Sunday, October 28, 2012

Ekspektasi Terhadap Pasangan



Dalam pernikahan, kita cenderung memasang standar atau ekspektasi tertentu terhadap pasangan. Meskipun setelah bertahun-tahun mengenal pasangan membuat kita menyadari kenyataan besar bahwa pernikahan bukanlah dongeng putri dan pangeran, kadang kita masih saja terbuai pada harapan tentang “seandainya si dia begini dan begitu”.

Lalu apa sih sebenarnya pernikahan itu? Ibadah? Sunnah Rasul? Mengapa kita menikah? Apakah kita sudah menikah dengan orang yang tepat?

Tak hendak bicara soal agama di sini. Ilmu tentangnya masih amat dangkal. Yang kutahu, pertanyaan “is he/she the one?” mungkin sudah terlambat ketika kita sudah mengarungi pernikahan. Tak jadi soal apakah si dia orang yang tepat, toh kita sudah mngikat janji suci dengannya. Kalau kita masih berpikir bahwa pernikahan adalah sekali seumur hidup, maka pertanyaan tersebut hendaknya sudah dicoret dari daftar. Nyatanya hanya si dia kan, orang yang berani maju meminang kita, dan bukan orang lain? Berani berkomitmen menikahi kita, tentu sudah menjadi jaminan bahwa si dia memang tidak main-main dengan kita.

Dalam kenyataannya, pasangan adalah manusia biasa yang ”dari sononya” punya sepaket kelebihan dan kekurangan. Adalah hal yang biasa kala mendapati ekspektasi kita terjun bebas karena bertentangan dengan realitas. Tapi apakah hal itu akan lantas membuat kita patah hati? Bisa ya, bisa tidak. Menurut Teh Ninih (ada yang tidak tahu siapa beliau?), ketika kekesalan kita pada pasangan memuncak, yang terlihat hanyalah keburukan. Penawar darinya adalah: pertama, istighfar dulu. Lalu ingat segala kebaikan pasangan, sekecil apapun itu, yang kemudian lambat laun akan terlihat berjuta kali lebih banyak.

Belajar dari hubungan Tom dan Lynette di serial Desperate Housewives, ketika salah satu menuntut hal yang terlalu tinggi dari pasangannya, hubungan akan berakhir tidak baik. Adalah hukum alam ketika salah satu pihak menuntut, maka pihak lain akan gantian menuntut juga. Sadari hal itu benar-benar. Pantaskah kita menuntut sesuatu dari pasangan? Siapkah bila kita juga dituntut oleh pasangan? Menyadari bahwa kita adalah manusia biasa yang juga memiliki banyak kekurangan, tak adil rasanya bila ekspektasi kita pada pasangan lantas menafikan segala kekurangannya.

Untuk menutup tulisan yang lebih tampak seperti racauan ini, aku ingin menuliskan script dialog dari Tom dan Lynette.

Our problems looked this big (sambil merentangkan kedua tangan), so I went away. But now, I realise they only seem that way because we were so close up against them. And they were blocking me from seeing how much I love you, which is... (sambil menengadahkan tangan ke langit). I see that now. And I need to tell you that because you have to say this things while you still can... because you, Lynette, you will always be the love of my life.” (Tom Scavo, DH 8)

Renee and Ben. Your wedding is one of the best days of your life because it’s the day you realise, I finally have the thing I need to be happy… And then you forget. So, then, what happens is, instead of waking up every morning and shouting somebody loves me, you start looking around and thinking, what do I want now? What’s the next thing I need to be happy? So, you look and you look and you keep thinking you’ve found it, but nothing works. And the reason that nothing works is because… that hole in your heart that you’re trying to fill… Is already filled. You just forgot. Don’t ever forget. Always remember how much you wanted to be loved. And how much you are loved. And I think if you can do that, and it isn’t easy, you will stop looking and realise you already are happy. To Renee and Ben and to remembering.” (Lynette Scavo, DH 8)

Hei, Kamu...

Hei, kamu...
Setelah bertahun-tahun aku masih saja merindukan sosokmu,
Riang berkelebat dalam imaji,
Mendengarkanku berceloteh dengan perhatian penuh.

