Wednesday, December 30, 2009

Resolusi Awal Tahun

Selama ini bisa dibilang aku tidak pernah benar-benar membuat resolusi awal tahun yang jelas. Kalau sekedar target global sih sering ya, tapi tidak untuk target-target yang spesifik harus begini atau begitu. Alih-alih membuat resolusi awal tahun, aku lebih suka melakukan evaluasi akhir tahun dan membuat daftar pencapaian atau milestone tahun yang sudah (atau akan) berlalu.

Minggu lalu, tepat dua pekan menjelang pergantian tahun, aku sakit cukup parah. Mungkin kelihatannya tidak begitu buat orang lain, tapi bagiku sakit itu sungguh menyiksa. Aku tak tahu sebenarnya aku sakit apa, sepertinya terkena infeksi virus—entah virus apa (orang sunda menyebutnya “tampak”). Gejalanya mirip campak jerman, didahului dengan demam tinggi lalu muncul bercak merah sekujur tubuh yang gatalnya minta ampun. Selama lima hari aku tak bisa tidur karena gatalnya benar-benar parah. Mana bisa tidur kalau seluruh kulit terasa gatal menyengat. Setelah gatal mereda, bercak merah menjadi bintil-bintil timbul yang membuat tangan, kaki, dan mukaku bengkak. Untungnya ada tanggal merah tahun baru hijriah dan natal, jadi aku sedikit tertolong tak perlu absen lama dari kantor, meskipun faktanya aku sakit hampir sepuluh hari.

Sampai saat aku menulis ini, kesehatanku belum pulih benar. Gatal dan virus memang sudah menyingkir. Namun seluruh kulit yang kemarin gatal-gatal itu, kini mengelupas dengan suksesnya, membuat kulitku keriput dan tampak putih-putih kelupasan di mana-mana. Aku juga masih sedikit lemas, jadi untuk sementara belum senam dulu—padahal sudah rinduuu dengan lantai senam itu hehehe…

Lalu apa kaitannya sakitku dengan resolusi awal tahun? Jadi begini, malam-malam yang kulalui dengan gelisah dan sedih karena tak bisa tidur saat sakit kemarin, membawaku pada dialog batin dengan-Nya. Betapa rasanya diri ini sedang dicubit-Nya, sedang diingatkan atas segala kenikmatan dan betapa diri ini tak pernah cukup bersyukur. Lalu dalam dialog itu aku membuat semacam janji pada-Nya dan pada diriku sendiri, untuk berusaha menjadi insan yang lebih baik… to be a better person. Apa dan bagaimana detil resolusi yang kunyatakan pada-Nya tak bisa kuceritakan di sini karena rasanya terlalu personal untuk diungkapkan. Yah, semacam dialog spiritual yang menghantam ego dan bermuara pada kesadaran untuk menjadi lebih baik, dalam segala aspek insya Allah.

Pergantian tahun sudah di depan mata. Kini aku siap dengan beberapa resolusi dalam catatanku, baik dalam peranku sebagai istri, bunda, maupun perempuan bekerja.

Belanja

Booo… gawat! Belakangan ini aku udah kayak emak-emak beneran *selama ini belum berasa emak-emak, hihihi*. Indikasinya adalah: suka banget belanja baju. Duh pusing, gimana bisa begini ya. Perasaan dulu semasa kuliah, aku suka bener belanja buku. Kok sekarang bawaannya laper mata kalau lihat baju-baju lucu, doohhh *tepuk jidat*.

