Sunday, November 06, 2022

Keajaiban dari Allah

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November sungguh membuatku berpikir keras. Baru kali ini aku mendapati ketentuan untuk bebas berkreasi dengan memilih satu atau lebih dari tiga tema yang diberikan untuk diramu menjadi satu tulisan. Oke, menggabungkan tiga tema yang tersedia … mengapa tidak? Saatnya menantang diri sendiri dan keluar dari zona nyaman, hehehe.

Tokoh yang Inspiratif

Bicara soal tokoh inspiratif, pikiranku sontak tertuju kepada Rasulullah Muhammad saw. Beliaulah manusia terbaik sepanjang masa, sosok yang hampir semua perkataan dan perbuatannya dijadikan sebagai pedoman hidup. Tidak ada manusia yang dapat mengalahkan keutamaan beliau.

Michael H. Hart, seorang astrofisikawan Yahudi, dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History mendudukkan Rasulullah pada posisi nomor satu sebagai manusia yang paling berpengaruh dalam mengubah sejarah peradaban manusia. Dalam buku terbitan tahun 1978 itu, Hart menuliskan bahwa pemilihan para tokoh tidak hanya didasarkan pada faktor betapa pentingnya orang tersebut, tetapi juga dengan mempertimbangkan “masa berlaku” pengaruh sang tokoh. Pengaruh Rasulullah memiliki efek yang masih bertahan hingga sekarang, jauh melampaui masa hidup beliau.

Apa yang membuat Rasulullah begitu istimewa di hati kaum muslim? Banyak sekali alasannya, bahkan ratusan halaman takkan cukup untuk menuliskan jasa dan kebaikan beliau. Yang jelas, tanpa Rasulullah, aku takkan pernah merasakan nikmat iman dan Islam; hidup akan berjalan tanpa arah dan tujuan; aku takkan memahami hakikat penciptaan, dari mana aku berasal, dan ke mana sebenarnya aku akan pergi setelah meninggalkan dunia ini.

Rasulullah dikenal memiliki akhlak yang paling mulia untuk dijadikan teladan bagi umatnya. Beberapa di antaranya adalah selalu menyatakan pendapat dengan baik, tidak pernah melakukan hal-hal buruk, tidak pernah berperilaku kasar, dan tidak pernah berteriak. Ibnu Qatadah pernah bertanya kepada Aisyah ra. tentang akhlak Rasulullah, maka Aisyah menjawab: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (H.R. Ahmad)

Salah satu hal yang paling membuatku “meleleh” adalah kisah yang diceritakan oleh Ustaz Weemar dalam salah satu kajiannya tentang Rasulullah. Konon setiap nabi memiliki doa yang makbul–dalam kasus Nabi Musa, misalnya ketika beliau membelah Laut Merah–tetapi Rasulullah menahan diri untuk menyimpan doa ini dan tidak digunakan privilege-nya ketika di dunia. Kelak di hari akhir, Rasulullah menunda dirinya untuk bersegera masuk ke dalam surga demi bersyafaat dahulu untuk menyelamatkan seluruh umatnya dari neraka dan memasukkan umatnya ke dalam surga. Masyaallah, sebegitu cintanya beliau kepada kita.

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (Q.S. At-Taubah: 128)

Review Bacaan

Ada banyak sekali buku sirah yang menceritakan biografi Rasulullah. Bagi seorang muslim, memiliki buku sirah Rasulullah seakan menjadi hal wajib. Bagaimana kita bisa meneladani jika tidak memahami kehidupan beliau? Salah satu buku sirah Rasulullah yang kumiliki berjudul Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi karangan H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini. Di tengah banyaknya buku sirah terjemahan yang alih bahasanya kadang tidak smooth, kehadiran buku ini dapat menjadi alternatif bagi para pembaca tanah air.

H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini adalah penulis buku islami dan peneliti sejarah Islam kelahiran Tuban, Jawa Timur, 16 Agustus 1914. Beliau pernah mengenyam pendidikan agama di Inat, Yaman Selatan, pada 1932-1935. Pada zaman penjajahan Belanda, beliau adalah pendiri dan penerbit majalah Aliran Baru di Surabaya (1939-1941).

Penulisan dalam buku ini terbagi menjadi bab dan subbab yang urutannya terasa mengalir. Pada bagian awal dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim sebagai pengantar, perkembangan sejarah penulisan kitab-kitab sirah nabawiyyah, lintasan sejarah Arab masa silam, hingga agama-agama dan peradaban-peradaban sebelum Islam. Bagian berikutnya masuk ke dalam kisah hidup Rasulullah, mulai dari awal penciptaan, silsilah dan kelahiran, masa kanak-kanak, masa kenabian, saat meninggalnya, hingga proses pembaiatan khalifah sepeninggal beliau.

Daftar Isi

Buku ini memuat riwayat hidup Rasulullah saw. secara lengkap, utuh mendalam, dan ditinjau dari segala aspek. Gaya penulisan Al-Hamid Al-Husaini lebih seperti karya tulis ilmiah karena merupakan hasil pengalaman dan penelaahan yang luas dan mendalam dari khazanah kepustakaan yang kaya sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang tajam dan utuh.

Kelemahan buku ini terletak pada seringnya penulis memasukkan opini dalam narasinya. Hal ini dapat membuat bingung pembaca, apalagi penulisan narasinya seringkali berupa kalimat-kalimat panjang. Pada beberapa peristiwa yang berisiko menimbulkan perbedaan pendapat, misalnya pada bab yang menyoroti perihal siapakah sebenarnya yang lebih berhak atas kekhalifahan setelah Rasulullah meninggal, hal ini dapat memperuncing konflik yang terjadi dalam tubuh umat Islam itu sendiri.

Judul: Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi
Penulis: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini
Cetakan pertama, Oktober 2000
Diterbitkan oleh Pustaka Hidayah
Jumlah Halaman: 1000 halaman

Pengalaman di Luar Nalar

Dalam banyak episode kehidupan Rasulullah, beliau sering mengalami kejadian di luar nalar. Hal itu merupakan hal yang wajar mengingat beliau adalah seorang nabi yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah. Banyak keajaiban yang terjadi, yang barangkali merupakan mukjizat dan bentuk pertolongan Allah. Peristiwa ajaib yang paling sering disebut salah satunya adalah peristiwa Isra’ Mi’raj–yang mungkin kisahnya sudah kita hafal di luar kepala–tetapi kali ini aku ingin bercerita mengenai kisah Perang Khandaq yang mukjizatnya bisa jadi tak sesering itu dibahas orang.

Peta Perang Khandaq

Perang Khandaq yang terjadi pada 627 M (5 H) disebut juga Perang Ahzab. Ahzab berasal dari kata hizb yang artinya kelompok, disebut demikian karena saat itu kaum muslim berperang dengan kaum Yahudi dan beberapa kelompok kaum musyrik yang bersekutu yaitu Bani Nadhir (Yahudi yang telah diusir dari Madinah), kaum Quraisy, suku Ghathafan serta kabilah-kabilah Kinanah, Tihamah, Bani Sulaim, Fazarah, Bani Murrah, Bani Asyja’, dan Bani Asad. Pasukan yang bersekutu ini berjumlah kurang lebih 10.000 orang. Konon jumlah ini lebih banyak daripada semua penduduk Madinah dikumpulkan menjadi satu.

Pasukan muslim yang berjumlah 1.000 orang menggali parit di sebelah utara Madinah. Area tersebut merupakan area terbuka yang rawan dan mudah diterobos musuh. Penggalian parit ini dilakukan atas usul seorang sahabat Rasulullah bernama Salman Al Farisi. Parit sepanjang 12 km, lebar 5 meter, dan dalam 3 meter berfungsi sebagai pertahanan untuk menghalau pasukan musyrik.

Keajaiban Pertama

Pada proses penggalian parit itu, kaum muslim menemukan sebuah batu besar yang amat keras. Mereka berusaha menghancurkannya sekuat tenaga dengan peralatan yang ada, tetapi tidak berhasil. Rasulullah memecahkan batu tersebut dengan tiga kali pukulan yang menghasilkan percikan cahaya. Saat itulah muncul bisyarah (kabar gembira) mengenai wilayah-wilayah yang kelak dibebaskan oleh Islam.

