Sunday, September 18, 2022

Mengubah Kebiasaan

Menurut KBBI, “kebiasaan” adalah (1) sesuatu yang biasa dikerjakan dan sebagainya; (2) pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama. Jika seseorang sudah memiliki kebiasaan akan sesuatu, dia akan melakukannya dengan rutin, effortless, dan spontan. Spontan dalam hal ini berarti terjadi otomatis tanpa perlu dipikirkan sebelumnya.

Karena kebiasaan mempengaruhi spontanitas, kita harus sadar diri untuk menjadikan hal-hal baik sebagai kebiasaan. Hal ini mengandung hikmah supaya ketika kita bersikap spontan, hanya hal-hal baik yang mewujud dari lisan dan perbuatan kita. Contoh sederhananya adalah memperbanyak istigfar ketika terkejut sehingga bila suatu saat kita terkaget-kaget karena sesuatu, kita akan spontan berucap “Astaghfirullah” dan bukan “Eh, ayam ayam ayam”, misalnya.

Kebiasaan juga mempengaruhi perasaan dan kecenderungan. Contoh paling gampang adalah soal makanan. Kebanyakan dari kita pasti lebih familiar dengan menu makanan nusantara, maka hal tersebut akan mempengaruhi preferensi kita dalam hal selera. Tentu kita akan memilih rasa yang paling “dekat” dengan menu sehari-hari–bahkan ketika kita sedang bepergian sekalipun–karena hal itu berkaitan dengan kebiasaan.

Rumus mengubah kebiasaan ada dua, yaitu latihan dan repetisi. Kita perlu berlatih supaya kita bisa, sedangkan repetisi diperlukan supaya kita terbiasa. Banyak orang meyakini bahwa waktu yang diperlukan untuk membentuk sebuah kebiasaan baru adalah empat puluh hari, di antaranya Kelly McGonigal yang menulis buku 40 Days to Positive Change atau Tommy Newberry yang menulis buku 40 Days to a Joy-Filled Life. Oleh karena itu, minimal kita berlatih dan melakukan repetisi selama empat puluh hari untuk membentuk sebuah kebiasaan.

Bagaimana dengan waktu yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan lama? Memang tidak ada angka yang pasti, tetapi Ustaz Weemar dalam kajiannya menyebutkan bahwa hal tersebut membutuhkan waktu sekitar satu tahun. Hal ini tentu tergantung pada kedalaman tingkat kebiasaannya. Karena meninggalkan kebiasaan lama itu susah, jangan sekali-kali kita membentuk kebiasaan buruk dengan mencoba melakukan hal-hal yang tidak baik. Lebih baik sedari awal kita tidak mencicipinya sedikit pun. Jika kebiasaan buruk sudah terbentuk, dia akan mengalahkan akal.

Selain latihan dan repetisi, hal terpenting dalam membentuk kebiasaan adalah sifat istikamah. Menurut KBBI, “istikamah” adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Dalam hal kebaikan, istikamah dapat diartikan tetap konsisten pada jalan yang benar dengan progres kebiasaan yang terus naik (tidak datar) sehingga hari esok lebih baik daripada hari ini. Hal tersebut tentu sungguh berat karena terkait erat dengan pembiasaan, tetapi sangat diperlukan demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai sekalian manusia. Kerjakanlah amalan-amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit." (H.R. Bukhari dan Muslim)

"Maka istikamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Hud: 112)

Monday, September 05, 2022

Belanja: Dulu dan Sekarang

Ketika aku duduk di bangku kuliah dan belajar tentang Sistem Embedded dua puluh tahun lalu, ide tentang smart home yang terintegrasi dengan smart shopping tampak sangat menakjubkan. Seorang dosen memberi suatu contoh mengenai isi kulkas yang selalu ter-update stoknya sehingga ketika bahan makanan atau minuman menjelang habis, kulkas akan mengirimkan notifikasi ke grocery store untuk melakukan online shopping. Tuan rumah tinggal membayar via transfer dan voila … barang yang dikirim melalui jasa ekspedisi pun sampai di rumah.

