Monday, November 08, 2010

Mengelus Dada

[ditulis sambil menghela nafas dalam-dalam]

Hari ini aku kembali menghadapi cercaan tentang pilihanku berkarir, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak dicerca dengan cercaan serupa. Mereka yang mencerca beralasan, tempat setiap perempuan berkeluarga adalah di rumah. Perempuan berkeluarga yang multifungsi tidak bisa maksimal memberi untuk anak dan suaminya.

Bukannya aku tak tahu ya. Bahkan sebenarnya cercaan itu klise, karena hal semacam itu sudah menjadi pemikiranku sejak lama. Bagi yang jarang mengikuti sepak terjangku di blog ini mungkin tak terlalu tahu masa-masa kritis dulu saat aku menghadapi dilema antara berkarir atau tetap menjadi stay-at-home mom. Tapi yang jelas, pada awalnya aku berkarir adalah untuk mengabulkan harapan suami tentang memiliki istri bekerja, meskipun setengah mati aku ingin di rumah saja. Waktu demi waktu berlalu, aku pisah kota dengan suami, punya anak, dan here I am... tetap menjalani pilihan menjadi perempuan bekerja, lengkap dengan segala konsekuensinya.

Nikmatkah hidupku? Pendewasaan bertumbuh dan aku tak lagi menyalahkan siapapun. Nikmat atau tidak nikmat itu bukan urusanku, karena urusanku hanyalah bagaimana berusaha menjalani hidup ini sebaik mungkin, sebermanfaat mungkin, sembari terus mensyukuri nikmat Gusti Allah, sekecil apapun.

Maka ketika ada orang nyinyir berkomentar, padahal tidak tahu bagaimana pastinya isi rumah tanggaku, kok rasanya sedikit mengelus dada ya. Sudah pasti aku menjalani pilihan ini setelah berpikir panjang, bukan keputusan serta merta. Lagipula aku juga tidak pernah usil mengurusi—apalagi mencerca—pilihan perempuan-perempuan lain untuk bekerja atau tetap tinggal di rumah saja. Berkarir atau memilih menjadi stay-at-home mom menurutku sama mulianya, asal ditempatkan sebagaimana mestinya. Apa pula yang mesti diperdebatkan?

Friday, November 05, 2010

Kematian

Masih terekam dalam ingatan, bagaimana sosok jenazah Mbah Maridjan membujur kaku dalam keadaan sujud. Juga masih terngiang jelas hingga membentuk imaji yang lekat dalam benak, ketika seorang teman kantor bercerita bahwa di R.S. dr. Sardjito ada jenazah seorang ibu dengan anak batita di gendongan. Keduanya membujur kaku akibat terjangan awan panas.

Masya Allah. Sampai detik ini, masih juga diri ini diliputi pertanyaan: bagaimana detik-detik mereka meregang nyawa? Mengingat kecepatan awan panas mencapai ratusan kilometer per jam dan kejadiannya hanya memakan waktu beberapa detik, sempat merasa sakitkah mereka?

Semua orang ingin husnul khatimah. Semua orang tidak ingin merasa sakit saat nyawa tercabut. Tapi bisakah? Pantaskah diri ini mendapat privilege itu?

Pada akhirnya, sesuatu itu adalah kematian. Siapkah diri ini ketika malaikat maut menghampiri?

Update:

Saat tulisan ini dibuat, Merapi masih terus mengamuk. Lebih besar daripada letusan pertama pada 26 Oktober 2010. Daerah rawan diperluas hingga radius 20 kilometer. Luncuran awan panas mencapai hingga 10 kilometer. Dan yang lebih membuatku sedih, korban meninggal terkena awan panas terus bertambah, di mana sebenarnya hal ini bisa dihindari mengingat pemerintah terus menghimbau warga untuk turun mengungsi dan media terus mengabarkan berita terkini.

Tapi sekali lagi, siapa yang bisa melawan takdir Allah? Dan sekali lagi, siapkah kita jika takdir kematian datang menghampiri?