“Ketika para sahabat mendapatkan batu besar yang tidak bisa dipecahkan, Rasulullah mulai memukul batu tersebut. Beliau memulainya dengan membaca, 'Bismillah.' Lalu memukul dan berhasil menghancurkan sepertiganya. Beliau mengucapkan, 'Allahu akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, sekarang aku melihat istana yang merah.' Beliau melanjutkan dengan pukulan kedua. Kali ini beliau juga berhasil menghancurkan sepertiga berikutnya dan beliau mengucapkan, 'Allahu akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Paris (Persia). Demi Allah aku melihat istananya yang putih.' Beliau melanjutkan dengan pukulan ketiga dan akhirnya batu yang tersisa berhasil dipecahkan. Setelah pukulan ketiga, beliau mengucapkan, 'Allahu akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.'” (Musnad Imam Ahmad:(30/626), Fathul Bari)

Keajaiban Kedua

Saat itu Madinah sedang dilanda paceklik. Makanan yang jumlahnya sedikit harus dibagi untuk banyak orang (sebuah riwayat mengatakan: satu kurma dibagi untuk sepuluh orang). Rasulullah sendiri berada dalam keadaan yang sangat lapar hingga beliau mengganjal perutnya dengan batu guna menahan lapar.

Ketika itu Jabir bin Abdullah mempunyai seekor kambing kecil dan kurus. Karena tidak tega melihat Rasulullah kelaparan, dia menyuruh istrinya menyembelih dan memasak kambing tersebut untuk dimakan bersama Rasulullah saja, karena tidak mungkin dagingnya cukup untuk dimakan orang banyak. Ketika Jabir mengajak Rasulullah makan di rumahnya, beliau diikuti oleh semua kaum muslim yang menggali parit. Jabir kebingungan, bagaimana mungkin makanan yang sedikit itu mencukupi kebutuhan semua orang.

Rasulullah berpesan kepada Jabir supaya makanan yang telah dimasak itu jangan dibuka dahulu wadahnya. Sejenak Rasulullah berdoa, kemudian makanan mulai dikeluarkan dari wadah untuk dihidangkan kepada semua orang. Ternyata makanan itu tiada habisnya. Hingga semua yang hadir selesai makan kenyang, makanan dalam wadah tetap tidak berkurang.

Keajaiban Ketiga

Dalam Perang Ahzab, jumlah pasukan muslim dibanding pasukan musyrik adalah 1:10. Hal itu membuat semangat kaum muslim mengendur dan nyali mereka menjadi ciut. Rasulullah sendiri tiada putus-putusnya menghadapkan diri dan bermunajat memohon pertolongan kepada Allah.

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Rasulullah berdoa, “Ya Allah yang menurunkan Al-Qur’an dan yang Mahacepat memperhitungkan (perbuatan hamba-hamba-Nya), kalahkanlah musuh-musuh kami. Ya Allah, kalahkanlah musuh-musuh kami. Ya Allah, kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Allah mengabulkan doa beliau. Pada akhirnya, Allah membuat perpecahan di kalangan kaum musyrik serta mengirimkan malaikat dan angin topan untuk memporakporandakan kawasan-kawasan tempat pasukan musyrik mengepung Madinah. Tidak hanya kemah dan perbekalan mereka yang hancur berceceran, semangat mereka untuk berperang pun ikut runtuh. Dengan bubarnya pasukan musyrik meninggalkan pengepungan Madinah, berakhirlah sudah Perang Khandaq.

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika penglihatan(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang dahsyat.” (Q.S. Al Ahzab: 9-12)




Thursday, October 06, 2022

Manual Brewing: Cara Jitu Menikmati Keunikan Kopi

Kegemaranku minum kopi telah mengalami transformasi besar-besaran selama kurun waktu dua puluh tahun ini. Ketika pertama kali mencicipi kopi pada saat kuliah, aku hanya minum kopi saset demi tujuan menemani malam-malam begadang untuk belajar atau mengerjakan tugas. Kopi saset yang menjadi favoritku di masa itu adalah Nescafe 3 in 1 instant cream latte dengan kemasan stik. Kopi yang mungkin isinya lebih banyak perisa dan gula, tetapi ampuh untuk mengganjal mataku hingga dini hari.

Coffee map dari sini

Lambat laun aku mulai beralih ke kopi tubruk dan beberapa jenis kopi espresso-based, masih dengan gula tentunya. Kopi tubruk favorit adalah Kopi Aroma, yang dulu hanya melayani pembelian di toko Jl. Banceuy No. 51, Bandung. Namun, kini produk toko tersebut bisa pula kita temukan di beberapa supermarket besar atau online shop di marketplace. Sementara kopi espresso-based favorit adalah americano, latte, atau cappucino.

Ketika gaya hidupku beralih ke gaya hidup sehat dengan menjaga pola makan, kegemaranku minum kopi tidak berhenti. Kopi memiliki banyak manfaat, antara lain: meningkatkan kinerja otak, menurunkan risiko kanker dan diabetes, sebagai sumber antioksidan, bahkan dapat membantu membakar lemak karena meningkatkan metabolisme–dengan jumlah gula yang tidak berlebihan tentu saja. Aku kemudian mencoba mengurangi gula yang terkandung di dalamnya, mulai dari less sugar hingga kini aku bisa minum kopi dengan no sugar sama sekali.

Berbagai pilihan metode manual brewing, sumber dari sini

Perjalananku menjadi penikmat kopi memasuki babak baru ketika seorang teman memperkenalkanku pada manual brewing. Manual brewing adalah teknik menyajikan kopi yang diseduh dengan cara manual. Teknik ini menggunakan bubuk kopi yang sudah digiling, kertas filter, dan air panas yang sudah ditentukan tingkat temperaturnya. Filter berfungsi menahan semua elemen yang tersaring, termasuk minyak dari biji kopi, sehingga menghasilkan hasil seduh yang jernih. Minuman yang dihasilkan adalah kopi hitam tanpa ampas yang memiliki tingkat ketajaman rasa yang berbeda, tergantung alat seduh yang digunakan dan jenis biji kopinya. Sebaiknya kopi hasil seduh manual brew ini dinikmati tanpa campuran susu atau gula untuk mempertahankan keunikan rasanya.

Bila kita memesan kopi manual brew, biasanya ada beberapa pilihan biji kopi yang beragam, lokal maupun impor, single origin maupun blend. Aku lebih suka menjajal coffee shop kecil yang bersifat private karena biasanya kita bisa lebih leluasa mengobrol dengan baristanya. Pada kesempatan seperti itu, kita bisa bertanya seperti apa tasting notes yang dimiliki oleh pilihan biji kopi tersebut, atau informasi lain tentang perbedaan-perbedaan biji kopi yang dihasilkan oleh berbagai daerah di Indonesia atau mancanegara.

Beberapa metode manual brewing yang jamak ditemui di coffee shop tanah air adalah metode Pour Over (V60, Chemex, Kalita Wave), French Press, Aeropress, Syphon, Cold Brew, dan Vietnam Drip. Dari berbagai macam metode manual brewing, ada banyak faktor yang menentukan hasil seduh, seperti pemilihan jenis kopi yang tepat, ukuran gilingan yang sesuai, dan teknik penyeduhan yang benar. Berbagai macam metode ini juga berpengaruh terhadap cita rasa kopi, meliputi body dan clarity. Biji kopi yang sama dapat menghasilkan rasa kopi yang berbeda bila diseduh dengan metode yang berbeda. Contohnya bila diseduh dengan metode French Press, rasa yang dihasilkan memiliki karakter body yang lebih tebal. Jika ingin rasa yang lebih clean, lebih baik bila biji kopi diseduh dengan V60 yang lebih mengunggulkan flavor daripada body.