Siapa mengira jika gambaran absurd yang tampak mustahil di masa lalu kini menjadi suatu hal yang biasa? Ya, memang telah terjadi revolusi besar-besaran dalam hubungan kita dengan aktivitas belanja saat ini. Seperti apakah itu? Yuk, mari kita simak.

Pasar Zaman Dahulu

Semasa aku kecil, pergi ke pasar tradisional merupakan siksaan. Ibu kerap mampir ke pasar seusai menjemputku dari sekolah. Jika hari libur, Ibu juga sering mengajakku menemani beliau pergi ke pasar. Lantai yang becek dan bau yang tidak sedap menjadi momok yang rela dengan sabar kuhadapi demi mendapatkan kudapan berupa jajanan pasar atau es dawet kesukaan. Peluh yang bersimbah dan kernyitan di dahi akibat menahan rasa mual akhirnya terbayar sudah ketika menyeruput es dawet nikmat, meskipun hal itu harus dilakukan dengan mengalihkan pandang dari kotornya pasar.

Pasar Gede, Solo, dulu dan sekarang

Sejatinya pasar-pasar tradisional memiliki napas panjang sejak zaman Belanda. Pada zaman dahulu, banyak pasar yang didirikan di pinggir jalan dan tidak menempati bangunan permanen seperti los-los zaman sekarang. Kebanyakan pasar berlokasi di persimpangan jalan karena merupakan titik strategis dan biasanya berada di area perdagangan, seperti halnya Pasar Gede Solo yang berada di kawasan pecinan. Meskipun demikian, Olivier Johannes Raap dalam bukunya Kota di Djawa Tempo Doeloe menulis, “Sekitar tahun 1900-an, jalan yang dijadikan Pasar Besar tersebut belum dijejali dengan barisan ruko Tionghoa. Melainkan masih dinaungi pepohonan rindang di kedua sisinya.”

Pasar zaman dulu ada dan bergerak karena transportasi. Tak hanya di persimpangan jalan seperti kebanyakan pasar di Jawa, pasar-pasar juga mewujud pada lintasan sungai-sungai yang menjadi jalur keluar masuk ke pedalaman, seperti yang terjadi di Kalimantan. Pasar-pasar itu hidup melalui interaksi masyarakatnya. Tak melulu soal perniagaan, pasar juga menjadi ajang lintas teritorial dan akulturasi budaya.

Salah satu hal yang paling aku rindukan dari aktivitas berbelanja di masa lalu adalah kearifan menggunakan kemasan ramah lingkungan. Orang-orang zaman dulu masih sangat mengandalkan sumber daya alam. Kemasan yang digunakan adalah kemasan berbahan alam seperti daun pisang, daun pepaya, daun jati, atau kertas bekas. Daging atau ikan dibungkus dengan daun jati atau daun pepaya, telur dibawa dengan keranjang anyaman bambu, sayuran atau bumbu dapur dibungkus dengan koran bekas, makanan berkuah dibawa dengan rantang. Tas belanja yang digunakan juga rata-rata tas anyaman yang terbuat dari bambu. Barang-barang yang bukan makanan dibungkus dengan kertas kuning dan dibawa dengan tas kain atau tas anyaman. 

Pada zaman itu, lahan hijau memang masih luas. Persediaan daun pisang, daun jati, dan daun pepaya nyaris tidak terbatas dan mudah sekali diakses. Limbah kemasannya pun tak menjadi masalah karena sifatnya organik dan mudah terurai. Kemasan plastik yang sampahnya menimbulkan banyak masalah bagi lingkungan terhitung masih jarang sekali. Ah, rindu sekali dengan zaman itu.

Kemudahan Berbelanja di Ujung Jari

Berbeda dengan aktivitas belanja di masa lalu, aktivitas belanja di masa kini rata-rata sudah bertempat di pusat perbelanjaan yang rapi dan bersih. Pasar tradisional masih tetap ada, tetapi tampilannya sudah jauh lebih baik karena direnovasi mengikuti standar pasar modern. Selain itu, ibu-ibu zaman now juga sangat dimudahkan aktivitas belanjanya dengan maraknya online shopping. Bahkan toko-toko besar seperti Matahari dan Uniqlo yang toko offline-nya ramai didatangi masyarakat pun kini sudah menyediakan situs belanja untuk para pelanggan yang lebih menyukai online shopping.