Thursday, November 04, 2010

Speechless

Ketika Hanif dirawat inap, seperti biasa aku menyuapi Hanif sarapan sambil membawanya jalan-jalan. Sebagai anak yang eksploratif, terkungkung di kamar sungguh terasa membosankan. Jalan-jalannya pun tidak cukup cuma di bangsal dan lorongnya, melainkan sampai keluar bangsal, ke ruang tunggu melihat akuarium, sampai minta diantar naik turun lift dari lantai satu hingga enam >_<

Saat di lift itulah, kami bertemu dengan dua staf rumah sakit. Tampaknya seorang perawat dan seorang dokter. Mereka menyapa kami ramah. Wanita yang berpenampilan seperti perawat berkata, “Wah, lagi jalan-jalan ya...”

Lalu wanita yang berpenampilan seperti dokter menimpali sambil memandangku, “Tapi Ibu telaten ya nyuapin sambil jalan-jalan. Kalau anakku makannya susah, udah aja kuserahin ke pembantu. Pembantuku lebih tahu gimana caranya, sambil ngajak anakku main-main.”

Aku langsung speechless. Mengapa bukan dia saja yang berusaha menyuapi anaknya sambil mengajak bermain? Alasan “tidak telaten” atau “tidak tahu caranya” aku rasa cuma omong kosong. Masa iya pembantunya lebih tahu soal anak daripada ibunya sendiri? Kecuali kalau memang sehari-hari si ibu tidak pernah mengurusi anaknya.

Sikap seperti inilah yang membuat profesi wanita karir menjadi tercoreng. Berjaya di karir, tetapi urusan anak terabaikan. Padahal untuk siapa sih sebenarnya kita bekerja? Untuk anak juga, bukan? Ingin rasanya aku berkata, “Punya anak memang repot. Siapa suruh punya anak? Kalau nggak mau repot, ya nggak usah punya anak.”

Dalam hati aku beristighfar. Ya Allah, semoga urusan di luar rumah tidak membuatku lalai akan anakku. Semoga berepot-repot mengurusi anak masih lebih mengasyikkan daripada menyibukkan diri dengan urusan lain.

Tujuh Jam Rawat Inap

This is another deg-degan story of being parents. Jadi ceritanya, Jumat pagi 22 Oktober 2010 ketika bangun pagi, aku mendapati Hanif terbangun dalam keadaan demam. Tak begitu tinggi, jadi kupikir hanya demam biasa. Maka kuputuskan hari itu Hanif tidak masuk “sekolah” dulu, sambil memberinya obat penurun demam yang biasa.

Sehari berlalu. Dua hari berlalu. Dia masih demam—meski tak begitu tinggi, paling-paling cuma 38° C—namun tingkah lakunya tetap lincah ke sana kemari. Makan minumnya juga lancar tanpa kendala. Jadi aku tetap berpikir hanya demam biasa.

Memang sempat terbersit sedikit ketakutan apakah demamnya kali ini berhubungan dengan peristiwa Selasa lalu. Malam itu dia sempat jatuh telentang dan kepala bagian belakang terbentur lantai. Bunda yang ceroboh, I know (hiks). Tapi aku menepis ketakutan itu karena antara peristiwa jatuh dengan demamnya berjarak beberapa hari. Hanif juga tidak menunjukkan gejala langsung apapun selepas jatuh, seperti mual atau muntah. Jadi masih saja, kupikir hanya demam biasa.

Segalanya jadi tak biasa ketika demam Hanif beranjak naik. Maka Minggu malam 24 Oktober, aku dan suami membawanya ke UGD. Di sana suhunya 39,9° C. Petugas dari laboratorium datang, mengambil darah untuk diperiksa. Kemudian perawat yang bertugas, memasukkan obat penurun demam lewat—maaf—anus. Yang aku tahu, obat anal semacam ini memang dapat menurunkan demam dengan segera dan berfungsi untuk mengantisipasi kejang demam (CMIIW).

Hasil cek darah menunjukkan angka normal (trombosit 245.000), kecuali leukositnya yang tinggi mencapai angka 14.300. Dokter di UGD berkata bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Setelah meresepkan obat, dia menyuruh kami pulang.

