Monday, September 27, 2021

Berkata Baik atau Diam

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam.” (H.R. Muslim nomor 222).

Dalam hadis di atas, Rasul mengatakan bahwa salah satu tanda keimanan adalah menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik. Jika tidak mampu berkata baik, lebih baik kita diam. Pentingnya menjaga lisan ini juga diisyaratkan dalam hadis lain yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Salihin. Beberapa di antara hadis tersebut tertulis di bawah ini.

Dari Abu Musa r.a., katanya: “Saya berkata: ‘Ya Rasulullah, manakah kaum Muslimin itu yang lebih utama?’ Beliau s.a.w. menjawab: ‘Yaitu yang orang-orang Islam lain merasa selamat dari gangguan lisannya—yakni pembicaraannya—serta dari tangannya.’” (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ia mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan baik atau buruknya, maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat.” (Muttafaq 'alaih)

Hadis-hadis di atas memberikan pemahaman bahwa seorang muslim sebaiknya berpikir dahulu sebelum berbicara. Jika sekiranya informasi atau perkataan yang akan ia sampaikan memuat keraguan mengenai kebenarannya, sebaiknya ia diam. Apalagi jika perkataannya mengandung keburukan, sudah pasti ia harus diam.

Dalam dunia digital seperti sekarang ini, lingkup menjaga lisan juga mencakup menjaga tulisan. Tidak dapat dipungkiri, teknologi internet of things membawa platform digital masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari dalam berbagai aspek. Begitu mudah kita menuliskan kata dalam pesan singkat (SMS), Whatsapp, forum, blog, jejaring sosial, dan kolom komentar di situs berita daring sebagai pengganti ucapan lisan dalam berinteraksi. Bentuk komunikasinya mungkin berbeda, tetapi sejatinya ia memiliki esensi yang sama.

Zaman muda dulu aku tidak terlalu memusingkan isi tulisanku di media sosial. Kebanyakan tulisanku memang berkisah seputar aku sendiri dan tidak menyinggung orang lain, tetapi hampir semua isinya tidak disaring terlebih dahulu. Segala kegalauan, kekecewaan, dan kesedihan ditumpahkan begitu saja hingga pernah mengundang komentar negatif dari seseorang yang membuatku meradang. Belakangan ketika aku lebih dewasa, aku banyak berpikir tentang jejak digital dan bagaimana kita meninggalkan kebaikan. Kita tidak pernah tahu seberapa jauh tulisan kita melanglang buana dan seberapa banyak orang yang telah membacanya. Jika tulisan itu membawa keburukan, jangan-jangan kita telah melakukan dosa jariyah, astaghfirullah.

Oleh karena itu, sekarang aku berusaha hanya menulis konten yang positif saja. Aku melakukannya bukan dalam rangka “cari aman”, tetapi karena aku sadar bahwa lebih dari itu … kelak di akhirat kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. Lagipula rasanya malu, bukan, ketika tulisan-tulisan kita yang buruk dibaca oleh anak cucu? 

Melihat dunia digital saat ini yang sangat carut-marut karena terlalu banyak ujaran kebencian dan konten negatif, kita membutuhkan kecerdasan dalam literasi digital supaya komunikasi daring berjalan dengan bijak, memuat konten-konten positif, dan membuat nyaman penggunanya. Apalagi sebagai seorang muslim, kita terikat pada norma agama yang mengharuskan kita memelihara lisan (dan tulisan) dalam pergaulan. Dengan pemahaman seperti ini, mudah-mudahan kita dapat selalu wawas diri untuk menjaga adab dalam berkomunikasi, baik secara luring maupun secara daring.

Monday, September 20, 2021

Cara Mudah Belajar Sains

Jika melihat laman-laman para ibu binangkit yang sering membuat sendiri bahan ajar maupun prakarya untuk anak-anaknya, kadang aku merasa cemburu. Selain tidak kreatif, aku juga tidak memiliki banyak waktu untuk membersamai anak. Untungnya di zaman serba praktis seperti saat ini, ada beberapa vendor yang menyediakan bahan-bahan siap pakai untuk berbagai kegiatan bersama anak, mulai dari eksperimen sains, seni, hingga kerajinan tangan.