Oniomania (from Greek onios = for sale, mania = insanity) is a medical term for the compulsive desire to shop. Oniomania is the technical term for the compulsive desire to shop, more commonly referred to as compulsive shopping, compulsive buying, shopping addiction or shopaholism. (dikutip dari sini)

Kalau kata Om Wiki, shopaholic atau bahasa medisnya oniomania, adalah satu dari sekian banyak mental disorder. Hii, ngeri. Memang nggak sampai taraf itu, tapi hobi baruku ini sudah merusak kantong dan merusak pikiran *hehe, lebay*. Lha bagaimana nggak merusak pikiran, yang terbayang cuma baju-baju dan sepatu nan lucu, huhuhu…

Berhubung aku sangat menjunjung tinggi perihidup berhemat *halah*, laper mata ini terpaksa ditahan-tahan khusus untuk belanja baju yang murah. Bisa karena harganya yang memang murah, bisa karena lagi dapat voucher gratisan, atau bisa karena harga lagi kena diskon, hohoho. Yang terakhir ini terutama berlaku untuk baju-baju branded seperti Omara dan Shafira.

Desember ini Shafira lagi ngadain diskon up to 70%. Dengan senang hati segera meluncur ke sana. Booo, yang namanya Shafira tuh ya, meskipun ada diskon tetep aja mahal! Alhasil cuma bisa puter-puter di rak tertentu, yang harga setelah diskon jatuhnya di bawah Rp 100 ribu, hehehe. Lumayan lah, ngeborong empat potong cuma keluar duit Rp 229 ribu. Dulu di Omara juga gitu, beli tiga potong cuma Rp 200 ribu. Mantap nggak tuh. Dan setelah dihitung-hitung, harga asli produk Shafira ini adalah Rp 1.166.000. Berarti dapat diskon Rp 937 ribu. Gile bener, banting harganya kenceng amat, hahaha *ketawa puasss*.

Berhubung masih laper mata, acara belanja di Shafira dilanjut dengan window shopping. Ckckck, baju kok ya ada yang harganya enam juta. Itu baju makainya gimana yak, fiuhhh… Ma kasih deh, nggak lagi-lagi ke sana kalau nggak ada diskon :D

Sekarang aku punya cara untuk menyalurkan hasrat laper mata yang terpendam ini, ihik ihik. Nanti deh ya, ceritanya bakal dilanjut lagi ;)

Thursday, November 05, 2009

Keajaiban

Keajaiban itu bernama Hanif. Dari awal mula penciptaannya di dunia, ia sudah menjadi keajaiban itu sendiri. Keajaiban juga yang mengantarnya bertahan, tak terdeteksi selama delapan minggu pertama. Meskipun saat itu flek-flek kerap terjadi dan gaya hidupku begitu sradak-sruduk, keajaiban mewujud dalam keadaannya yang sempurna tanpa kurang suatu apa.

Keajaiban itu bernama Hanif. Langkah patah-patah yang menjelma menjadi lari kecil. Goyangan joget, kerlingan genit, senyum manis, dan tawa renyah. Gaya meniru dan proses belajar yang menakjubkan. Sungguh sebuah keajaiban dalam rentang waktu bertajuk golden age.

Keajaiban itu bernama Hanif. Suka-duka mengandung, melahirkan, dan membesarkannya. Sensasi rasa yang demikian menggelora. Membuat hati menahan perih rindu bila tak bersua, meski itu belum lagi setengah hari lamanya. Bahagia yang tak dapat dideskripsikan dengan kata ketika merengkuhnya, mampu menerbangkan penat dan letih tak bersisa.

Keajaiban itu bernama Hanif. Karunia dan titipan dari Gusti Allah yang tiada terkira. Love you always, Nak. Sampai akhir hayat Bunda.

Pillow Talk

Fiuuhh, tak dapat menemukan padanan istilah ini dalam Bahasa Indonesia. Masak iya disebut “obrolan bantal”? Eniweiii… tak hendak membahas hal ihwal kata serapan dan sebangsanya. Kali ini ingin membahas sedikit tentang asyiknya pillow talk ini.