Cerita tidak berhenti sampai di sini. Malamnya sekitar pukul satu dini hari, aku tiba-tiba terbangun mendengar suara Hanif. Ketika kuperiksa, badannya menggigil hebat, meskipun tidak demam. Wajahnya pucat, bibir sedikit kebiruan, telapak kaki dan tangannya putih sekali tanpa rona merah sedikitpun. Segera kubangunkan suamiku. Berdua, dalam keadaan panik karena belum pernah mendapati Hanif dalam keadaan begini, segera bersiap membawanya ke UGD lagi.

Sampai di UGD badan Hanif sudah demam hampir 39° C. Dari penjelasan dokter yang berjaga, menggigil adalah usaha badan untuk mengeluarkan panas. Belakangan dokter spesialis anak (DSA) langganan Hanif juga menjelaskan bahwa peristiwa menggigil memang biasa terjadi bila badan yang tadinya tidak demam, akan mendadak demam dengan suhu yang cukup tinggi. Menggigil terjadi akibat perbedaan suhu yang ekstrem ini (CMIIW). Satu lagi ilmu yang kudapat malam itu, meskipun cost of learning-nya cukup membuat ketar-ketir.

Setelah perawat memberi Hanif sirup penurun demam, dokter merekomendasikan Hanif untuk rawat inap. Oh ya ampun, tanpa persiapan sama sekali. Seperti ketika Hanif harus dioperasi dulu. Aku cuma membawa baju ganti satu stel, tadinya untuk berjaga bila Hanif muntah membasahi baju seperti sesaat sebelum kami berangkat ke UGD. Setelah suamiku mengurus administrasi rawat inap, tepat pukul 03.45 Hanif masuk kamar di bangsal Irene lantai tiga. Untung tidak perlu diinfus karena belum ada rekomendasi infus dari DSA-nya Hanif. Bukannya istirahat, dia malah asyik mengeksplorasi kamar (naik turun sofa dan tempat tidur) >_<

Hanif baru tidur ketika jam menunjukkan pukul lima. Setelah dia tidur sekira dua jam, DSA-nya datang. Periksa sana sini sambil mengajak Hanif ngobrol. Lalu berkata bahwa Hanif cuma radang biasa dan sudah boleh pulang. Trombosit masih normal (175.000), hasil uji NS1 (untuk mengetahui DBD atau bukan) juga negatif. Dalam hati ada rasa lega karena Hanif tidak sakit serius, tapi ada juga rasa geli. Jangan-jangan sebenarnya Hanif tidak perlu rawat inap. Yah, namanya juga berjaga-jaga. Nurut aja lah sama dokter.

Tepat pukul 11.15, kami keluar dari bangsal Irene. Diiringi lambaian tangan para suster yang ramah itu. Jadi totalnya Hanif dirawat inap selama tujuh jam, rawat inap terpendek yang pernah aku dan keluargaku alami ^^

Update:

Minggu 31 Oktober sore, Hanif kembali demam 38° C. Senin pagi malah sampai 40° C. Senin sore Hanif kembali berkunjung ke dokter, ternyata DSA langganan sudah tidak praktek sore. Terpaksa ke DSA lain. Disuruh cek darah lagi. Hasilnya semua normal. Kami kembali pulang.

Selasa pagi Hanif kuajak ketemu DSA langganan. Lalu direkomendasikan untuk cek darah lagi (OMG!) untuk mengetahui ini typhus atau bukan. Ternyata bukan typhus (alhamdulillah) dan hasilnya semua juga normal. Jadi tampaknya ini masih radang biasa, lanjutan minggu sebelumnya, begitu kata DSA-nya.

Kalau dihitung-hitung, dalam sepuluh hari terakhir berarti Hanif sudah lima kali bertemu dokter dan empat kali diambil darah. Duh, kasihannya anak Bunda ini. Belum lagi kalau bicara soal antibiotik yang terus diresepkan oleh para dokter itu >_<

Jangan sakit lagi ya, Sayang...