Manual brewing yang menjadi favoritku adalah metode V60. Cangkir V60 pertamaku kunikmati pada suatu petang di Kedai Badai, Bandung, sebuah coffee shop mungil yang kini sudah tak ada lagi. Ada rasa aneh yang muncul, kemudian sensasi nikmat yang mengikutinya. Lama-lama penjelajahanku terhadap V60 dari kafe ke kafe membuatku terbiasa, dan kemudian menjadikannya cara favorit untuk menikmati kopi dengan hasil seduh clean dan full clarity.

Beraneka ragam cita rasa kopi, sumber dari sini

Aku dulu merasa aneh jika ada orang bicara tentang rasa macam-macam kopi, mulai dari strong/bold dan full body, hingga flavorful seperti floral, fruity, nutty, dan herbs (bercita rasa seperti rempah-rempah atau jamu). Sebelum aku paham, rasanya semua kopi sama saja, aku cuma bisa membedakan pahit atau asam. Sejak menjadi penikmat V60, aku mulai bisa merasakan cita rasa yang beraneka ragam … dan ternyata memang beda-beda banget rasanya. Menikmati kopi dengan kemurnian yang hakiki itu nyatanya membawa lidah kita lebih peka dalam mengeksplorasi berbagai macam cita rasa kopi yang berbeda.

Beberapa biji kopi single origin specialty yang menjadi favoritku adalah kopi Flores Bajawa, Flores Yellow Caturra, Toraja, Papua Wamena, Bali Kintamani, Mandailing, dan kopi-kopi Jawa Barat seperti Gunung Halu, Gunung Puntang, Ciwidey, dan Caringin Tilu. Kopi-kopi yang ditanam di tanah vulkanik pada dataran tinggi seperti kopi Flores dan Papua memiliki cita rasa yang kuat (moderate bold dan full body), tingkat keasaman yang medium, dan aroma yang lebih harum (semisal aroma cherry, blueberry, nuts, atau sweet caramel). Sementara kopi Bali Kintamani yang bervarietas arabika rasanya lebih lembut, ringan, medium body, tingkat keasaman rendah (sweet mild acidic), dan clean finish.

Aku tidak suka kopi Aceh seperti kopi Gayo karena menurutku terlalu asam. Aku juga pernah mencoba beberapa jenis biji kopi mancanegara, seperti kopi Tanzania dan kopi Kenya, tetapi tidak cocok dengan lidahku. Rasanya eksotis sih, ada semacam aroma rempah seperti jamu, tetapi pahit dan rasa asamnya sedikit lebih kuat.

Manual brewing adalah suatu alternatif bagi para penggemar kopi untuk dapat menikmati rasa yang unik dan berbeda bila dibandingkan dengan kopi espresso-based. Manual brewing membawa kita menjelajahi cita rasa dan pengetahuan yang lebih dalam di dunia kopi. Jika ada kesempatan, tak ada salahnya menjajal metode yang satu ini. Namun, pada akhirnya kopi yang paling enak adalah kopi yang dinikmati dengan hati penuh syukur :)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Mamah dan Kopi”.

Sunday, September 18, 2022

Mengubah Kebiasaan

Menurut KBBI, “kebiasaan” adalah (1) sesuatu yang biasa dikerjakan dan sebagainya; (2) pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama. Jika seseorang sudah memiliki kebiasaan akan sesuatu, dia akan melakukannya dengan rutin, effortless, dan spontan. Spontan dalam hal ini berarti terjadi otomatis tanpa perlu dipikirkan sebelumnya.

Karena kebiasaan mempengaruhi spontanitas, kita harus sadar diri untuk menjadikan hal-hal baik sebagai kebiasaan. Hal ini mengandung hikmah supaya ketika kita bersikap spontan, hanya hal-hal baik yang mewujud dari lisan dan perbuatan kita. Contoh sederhananya adalah memperbanyak istigfar ketika terkejut sehingga bila suatu saat kita terkaget-kaget karena sesuatu, kita akan spontan berucap “Astaghfirullah” dan bukan “Eh, ayam ayam ayam”, misalnya.

Kebiasaan juga mempengaruhi perasaan dan kecenderungan. Contoh paling gampang adalah soal makanan. Kebanyakan dari kita pasti lebih familiar dengan menu makanan nusantara, maka hal tersebut akan mempengaruhi preferensi kita dalam hal selera. Tentu kita akan memilih rasa yang paling “dekat” dengan menu sehari-hari–bahkan ketika kita sedang bepergian sekalipun–karena hal itu berkaitan dengan kebiasaan.

Rumus mengubah kebiasaan ada dua, yaitu latihan dan repetisi. Kita perlu berlatih supaya kita bisa, sedangkan repetisi diperlukan supaya kita terbiasa. Banyak orang meyakini bahwa waktu yang diperlukan untuk membentuk sebuah kebiasaan baru adalah empat puluh hari, di antaranya Kelly McGonigal yang menulis buku 40 Days to Positive Change atau Tommy Newberry yang menulis buku 40 Days to a Joy-Filled Life. Oleh karena itu, minimal kita berlatih dan melakukan repetisi selama empat puluh hari untuk membentuk sebuah kebiasaan.

Bagaimana dengan waktu yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan lama? Memang tidak ada angka yang pasti, tetapi Ustaz Weemar dalam kajiannya menyebutkan bahwa hal tersebut membutuhkan waktu sekitar satu tahun. Hal ini tentu tergantung pada kedalaman tingkat kebiasaannya. Karena meninggalkan kebiasaan lama itu susah, jangan sekali-kali kita membentuk kebiasaan buruk dengan mencoba melakukan hal-hal yang tidak baik. Lebih baik sedari awal kita tidak mencicipinya sedikit pun. Jika kebiasaan buruk sudah terbentuk, dia akan mengalahkan akal.

Selain latihan dan repetisi, hal terpenting dalam membentuk kebiasaan adalah sifat istikamah. Menurut KBBI, “istikamah” adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Dalam hal kebaikan, istikamah dapat diartikan tetap konsisten pada jalan yang benar dengan progres kebiasaan yang terus naik (tidak datar) sehingga hari esok lebih baik daripada hari ini. Hal tersebut tentu sungguh berat karena terkait erat dengan pembiasaan, tetapi sangat diperlukan demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai sekalian manusia. Kerjakanlah amalan-amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit." (H.R. Bukhari dan Muslim)

"Maka istikamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Hud: 112)

Monday, September 05, 2022

Belanja: Dulu dan Sekarang

Ketika aku duduk di bangku kuliah dan belajar tentang Sistem Embedded dua puluh tahun lalu, ide tentang smart home yang terintegrasi dengan smart shopping tampak sangat menakjubkan. Seorang dosen memberi suatu contoh mengenai isi kulkas yang selalu ter-update stoknya sehingga ketika bahan makanan atau minuman menjelang habis, kulkas akan mengirimkan notifikasi ke grocery store untuk melakukan online shopping. Tuan rumah tinggal membayar via transfer dan voila … barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi pun sampai di rumah.

Siapa mengira jika gambaran absurd yang tampak mustahil di masa lalu kini menjadi suatu hal yang biasa? Ya, memang telah terjadi revolusi besar-besaran dalam hubungan kita dengan aktivitas belanja saat ini. Seperti apakah itu? Yuk, mari kita simak.

Pasar Zaman Dahulu

Semasa aku kecil, pergi ke pasar tradisional merupakan siksaan. Ibu kerap mampir ke pasar seusai menjemputku dari sekolah. Jika hari libur, Ibu juga sering mengajakku menemani beliau pergi ke pasar. Lantai yang becek dan bau yang tidak sedap menjadi momok yang rela dengan sabar kuhadapi demi mendapatkan kudapan berupa jajanan pasar atau es dawet kesukaan. Peluh yang bersimbah dan kernyitan di dahi akibat menahan rasa mual akhirnya terbayar sudah ketika menyeruput es dawet nikmat, meskipun hal itu harus dilakukan dengan mengalihkan pandang dari kotornya pasar.

