Meet my second son: Muhammad Abimanyu Martono :)
Akhirnya resmi sudah namanya, pada saat aqiqah di hari ke-14 setelah kelahirannya. Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan” (sumber dari sini). Dalam kisah pewayangan, Abimanyu adalah putra Arjuna dan ia adalah ksatria termuda dari pihak Pandawa dalam peperangan Bharatayuddha.
Meskipun konsep nama ini sudah di-godhog sebelum Abi lahir, ternyata proses kelahirannya membawa kenangan tersendiri akan arti sebuah keberanian. Dan tanpa rasa takut, Abi berhasil melaluinya.
Kisah kelahiran Abi bermula pada Sabtu, 19 November 2011. Sehari menjelang HPL, tak ada juga tanda-tanda mau melahirkan. Dokter kandungan langganan menyarankan untuk melakukan CTG guna merekam detak jantung dan gerakan janin, sekaligus untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Hasil CTG memang menunjukkan kalau semuanya baik-baik saja dan beberapa kontraksi lemah sudah mulai berlangsung. Pada saat CTG, setelah diperiksa dalam, ternyata aku sudah pembukaan dua. Akibat periksa dalam pada saat CTG itu, ketika kami pulang dari rumah sakit, kontraksi makin sering terjadi.
Sabtu menjelang tengah malam, setelah memastikan Hanif baik-baik saja di bawah penjagaan Mbak Nunung (asisten yang pulang hari) karena pengasuhnya sedang izin pulang kampung, aku diantar suami ke rumah sakit. Tengah malam itu aku sudah pembukaan empat. Segera masuk kamar bersalin untuk bersiap.
Minggu dini hari pukul setengah empat, pembukaan baru mencapai bukaan enam. Berasa aneh, mengapa proses pembukaan berjalan sangat lambat, tidak seperti waktu kelahiran Hanif dulu? Minggu pukul delapan pagi, diputuskan untuk dilakukan induksi karena sudah empat setengah jam proses pembukaan tidak mengalami kemajuan dari bukaan enam.
Ya Allah, baru kali ini merasakan diinduksi. Tak berhasil menepis khawatir karena pernah mendengar cerita bahwa kontraksi hasil induksi akan jauh lebih sakit dibanding kontraksi yang terjadi secara alami. Dan memang benar, selama satu setengah jam kemudian, aku benar-benar merasakan apa yang namanya perjuangan. Progres pembukaan berlangsung cepat, dan pada 20 November 2011 pukul 09.45 Abi lahir.
Dari sinilah perjuangan yang lain dimulai. Entah akibat menelan air ketuban atau akibat terlilit tali pusar, tangisan Abi tak jua keras. Setelah dilakukan observasi, ternyata Abi harus segera diberi oksigen melalui selang dan tak bisa melanjutkan proses IMD. Akibatnya Abi juga tak bisa rawat gabung denganku karena harus diobservasi intens di kamar bayi. Saat itu, di tengah rasa lemas habis melahirkan, hatiku diliputi oleh berbagai kegalauan. Galau terhadap perkembangan kondisi Abi, juga galau memikirkan Hanif yang ditinggal di rumah tanpa ayah bundanya.
Tak bisa IMD dan rawat gabung membuatku bertekad bahwa Abi tetap harus bisa ASI eksklusif. Maka perjuangan berikutnya dimulai. Karena Abi terikat dengan alat pulse oximeter di kamar bayi, maka per 2-3 jam aku harus datang untuk menyusuinya. Hal ini sangat melelahkan untuk seseorang yang baru saja melahirkan, karena itu berarti aku harus mengabaikan rasa sakit dan rasa lelah, juga mengabaikan panggilan tidur meski terasa sangat mengantuk. Alhasil selama tiga hari di rumah sakit, bisa dibilang aku hanya tidur sekedarnya. Tapi ini tak masalah, karena dari awal aku sudah berniat memberinya ASI eksklusif.
Hati bunda mana yang tak pilu melihat bayinya diselang-selang begitu. Satu selang untuk oksigen, satu selang untuk sonde, dan kabel di kaki yang terhubung dengan pulse oximeter. Observasi terus dilakukan, tapi tiap kali selang oksigen dicoba dilepas, proses oksigenasi Abi menjadi tidak stabil. Bahkan di awal-awal tubuhnya sempat membiru.
