Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September mengajak para Mamah untuk menulis tentang nama. Tadinya aku hendak bercerita mengenai kisah-kisah di balik nama anak-anakku, yang sangat bervariasi temanya mulai dari Bahasa Arab, Bahasa Sansekerta, hingga western. Namun, kupikir-pikir lagi, bisa jadi ada beberapa Mamah yang akan menulis cerita serupa.
Maka kali ini aku ingin menulis mengenai dua nama yang disematkan pada kota kelahiranku. Dua nama yang seringkali membuat bingung masyarakat awam ini sarat dengan tradisi, budaya, dan kisah sejarah. Hitung-hitung menjadi kisah pelengkap dari tulisanku pada Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan lalu.
Solo dan Surakarta adalah nama yang merujuk pada satu kota yang sama, yaitu Kota Surakarta di Provinsi Jawa Tengah. Surakarta adalah nama resmi secara administratif pemerintahan, sedangkan Solo adalah nama informal yang lebih populer–mungkin semacam nama panggilan begitu ya, kalau diibaratkan dengan nama orang, hehehe.
Sejak Zaman Kerajaan
Kisah mengenai dua nama ini bermula pada zaman kekuasaan Paku Buwono II. Seperti yang kutulis di sini, Kerajaan Mataram Islam versi terakhir berkedudukan di Kasunanan Kartasura dengan Amangkurat IV sebagai penguasa Mataram periode 1719–1726. Pangeran Prabasuyasa, putra Amangkurat IV yang diangkat oleh Belanda menjadi raja setelah ayahnya wafat dan kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono II, memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta setelah terjadi Geger Pecinan.
Geger Pecinan Kartasura merupakan konflik politik 1740-1743 yang diawali dari kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konflik melebar dengan penyerbuan pasukan etnis Tionghoa yang bergabung dengan pasukan pribumi Jawa menyerang benteng keraton Mataram Kartasura, ibu kota Kerajaan Mataram Islam saat itu, karena bersekutu dengan Belanda.
Pasukan Mataram Islam tidak mampu mengimbangi kekuatan pasukan gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah putra dari Raden Kajoran, seorang bangsawan Mataram Islam yang memiliki darah Tionghoa.
Pasukan Sunan Kuning berhasil menguasai benteng Belanda di Kartasura dan mengepung keraton pada 20 Juni 1742. Mereka menuntut Paku Buwono II untuk menyerahkan tahta kepada Sunan Kuning dan mengakui kemerdekaan Jawa-Tionghoa dari Belanda. Paku Buwono II menolak tuntutan tersebut dan melarikan diri ke Ponorogo bersama keluarganya.
Dengan bantuan Belanda, Paku Buwono II akhirnya berhasil mengusir pemberontak dari Kartasura pada 1743. Meskipun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, kondisi keraton sudah rusak parah. Paku Buwono II yang menganggap keraton sudah kehilangan kesuciannya, kemudian memindahkan lokasi keraton ke lokasi yang baru pada tahun 1745. Ia merasa tidak nyaman dan tidak aman tinggal di Kartasura yang sudah pernah dikuasai musuh.
Jejak peninggalan Keraton Kartasura, gambar dari sini |
Belakangan Kartasura menjadi kota yang sepi dan terlantar setelah ditinggalkan oleh Paku Buwono II. Keraton Kartasura yang rusak akibat Geger Pecinan tidak pernah dibangun kembali, melainkan dijadikan pemakaman oleh Paku Buwono III.
Berdasarkan pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B. van Hohendorff, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan 10 kilometer ke arah timur mendekati Sungai Bengawan Solo. Lokasi tersebut berada di Desa Sala, dinamakan demikian karena di daerah tersebut dulunya terdapat banyak pohon Sala. Desa Sala merupakan desa perdikan (desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah pusat pada zaman kerajaan) yang dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut Kiai Sala.
Dalam Bahasa Jawa, huruf Jawa 'o' dan 'a' memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Tanda baca dan pelafalannya berbeda. Jika Sala dilafalkan dengan 'a' seperti pada kata 'lontong', Solo dilafalkan dengan 'o' seperti pada kata 'koko'. Lalu mengapa pelafalan Sala berubah menjadi Solo? Konon katanya orang-orang Belanda kesulitan melafalkan Sala dengan huruf 'a' dan mengubahnya menjadi huruf 'o'.
Keraton Surakarta Hadiningrat, gambar dari sini |
Desa Sala kemudian menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan bentuk paling baru dari kerajaan turunan Mataram. Akibat Perjanjian Giyanti pada era Paku Buwono III, kerajaan terpecah menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian akibat Perjanjian Salatiga, wilayah Surakarta terbagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran. Hal ini menjadikan Kota Solo pada masa itu menjadi kota dengan dua administrasi.
Pada Masa Kemerdekaan
Kekuasaan politik Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran berakhir setelah berdirinya Republik Indonesia. Selama 10 bulan pascaproklamasi, Solo berstatus sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS), daerah setingkat provinsi.
Selanjutnya, karena berkembangnya gerakan antimonarki di Surakarta serta adanya kerusuhan penculikan dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, pada tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan keraton diubah menjadi sekadar pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dan residen yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah mencapai 5.677 km persegi. Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati (sekarang bernama Kabupaten Sragen), Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali.
Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, lalu Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, secara resmi Kota Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom. Hingga kini tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.
Penutup
Mengingat sejarah panjang di balik dua nama antara Solo dan Surakarta, ternyata tidak sesimpel kalimat Shakespeare “Apalah arti sebuah nama”, bukan? Sejatinya setiap nama yang ada di dunia ini–nama apa pun itu–pasti memiliki kisah di baliknya. Bisa jadi hanya kisah personal yang merupakan romansa pribadi, atau bisa jadi malah merupakan kisah sejarah yang berpengaruh langsung terhadap dinamika sebuah negara.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Kisah di Balik Nama”.