Pasar Gede, Solo, dulu dan sekarang

Sejatinya pasar-pasar tradisional memiliki napas panjang sejak zaman Belanda. Pada zaman dahulu, banyak pasar yang didirikan di pinggir jalan dan tidak menempati bangunan permanen seperti los-los zaman sekarang. Kebanyakan pasar berlokasi di persimpangan jalan karena merupakan titik strategis dan biasanya berada di area perdagangan, seperti halnya Pasar Gede Solo yang berada di kawasan pecinan. Meskipun demikian, Olivier Johannes Raap dalam bukunya Kota di Djawa Tempo Doeloe menulis, “Sekitar tahun 1900-an, jalan yang dijadikan Pasar Besar tersebut belum dijejali dengan barisan ruko Tionghoa. Melainkan masih dinaungi pepohonan rindang di kedua sisinya.”

Pasar zaman dulu ada dan bergerak karena transportasi. Tak hanya di persimpangan jalan seperti kebanyakan pasar di Jawa, pasar-pasar juga mewujud pada lintasan sungai-sungai yang menjadi jalur keluar masuk ke pedalaman, seperti yang terjadi di Kalimantan. Pasar-pasar itu hidup melalui interaksi masyarakatnya. Tak melulu soal perniagaan, pasar juga menjadi ajang lintas teritorial dan akulturasi budaya.

Salah satu hal yang paling aku rindukan dari aktivitas berbelanja di masa lalu adalah kearifan menggunakan kemasan ramah lingkungan. Orang-orang zaman dulu masih sangat mengandalkan sumber daya alam. Kemasan yang digunakan adalah kemasan berbahan alam seperti daun pisang, daun pepaya, daun jati, atau kertas bekas. Daging atau ikan dibungkus dengan daun jati atau daun pepaya, telur dibawa dengan keranjang anyaman bambu, sayuran atau bumbu dapur dibungkus dengan koran bekas, makanan berkuah dibawa dengan rantang. Tas belanja yang digunakan juga rata-rata tas anyaman yang terbuat dari bambu. Barang-barang yang bukan makanan dibungkus dengan kertas kuning dan dibawa dengan tas kain atau tas anyaman. 

Pada zaman itu, lahan hijau memang masih luas. Persediaan daun pisang, daun jati, dan daun pepaya nyaris tidak terbatas dan mudah sekali diakses. Limbah kemasannya pun tak menjadi masalah karena sifatnya organik dan mudah terurai. Kemasan plastik yang sampahnya menimbulkan banyak masalah bagi lingkungan terhitung masih jarang sekali. Ah, rindu sekali dengan zaman itu.

Kemudahan Berbelanja di Ujung Jari

Berbeda dengan aktivitas belanja di masa lalu, aktivitas belanja di masa kini rata-rata sudah bertempat di pusat perbelanjaan yang rapi dan bersih. Pasar tradisional masih tetap ada, tetapi tampilannya sudah jauh lebih baik karena direnovasi mengikuti standar pasar modern. Selain itu, ibu-ibu zaman now juga sangat dimudahkan aktivitas belanjanya dengan maraknya online shopping. Bahkan toko-toko besar seperti Matahari dan Uniqlo yang toko offline-nya ramai didatangi masyarakat pun kini sudah menyediakan situs belanja untuk para pelanggan yang lebih menyukai online shopping.

Ilustrasi online shopping

Banyaknya pilihan berbelanja saat ini sejatinya lahir dari kebutuhan masyarakat yang kian sibuk dan makin menghendaki kemudahan. Dengan dukungan teknologi dan gawai pintar, cukup jari-jemari yang bergerak untuk melakukan transaksi. Interaksi antara penjual dan pembeli diwakili angka dan teks yang terpampang di layar. Praktis, aman, nyaman, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Perniagaan tak lagi memerlukan lapak di pasar, toko, atau warung yang berlokasi strategis di pinggir jalan.

Di satu sisi, hal ini bisa menjadi pilihan ideal bagi masyarakat yang sibuk. Namun, di sisi lain, hal ini justru makin mengalienasi manusia satu dengan yang lainnya. Pertemuan fisik, saling sapa, saling tawar, atau saling tukar informasi tak lagi ada. Pola interaksi perniagaan telah mengalami perubahan besar-besaran dari zaman nenek moyang dulu. Tak pelak kita memasuki era baru yang mengubah pola struktur sosial yang telah bertahan ratusan tahun.

Aku sendiri tidak masalah dengan online shopping. Bahkan dulu aku punya toko online juga, yang kerap menguji kesabaran karena pembelinya masih saja menanyakan spesifikasi teknis padahal sudah ditulis detil pada deskripsi. Yah, memang begitulah tingkat literasi masyarakat kita, wkwkwk.

Beberapa kelemahan yang kurasakan ketika berbelanja online adalah ketidakmampuan melihat barang dan menilai kualitasnya secara nyata. Foto atau gambar yang terpampang di layar kadang tidak membuatku puas karena tidak bisa diraba dan disaksikan kasat mata. Selain itu, pada banyak online shop–bahkan yang sudah dijaga keamanannya seperti pada marketplace–masih saja ada tipu-tipu. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, biasanya aku hanya berbelanja online pada kenalan atau toko yang memang sudah kuketahui benar reputasi dan kredibilitasnya.

Jika ditilik-tilik, sepertinya aku lebih sering berbelanja online akibat iklan-iklan kenalan melalui Whatsapp, kemudian langsung mengontak mereka secara pribadi untuk melanjutkan transaksi. Entah mengapa, buatku hal ini terasa lebih intim daripada berbelanja ke marketplace. Selain bisa bertukar kabar dengan mereka, hal ini juga dalam rangka melariskan dagangan teman dan mendukung usaha yang mereka bangun. Mudah-mudahan hal ini juga menjadi added value supaya masyarakat tidak lagi makin terasing satu sama lain.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Mamah dan Dunia Belanja”.

Sunday, September 04, 2022

Belajar Memahami Anak dengan Bijak

Pernahkah Anda membaca buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi? Buku ini bagus untuk dibaca para orang tua dan praktisi pendidikan anak. Meskipun dikemas dengan bahasa sederhana, sesungguhnya ia sarat akan pesan-pesan parenting. Aku membaca buku ini puluhan tahun lalu bahkan ketika aku belum punya anak, tetapi pesan mendalam yang kutangkap waktu itu begitu membekas dan berhasil membentuk gambaran ideal di benakku tentang bagaimana seharusnya hubungan orang dewasa dengan anak terjalin. Pesan-pesan parenting-nya sungguh tak lekang oleh waktu dan tetap relevan hingga kini meskipun latar belakang buku ini adalah kondisi di Jepang  sebelum Perang Dunia II.

Totto dalam novel ini digambarkan sebagai seorang anak yang polos, punya rasa ingin tahu besar, selalu antusias dengan hal-hal baru, penuh imajinasi, dan selalu bersemangat sehingga sering menguji kesabaran gurunya. Dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal dan susah diatur. Ibunya kemudian mencarikannya sekolah baru hingga akhirnya dia bertemu dengan Pak Kobayashi, kepala sekolah yang sangat sabar, hangat, penuh kepedulian dan kasih sayang, serta begitu memahami karakter anak-anak didiknya.

Bicara soal karakter unik Totto-chan, kita perlu memahami baiknya perlakuan membesarkan hati anak sehingga anak tidak merasa dirinya buruk. Ada dua kemungkinan penyebab anak dianggap bandel. Kemungkinan pertama, anak tersebut memang bermasalah. Kemungkinan kedua, anak tersebut adalah anak pandai yang kreativitasnya dibatasi rutinitas. Kebanyakan orang dewasa menganggap tipe anak kedua sama saja dengan tipe anak pertama karena orang dewasa tidak mau menggali apa sebenarnya yang dirasakan oleh si anak, padahal tipe anak kedua bukanlah tipe anak bandel. Ia hanya seorang anak dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, yang berusaha memahami dunia di sekelilingnya dengan pengetahuan yang dibangun berdasarkan kehidupan sehari-hari, bukan berdasarkan tugas-tugas rutin sekolah yang membosankan.