Ada suatu masa ketika aku sempat tergugu memangkunya, yaitu ketika suster mengatakan kalau badan Abi demam akibat asupan ASI yang kurang, dan menyuruhku mempertimbangkan pemakaian susu formula untuk memperbanyak asupan ke tubuhnya. Jujur, waktu itu aku sangat takut kalau-kalau niat kuatku untuk memberinya ASI eksklusif justru akan membahayakan dirinya. Kata suster, untuk seorang bayi yang sehat, jumlah ASI yang sedikit di awal-awal memang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Tapi untuk kondisi Abi yang kurang sehat, tidak diperlukan adanya ancaman tambahan seperti kurang asupan ASI yang dapat menyebabkannya demam dan kuning. Salah-salah malah harus disinar sehingga akan makin lama pulihnya, mengingat waktu itu proses oksigenasinya juga belum stabil.
Hasil rembugan dengan suami membuatku tetap keukeuh pada rencana ASI eksklusif sambil melihat perkembangan kondisi Abi. Selasa pagi aku sudah boleh pulang, tapi kepastian untuk Abi belum juga muncul. Mana mungkin aku bisa pulang ke rumah tanpa dia. Akan lebih susah lagi proses ASI eksklusifnya nanti. Alhamdulillah demamnya sudah turun, dan setelah dites darah pun kadar bilirubinnya tidak tinggi. Artinya asupan ASI selama itu cukup. Yang lebih membahagiakan lagi: ketika selang oksigen dilepas, proses oksigenasinya sudah stabil! Alhamdulillah, akhirnya Abi diizinkan pulang bersamaku.
Perjuangan demi perjuangan yang aku dan Abi lalui membawaku pada muara syukur yang tak terkira. Betapa proses melahirkan itu sangat bergantung pada skenario Allah Sang Maha. Seberapa sempurnanya kita mencoba merencanakan sesuatu (IMD dan rawat gabung), kalau Allah tak berkehendak, ya tidak terjadi. Juga terpetik hikmah bahwa niat yang terhujam kuat pasti akan mendapat ujian yang lebih berat (dalam hal ini: niat untuk ASI eksklusif). Barangkali itu cara Allah untuk menguji seberapa kuat niat dan ikhtiar kita.
Alhamdulillah aku dan Abi berani dan berhasil melaluinya. Abi anakku yang hebat, sudah begitu berani berjuang bahkan sejak usia awal kehidupannya. Benar-benar tak salah aku berniat menamainya Abimanyu.
Jadi, selamat datang ke dunia, dedek Abi. Bunda, Ayah, dan Mas Hanif sungguh menyayangimu.
Akhirnya resmi sudah namanya, pada saat aqiqah di hari ke-14 setelah kelahirannya. Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan” (sumber dari sini). Dalam kisah pewayangan, Abimanyu adalah putra Arjuna dan ia adalah ksatria termuda dari pihak Pandawa dalam peperangan Bharatayuddha.
Meskipun konsep nama ini sudah di-godhog sebelum Abi lahir, ternyata proses kelahirannya membawa kenangan tersendiri akan arti sebuah keberanian. Dan tanpa rasa takut, Abi berhasil melaluinya.
Kisah kelahiran Abi bermula pada Sabtu, 19 November 2011. Sehari menjelang HPL, tak ada juga tanda-tanda mau melahirkan. Dokter kandungan langganan menyarankan untuk melakukan CTG guna merekam detak jantung dan gerakan janin, sekaligus untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Hasil CTG memang menunjukkan kalau semuanya baik-baik saja dan beberapa kontraksi lemah sudah mulai berlangsung. Pada saat CTG, setelah diperiksa dalam, ternyata aku sudah pembukaan dua. Akibat periksa dalam pada saat CTG itu, ketika kami pulang dari rumah sakit, kontraksi makin sering terjadi.
Sabtu menjelang tengah malam, setelah memastikan Hanif baik-baik saja di bawah penjagaan Mbak Nunung (asisten yang pulang hari) karena pengasuhnya sedang izin pulang kampung, aku diantar suami ke rumah sakit. Tengah malam itu aku sudah pembukaan empat. Segera masuk kamar bersalin untuk bersiap.
Minggu dini hari pukul setengah empat, pembukaan baru mencapai bukaan enam. Berasa aneh, mengapa proses pembukaan berjalan sangat lambat, tidak seperti waktu kelahiran Hanif dulu? Minggu pukul delapan pagi, diputuskan untuk dilakukan induksi karena sudah empat setengah jam proses pembukaan tidak mengalami kemajuan dari bukaan enam.
Ya Allah, baru kali ini merasakan diinduksi. Tak berhasil menepis khawatir karena pernah mendengar cerita bahwa kontraksi hasil induksi akan jauh lebih sakit dibanding kontraksi yang terjadi secara alami. Dan memang benar, selama satu setengah jam kemudian, aku benar-benar merasakan apa yang namanya perjuangan. Progres pembukaan berlangsung cepat, dan pada 20 November 2011 pukul 09.45 Abi lahir.