Hei, kamu...
Tahukah kamu, aku sangat merindukan malam itu?
Kita mengurai canda dan merajut jalinan kata,
Lalu merangkai diskusi sampai pagi.

Hei, kamu...
Yang selalu lapang menerimaku,
Memberiku semangat dan inspirasi,
Menguatkanku, bukan melemahkanku.

Hei, kamu...
Kapan lagi,
Kita ramai bertukar informasi,
Bertukar binar mata sambil saling menggenggam jemari?

Ah, kamu yang kurindu...
Nyata kah?
Atau hanya ada dalam khayalku?

Tuesday, September 18, 2012

Rivalitas Program Studi


Menjadi mahasiswa S2 benar-benar membawa pengalaman yang berbeda buatku. Dalam hal mengambil mata kuliah pilihan, aku bebas mengambil apa saja, bahkan yang berbeda fakultas sekalipun. Mata kuliah pilihanku di semester tiga ini masih tidak jauh-jauh dari dunia keilmuanku sih, tapi kali ini aku mencoba menyeberang ke program studi satunya untuk mengambil mata kuliah yang menarik minatku.

Pertama kali masuk, aku terlambat. Hihihihi. Oleh dosennya aku disuruh duduk di depan. Okelah. Oh wow, sekelilingku mahasiswa S1 semua. Tak apalah, malah berasa lebih muda. Hehehehe. Sepanjang kuliah sore itu, aku terperangah. Kadang berpikir sejenak. Lalu tertegun.

Apa pasal? Hmm, sejujurnya bukan konten kuliah yang membuatku seperti itu. Dosen yang sudah lumayan senior itu membuatku berekspresi demikian karena dari kata-katanya tersirat rivalitas program studi (prodi) yang sangat kental. Komentar-komentarnya hampir selalu menyindir dan menjelekkan prodi sebelah—yang adalah prodi tempatku menimba ilmu selama ini—hingga membuatku berpikir keras: ada apa dengan hubungan kedua belah pihak selama ini.

Tak hanya dalam kesempatan itu, pada kuliah-kuliah berikutnya beliau tetap pada gayanya yang meremehkan “prodi sebelah” itu. Sampai-sampai aku ingin sekali berseru, “Saya dari prodi sebelah lho, Pak!”

Buatku pribadi, kuliah yang menarik adalah kuliah yang di dalamnya aku dapat mengambil nilai lebih (added value) dari sekedar konten atau materi kuliah. Aku suka sekali pada dosen-dosenku yang selama ini selalu memberi nilai lebih pada kuliahnya. Meskipun materi kuliah tergolong susah dan tidak menyenangkan, aku masih semangat masuk kelas pada kuliah-kuliah semacam ini karena dosen-dosen itu memberi encouragement, motivasi, dan inspirasi tentang hidup dan kehidupan. Sehingga kuliah tidak terasa kering, melainkan full of spirit hingga membuatku melongo takjub di dalam kelas dan merenung dalam-dalam di luar kelas. Hormatku pada Pak Budi Rahardjo dan Pak Armein Z. R. Langi, dosen-dosenku yang dengan pas memenuhi deskripsiku pada paragraf ini. Kebetulan keduanya adalah sosok yang ahli di bidangnya dan pada keduanya kutemukan makna kata “integritas”. Monggo kalau ada yang tertarik main ke blog beliau berdua, silakan mencari inspirasi dari sana ya.

Kembali pada awal tulisan ini, ada yang mengusik sanubari (cieehh bahasanya) ketika dosen senior dari prodi sebelah itu menyindir-nyindir dosen-dosen yang kukagumi. Kritiknya terhadap mereka otomatis menjadi kritik terhadapku karena betapa klopnya cara berpikirku dengan cara berpikir dosen favoritku itu. Apakah selama ini ada rivalitas yang tak kentara dan tak kupahami? Ah entahlah, mengapa dosen senior itu jadi menjelek-jelekkan begitu ya? Padahal ini masih satu fakultas, satu kampus. Bagaimana kalau beda kampus? Bisa lebih parah meremehkannya.