Sekolah yang menyenangkan adalah sekolah yang membebaskan. Anak bebas menyerap pengetahuan dengan cara menyenangkan sehingga pengetahuan membekas pada jiwa dan dapat menghasilkan sesuatu yang konkret untuk kehidupan. Namun, kebebasan yang dimaksud tentu bukan kebebasan yang murni. Aturan dan tanggung jawab tetap diperlukan dalam kebebasan berekspresi karena berkaitan erat dengan adab, etika, sopan santun, dan kewajiban. Dalam sebuah sistem sekolah yang menyenangkan, pemberian tugas tidak ditiadakan sama sekali. Tugas tetap diberikan, tetapi tugas bukan segalanya. Dalam sebuah sistem sekolah yang baik, anak merasa dirinya diterima sekaligus merasa aman dan rileks untuk berbuat (berpendapat, belajar, bermain, dsb.) karena anak mempunyai fitrah untuk dicintai, dihargai, dipahami, dan diakui.

Seorang anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar seharusnya tidak dianggap sebagai anak yang merepotkan. Keingintahuan adalah dasar untuk mencari ilmu pengetahuan. Seorang pendidik memiliki tugas untuk mengarahkan keingintahuan si anak menjadi keingintahuan yang produktif dengan sistem belajar mengajar yang bebas, menyenangkan, tetapi bertanggung jawab.

Seorang pendidik yang baik juga harus mempunyai kelebihan untuk melakukan pendekatan yang konkret kepada anak, misalnya dengan menjadi pendengar yang baik sehingga anak merasa dihargai, atau dengan melontarkan kalimat-kalimat positif untuk menumbuhkan sikap optimisme anak. Dua hal ini dicontohkan secara gamblang oleh buku Totto-chan, seperti ketika Kepala Sekolah Kobayashi mau mendengarkan cerita Totto-chan selama empat jam penuh, atau kenyataan bahwa Kepala Sekolah Kobayashi sering menyebut Totto-chan sebagai anak baik untuk menanamkan rasa percaya dirinya.

Dalam menerapkan kebebasan anak, kita tetap perlu mengajarkan kepada anak tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dengan demikian, anak tetap dilatih untuk berpikir kritis dalam kebebasannya sehingga ia memiliki self control yang baik. Terkait dengan pengajaran tentang tanggung jawab, hukuman tetap diperlukan. Hanya saja kita tidak boleh menghukum anak sebelum ia mengerti aturan dan kesalahannya. Hukuman tidak identik dengan pemberian penderitaan karena ia adalah penyadaran akan tanggung jawab dengan cara pemberian konsekuensi. Dalam buku Totto-chan, Kepala Sekolah Kobayashi “hanya” memberikan konsekuensi untuk membersihkan kembali apa yang telah Totto-chan jadikan berantakan karena konsekuensi tersebut sudah menjadi hukuman yang pantas untuknya.

Dalam usaha mewujudkan sistem belajar mengajar yang baik dan efektif, selain penyesuaian kurikulum dengan tahapan proses perkembangan anak berdasarkan usia, interaksi anak dengan pendidik harus baik. Hal itu antara lain bisa dibangun lewat kemampuan pendidik untuk berempati, mengenali anak, dan menerima anak apa adanya. Dengan demikian, anak akan merasa senang untuk belajar ilmu pengetahuan dan bersosialisasi sehingga ia siap terjun ke masyarakat di kemudian hari.

Saturday, August 06, 2022

Sadrah

Aku menatap lelaki di hadapanku. Dia baru saja menutup laptop di pangkuanku, mengambilnya, lalu meletakkannya di meja. Gerakannya tegas, tetapi sorot matanya teduh tanpa amarah.

“Sudah kubilang untuk istirahat, kan,” katanya kemudian sambil tersenyum. Dia mengambil langkah panjang ke jendela di sudut kamar dan menyibakkan tirai. Seberkas sinar mentari jatuh di wajahku; aku mengernyitkan mata.

“Ups, maaf … silau ya?” Dia tertawa renyah sambil mengacak rambutku pelan ketika sudah sampai di sisi pembaringan. Tangannya dengan sigap membereskan berkas-berkas yang bertebaran di kasur.

“Istirahat dulu sampai sembuh. Oke?” Dia menatapku tegas. Aku menarik napas dalam-dalam sambil menyandarkan kepala ke bantal. Baiklah, aku menyerah.

Dua hari lalu aku kolaps di kantor. Mereka membawaku ke sini dan dokter menyuruhku beristirahat selama beberapa hari karena aku mengalami hipoglikemia dan kadar hemoglobinku sangat rendah.

“Pengen makan apa?”

Aku menggeleng. “Nggak pengen apa-apa.”

“Aku beliin apa saja yang kamu mau. Makanan rumah sakit nggak terlalu menggugah selera, kan?” Dia menunjukkan layar aplikasi pesanan antar dengan antusias.

“Nggak usah, Ben.”

Kupandang Beni dengan lekat. Aku mengenalnya setahun lalu di sebuah gym tempat dia menjadi personal trainer di sana. Saat itu hampir tiap hari aku mampir ke gym untuk mengurai pikiran yang ruwet, tanpa tahu akan berkenalan dengan sosoknya yang begitu tulus. Aku bukan kliennya, tetapi dengan riang dia berbagi kiat bagaimana gerakan yang benar, berbincang tentang nutrisi dan gaya hidup sehat, hingga akhirnya kami akrab satu sama lain dan sering pergi bersama.

Beberapa bulan lalu dia menyatakan cintanya. Menjalin hubungan serius dengan seseorang adalah hal terakhir yang ada dalam benakku, maka dengan berat hati aku menolaknya. Aku menyukainya, tetapi ada banyak ketakutan dari masa lalu yang masih memberati pundakku. Hari demi hari berlalu tanpa ada yang berubah dari dirinya: masih tulus dan peduli, juga masih bersikap penuh perhatian.

Seorang petugas katering masuk ke dalam kamar dan membuyarkan lamunanku. “Silakan sarapannya, Bu.”

Beni dengan serta merta meraih nampan dan membuka plastik yang menutupi permukaan piring. “Aku suapin ya, Ta?”

“Belum lapar, Ben.”

“Ta, nggak boleh gitu. Nanti gula darahnya nge-drop lagi kalau kamu nggak makan.”

“Nanti saja, Ben. Nanti aku makan sendiri.”

Beni menyentuh daguku pelan, lalu menghadapkan wajahku tepat di depan wajahnya. Mata kami berserobok.

“Jangan ngeyel terus, Ta,” katanya dengan lembut, “nanti nggak sembuh-sembuh.”

Aku melihat kasih terpancar dari bening mata coklatnya. “Kenapa masih betah ngurusin aku, Ben? Kamu kan tahu betapa keras kepalanya aku.”

Beni meraih tanganku dan menggenggamnya. “You know why. Sudah, sekarang jangan ngeyel lagi. Aku suapin, ya?”

Aku mengangguk pasrah.

***

Aku berlari dengan terengah-engah. Bayangan laki-laki itu terlihat ketika aku menoleh. Kupercepat langkah sambil menengok ke kiri dan ke kanan mencari tempat persembunyian. Aku mengusap sudut bibirku yang berdarah. Ah, sial. Dia lebih cepat. Sudah tinggal beberapa meter saja dia di belakangku.

“Mau lari ke mana kau sekarang?” serunya sambil tertawa keras. Bulu kudukku berdiri. Dalam sekali loncat dia berhasil menarik bajuku. Aku terbanting ke jalan.

Tiba-tiba kepalaku terasa sakit sekali. Ternyata laki-laki itu menempelengku dengan keras sampai aku terjatuh. Dijambaknya rambutku, lalu dibenturkannya kepalaku ke aspal. Dia memegang pergelangan tanganku dengan kencang. Napasku megap-megap.

“Ta! Bangun, Ta!” Aku mendengar suara Beni samar-samar. Kubuka mata dengan berat. Napasku masih memburu. Ketika aku sadar sepenuhnya, kudapati tangan Beni-lah yang memegang pergelangan tanganku. Kamar rumah sakit ini terasa dingin dan gelap.

