Monday, June 09, 2008

Kehamilanku


Sembilan bulan itu hampir berakhir. Pas aku nulis ini, usia kehamilanku 37 minggu jalan ke 38 minggu. Berarti kira-kira dua sampai tiga minggu lagi aku akan menyandang status sebagai bunda. Jadi perempuan, lalu istri, dan akhirnya bunda.

Fiuhhh, benar-benar nggak kerasa lho perjalanan sembilan bulan ini. Rasanya baru kemarin aku mewek karena nggak kunjung-kunjung hamil. Rasanya juga baru kemarin aku tersenyum-senyum melihat hasil testpack yang positif. Pengen flashback sebentar ah.

Kehamilan bulan pertama dan kedua kujalani dengan sembarangan. Hehehe, habis waktu itu nggak tahu kalau udah hamil. Bulan-bulan itu ada flek-flek yang keluar, jadi kukira aku masih haid aja. Tapi kok mual dan muntahnya nggak karu-karuan. Dan sebelumnya udah testpack juga, hasilnya negatif.

Mual dan muntah semakin berlanjut. Testpack kedua dijalani. Positif! Langsung bangunin suami untuk kasih tahu. Aku nggak akan pernah lupa ekspresinya waktu itu. Lebih kepada ekspresi tertegun daripada ekspresi bahagia. Maklum, waktu itu suami pengen aku punya pekerjaan dulu baru punya anak. Mungkin dia agak kecewa *sigh*.

Akhirnya pada 26 November 2007, aku periksa ke dokter untuk pertama kalinya. Ketemu sama dokter kandungan yang baik dan sabar banget, enak plus perhatian, namanya dr. Piliansjah Thomas, SpOG. Kaget juga waktu dikasih tahu kehamilanku udah 10 minggu. Fiuhh, ke mana aja, Buuuu. Untung bayiku sehat. Padahal dua bulan pertama itu aku pontang-panting cari kerjaan ke Jakarta, naik bus pagi-pagi, kadang nggak sarapan, dan sering makan sembarangan. Masya Allah.

Bulan-bulan selanjutnya aku masih periksa ke dr. Piliansjah Thomas, SpOG... tapi pindah ke tempat prakteknya di R.S. Siloam International, Lippo Cikarang. Deket rumah banget tuh. Layanan dan fasilitas rumah sakitnya oke. Aku dulu selalu mengira akan melahirkan di sini. Ternyata Allah berkehendak lain.

2 Februari 2008 (kehamilan 20 minggu), aku pindahan ke Bandung. Meninggalkan segala kenangan di Cikarang dengan perasaan campur aduk. Waktu itu aku nggak bisa dibilang bahagia, meskipun keterima kerja sebagai pegawai negeri, karena aku nggak bisa ngebayangin bakal hidup sendirian di Bandung, tanpa keluarga dan tanpa suami, dalam keadaan hamil pula. Maka bulan-bulan awal di Bandung hampir tiap hari kulalui dengan menangis... kangen suami, merasa kesepian, tak berdaya, dan butuh dukungan.

Lambat laun aku nggak lagi gloomy. Meskipun sampai detik ini aku masih berjuang menemukan jawaban dari pertanyaan ”kenapa aku musti bekerja?”, meskipun sampai sekarang kantor dan pekerjaan belum juga berhasil menarik minatku... alhamdulillah aku udah bisa tersenyum. Yah, mungkin ada hikmah di balik ”dipisahkannya” aku dari suami. Hikmah itu yang sampai sekarang masih berusaha kukais terus *tapi belum ketemuuuu*.

Trimester kedua adalah masa kehamilan yang paling menyenangkan. Mual dan muntah udah jauh berkurang dan kandungan belum terlalu berat. Meskipun kondisi psikologis carut marut, sesungguhnya semua serba dimudahkan oleh-Nya. Semua hal berjalan sebagaimana mestinya. 5 April 2008 (kehamilan 29 minggu), aku mulai periksa ke dr. Eddy Haswidi, SpOG di R.S. St. Borromeus, Bandung. Dokternya sebenarnya baik, tapi sayang kalau meriksa cepet banget karena pasiennya banyak.

Memasuki trimester ketiga, aku ikut Diklat Prajabatan. Baca kisahnya di sini. Aku mulai ikut senam hamil di R.S. St. Borromeus. Aku udah menjatuhkan pilihan, insya Allah akan melahirkan di sini. Nah, trimester ketiga ini yang paling berat. Jalannya udah berat karena kandungan makin berat. Mau cari posisi tidur yang enak pun sulit karena perut udah gede.