Ngeri sama yang namanya arogansi. Ya Allah, jauhkanlah.

Thursday, July 12, 2012

Mas Hanif

kehadiran adiknya, mau tidak mau membuat hanif lebih mandiri,
dan subhanallah.. dia menjalaninya tanpa rasa cemburu dan iri.

ah, sulung bunda ini memang benar anak sholeh :-*

November 29 at 11:48pm via mobile

Ada yang meleleh di hati ini tiap kali mengingat kebaikan-kebaikan Hanif pada adiknya. Sejak Abi lahir ke dunia, sejauh ingatanku, tak pernah sedetikpun ada masa di mana ia merasa cemburu.

Tak ada rasa kesal karena merasa tersaingi oleh adiknya.
Tak ada pukulan jengkel, atau usikan jahil, apalagi dendam kesumat.

Yang ada hanyalah:
Rasa panik ketika melihat adiknya menangis, hingga ia sibuk berusaha menghibur dengan kalimat “sssshh sssshh” atau sibuk memanggil bunda atau eyang.
Rasa sayang teramat besar, hingga membuat dia mengelus atau mengecup adiknya tiap kali mendekat.
Rasa tak rela ketika tiba waktunya si adik tidur, karena ia masih ingin bermain-main bersama.
Rasa tanggung jawab sedemikian mengharukan, hingga bunda merasa aman menitipkan si adik padanya. Karena ketika bunda terpaksa meninggalkan si adik, meski cuma sebentar, Hanif akan menghibur, mengajak ngobrol, atau bernyanyi untuk si adik.

Status di atas kubuat beberapa hari setelah Abi lahir. Dan Hanif tetap demikian adanya sampai detik ini. Di usia Abi yang hampir delapan bulan, ia kini sudah mengerti bagaimana rasa sayang sang kakak terhadapnya, hingga ia akan melonjak-lonjak kegirangan tiap kali Hanif mendekat.

Doa tulus bunda untukmu, Hanif sayang. Tak pernah henti dilangitkan. Karena telah menjadi kakak yang paling hebat.








Tulisan terkait:

Mencari Sebuah Gendongan

Tidak boleh menggendong anak! Kalimat tegas dan lugas yang keluar dari mulut dokter itu membuatku tertegun seketika. Belum habis rasa kagetku, kalimat larangan berikutnya mengalir bagai air bah: tak boleh senam, tak boleh loncat-loncat, tak boleh mengangkat barang berat, dan seterusnya. Ketika aku keluar dari ruang praktek dokter spesialis tulang belakang itu, raut mukaku meredup. Kugigit bibir untuk menahan pilu. Aku seorang bunda, bagaimana mungkin tak boleh menggendong anak?

Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu ketika dokter memvonisku dengan kelainan skoliosis. Skoliosis adalah kelainan bentuk tulang belakang yang ditandai melengkungnya tulang belakang ke arah samping kanan atau kiri. Kata skoliosis berasal dari bahasa Yunani scolios yang artinya bengkok atau berputar. Jika dilihat dari belakang, tulang punggung yang normal berbentuk garis lurus dari leher sampai ke tulang ekor. Sedangkan pada penderita skoliosis, akan tampak adanya satu atau lebih lengkungan ke samping yang tidak wajar pada punggung.

Ternyata skoliosis-lah penyebab sering munculnya pegal-pegal di punggung ketika beraktivitas selama ini, terutama ketika melakukan aktivitas yang banyak mengandalkan punggung sebagai penopang. Menggendong anak adalah salah satunya. Semenjak vonis skoliosis itu datang, tiba pula waktunya mencari tahu bagaimana menjadikan aktivitas menggendong anak menjadi sesuatu yang tidak memberati punggung. Maka tanpa disadari, mulailah aku “berburu” gendongan yang nyaman.
Pilihan pertama jatuh pada jarik atau slendang (Bahasa Jawa), kain batik panjang yang biasa digunakan untuk menggendong secara tradisional. Apa pasal? Tak lain dan tak bukan karena aku punya beberapa jarik yang diberikan oleh ibu mertua tiap kali aku melahirkan. Tapi ternyata aku tak mahir menggunakan kain gendongan satu ini. Tali simpul tak pernah kencang benar, anak-anak serasa mau melorot saja. Buatku tak nyaman, buat anak apalagi. Khusus buat skoliosisku, gendongan ini juga tak cocok karena memberati punggung hanya pada satu sisi. Hal yang harus dihindari jauh-jauh karena dapat mengakibatkan kelengkungan punggung bertambah secara progresif.
Digendong dengan jarik, si dedek terlihat tidak nyaman.