Dalam sebuah kehidupan pernikahan, komunikasi adalah komponen penting. Komunikasi mungkin bukan segalanya, tapi segalanya berawal dari komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi adalah pillow talk, yang lazim dilakukan para pasangan menjelang tidur. Karena aktivitas seharian yang bejibun—apalagi kalau keduanya bekerja—mengakibatkan pertemuan hanya intens di malam hari, pillow talk merupakan resep jitu berbagi hari. Di dalamnya bisa terjadi tukar pikiran, tukar cerita, atau diskusi mengenai apapun. Pillow talk adalah sarana mujarab untuk mengembalikan komitmen yang sempat beterbangan dari pikiran setelah dikejar aktivitas seharian. Dibumbui dengan kemesraan, ia bisa juga menjadi sarana recharge cinta kasih dan sarana pelepas rindu pada pasangan setelah terpisah seharian. Kadang-kadang malah pillow talk bisa menjadi ajang mencari solusi dalam menghadapi permasalahan kehidupan.

Sebenarnya pillow talk adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling kusukai. Bercerita ngalor-ngidul sambil merem-melek menahan kantuk, wuahh nikmatnya :D Sayangnya karena beberapa hal di bawah ini, pillow talk hanya bisa kami lakukan kadang-kadang.
  • Suamiku bukan tipe orang yang senang bercerita. Dulu semasa masih tinggal bersama di Cikarang, sementara aku berkisah macam-macam, suami cuma bisa merem-melek dan ujung-ujungnya berkata, “Aku bobok ya”. Halahh…
  • Dalam dua tahun pernikahanku, aku hanya sempat mengecap sepuluh bulan tinggal bersama. Otomatis seterusnya, pillow talk cuma bisa dilakukan selama weekend saja.
  • Setelah Hanif lahir, ia selalu tidur di tengah-tengah, di antara ayah-bundanya. Selain menjaga agar ia lebih hangat, cara ini sebenarnya lebih pada tindakan pengamanan supaya ia tidak terguling ke bawah :D Ditambah dengan sensitifnya telinga Hanif mendengar sekedar bisikan pun—yang membuatnya terbangun, pillow talk selalu gagal dengan suksesnya.

Kemarin seusai acara ngundhuh mantu adik ipar yang berlangsung sampai larut malam, menjelang tidur, tak dinyana dan tak diduga… berlangsunglah pillow talk yang selama ini begitu aku rindukan. Yang dibicarakan sih cuma hal yang ringan-ringan saja, tapi itu cukup untuk mengurai kepenatan seharian itu. Ditambah dengan suami yang mengakui kalau pillow talk bisa lebih mendekatkan kami dan ditutup dengan kecupan hangat di kening, sempurna sudah malam itu :)

Miss you always. Love you always, Cintaku.

*ditulis ketika sang belahan jiwa sedang tugas dinas ke Manado. Teringat kutipan dari Pablo Neruda, “And one by one the nights between our separated cities are joined to the night that unites us.”

Tuesday, October 20, 2009

Judes!

Wow, hari ini aku tertohok lagi. Oleh sesuatu yang sudah lama aku tahu, tapi tetap saja rasanya sangat sensasional: antara kaget, malu, dan gusar. Simak saja obrolan di kantin pagi ini.

Aku: “Kamu mual-mual ya?” (tanyaku pada seorang teman yang sedang hamil muda)
Teman A: “Iya nih, lebih mual daripada kehamilan pertama.”
Aku: “Aku dulu juga gitu. Mual banget.”
Teman B: (tiba-tiba berceletuk) “Saking mualnya sampai nggak bisa senyum ya?”
Aku: “???”
Teman B: “Iya. Kamu dulu pas awal-awal di sini kan emang nggak pernah senyum. Judes banget…”

Bagaimana tidak shock mendengar kritik yang begitu jujur seperti itu? Hehehe. Tapi sekarang aku lebih terlatih dalam menghadapi kritik. Tak lagi merasa tersingggung atau nangis bombay seperti dulu. Melainkan mencoba lebih bijak dan merenungkan semua yang temanku itu katakan.