24 Mei 2008 (kehamilan 35 minggu), aku periksa lagi. Dokter bikin reaksi yang sedikit mengejutkan, mukanya tampak kuatir karena posisi bayiku masih juga belum bener. Bukan sungsang, agak melintang tepatnya. Kepala sih udah di bawah, tapi masih miring ke kiri. Padahal *katanya* usia segitu kepala udah harus masuk ke rongga panggul. Sama suster aku dibilangin supaya nungging dua kali sehari, masing-masing 15 menit. Orang-orang pada nuduh aku nggak banyak jalan, padahal aku suka jalan pagi dari rumah ke kantor lho. Aku juga dirujuk ke bagian USG untuk USG lengkap.

5 Juni 2008 (kehamilan 37 minggu), bayiku di-USG lengkap, mulai dari kepala, spinal, thorax, abdomen, jantung, bla bla bla, dan banyak lagi (nggak ngerti aku istilah medisnya). Alhamdulillah semua baik, senangnya. Posisi kepala udah pas. Detak jantungnya bagus. Aliran darah dari plasenta ke bayi dan sebaliknya juga lancar. Beratnya 2,8 kg. Pokoknya semua baik. Alhamdulillah. Jadi pas kontrol ke dr. Eddy Haswidi, SpOG tanggal 7 Juni kemarin, tinggal cek-cek sebentar terus pulang deh. Lega.

Masuk kerja tinggal seminggu lagi. Perlengkapan bayi udah dibeli semua. Sekarang tinggal nunggu lahiran. Kemarin aku sempat beli buku soal persalinan dan menyusui, juga soal serba-serbi bayi baru lahir. Hihihihi, habis baca itu kok malah jadi takut. Ngeri aja ngebayangin sakitnya. Allah, mudahkanlah dan lancarkanlah segalanya.

Satu hal yang masih jadi ganjalan di pikiranku, ke mana ya aku harus cari babysitter buat bayiku nanti? Aku nggak mau cari sembarangan, secara sekarang ini banyak cerita serem soal pengasuh. Yang menganiaya anak lah, yang bawa kabur anak lah, yang ngurung anak sementara dia pacaran di luar lah... bikin paranoid aja.

Minta doa dari semuanya yaaaa... Semoga persalinan dan pasca-nya bisa berjalan mudah dan lancar. Aminnn.

Foto diambil dari sini.

Tuesday, June 03, 2008

Mantan

Siang tadi ada yang menyapaku via Yahoo Messenger. Guess who? Yup, tak lain adalah mantan pacar suami. Perempuan ini nih, pernah bikin aku sebel setengah mati. Soalnya dulu dia masih suka hubungin suami via HP, pake kata-kata sayang pula. Akhirnya berhenti juga, setelah aku omelin dengan kata-kata yang rada kasar *hiks, seandainya aku nggak seemosi itu... habis dianya juga sih...*.

Entah kenapa, meski masa-masa itu udah lama berlalu, sampai sekarang aku masih aja bete kalau teringat dia. Sontak perasaan sebel itu muncul lagi, padahal udah pengen banget melupakan. Apalagi kalau dia udah mulai nyinyir nanya-nanya kabarku dan suami via YM kayak tadi siang. Pengen nimpuk aja tuh perempuan pakai sandal.

Sebenarnya satu hal yang paling bikin aku sebel adalah: ada satu kata-katanya yang bener *baca ini*. Suamiku itu ternyata seneng lihat pertandingan basket, satu hal yang dulu aku nggak tahu *hiks, jadi ngrasa nggak mengenal suami sendiri*. Masih nggak paham? Makanya baca ini. Hal itu bikin aku sebelllll bangetttt, sampai-sampai sekarang kalau suamiku lihat pertandingan basket, aku jadi ingat perempuan itu dan ujung-ujungnya... jadi bete deh.

Hiks hiks, kenapa ya aku masih kayak anak kecil (baca: belum bisa bersikap dewasa) kalau berhadapan dengan perempuan itu? Selalu aja pengen nimpuk.

Foto Prewedding [2]


Ternyata ada lho, yang dulunya nggak punya foto prewedding, trus sekarang jadi punya meskipun udah nikah bertahun-tahun. Ya foto-fotonya setelah nikah gitu. Judulnya sih ”foto prewedding yang tertunda”, hihihi.

Ini foto-foto prewedding Mbak Agnes yang tertunda setelah sembilan tahun pernikahan. Wah, berarti aku masih ada harapan untuk punya foto-foto prewedding yang mesra dong *eh, apa namanya diganti aja jadi foto pascawedding ya*.

Mbak Agnes, foto-fotonya bagussss. Jadi mupeng...

Foto diambil dari sini dan sini.

Monday, June 02, 2008

Foto Prewedding [1]


Aku tuh sukaaaaa banget lihat foto prewedding. Nggak tahu kenapa, pokoknya suka aja. Kesannya tuh seperti lihat wajah-wajah yang bahagia, yang siap menyongsong masa depan, yang penuh cinta. So sweet... kayak fairytale, hehehehe...