Pilihan berikutnya adalah kain gendongan instan dengan ring besi untuk kaitan simpul. Hmm, bagus karena aku tak perlu terlalu sering membetulkan ikatannya, pikirku. Tinggal masuk langsung jadi. Cukup nyaman buat anak-anakku. Tapi gendongan ini ternyata masih membuatku pegal. Tentu saja, karena ia masih memberati punggung hanya pada satu sisi.

Setelah cukup lama tengok sana-sini, akhirnya aku melirik kain gendongan modern atau yang lebih populer dengan sebutan babywrap. Memang agak ribet cara pakainya karena harus dibelitkan ke seluruh tubuh. Memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk menggendong anak, meski hal itu bisa dieliminasi dengan banyaknya jam terbang. Kurasa aku cukup puas dengan gendongan model ini. Anak terdekap sempurna dengan berbagai cara, dan yang terpenting: kain gendongan ini membagi rata beban ke seluruh bahu dan punggung sehingga aku tidak cepat pegal.


Gendongan pembagi beban.

Terlepas dari apapun kain gendongan yang dipilih, kurasa sangat sulit bagi seorang bunda untuk tidak menggendong anaknya. Menggendong anak itu aktivitas alami yang dapat mempererat bonding, serta memberi rasa nyaman dan aman pada anak. Bahkan pada kasus anak sakit atau anak lahir prematur, aktivitas menggendong bisa jadi bagian dari solusi mempercepat penyembuhan dan peningkatan berat badan. Khusus untuk pengidap kelainan skoliosis yang tak bisa disembuhkan seperti diriku, aktivitas menggendong ternyata juga bisa menjadi ajang kontemplasi untuk lebih peduli, menghargai, dan sayang terhadap tubuh sendiri.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba di sini.
Naskah aslinya berada di sini.

Saturday, May 05, 2012

[Hanif] Berbagi Mainan


Sudah lama aku merasa gerah dengan mainan-mainan Hanif yang banyaknya sampai tiga kontainer itu. Sebagian besar di antaranya adalah mobil-mobilan. Paling sebal kalau dia mulai menumpahkan kontainer dan membuat isinya berserakan. Makin sebal lagi kalau tiap minggu dia masih minta mobil-mobilan dan ayahnya dengan gampang menurutinya.

Sudah lama pula aku punya keinginan untuk mengajarkan Hanif sesuatu, bahwa ada anak-anak di luar sana yang tidak seberuntung dirinya yang berkelimpahan mainan. Dulu aku menawarinya komitmen: kalau ada mainan yang masuk, maka harus ada mainan yang keluar. Maksudnya ‘keluar’ di sini adalah menyumbangkan mainannya untuk anak-anak panti asuhan yang pernah kami kunjungi dulu. Namun, selalu saja dia menolak, mungkin masih merasa sayang dengan mainan-mainannya itu.

Akhirnya pagi tadi, setelah diawali dengan episode nangis-nangis, jadilah kami menjalani komitmen itu. Terharu rasanya Hanif mau diajak memilah dan menyortir mainannya: mana yang akan disimpan buat dirinya, mana yang sudah rusak dan perlu dibuang, serta mana yang akan disumbangkan ke panti asuhan. Setelah tersortir, mainan-mainan yang akan disumbangkan dimasukkan ke kotak, diselotip rapi, dan dimasukkan ke kantong plastik.

Menjelang siang, Hanif dan ayahnya siap berangkat. Satu agenda untuk ‘mengajarkannya sesuatu’ akhirnya terselesaikan. Semoga ke depan, Hanif tumbuh menjadi anak yang suka bersyukur, berbagi, dan berempati dengan kesusahan orang lain.