Mengerutkan kening ketika membaca judul di atas? Begitu juga ekspresiku ketika pulang ke Solo 7-15 Maret lalu. Betapa tidak, Solo sudah berubah. Terakhir ketika aku menulis perasaanku tentang Solo di sini, waktu itu saja aku sudah terbengong-bengong. Apalagi sekarang: tercengang-cengang bo!
Industri gaya hidup ternyata sukses merambah Solo. FO dan kafe bertebaran dalam berbagai bentuk, menyaingi warung lesehan dan angkringan yang sudah lebih dulu merakyat. Salah satu mal besar di jalan protokol kota bahkan dengan bangga memasang slogan ”lifestyle center” dengan huruf besar-besar. Di dalamnya, berderet gerai-gerai gaya hidup semacam gerai donat bermerk dagang nasional, kafe kopi, distro, plus gerai-gerai belanja-barang-mahal lainnya.
Ketika aku dan suami berkesempatan jalan-jalan di dalam mal ini, kami merasa bak berada di Bandung. Kalau di Bandung—yang notabene merupakan salah satu pusat industri gaya hidup—mal-mal semacam ini sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Tapi hei, ini di Solo. Berasa de javu deh. Dan ehm, mal ini sepi pembeli. Bandingkan saja dengan mal-mal lain yang lebih proletar, apalagi Pasar Klewer! Hehehe...
Orang-orang yang sempat kutanya mengenai mal ini, semuanya berkomentar, ”Habis di situ mahal-mahal...”. Hmm, ternyata masyarakat Solo masih memandang mal-gaya-hidup ini sebagai pusat perbelanjaan yang terlampau mahal. Lucu juga menyimak komentar suami, ”Kasihan deh kita ya. Pulang ke Solo tetep aja berasa di Bandung.”. Atau komentarnya yang lain, ”Emang kafe kopi gitu laku ya di sini... di angkringan 2000 perak juga udah dapet kopi enak.”
Masih seputar gaya hidup, ada satu lagi hal yang membuatku tercengang. Di area yang dulunya adalah bekas bangunan RSUP dr. Muwardi—sebelum pindah ke Jebres—kini sedang dibangun kompleks hotel, apartemen, dan mal *aduhh... mal lagi, mal lagi*. Padahal jalan raya di sekelilingnya sempit sekali. Terbayang dong, seperti apa kemacetan yang bakal terjadi. Nah, yang jadi pertanyaan, proyek ini adalah proyek berdasar kebutuhan atau semata-mata proyek komersial, alias another industri gaya hidup? Sepertinya jawaban terakhir yang lebih tepat.
Coba pikirkan. Memangnya sudah zaman ada apartemen di Solo? Atas dasar apa? Bukankah lahan masih banyak, harga tanah masih murah? Akses ke mana-mana juga mudah dan terjangkau, tidak ada berlama-lama macet seperti di Jakarta. Jadi menurutku, apartemen di pusat kota tidak terlalu diperlukan. Lha wong transportasi dari pinggir kota ke pusat kota cuma membutuhkan waktu sekira 15-20 menit, maksimal setengah jam. Aku curiga, semua ini memang semata-mata industri gaya hidup.
Uhh, gaya hidup.... Apa sih sebenarnya yang dimaksud gaya hidup? Apakah gaya hidup artinya berbondong-bondong membangun hotel, apartemen, kafe, dan mal? Atau ramai-ramai nongkrong di kafe dan menyeruput kopi yang harga segelasnya setara dengan sepuluh bungkus nasi kucing? Hmm, atau asyik menanggalkan budaya Solo yang malu-malu dan menggantinya dengan balutan tank top dan celana pendek? Jangan salah, yang terakhir ini sudah mulai banyak lho, cukup membuat mataku gerah dan kepalaku geleng-geleng.
Don’t get me wrong, aku bukannya bersikap sinis dengan kemajuan kota Solo. Siapa tahu batin terdalam masyarakat Solo memang menginginkan segala kemajuan itu, tak terkecuali industri gaya hidupnya. Barangkali ada yang berkeinginan supaya lebih gampang belanja baju mungkin? *hmm, perumpamaan yang cetek, hehehe*
Jauh di lubuk hatiku, aku merindukan Solo yang proletar dengan segala kebersahajaannya. Ingin menangis rasanya kalau budaya malu-malu, ewuh pakewuh itu menguap begitu saja tergilas zaman, demi sesuatu yang bernama gaya hidup. Bolehlah Solo maju, asal tidak lupa dengan akar kejawaannya. Semoga segala sesuatu yang berbau modernitas kebaratan bisa diambil yang baik-baiknya saja, tanpa meninggalkan unggah-ungguh dan tata krama. *hayyaaahhh, ngomong apa aku ini*