Dari sinilah perjuangan yang lain dimulai. Entah akibat menelan air ketuban atau akibat terlilit tali pusar, tangisan Abi tak jua keras. Setelah dilakukan observasi, ternyata Abi harus segera diberi oksigen melalui selang dan tak bisa melanjutkan proses IMD. Akibatnya Abi juga tak bisa rawat gabung denganku karena harus diobservasi intens di kamar bayi. Saat itu, di tengah rasa lemas habis melahirkan, hatiku diliputi oleh berbagai kegalauan. Galau terhadap perkembangan kondisi Abi, juga galau memikirkan Hanif yang ditinggal di rumah tanpa ayah bundanya.
Tak bisa IMD dan rawat gabung membuatku bertekad bahwa Abi tetap harus bisa ASI eksklusif. Maka perjuangan berikutnya dimulai. Karena Abi terikat dengan alat pulse oximeter di kamar bayi, maka per 2-3 jam aku harus datang untuk menyusuinya. Hal ini sangat melelahkan untuk seseorang yang baru saja melahirkan, karena itu berarti aku harus mengabaikan rasa sakit dan rasa lelah, juga mengabaikan panggilan tidur meski terasa sangat mengantuk. Alhasil selama tiga hari di rumah sakit, bisa dibilang aku hanya tidur sekedarnya. Tapi ini tak masalah, karena dari awal aku sudah berniat memberinya ASI eksklusif.
Hati bunda mana yang tak pilu melihat bayinya diselang-selang begitu. Satu selang untuk oksigen, satu selang untuk sonde, dan kabel di kaki yang terhubung dengan pulse oximeter. Observasi terus dilakukan, tapi tiap kali selang oksigen dicoba dilepas, proses oksigenasi Abi menjadi tidak stabil. Bahkan di awal-awal tubuhnya sempat membiru.
Ada suatu masa ketika aku sempat tergugu memangkunya, yaitu ketika suster mengatakan kalau badan Abi demam akibat asupan ASI yang kurang, dan menyuruhku mempertimbangkan pemakaian susu formula untuk memperbanyak asupan ke tubuhnya. Jujur, waktu itu aku sangat takut kalau-kalau niat kuatku untuk memberinya ASI eksklusif justru akan membahayakan dirinya. Kata suster, untuk seorang bayi yang sehat, jumlah ASI yang sedikit di awal-awal memang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Tapi untuk kondisi Abi yang kurang sehat, tidak diperlukan adanya ancaman tambahan seperti kurang asupan ASI yang dapat menyebabkannya demam dan kuning. Salah-salah malah harus disinar sehingga akan makin lama pulihnya, mengingat waktu itu proses oksigenasinya juga belum stabil.
Hasil rembugan dengan suami membuatku tetap keukeuh pada rencana ASI eksklusif sambil melihat perkembangan kondisi Abi. Selasa pagi aku sudah boleh pulang, tapi kepastian untuk Abi belum juga muncul. Mana mungkin aku bisa pulang ke rumah tanpa dia. Akan lebih susah lagi proses ASI eksklusifnya nanti. Alhamdulillah demamnya sudah turun, dan setelah dites darah pun kadar bilirubinnya tidak tinggi. Artinya asupan ASI selama itu cukup. Yang lebih membahagiakan lagi: ketika selang oksigen dilepas, proses oksigenasinya sudah stabil! Alhamdulillah, akhirnya Abi diizinkan pulang bersamaku.
Perjuangan demi perjuangan yang aku dan Abi lalui membawaku pada muara syukur yang tak terkira. Betapa proses melahirkan itu sangat bergantung pada skenario Allah Sang Maha. Seberapa sempurnanya kita mencoba merencanakan sesuatu (IMD dan rawat gabung), kalau Allah tak berkehendak, ya tidak terjadi. Juga terpetik hikmah bahwa niat yang terhujam kuat pasti akan mendapat ujian yang lebih berat (dalam hal ini: niat untuk ASI eksklusif). Barangkali itu cara Allah untuk menguji seberapa kuat niat dan ikhtiar kita.
Alhamdulillah aku dan Abi berani dan berhasil melaluinya. Abi anakku yang hebat, sudah begitu berani berjuang bahkan sejak usia awal kehidupannya. Benar-benar tak salah aku berniat menamainya Abimanyu.
Jadi, selamat datang ke dunia, dedek Abi. Bunda, Ayah, dan Mas Hanif sungguh menyayangimu.