tiba kembali dan siap memulai proses mutasi. Jadi begini alurnya:

Pemeriksaan kesehatan
Satlantas Bandung tidak menyediakan pos pemeriksaan kesehatan, tapi kita bisa datang ke praktek dokter di Jl. Nias Dalam untuk mendapat surat keterangan sehat. Letaknya tidak jauh dari situ, dan tempat itu sudah jamak didatangi para pemohon SIM. Proses periksanya pun cepat sekali, rasanya hanya untuk formalitas belaka. Pemohon akan diperiksa tekanan darah, tes buta warna, tes mata, penimbangan berat badan, serta pengukuran tinggi badan dalam waktu kurang dari lima menit. Syaratnya hanya membawa KTP asli.

Loket 8 (Arsip)
Kemudian aku melapor kedatangan ke bagian Arsip untuk mendapatkan surat keterangan mutasi. Persyaratan yang dibawa:
  • Berkas pengantar mutasi dari Satlantas Solo.
  • Fotokopi KTP.
  • Fotokopi KK.
  • Fotokopi SIM A yang dikeluarkan Satlantas Solo.
  • Fotokopi SIM C yang dikeluarkan Satlantas Solo.
Tunggu sampai nama dipanggil.

Loket Asuransi
Selanjutnya membayar asuransi seharga Rp 30.000,00 untuk masing-masing SIM. Persyaratannya adalah berkas yang tadi kita dapat dari Loket Arsip, yaitu:
  • Berkas pengantar mutasi dari Satlantas Solo.
  • Surat keterangan mutasi dari Loket Arsip.
  • Fotokopi KTP.
  • Fotokopi KK.
  • Fotokopi SIM A yang dikeluarkan Satlantas Solo.
  • Fotokopi SIM C yang dikeluarkan Satlantas Solo.

Loket Pendaftaran
Karena prosesnya mutasi, di loket pendaftaran masuk ke bagian pendaftaran perpanjangan SIM, bukan membuat SIM baru. Persyaratannya:
  • Berkas pengantar mutasi dari Satlantas Solo.
  • Surat keterangan mutasi dari Loket Arsip.
  • KTP asli.
  • SIM A asli.
  • SIM C asli.
  • Fotokopi KTP.
  • Fotokopi KK.
  • Fotokopi SIM A.
  • Fotokopi SIM C.
  • Struk pembayaran asuransi dari Loket Asuransi.

Loket Bank BRI
Semua berkas pendaftaran dibawa ke Loket Bank BRI di ujung koridor, lalu tunggu nama dipanggil. Setelah dipanggil, aku membayar biaya perpanjangan SIM A sebesar Rp 80.000,00 dan biaya perpanjangan SIM C sebesar Rp 75.000,00. Lalu oleh teller bank aku diarahkan untuk menuju ke Loket 6A.

Loket 6A
Loket ini adalah loket pengambilan foto dan sidik jari untuk para pemohon perpanjangan SIM. Jangan lupa bawa pulpen dari rumah ya. Setelah nama dipanggil, aku mengisi formulir data diri, baru kemudian difoto dan dipindai sidik jarinya. Kemudian langsung menuju loket pengambilan SIM.

Loket Pengambilan SIM
Proses pencetakan SIM sama sekali tidak lama. Baru juga membaca beberapa percakapan di Whatsapp, namaku sudah dipanggil untuk menerima SIM baru. Yeay, akhirnya resmi sudah aku mengantongi SIM A dan C dari Satlantas Bandung.

Beberapa hal yang aku garis bawahi dari proses di atas:
  • Pelayanannya cepat dan ramah. Aku masuk pukul 11 kurang, dan keluar pukul 12.25. Artinya pengurusan mutasi ini bahkan tidak sampai dua jam! Merasa amazed deh.
  • Petugasnya baik dan tanggap. Ada cerita lucu: aku sempat nyasar di Loket 6, yaitu loket pengambilan foto dan sidik jari untuk para pemohon SIM baru. Saking baiknya, petugas dari Loket 6A mencariku sampai ke loket ini ketika aku tak kunjung muncul ketika namaku dipanggil di Loket 6A.
  • Aku hampir tak melihat adanya calo dari luar, kecuali mungkin beberapa oknum orang dalam yang membantu memuluskan antrian beberapa pemohon yang “membayar lebih” (you know lah, ehehe). Sangat berbeda dengan pengalaman di masa lampau di mana calo sangat mudah ditemui di tiap sudut.
  • Semua pembayaran dilakukan di loket resmi, dengan kuitansi resmi. Tidak ada pungutan liar sama sekali.

Kuitansi resmi

Rincian biayanya sebagai berikut:
  • Pemeriksaan kesehatan Rp 40.000,00
  • Asuransi SIM A Rp 30.000,00
  • Asuransi SIM C Rp 30.000,00
  • Perpanjangan SIM A Rp 80.000,00
  • Perpanjangan SIM C Rp 75.000,00
Total Rp 255.000,00 untuk dua SIM. Puasss banget deh. Senang rasanya mengurus sendiri kalau pelayanannya memuaskan seperti ini :)