Dulu ketika anakku masih dua, aku berkenalan dengan Planet Sains, sebuah komunitas penggiat sains yang menyediakan kit eksperimen sains siap pakai dengan beragam tema untuk berbagai usia. Sebagai ibu yang miskin kreasi, aku sangat terbantu dengan kit-kit yang mereka sediakan. Kit-kit itu berisi alat dan bahan percobaan sains sederhana, komplet dengan instruksi dan langkah kerja. Yang lebih mengasyikkan, kit itu dilengkapi juga dengan tulisan pendek yang menceritakan fenomena sains dari percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, sambil mendampingi anak bereksperimen, orang tua dapat memberikan pengetahuan tentang landasan ilmiahnya.


Eksperimen mencampur baking soda dengan larutan asam sitrat sehingga menghasilkan gas karbondioksida untuk menggembungkan balon

Teknik melapis logam dengan cara sederhana menggunakan serbuk asam sitrat dan garam yang dilarutkan ke dalam air

Belajar prinsip oksidasi melalui pencampuran pewarna makanan dengan cairan pemutih pakaian

Ketika anak-anakku masuk SD, aku sangat senang mengetahui bahwa Planet Sains melakukan pendampingan untuk ekstrakurikuler sains di sekolah mereka. Setiap minggu mereka akan berkumpul dan melakukan percobaan sederhana, mencatat hasilnya pada buku catatan, serta berdiskusi bersama. Kegiatan ini tentu sangat bermanfaat untuk merangsang keingintahuan anak terhadap fenomena sains dan membiasakan anak berpikir menggunakan metode berpikir ilmiah.

Ketika kami pindah dari Bandung, alhamdulillah di sekolah anak-anak yang baru juga ada ekstrakurikuler sains. Vendor yang mendampingi mereka adalah Rumah Eksplorasi yang juga menyediakan kit eksperimen lengkap seperti Planet Sains. Berhubung masih pandemi, kit-kit eksperimen itu diambil dari sekolah setiap awal bulan, kemudian anak-anak “berkumpul” melalui Zoom untuk melakukan percobaan bersama. Eksperimen mandiri di rumah seperti ini tentu ada kekurangannya. Karena anakku tidak didampingi secara langsung oleh orang dewasa—dia melakukan semuanya sendiri—beberapa percobaan sempat mengalami kegagalan. Jika ada waktu, sepulang kerja aku akan mendampinginya untuk mengulik percobaan itu demi mengetahui penyebab kegagalannya, lalu mencoba memperbaikinya bersama-sama.


Penjelasan mengenai eksperimen tornado botol dari Rumah Eksplorasi


Jadi, pesanku untuk para orang tua yang cukup sibuk: jangan khawatir, ya. Ketiadaan waktu untuk menyediakan atau membuat alat dan bahan eksperimen bisa diakali dengan memanfaatkan kit eksperimen sains siap pakai. Yang kita lakukan tinggal menyediakan waktu untuk beraktivitas bersama anak, membuka diri untuk dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan anak, dan berusaha menjawab keingintahuan mereka dengan informasi yang memadai. Mudah-mudahan kelak anak bisa tumbuh besar dengan tetap mempertahankan keingintahuan mereka terhadap peristiwa dan fenomena yang terjadi di dunia ini—apapun profesi mereka nanti—karena keingintahuan adalah modal dasar untuk belajar.

Monday, September 13, 2021

Aku, Anak-Anak, dan Minat Baca

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.

Begitu senangnya aku membaca sehingga pergi ke perpustakaan, toko buku, atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda yang menyenangkan. Aku tak tahu pasti penyebab minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat. Hal itu mungkin dikarenakan orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah.

Beranjak dewasa, aku menyadari bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan kebanyakan tentang pengetahuan umum. Aku yakin kegemaranku membaca rubrik pengetahuan di majalah, membaca koran, dan melihat berita di televisi, turut andil dalam hal itu.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adikku bertahun-tahun lalu untuk membuktikan bahwa usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca. 

Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun, mulai dari buku bergambar hingga novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika dia belum lagi lulus SD. Ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah; kemampuan menulisnya juga bertambah. Aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.

Eksperimen kedua kulakukan pada anak-anakku. Yah, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak anak sulungku berusia enam bulan, kami rutin membelikan softbook, boardbook, dan buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku, suami, dan pengasuh sering mengadakan sesi membaca buku. Rata-rata ketika anak-anakku berusia dua tahun, mereka sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji seberapa jauh pemahaman mereka. Kadang-kadang kami menyuruh mereka bercerita dengan kalimat mereka sendiri.

Kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri anak-anak, terutama anak sulungku yang kelihatannya paling gemar membaca dibanding adik-adiknya. Sesaat sebelum naik ke tempat tidur di malam hari, mereka akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta, seperti mainan kesukaan dan buku pilihan untuk malam itu. Dengan gembira mereka akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias. Jika minta dibacakan, mereka akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm … buah dari usahaku selama ini untuk menjadikan mereka suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

“A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons

Monday, September 06, 2021

Aku dan Literasi

Menurut KBBI, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Ternyata definisi literasi ada banyak, ya—meskipun kebanyakan orang langsung mengaitkannya dengan kemampuan menulis dan membaca saja. Jenisnya pun bermacam-macam, mulai dari literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, hingga budaya dan kewargaan.

Perjalananku dalam literasi baca tulis dimulai sejak TK. Saat itu aku termasuk anak yang antusias mempelajari huruf dan kata sehingga aku sudah bisa membaca ketika masuk SD. Di masa SD, rasanya aku tidak memiliki kesulitan dalam memahami bacaan dan menuangkan ide ke dalam tulisan. Bahkan mengarang menjadi subjek pelajaran favoritku karena aku dapat bebas merangkai kata sesuai imajinasi. Sejak usia belia aku sangat menikmati aktivitas menulis puisi dan cerita pendek. Berbagai jenis bacaan kulahap dan waktu istirahat sangat kunantikan untuk pergi ke perpustakaan sekolah.

Menginjak bangku kuliah, aku sempat menulis untuk jurnalistik kampus. Selepas lulus aku bahkan sempat diterima bekerja menjadi editor dan wartawan. Namun, ternyata jalan hidupku tidak di situ karena aku memilih bekerja di tempat lain. Ketika sudah berumah tangga dan memiliki anak, aku berkesempatan menerbitkan beberapa antologi nonfiksi, kumpulan cerpen anak, antologi cerpen, dan antologi fiksi mini. Beberapa pengakuan yang kudapat dari hasil lomba atau event menulis membuatku makin percaya diri untuk terus menekuni dunia menulis ini.

Berbeda dengan literasi baca tulis, kemampuanku sebagai literat di bidang lain tidak terlalu menonjol. Dalam hal literasi numerasi, misalnya, aku tidak terlalu pandai membaca angka dan simbol. Kalau ada grafik, tabel, atau bagan yang agak rumit—seperti tabel-tabel dalam jurnal ilmiah—aku membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memahaminya dibanding orang lain. Dalam hal literasi sains, yang diartikan sebagai kemampuan memahami fenomena alam di sekitar dengan menggunakan metode berpikir inkuiri, aku juga tak terlalu pandai. Mengulik fenomena sainsnya sih aku suka, seperti membahas sebab akibat pada suatu peristiwa sains. Namun, untuk menelitinya sesuai metode ilmiah, aku malas, hahaha. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak menjadi peneliti meskipun bekerja di lembaga riset.

Bicara soal literasi budaya dan kewargaan, menurutku pemahaman terhadap keragaman budaya serta pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat mutlak perlu dimiliki oleh seseorang. Kita semua adalah makhluk sosial yang harus mengerti bahwa ada batasan norma dan aturan dalam berinteraksi. Seperti yang pernah kusinggung di sini, konsep keberagaman seharusnya tidak hanya berada pada tataran teori. Praktik tentang keberagaman—misalnya pergi ke berbagai tempat, menuntut ilmu di beraneka institusi, dan bertemu dengan bermacam-macam orang—dapat membuat kita memahami arti perbedaan dan arti toleransi yang sesungguhnya.

Menumbuhkan kemampuan literasi memang bukan pekerjaan semalam. Indeed usaha ini tidak mudah, mengingat kurangnya kemampuan literasi kebanyakan masyarakat kita. Yuk, kita bersama-sama berusaha mulai dari apa yang kita bisa dan mulai dari keluarga terdekat sehingga dapat mencapai slogan yang digaungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: dengan literasi, kita mampu menjalani hidup sekarang dan nanti di masa depan dengan lebih baik.