Hmmm, masa-masa awal aku ada di sini… coba aku ingat-ingat. Yayaya, masa-masa itu memang masa-masa kegelapan hehehe. Kondisi sedang hamil, hormon kacau balau, dan mental jungkir balik membuatku begitu labil. Hampir setiap hari menangis, mencoba meraba-raba apa maksud Allah menempatkanku di sini. Fuuhh, masya Allah…

Kuakui, saat itu aku malas sekali menghadapi hari-hari. Malas sekali pergi ke kantor dan bertemu orang-orang. Rasanya wajar kalau saat itu mukaku jadi sering tertekuk. Aku tahu, bisa jadi waktu itu aku sangat judes. Aku tahuuuuu, tapi tetap saja kenyataan itu agak menyakitkan kalau disampaikan orang ya. Yah, aku maklum. Tidak semua orang paham dengan kondisiku. Tak semua orang tahu bagaimana aku berjuang keras untuk tetap tersenyum. Tak bisa salahkan mereka memang. Yang mereka tahu kan cuma keadaan luarku saja. Tak pernah senyum berarti judes. That’s it.

Hmmm, rasanya jadi tahu sekarang, kenapa teman B ini termasuk dalam orang-orang yang paling akhir akrab denganku. Mungkin dia juga malas bersosialisasi denganku waktu itu. Sekali lagi, tak bisa salahkan dia memang.

Kejadian ini membuatku berterima kasih padanya secara pribadi, dan berterima kasih pada Allah secara khusus. Pada Allah aku bersyukur telah diberi kesempatan mengalami campur aduk rasa kehidupan, bersyukur masih diberi cermin untuk instropeksi, dan juga bersyukur telah diingatkan bagaimana sebaiknya berwajah ramah kepada saudara. Yang paling penting, aku juga jadi diingatkan untuk tidak terlampau mudah men-judge orang berdasar penampilan luarnya saja, melainkan juga mencoba memahami dan mengenal orang lain lebih dekat. Karena rasanya sungguh tak enak kalau di-judge semena-mena tanpa tahu sebabnya heuheuheu.

Pertanyaannya sekarang adalah:
  • Apakah sebaiknya kita bermuka dua di hadapan orang lain? Hati kita sedih tapi kita tak boleh bersedih? Harus tetap tersenyum kah? Bukankah sedih adalah manusiawi? Hmmm, mungkin sebaiknya cuma menangis di hadapan Allah saja ‘kali ya. Tapi bisa saja lho, berusaha menyembunyikan perasaan ini dari orang lain malah akan membuat kita makin tertekan.
  • Apakah kita harus selalu memuaskan orang lain? Orang ingin lihat kita tersenyum dan ramah terus, atau orang lain ingin kita begini begitu. Haruskah kita melakukan sesuatu demi menyenangkan orang lain? Dan kadang-kadang menafikan keadaan kita sendiri? Hmmm, jadi martir dong kalau begitu.

Meskipun masih ada tanya tak terjawab, tapi instropeksi kali ini terasa nikmat. Terima kasih ya, Allah!

Thursday, July 30, 2009

Ketika Anak Tiada

Baru saja menulis ini dan re-post ini, pada hari yang sama, aku menghadiri takziyah anak teman sekantor. Teman sekantor ini sudah bapak-bapak, dan anaknya yang meninggal itu berusia sekira dua puluh tahunan.

Sebelumnya aku ingin bercerita sedikit tentang re-post yang ini tadi. Sungguh, aku tersedu membaca baris demi baris dalam tulisan itu. Tak terbayang bagaimana batita itu meregang nyawa di tengah kepapaan, masya Allah. Allah pasti sangat mencintainya sedemikian rupa hingga Ia berkenan mengambilnya dari ayahnya yang miskin. Aku yakin semua itu juga pasti yang terbaik dari Allah.