“Aku bermimpi?” Kulihat pandangan khawatir di mata Beni. Dengan lembut dihapusnya air mata dari sudut mataku.

“Mimpi apa sampai menangis begini?”

Aku tak menjawab, tetapi balik bertanya, “Pukul berapa sekarang?”

“Pukul sepuluh malam. Aku tadi ke sini sepulang dari gym.”

“Kepalaku pusing sekali.”

Pandangan Beni tampak prihatin. “Mereka bilang, kalau Hb-mu tak kunjung naik, besok harus transfusi.”

Aku mendesah pelan dan mencoba duduk. Beni sigap membantu.

“Aku capek, Ben.”

“Ta …”

“Aku lelah dengan semua ini. Aku pikir dengan menyibukkan diri pada pekerjaan, aku akan bisa lupa.” Aku tergugu.

Beni merengkuhku. “Bebanmu terlalu berat, Ta. Justru dengan rapat-rapat sampai malam, mengejar tender proyek sampai habis-habisan, kamu menghancurkan badanmu sendiri. Padahal yang mengganggumu itu ada di pikiranmu.”

“Aku nggak tahu harus bagaimana, Ben. Bayangan dirinya terus mengejar.”

“Hei, dengerin aku. Laki-laki itu nggak bisa menyakitimu lagi.”

Bahuku terguncang di dada Beni. Menjadi korban KDRT selama bertahun-tahun benar-benar menyisakan kepedihan. Bukan hanya tilas patah tulang, rahang yang bergeser, atau bekas luka jahitan, melainkan juga trauma psikologis berkepanjangan meskipun aku sudah lama tidak bertemu mantan suamiku.

Beni membiarkanku menangis di pelukannya. Ketika akhirnya aku tenang, dia berkata, “Aku nginep di sini ya malam ini.”

Sambil menghapus sisa-sisa air mata, aku kembali berbaring. Beni membetulkan letak selimutku, mengecup keningku, lalu melangkah ke arah sofa dan tidur meringkuk di atasnya. Aku merasa lebih nyaman melihat dia ada di situ, tetapi masih ada hal yang mengganjal di hatiku.

***

Aku sedang mengganti-ganti saluran televisi dengan bosan ketika Beni masuk ke kamar. Kausnya basah oleh keringat.

“Pas aku bangun tadi kamu masih tidur, jadi aku jogging dulu sebentar,” katanya.

“Sudah kuduga,” sahutku, “pagi yang cerah ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja.”

“Dokter sudah visit?”

“Sudah.”

“Lalu apa dia bilang?” tanya Beni dengan tatap penasaran.

“Hb-ku sudah naik. Sudah di range normal, jadi nggak perlu transfusi. Hari ini sudah boleh pulang.”

“Syukurlah,” katanya sambil tersenyum, “habis ini harus makan yang benar, banyak istirahat.”

Dia duduk santai di atas sofa sambil menenggak air mineral. “Hari ini aku ada janji dengan klien pukul sembilan. Mungkin selepas makan siang aku baru bisa kemari. Check out-nya nunggu aku saja ya, nanti aku yang urus-urus.”

Aku berdehem membersihkan tenggorokan. “Ben, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan.”

“Hmm?” Pandangannya masih mengarah ke dalam tas.

I’ve been thinking about us.”

Gerakan tangan Beni terhenti. Dia mendongakkan kepala dan menatapku tajam. Aku merasa senewen.

“Ada apa?” Kali ini nadanya curiga. Aku bahkan tak berani menatapnya.

“Ehm … Ben, aku rasa kamu harus berhenti ngurusin aku.”

“Kenapa? Kamu merasa nggak nyaman?”

“Oh, bukan,” tukasku cepat, “hanya saja … aku banyak merepotkan.”

“Nggak sama sekali.” Dia mengernyit.

“Dengar, Ben. You’re a good person. Banyak gadis-gadis di luar sana yang lebih pantas buat kamu. Kenapa kamu masih bertahan ngurusin seorang janda yang bahkan …”

“Ta! Kamu ngomong apa sih?” Dia berjalan ke arahku dan duduk di tepi tempat tidur.

I’m such a burden, Ben. I’m torn. I’m a mess. Mungkin sebaiknya kita sampai di sini saja. Kamu berhak punya kehidupan yang lebih baik.” Mataku mulai berkaca-kaca.

Beni menghela napas. “Bukankah kita pernah ngobrol soal ini? Aku sayang sama kamu, Ta. Kita akan hadapi ini sama-sama, oke?”

Aku menggeleng. Kusentuh lengan Beni pelan. Lengannya yang berotot itu dulu membuatku takut. Membayangkan dihantam dengan keras atau dibenturkan ke tembok oleh lengan sekuat itu membuatku terintimidasi olehnya di awal masa pertemuan kami. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kedua lengannya yang kokoh itu seringkali memberiku perlindungan dan kehangatan, tetapi sungguh aku tidak cukup baik untuknya.

Mata Beni menatapku serius ketika dia berkata, “Menikahlah denganku, Ta …”

Aku tertegun. Laki-laki ini sungguh unbelievable. Saat aku ingin memutuskan hubungan dengannya, dia malah melamarku.

“Ben …”

Listen to me. Aku nggak peduli seperti apa masa lalumu. Yang aku tahu, aku pengen habiskan sisa hidupku sama kamu. Selalu ada buat kamu, lindungi kamu. Please, Ta … jangan tolak aku terus. Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu.”

Aku terisak pelan. Buliran bening mengalir dari kedua mataku. Beni menghapusnya dengan lembut lalu memelukku erat sambil berbisik, “Jangan pernah merasa tidak pantas. You really mean the world to me.”

Sinar mentari pagi menari-nari masuk ke dalam ruangan, menembus vitrase tipis sampai ke hatiku. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti berlari. Dalam dekapan Beni, aku berpasrah diri dan mulai memahami bahwa Tuhan sedang memberiku kesempatan kedua untuk mencinta.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Cerita Cinta”.

Tuesday, July 05, 2022

Belajar Tiada Akhir

Gambar diambil dari sini

Belajar adalah aktivitas sepanjang hayat. Seperti yang ditulis Dini di sini, “lifelong learning is the lifewide, voluntary and self-motivated pursuit of knowledge for not only personal but professional reasons as well”. Kata kuncinya adalah: belajar sepanjang hayat, sukarela, self-motivated, untuk pengembangan diri baik secara personal maupun profesional.

Namanya manusia tentu tak ada yang sempurna, ya. Ilmu terus berkembang mengikuti zaman. Kemampuan kita tak pernah paripurna, yang ada hanyalah langkah untuk terus menuju ke sana. Bagi diriku pribadi, ada hal-hal yang hingga hari ini masih terus ingin kuperbaiki. Oleh karena itu, belajar sepanjang hayat merupakan suatu keniscayaan, terutama untuk hal-hal yang akan kuceritakan di bawah ini.

Menjadi Orang Tua yang Baik

Sepanjang empat belas tahun menjadi orang tua, selalu ada hal baru yang aku dapatkan. Anak-anak itu memang guru terbaik, kadang aku jadi belajar dengan metode learning by doing. Biasanya hal ini terjadi pada anak pertama di mana kita masih gagap menjadi orang tua. Ilmu dari bapak ibu yang berbeda zaman dengan kita–yang sebagian besar masih berdasar pada “katanya”–kadang tak lagi relevan, atau bahkan terbukti tidak benar menurut ilmu yang berkembang kemudian. 

Meskipun membesarkan anak-anak berikutnya sudah lebih ada persiapan, nyatanya aku masih sering terkaget-kaget juga, hahaha. Tiap anak yang memasuki fase berbeda selalu memberi kejutan. Pada suatu masa ketika aku merasa lega karena anak sudah lepas dari fase terrible-two, kakak-kakaknya sedang memasuki fase teen dan pre-teen yang menguras emosi dan tenaga *pijat-pijat kening*

Menjadi orang tua itu tak ada sekolahnya. Indeed, kehidupan inilah yang memberi pelajaran. Salah satu hal yang kini masih terus kuusahakan adalah belajar sabar. Memiliki empat anak dengan usia berbeda yang berkelindan dengan drama masing-masing, mood kujaga benar supaya tidak terlampau lelah. Karena jika aku merasa lelah–baik fisik maupun mental–amarahku mudah sekali terpicu. Jika aku berada dalam kondisi waras, se-ambyar apa pun tingkah polah mereka bisa kuhadapi dengan kepala dingin.