Ilustrasi online shopping

Banyaknya pilihan berbelanja saat ini sejatinya lahir dari kebutuhan masyarakat yang kian sibuk dan makin menghendaki kemudahan. Dengan dukungan teknologi dan gawai pintar, cukup jari-jemari yang bergerak untuk melakukan transaksi. Interaksi antara penjual dan pembeli diwakili angka dan teks yang terpampang di layar. Praktis, aman, nyaman, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Perniagaan tak lagi memerlukan lapak di pasar, toko, atau warung yang berlokasi strategis di pinggir jalan.

Di satu sisi, hal ini bisa menjadi pilihan ideal bagi masyarakat yang sibuk. Namun, di sisi lain, hal ini justru makin mengalienasi manusia satu dengan yang lainnya. Pertemuan fisik, saling sapa, saling tawar, atau saling tukar informasi tak lagi ada. Pola interaksi perniagaan telah mengalami perubahan besar-besaran dari zaman nenek moyang dulu. Tak pelak kita memasuki era baru yang mengubah pola struktur sosial yang telah bertahan ratusan tahun.

Aku sendiri tidak masalah dengan online shopping. Bahkan dulu aku punya toko online juga, yang kerap menguji kesabaran karena pembelinya masih saja menanyakan spesifikasi teknis padahal sudah ditulis detil pada deskripsi. Yah, memang begitulah tingkat literasi masyarakat kita, wkwkwk.

Beberapa kelemahan yang kurasakan ketika berbelanja online adalah ketidakmampuan melihat barang dan menilai kualitasnya secara nyata. Foto atau gambar yang terpampang di layar kadang tidak membuatku puas karena tidak bisa diraba dan disaksikan kasat mata. Selain itu, pada banyak online shop–bahkan yang sudah dijaga keamanannya seperti pada marketplace–masih saja ada tipu-tipu. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, biasanya aku hanya berbelanja online pada kenalan atau toko yang memang sudah kuketahui benar reputasi dan kredibilitasnya.

Jika ditilik-tilik, sepertinya aku lebih sering berbelanja online akibat iklan-iklan kenalan melalui Whatsapp, kemudian langsung mengontak mereka secara pribadi untuk melanjutkan transaksi. Entah mengapa, buatku hal ini terasa lebih intim daripada berbelanja ke marketplace. Selain bisa bertukar kabar dengan mereka, hal ini juga dalam rangka melariskan dagangan teman dan mendukung usaha yang mereka bangun. Mudah-mudahan hal ini juga menjadi added value supaya masyarakat tidak lagi makin terasing satu sama lain.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Mamah dan Dunia Belanja”.

Sunday, September 04, 2022

Belajar Memahami Anak dengan Bijak

Pernahkah Anda membaca buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi? Buku ini bagus untuk dibaca para orang tua dan praktisi pendidikan anak. Meskipun dikemas dengan bahasa sederhana, sesungguhnya ia sarat akan pesan-pesan parenting. Aku membaca buku ini puluhan tahun lalu bahkan ketika aku belum punya anak, tetapi pesan mendalam yang kutangkap waktu itu begitu membekas dan berhasil membentuk gambaran ideal di benakku tentang bagaimana seharusnya hubungan orang dewasa dengan anak terjalin. Pesan-pesan parenting-nya sungguh tak lekang oleh waktu dan tetap relevan hingga kini meskipun latar belakang buku ini adalah kondisi di Jepang  sebelum Perang Dunia II.

Totto dalam novel ini digambarkan sebagai seorang anak yang polos, punya rasa ingin tahu besar, selalu antusias dengan hal-hal baru, penuh imajinasi, dan selalu bersemangat sehingga sering menguji kesabaran gurunya. Dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal dan susah diatur. Ibunya kemudian mencarikannya sekolah baru hingga akhirnya dia bertemu dengan Pak Kobayashi, kepala sekolah yang sangat sabar, hangat, penuh kepedulian dan kasih sayang, serta begitu memahami karakter anak-anak didiknya.