Semenjak punya anak, mata dan hati ini mudah sekali menangis mendengar kisah-kisah tragis tentang anak-anak. Mulai dari pembantaian anak-anak Palestina dalam serangan Israel beberapa waktu lalu, atau sekedar mendengar berita televisi tentang anak yang meninggal dalam mobil karena kehabisan oksigen, tentang anak-anak penderita gizi buruk, tentang anak yang kakinya dilindaskan kereta api oleh ayah tirinya, dan sederet kisah tragis dan kisah ketidakberuntungan lain tentang anak-anak. Masya Allah…

Kembali ke cerita takziyah teman sekantor tadi. Si anak ini memang sudah lama sakit. Waktu dan biaya juga sudah lama terkuras. Mungkin ini memang yang terbaik dari Allah. Kisah ini dan kisah re-post tadi sama-sama bertutur tentang orang tua yang kehilangan anak. Jadi ingat, dalam sebuah film yang pernah kutonton (yang diangkat dari kisah nyata) tokoh utama yang ditinggal mati anaknya, berkata, “Tidak seharusnya orang tua menguburkan anak mereka.”

Ya, aku sependapat. Yang lazim adalah anak menguburkan orang tua mereka, bukan sebaliknya. Setiap orang tua di dunia ini pasti berharap bisa melihat anaknya hidup bahagia, sehat, dan sukses. Maka kepedihanlah yang timbul bila ternyata si anak pergi mendahului orang tuanya. Keperihanlah yang menyeruak ketika buah hati yang dicintai pergi meninggalkan kita. Bagaimanapun mereka darah daging kita, yang kepadanya kita memuarakan doa dan harapan, yang untuknya kita rela mengorbankan harta dan nyawa, yang padanya kita tak kuasa melihat kesakitan dan sengsara.

Teriring doa setulus hati: “Ya, Allah. Senantiasa berikanlah kepada anak(-anak) hamba kesehatan, keselamatan, perlindungan, dan penjagaan. Jauhkanlah ia dari segala penyakit dan marabahaya. Optimalkanlah pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan, fisik, dan emosinya. Jadikanlah ia qurrota a’yun bagi kami, jadikanlah ia hambamu yang shalih, jadikanlah ia anak yang berbakti pada orang tua. Serta jadikanlah kami orang tua terbaik baginya, dapat memberikan yang terbaik baginya untuk bekal di dunia dan di akhirat. Amin.”

Karena Setiap Anak Adalah Unik

[dipersembahkan untuk Hanif]

Sebagai orang tua yang dikaruniai anak, adalah hal yang (kadang terasa) otomatis untuk membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Sayangnya kita sering terlupa bahwa meskipun hal itu lazim, tapi ia tidak sewajarnya dilakukan.

Ketika Hanif beranjak besar, beberapa kali diri ini melirik anak orang lain yang “sudah bisa tengkurap”, “sudah bisa merangkak”, “sudah bisa berjalan”, dan sederet “sudah bisa” lainnya. Lalu diri ini langsung tersadar ketika menoleh kembali kepada Hanif dan mendapatinya sehat, lincah, ceria, cerdas, tak kurang suatu apa. Aku paham, setiap anak punya waktunya sendiri.

Namun tak urung hati ini sebal juga kalau ada yang bertanya, “anaknya belum bisa jalan ya?” atau “anaknya belum bisa ngomong ya?”. Apalagi kalau usil berkomentar seperti “wah, nggak berhasil ASI eksklusif ya?”, “kok Hanif belum bisa ini itu…”, atau “wah, kalau anakku sih udah bisa begini begitu…”. Ingin menampar saja orang seperti ini, grrrr.

Membandingkan dengan anak lain itu (bisa jadi) wajar karena kita tak bisa tahu pencapaian kita tanpa pembanding, sepanjang hal ini dilakukan dalam batas normal, misal: untuk pengontrolan panjang dan berat badan yang sehat. Namun kalau pembandingan ini melangkah kepada pembandingan kemampuan dan perkembangan, kok rasanya agak terlalu usil ya. Bukankah setiap anak diciptakan dengan bakat dan minat tersendiri, termasuk tahapan perkembangannya? Bukankah tidak setiap anak seragam waktu tumbuh giginya, atau waktu berjalan dan berbicaranya, sebagai contoh?