Tidak ada anak yang nakal. Tidak ada anak yang dengan sengaja membuat marah orang tuanya. Yang ada hanyalah anak yang bisa jadi belum tercukupi kebutuhannya. Yang ada hanyalah orang tua yang mungkin kurang bijak bersikap. Anak adalah titipan; Allah akan meminta pertanggungjawaban kita sebagai orang tua. Di sisi lain, pahala akan mengalir deras bagi orang tua yang mampu membimbing anak-anaknya sesuai tuntunan. Maka cukuplah dalil-dalil berikut ini menjadi pengingat.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh.” (H.R. Muslim).

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga, lalu ia bertanya, ‘Wahai Tuhanku, dari mana aku dapatkan semua ini?’ kemudian Allah menjawab, ‘Dengan sebab istighfar anakmu untuk dirimu.’” (H.R. Ahmad).

Berlari dengan Efektif dan Efisien

Aku sudah berlari sejak tahun 2015. Dalam kurun waktu tujuh tahun ini, ada banyak sekali ilmu berlari yang kupelajari dari teman-teman komunitas maupun dari para profesional, mulai dari bagaimana membangun training plan dan mengatur waktu untuk menyempatkan berlari di tengah kesibukan, memperbaiki heart rate dan VO2Max, memperbaiki endurance, hingga bagaimana menempuh long run mulai dari 10 km sampai 21,1 km. Selain belajar tentang ilmunya, aku juga memperoleh motivasi dan semangat yang luar biasa dari mereka.

Namun, aku merasa kemampuanku belum maksimal. Teknik berlari dan running form-ku belum optimal. Padahal hal ini sangat penting supaya dapat berlari dengan lebih efektif dan efisien. Dalam dunia lari, ada yang namanya running economy, yaitu hubungan antara konsumsi oksigen dan kecepatan lari. Sederhananya: running economy adalah efisiensi dalam mengubah konsumsi oksigen menjadi gerakan maju, dan hal ini bergantung pada banyak faktor: komposisi serat otot, fleksibilitas sendi, bentuk tubuh, dan ketahanan dalam berlari.

Selain melatih teknik berlari dan running form, seorang pelari juga harus berlatih beban. Latihan beban mencegah cedera dengan memperkuat otot dan jaringan ikat. Ini membantu kita berlari lebih cepat dengan meningkatkan koordinasi dan kekuatan neuromuskuler, juga meningkatkan efektivitas dengan mendorong koordinasi dan efisiensi langkah. Adaptasi neuromuskuler adalah kondisi di mana otak, sistem saraf pusat dan otot beradaptasi untuk menghasilkan lebih banyak serat otot dan meningkatkan frekuensi dari serat otot. Kesimpulannya, latihan ketahanan atau resistance training akan meningkatkan koordinasi di antara setiap otot dan menghasilkan lebih banyak kekuatan untuk berlari.

Hal-hal di atas adalah hal-hal yang ingin terus kupelajari dalam aktivitasku menggeluti hobi berlari. Levelku memang masih pelari rekreasi atau pelari hore, tetapi tak ada salahnya berlatih secara serius untuk meningkatkan performa. Ingin rasanya memakai jasa profesional seperti running coach atau personal trainer. Namun, kesibukan sebagai ibu dan pekerja kantoran yang terikat jam kerja membuatku cukup sulit untuk membagi waktu. Mungkin suatu saat nanti ketika anak-anak sudah lebih besar dan sudah bisa ditinggal-tinggal dengan leluasa. Insya Allah.

Menulis

Menulis adalah suaka bagiku. Lewat tulisan, aku menemukan siapa aku sebenarnya. Menulis adalah suatu aktivitas yang lebih dari sekedar merangkai huruf demi huruf menjadi seuntai tulisan bermakna. Buatku menulis memiliki arti lebih dari itu. Aku orang yang cukup pendiam, datar, cenderung menutup diri, dan tidak pernah bersikap vokal, apalagi frontal. Sejak kecil aku mengakrabi tulisan karena lewat tulisan, aku bisa mengekspresikan segala hal yang aku mau tanpa batasan-batasan rasa malu, rendah diri, atau putus asa. Dengan menulis, aku bisa mengemukakan gagasan atau pikiran menurut cara yang aku mau.

Dalam dunia menulis fiksi yang kugeluti selama ini, aku bisa menciptakan sebuah kondisi yang aku kehendaki, lengkap dengan penokohan, alur, dan ending-nya. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengakui keberadaanku. Ternyata aku juga bisa menguasai dan mengendalikan sesuatu. Dua puluh dua buku antologi telah kuhasilkan sampai saat ini, sebagian besar adalah antologi fiksi. Namun, aku belum pernah menelurkan buku solo.

Oleh karena itu, aku ingin terus belajar menulis. Menulis novel itu butuh nafas panjang dan motivasi tiada henti. Bergabung dengan berbagai komunitas menulis, ikut dalam beragam event menulis dan proyek-proyek penerbitan buku, serta banyak membaca karya fiksi adalah beberapa cara yang kulakukan. Harapannya, kelak suatu hari nanti aku dapat menerbitkan buku solo yang selama ini draft-nya kutulis dengan tersendat-sendat.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Hal-hal yang Ingin Dipelajari”.

Thursday, June 30, 2022

Sehari dalam Hidupku

Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog” bulan Juni 2022 mengambil tema “Rutinitas Harian Mamah”. Beberapa mamah merasa khawatir tulisan mereka akan membosankan jika bercerita tentang kegiatan sehari-hari. Ummm, sebenarnya hal itu juga menjadi kekhawatiranku hahaha. Namun, konon katanya rutinitas itu membentuk struktur. Orang yang kesehariannya terstruktur dan tersistematis, katanya cenderung lebih berhasil dalam mencapai tujuan hidup. Jadi, baiklah … mari kita tuliskan saja. Siapa tahu mengandung hal yang bermanfaat serta membawa kebaikan bagi yang menulis dan membaca.

Gambar diambil dari sini

Pagi yang Rusuh

Sebagai ibu dari empat anak yang tiga di antaranya bersekolah, bagaimana aku memulai hari tentu sudah bisa dibayangkan. Aku bukan tipe morning person, melainkan tipe night owl. Jadi, jangan berpikir aku bangun di pagi buta, menyiapkan segalanya, lalu baru membangunkan anak-anak. Seringnya justru aku bangun ketika azan subuh sudah berkumandang beberapa menit sebelumnya, kriyep-kriyep sebentar sambil menggeliat, barulah berjalan ke kamar anak-anak untuk membangunkan mereka.

Grasak-grusuk ini akan lebih terasa hebohnya ketika aku bangun kesiangan dan anak-anak terlampau susah untuk dibangunkan. Sebagai pekerja kantoran yang mengejar jam masuk kerja sekaligus jam masuk sekolah anak-anak, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Dulu semasa kami tinggal di Bandung, hal ini tidak pernah menjadi masalah. Anak-anak berangkat dengan mobil jemputan, jadi aku tinggal mengurusi diriku sendiri. Aku bahkan masih sempat jogging sejenak sebelum berangkat kerja, mengingat jarak rumah-kantor yang cukup dekat dan bisa ditempuh hanya dalam waktu lima belas menit memakai motor.

Kini … jangan harap. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan. Apalagi kondisi PPKM sudah melonggar dan anak-anak sekolah sudah hadir secara tatap muka. Untungnya aku tidak harus sibuk berkutat dengan urusan dapur. Soal sarapan, ada Mbak ART yang bertugas mempersiapkan. Aku memang tidak bisa dan tidak suka memasak sehingga opsi berlangganan katering adalah opsi yang aku pilih untuk membuatku tetap waras.

