Menurut KBBI, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Ternyata definisi literasi ada banyak, ya—meskipun kebanyakan orang langsung mengaitkannya dengan kemampuan menulis dan membaca saja. Jenisnya pun bermacam-macam, mulai dari literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, hingga budaya dan kewargaan.
Perjalananku dalam literasi baca tulis dimulai sejak TK. Saat itu aku termasuk anak yang antusias mempelajari huruf dan kata sehingga aku sudah bisa membaca ketika masuk SD. Di masa SD, rasanya aku tidak memiliki kesulitan dalam memahami bacaan dan menuangkan ide ke dalam tulisan. Bahkan mengarang menjadi subjek pelajaran favoritku karena aku dapat bebas merangkai kata sesuai imajinasi. Sejak usia belia aku sangat menikmati aktivitas menulis puisi dan cerita pendek. Berbagai jenis bacaan kulahap dan waktu istirahat sangat kunantikan untuk pergi ke perpustakaan sekolah.
Menginjak bangku kuliah, aku sempat menulis untuk jurnalistik kampus. Selepas lulus aku bahkan sempat diterima bekerja menjadi editor dan wartawan. Namun, ternyata jalan hidupku tidak di situ karena aku memilih bekerja di tempat lain. Ketika sudah berumah tangga dan memiliki anak, aku berkesempatan menerbitkan beberapa antologi nonfiksi, kumpulan cerpen anak, antologi cerpen, dan antologi fiksi mini. Beberapa pengakuan yang kudapat dari hasil lomba atau event menulis membuatku makin percaya diri untuk terus menekuni dunia menulis ini.
Berbeda dengan literasi baca tulis, kemampuanku sebagai literat di bidang lain tidak terlalu menonjol. Dalam hal literasi numerasi, misalnya, aku tidak terlalu pandai membaca angka dan simbol. Kalau ada grafik, tabel, atau bagan yang agak rumit—seperti tabel-tabel dalam jurnal ilmiah—aku membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memahaminya dibanding orang lain. Dalam hal literasi sains, yang diartikan sebagai kemampuan memahami fenomena alam di sekitar dengan menggunakan metode berpikir inkuiri, aku juga tak terlalu pandai. Mengulik fenomena sainsnya sih aku suka, seperti membahas sebab akibat pada suatu peristiwa sains. Namun, untuk menelitinya sesuai metode ilmiah, aku malas, hahaha. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak menjadi peneliti meskipun bekerja di lembaga riset.
Bicara soal literasi budaya dan kewargaan, menurutku pemahaman terhadap keragaman budaya serta pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat mutlak perlu dimiliki oleh seseorang. Kita semua adalah makhluk sosial yang harus mengerti bahwa ada batasan norma dan aturan dalam berinteraksi. Seperti yang pernah kusinggung di sini, konsep keberagaman seharusnya tidak hanya berada pada tataran teori. Praktik tentang keberagaman—misalnya pergi ke berbagai tempat, menuntut ilmu di beraneka institusi, dan bertemu dengan bermacam-macam orang—dapat membuat kita memahami arti perbedaan dan arti toleransi yang sesungguhnya.
Menumbuhkan kemampuan literasi memang bukan pekerjaan semalam. Indeed usaha ini tidak mudah, mengingat kurangnya kemampuan literasi kebanyakan masyarakat kita. Yuk, kita bersama-sama berusaha mulai dari apa yang kita bisa dan mulai dari keluarga terdekat sehingga dapat mencapai slogan yang digaungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: dengan literasi, kita mampu menjalani hidup sekarang dan nanti di masa depan dengan lebih baik.
No comments:
Post a Comment