Lebih jauh lagi, lihatlah masyarakat kita sekarang. Para orang tua berlomba-lomba mengajari anak mereka membaca dan berhitung serta memaksakan mereka bisa sebelum usia tertentu. Yang lainnya ramai-ramai memasukkan anak mereka ke tempat-tempat les bahasa asing, musik, balet, dan lain-lain. Kalau itu atas keinginan si anak sih tidak masalah, tapi bagaimana kalau itu hanya demi memuaskan obsesi orang tua yang ingin anaknya serba bisa? Apalagi demi memuaskan ego orang tua yang tak mau malu ketika membandingkan (kemampuan atau prestasi) anak mereka dengan anak-anak lain. Duh!

Aku selalu menganggap Hanif adalah mukjizat dan anugrah luar biasa. Sekaligus amanah yang harus dijaga baik-baik. Aku tak ingin membuatnya terluka dengan membanding-bandingkan minusnya dengan anak lain, toh ia juga dikaruniai plus yang lebih banyak. Setiap anak yang dititipkan pada kita adalah pribadi unik yang tak ada duanya, maka berhentilah membanding-bandingkan anak kita dengan anak lain, dan selalu bersyukur kita masih diamanahi karunia yang luar biasa.

Tentang Pernikahan (Lagi)

Tiap kali mendengar kabar tentang pernikahan seseorang, atau tiap kali menerima undangan pernikahan dari seorang teman, tak dapat disangkal aku langsung terhenyak. Detik terasa berhenti sejenak, membawa ingatanku kembali ke saat di mana aku menghadapi pernikahanku sendiri.

Begitu juga ketika mendengar kisah atau menemui pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk asmara. Kadang merasa geli sendiri. Kadang merasa sinis dan skeptis. Kadang merasa cemburu. Ya, kalau mau jujur pada diri sendiri, sering sekali aku merasa cemburu pada mereka. Cemburu pada kebahagiaan dan binar-binar cinta mereka yang menguar sampai ke mana-mana.

Kehidupan pernikahanku sendiri baru berjalan dua tahun tiga bulan. Namun di usianya yang baru seumur jagung itu, aku merasakan pernikahanku telah bertumbuh, telah mencapai fase yang berbeda. It’s a great thing to know that it grows with us.

Dulu rasanya dunia hanya milik berdua saja. Aku tak lengkap dan merasa tak berdaya tanpanya. Merinduinya sepanjang waktu. Memujanya habis-habisan. Agak kekanak-kanakan mungkin, tapi ini tipikal khas orang yang jatuh cinta :D

Kini? Hmm, rasanya lebih dewasa dan lebih rasional. Juga lebih realistis dalam memandang kehidupan. Mimpi tentang masa depan tak lagi berbuih-buih seperti awal pernikahan dulu, karena sudah mengalami sendiri perbedaan antara “apa yang kita inginkan” dan “apa yang kita dapatkan”. Dua insan yang dulu dimabuk asmara—sampai lautan rela diseberangi dan gunung rela didaki, kata orang—kini lebih kental sebagai dua orang yang saling bersahabat dan dua orang yang saling melengkapi. Kalau si dia sedang jauh, perasaanku tak lagi dipenuhi oleh rasa tak berdaya seperti dulu. Hidup masih berlanjut, meski terasa pincang—yah, namanya juga manusia normal. Tapi lama-lama aku berhasil deal with it. Alih-alih nangis bombay, aku lebih suka mengalihkannya untuk sesuatu yang lebih produktif.