Bicara soal karakter unik Totto-chan, kita perlu memahami baiknya perlakuan membesarkan hati anak sehingga anak tidak merasa dirinya buruk. Ada dua kemungkinan penyebab anak dianggap bandel. Kemungkinan pertama, anak tersebut memang bermasalah. Kemungkinan kedua, anak tersebut adalah anak pandai yang kreativitasnya dibatasi rutinitas. Kebanyakan orang dewasa menganggap tipe anak kedua sama saja dengan tipe anak pertama karena orang dewasa tidak mau menggali apa sebenarnya yang dirasakan oleh si anak, padahal tipe anak kedua bukanlah tipe anak bandel. Ia hanya seorang anak dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, yang berusaha memahami dunia di sekelilingnya dengan pengetahuan yang dibangun berdasarkan kehidupan sehari-hari, bukan berdasarkan tugas-tugas rutin sekolah yang membosankan.

Sekolah yang menyenangkan adalah sekolah yang membebaskan. Anak bebas menyerap pengetahuan dengan cara menyenangkan sehingga pengetahuan membekas pada jiwa dan dapat menghasilkan sesuatu yang konkret untuk kehidupan. Namun, kebebasan yang dimaksud tentu bukan kebebasan yang murni. Aturan dan tanggung jawab tetap diperlukan dalam kebebasan berekspresi karena berkaitan erat dengan adab, etika, sopan santun, dan kewajiban. Dalam sebuah sistem sekolah yang menyenangkan, pemberian tugas tidak ditiadakan sama sekali. Tugas tetap diberikan, tetapi tugas bukan segalanya. Dalam sebuah sistem sekolah yang baik, anak merasa dirinya diterima sekaligus merasa aman dan rileks untuk berbuat (berpendapat, belajar, bermain, dsb.) karena anak mempunyai fitrah untuk dicintai, dihargai, dipahami, dan diakui.

Seorang anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar seharusnya tidak dianggap sebagai anak yang merepotkan. Keingintahuan adalah dasar untuk mencari ilmu pengetahuan. Seorang pendidik memiliki tugas untuk mengarahkan keingintahuan si anak menjadi keingintahuan yang produktif dengan sistem belajar mengajar yang bebas, menyenangkan, tetapi bertanggung jawab.

Seorang pendidik yang baik juga harus mempunyai kelebihan untuk melakukan pendekatan yang konkret kepada anak, misalnya dengan menjadi pendengar yang baik sehingga anak merasa dihargai, atau dengan melontarkan kalimat-kalimat positif untuk menumbuhkan sikap optimisme anak. Dua hal ini dicontohkan secara gamblang oleh buku Totto-chan, seperti ketika Kepala Sekolah Kobayashi mau mendengarkan cerita Totto-chan selama empat jam penuh, atau kenyataan bahwa Kepala Sekolah Kobayashi sering menyebut Totto-chan sebagai anak baik untuk menanamkan rasa percaya dirinya.

Dalam menerapkan kebebasan anak, kita tetap perlu mengajarkan kepada anak tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dengan demikian, anak tetap dilatih untuk berpikir kritis dalam kebebasannya sehingga ia memiliki self control yang baik. Terkait dengan pengajaran tentang tanggung jawab, hukuman tetap diperlukan. Hanya saja kita tidak boleh menghukum anak sebelum ia mengerti aturan dan kesalahannya. Hukuman tidak identik dengan pemberian penderitaan karena ia adalah penyadaran akan tanggung jawab dengan cara pemberian konsekuensi. Dalam buku Totto-chan, Kepala Sekolah Kobayashi “hanya” memberikan konsekuensi untuk membersihkan kembali apa yang telah Totto-chan jadikan berantakan karena konsekuensi tersebut sudah menjadi hukuman yang pantas untuknya.

Dalam usaha mewujudkan sistem belajar mengajar yang baik dan efektif, selain penyesuaian kurikulum dengan tahapan proses perkembangan anak berdasarkan usia, interaksi anak dengan pendidik harus baik. Hal itu antara lain bisa dibangun lewat kemampuan pendidik untuk berempati, mengenali anak, dan menerima anak apa adanya. Dengan demikian, anak akan merasa senang untuk belajar ilmu pengetahuan dan bersosialisasi sehingga ia siap terjun ke masyarakat di kemudian hari.