Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.
Begitu senangnya aku membaca sehingga pergi ke perpustakaan, toko buku, atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda yang menyenangkan. Aku tak tahu pasti penyebab minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat. Hal itu mungkin dikarenakan orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah.
Beranjak dewasa, aku menyadari bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan kebanyakan tentang pengetahuan umum. Aku yakin kegemaranku membaca rubrik pengetahuan di majalah, membaca koran, dan melihat berita di televisi, turut andil dalam hal itu.
Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.
Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adikku bertahun-tahun lalu untuk membuktikan bahwa usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca.
Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun, mulai dari buku bergambar hingga novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika dia belum lagi lulus SD. Ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah; kemampuan menulisnya juga bertambah. Aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.
Eksperimen kedua kulakukan pada anak-anakku. Yah, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak anak sulungku berusia enam bulan, kami rutin membelikan softbook, boardbook, dan buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku, suami, dan pengasuh sering mengadakan sesi membaca buku. Rata-rata ketika anak-anakku berusia dua tahun, mereka sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji seberapa jauh pemahaman mereka. Kadang-kadang kami menyuruh mereka bercerita dengan kalimat mereka sendiri.
Kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri anak-anak, terutama anak sulungku yang kelihatannya paling gemar membaca dibanding adik-adiknya. Sesaat sebelum naik ke tempat tidur di malam hari, mereka akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta, seperti mainan kesukaan dan buku pilihan untuk malam itu. Dengan gembira mereka akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias. Jika minta dibacakan, mereka akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm … buah dari usahaku selama ini untuk menjadikan mereka suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.
“A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons
No comments:
Post a Comment