Dulu pas aku nikah, pengen banget pakai acara foto-foto prewedding gitu. Sempat survei, ternyata biayanya mahal bo! Karena nggak mau menyusahkan orang tua, akhirnya batal deh foto-foto prewedding-nya. Tapi sampai sekarang kalau lihat pasangan-pasangan yang pakai foto-foto prewedding, tetep aja mupeng, huhuhuhu.

Ini foto-foto prewedding dua temenku yang akan segera melepas masa lajang. Kepada Ilma dan Citra, selamat ya. Barakallahu laka wa baraka ’alaika wa jama’a bainakuma fi khair. Jangan lupa baca ini ;)

Foto diambil dari sini dan sini.

Sunday, June 01, 2008

Cinta Abadi

Kutipan ini diambil dari blog-nya Mbak Mia.

”Tolong angkat Papap, mau cium Mamam sebentar,” ujar eyang jauh saya kepada anaknya. Pemandangan yang sangat mengharukan, eyang Kakung ini sudah stroke 5 tahun. Untuk mengangkat tubuh dari kursi roda, sudah tidak sanggup. Sementara istrinya selama ini sehat-sehat saja. Setia merawat sang suami.

Tiba-tiba bulan lalu, sang istri, eyang Uti lemas, pucat, lesu, dibawa ke dokter, stadium lanjut menyerang salah satu anggota tubuhnya. Begitulah, keluarga sepakat tidak mau kemoterapi, mengingat usia sudah lanjut. Selama 2 pekan ini, tiap jam 3 sore, dengan mengayuh kursi roda, sang Kakung membesuk di Rumah Sakit, mencium wajah, dan mendoakan istrinya. Kemudian, selesai mencium, Kakung minta ditinggalkan berdua saja di kamar dengan Uti, dia akan berbagi cerita untuk beberapa jenak.

Lepas 50 tahun usia pernikahan mereka. Banyak doa dari saya untuk Kakung Uti ini. Banyak pelajaran dari kisah mereka.

Ketika akhirnya sang eyang Uti berpulang, Mbak Mia menulis ini.

Kakenda dan Nenenda yang sudah lewat 50 tahun usia pernikahan, tetap setia satu sama lain. Kakenda setia menanti jam 3 sore, saat membesuk Nenenda, begitu pula sebaliknya. Mereka menikmati kebersamaan dalam cinta dan sayang sampai akhir hayat. Saya ingat, sejak kecil, Mama cerita, bahwa Kakenda hanya mau makan sambal buatan Nenenda, sambal dadak, yang harus mendadak diulek. Wuih, segitu cintanya ya?

Terus terang aku tercekat membaca postingan Mbak Mia kali ini. Ada rasa haru. Kelak aku dan suamiku bisa begitu nggak ya? Benar-benar saling menyayangi sampai akhir hayat. Benar-benar setia sampai maut memisahkan.

Aku orang yang cengeng. Dalam buku Chicken Soup for the Couple Soul, aku sampai mewek baca kisah-kisah semacam ini. Sejujurnya, ada rasa iri luar biasa pada pasangan-pasangan yang bisa menjaga cinta sampai titik terakhir. Ketika biduk rumah tangga sudah dikayuh berpuluh-puluh tahun lamanya, masih ada romantisme hangat yang menguar dari keduanya. Dan rumah tangga seperti itu bukan hanya dibangun melulu di atas cinta. Ada nilai kesakralan yang jauh lebih tinggi daripada sekedar cinta. Rumah tangga yang seperti itu... ada kesetiaan yang kental, ada persahabatan yang manis, ada kepercayaan yang menggunung, ada perasaan saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Hingga cinta tak hanya hinggap di antara mereka berdua, tapi juga nyata dirasa oleh anak cucu, bahkan oleh orang asing sekalipun yang mendapat kehormatan menjadi saksi cinta mereka.

Aku juga ingin rumah tangga yang seperti itu.

*huaaaa, jadi kangen suamikuuu*

Ayah dan Bunda

Sekarang aku punya panggilan baru buat suamiku. Kalau dulu kan: Yang, Mas, atau Cinta. Sekarang ditambah lagi dengan Ayah *padahal belum jadi ayah tuh, hehehe*. Seneng aja gitu manggil dia dengan kata Ayah.

Tadinya dia pengen dipanggil Bapak *jawa banget*. Tapi kan udah dari zaman kuliah aku pengen dipanggil Bunda. Masak Bapak sama Bunda sih, kan aneh. Ya pasnya kan Ayah sama Bunda, gitu to?

Jadilah sekarang kita berdua mulai saling panggil dengan kata Ayah atau Bunda. Pagi-pagi sebelum subuh aku suka sms begini:

Ayah, bangun. Bunda kangen.

Lalu suami membalas begini:

Ayah sudah bangun, Bun. Ayah juga kangen.

Duh, gimana ya rasanya jadi ayah dan bunda betulan? Tak lama lagi, dudududu...