Ciuman Sebelum Pergi

Sebelum pandemi melanda, aku dan suamiku sudah menjalani long distance marriage selama tiga belas tahun. Aku dan anak-anak pindah ke Tangerang Selatan tahun lalu sehingga bisa tinggal seatap dengan suami. Semenjak itu, ada satu rutinitas kecil yang selalu kami lakukan sebelum aku dan suamiku berpisah untuk berangkat ke tempat kerja masing-masing, yaitu ciuman sayang di punggung tangan dan di pipi.

We embrace every moment, we don’t take it for granted … karena kami tahu betul hal itu tak bisa kami lakukan ketika kemarin-kemarin kami menjalani LDM. Oleh karena itu, menguluk salam sambil mencium tangan dan pipi sebelum pergi menjadi semacam hal wajib sekarang. Kalau tidak dilakukan, rasanya ada yang kurang, seperti misalnya kalau salah satu dari kami sudah rusuh harus berangkat sementara yang satu masih di kamar mandi, hahaha.

Pergi Bekerja

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah mereka, aku lanjut menyetir ke tempat kerja. Aku bekerja di unit Quality Assurance pada sebuah instalasi nuklir. Dulu ketika di Bandung, instalasi nuklir itu berupa reaktor nuklir. Sekarang aku ditempatkan di instalasi pengelolaan limbah radioaktif.

Sebagai QA, tugasku memastikan penerapan dan pemenuhan terhadap standar, regulasi, dan persyaratan-persyaratan dari proses/kegiatan yang berlangsung di instalasi, mulai dari aspek keselamatan, keamanan, K3, lingkungan, hingga safeguard (keamanan sumber radioaktif dan bahan nuklir). Hari-hari yang sibuk biasanya hadir jika ada audit, inspeksi, atau pemeriksaan dari pihak yang berwenang. Pada hari-hari seperti itu, aku bisa mondar-mandir berkali-kali melayani pemeriksaan dari satu area ke area lain.

Pada hari-hari yang lebih santai, aku dan rekan kerja kadang melakukan botram, olahraga bersama, atau sekedar ngopi bareng di ruang kerja. Tak dapat dipungkiri, rekan-rekan kerja itu sudah seperti saudara. Sepertiga waktu dalam sehari dihabiskan bersama mereka. Merekalah yang bisa diandalkan dalam bermitra kerja, atau bila suatu saat terjadi kedaruratan–na’udzubillahi min dzalik. Kehangatan dan kekeluargaan itu bagiku sangat berpengaruh terhadap kenyamanan di tempat kerja.

Pulang Kerja

Sepulang dari kantor aku selalu menyempatkan diri untuk berolahraga. Karena pagi hari selalu rusuh, aku menempatkan slot waktu berolahraga pada sore hari. Kadang hal itu menjadi motivasiku untuk berangkat kerja, karena aku tahu setelah seharian bekerja aku akan menutup hari dengan mereguk endorfin dari aktivitas olahraga.

Dulu ketika di Bandung, olahraga yang kulakukan bervariasi antara senam aerobik, yoga, berlari, strength training, dan berenang. Di Tangerang Selatan aku belum menemukan studio dan gym yang cocok sehingga aku lebih banyak berlari sekarang. Jika menu lari hari itu di bawah 7 km, aku berlari di Perumahan Puspiptek dekat kantor yang relatif pendek jarak looping-nya. Namun, jika menu larinya di atas 7 km, aku memilih berlari di trek panjang Binloop–yang satu loop-nya sekitar 12 km di sepanjang boulevard Bintaro Jaya.

Jalanan Perumahan Puspiptek yang enak buat lari

Trek lari di sepanjang boulevard Bintaro Jaya


Malam Hari

Selepas petang biasanya aku baru sampai di rumah. Waktu-waktu setelah itu adalah family time. Aku mendampingi anak-anak menyantap makan malam, bermain, belajar, atau menonton televisi. Setelah anak-anak tidur, baru aku beralih ke me time.

Gambar diambil dari sini

Sambil menunggu suami pulang, aku mengerjakan hal-hal yang terkait dengan porsi pribadi. Biasanya aku membaca, menulis, atau mengaji di waktu-waktu ini. Kadang aktivitas tersebut baru selesai jauh lewat tengah malam. Yah, mau bagaimana lagi, hidup baru bisa terasa tenang jika anak-anak sudah tidur, hahaha.

Buku-buku antologiku, sebagian besar tulisannya dihasilkan di malam hari


Penutup

Sesibuk apa pun seorang ibu dalam keseharian, jangan sampai melewatkan waktu untuk menunaikan me time. Aktivitas ini bisa sangat beragam bentuknya, tergantung aktivitas apa yang paling pas untuk me-refresh mind, body, and soul.

Jika seorang ibu tidak sehat, entah itu fisik atau mentalnya, kehidupan sebuah keluarga akan menjadi timpang. Jika kondisi ibu tidak prima, bagaimana dia bisa mengurus keluarga dengan baik? Seorang ibu yang bahagia akan menghasilkan keluarga yang bahagia. Oleh karena itu, self care is not selfish. Waktu seorang ibu untuk menyeimbangkan dirinya menjadi sebuah kebutuhan. Dengan kewarasan inilah seorang ibu bisa mengutuhkan dirinya sehingga bisa memberi dengan maksimal untuk keluarga dan masyarakat.

Sunday, June 26, 2022

Manusia-Manusia Kuat

Peristiwa berpulangnya Eril akhir bulan lalu menyisakan banyak hal untuk diambil hikmahnya. Bukan hanya tentang keindahan kepribadiannya yang meninggalkan banyak kesan bagi orang-orang–baik yang mengenalnya maupun tidak–melainkan juga tentang keikhlasan, kekuatan, dan ketabahan yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya.

Siang tadi aku juga habis bertakziah ke rumah seorang sahabat dekat yang ditinggal berpulang pasangannya. Mereka selama ini hanya tinggal berdua karena anak tunggalnya telah meninggal bertahun-tahun silam karena sakit. Kami berpelukan lama sekali ketika aku tiba. Di balik air mata yang kadang membayang ketika kami berbincang, kurasakan kegetiran akibat kepergian suaminya yang begitu mendadak. Kejadian itu begitu berat, tetapi senyuman sudah mulai tersungging di bibirnya sedikit demi sedikit. Kurasa aku juga mulai melihat keikhlasan terpancar dari raut wajahnya.

Dalam kehidupan, seorang muslim adakalanya mengalami kondisi pelik ketika ia dihadapkan pada ujian berat, salah satunya adalah peristiwa kehilangan. Pada kondisi seperti itu, seorang muslim yang berpegang pada tali keimanan insyaallah akan merasa ikhlas dan sabar. Secara literal, ikhlas berasal dari bahasa Arab yang artinya murni, jernih, dan tanpa campuran apa pun. Sementara itu, sabar dalam bahasa Arab artinya menahan diri dari keluh-kesah. Orang yang sabar tidak gampang marah, kuat dan tabah menghadapi ujian, serta tidak mengeluh ketika menghadapi situasi sulit.

Memang tidak mudah menghibur seseorang yang sedang berduka. Kita semua akan berada pada posisi itu karena kematian adalah suatu keniscayaan yang waktunya sudah tertulis di Lauh Mahfuzh. Dengan meyakini bahwa kita tak kuasa menolak kematian, insyaallah rasa ikhlas dan sabar akan berhasil dihadirkan. Allah menjanjikan pahala dan berkah yang banyak kepada hamba-Nya yang sabar dalam menjalani kehidupan, terutama ketika mendapat musibah atau sedang dalam masa-masa yang sulit.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 155)

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Allah Ta'ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surga.’” (H.R. Bukhari)

Kita tidak meminta kepada Allah supaya ujian diringankan–karena bisa jadi ujian itu adalah cara kita untuk naik kelas–tetapi kita memohon supaya pundak kita dikuatkan dalam menghadapinya. Semoga kita menjadi salah satu hamba Allah yang selalu sabar dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian dalam kehidupan. Aamiin.