Just a word of advice, don't do such LDR if you can. Although it has made our relationship grow in a special way that a normal couple might not have it, which I can then say that these hard time worth, still... nothing can be better than having him besides you. (Desiree)

Aku rasa kata-kata Desi benar adanya. Setiap kehidupan pernikahan—milik siapapun itu—punya plus minusnya sendiri, punya riak-riaknya sendiri. Kehidupan pernikahanku yang tidak ideal akibat terpisahnya kami ternyata memiliki sisi positif tersendiri. Kalau mengutip kata-kata Desi: LDR has made our relationship grow in a special way that a normal couple might not have it, which I can then say that these hard time worth. Seiring dengan lahirnya Hanif dan berjalannya waktu, kemandirianku menjadi jauh lebih kuat. Mentalku juga lebih tahan banting dan tidak se-melankolis dulu. Aktualisasi diri kami terpenuhi secara bebas, dan kami juga punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri (me-time).

Meskipun demikian, still... nothing can be better than having him besides you. Namanya juga pernikahan, idealnya memang harus dilalui seatap bersama. Kadang-kadang rindu sekali diri ini pada labuhan asa tempat menumpahkan segala curhat dan penat, atau sekedar teman ngobrol melewatkan malam. Rindu sekali diri ini pada sosok mitra bertukar pikiran dan merancang masa depan. Karena ketika bertemu setiap akhir pekan, waktu yang tercipta di antara kami selalu hanya berpusat pada Hanif—aku maklum, kalau sudah ada anak, si istri biasanya terlupakan :p (lebih-lebih karena si dia memang jarang bertemu Hanif).

Melewati dua tahun pernikahan, detil-detil kecil yang manis seperti kecupan, pelukan, colekan nakal, kerlingan genit, dan sebangsanya, sudah jauh berkurang. Entah terlupakan, entah tak lagi dianggap penting (terutama olehnya *sigh*). Wajar kalau aku sering merasa cemburu pada pasangan pengantin baru, karena pada mereka, biasanya detil-detil kecil yang manis ini sangat melimpah. Pertemuan akhir pekan yang singkat kadang tak memberi ruang untuk curhat dan diskusi panjang, karena perhatian terlanjur habis untuk Hanif. Seandainya kami bisa bertemu lebih sering, sehingga perhatian untukku juga seimbang dengan perhatian untuk Hanif.

Ah, hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan berandai-andai. Maka kusyukuri saja semuanya. Ketika akhir pekan tiba, dan kuberikan waktu sepuasnya bagi Hanif untuk berinteraksi dengan ayahnya, aku menyibukkan diri dengan my me-time. Kapan lagi aku bisa menulis, membaca buku, online, pergi senam, atau ke salon dengan nikmat tanpa diganggu Hanif? Alhamdulillah, there’s always a silver lining in every clouds.

Sekali lagi, pernikahanku baru seumur jagung. Masih panjang jalan terbentang, masih banyak tugas yang harus dikerjakan, masih banyak tanggung jawab yang harus ditunaikan. Ini baru permulaan. Hidup tak pernah sempurna, begitu juga kita, pasangan, dan pernikahan kita. Dalam hidup, kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, maka syukuri saja apa yang sudah kita miliki. Menikah itu gampang. Menjaganya tetap utuh dan seimbang—seimbang lahir-batin, seimbang dunia-akhirat… itu yang susah.

Tulisan terkait:

Wednesday, June 24, 2009

Idealisme Vs Realitas

Aku sering takjub bagaimana waktu bisa begitu mengubah hidup seseorang. Aku tak terlalu paham apa yang telah terjadi, tapi melihat beberapa respon dari teman-teman… tampaknya saat ini aku telah berubah menjadi seseorang yang skeptis dan sinis. Kesadaran ini datang dari “ketersinggungan” beberapa teman atas komentar-komentar yang aku lontarkan. Hmm, benarkah? Am I being skeptical and cynical?

Ada suatu masa dalam hidupku di mana segala sesuatu yang tampak dalam benak rancangan hidup adalah kehidupan yang serba idealis. Dari pemahamanku tentang peran utama seorang perempuan, waktu itu aku sangat berharap bisa menjadi stay-at-home mom. Atau kalaupun berkarir, bisa berkarir dari rumah. Nyatanya Allah menakdirkan lain.

Dalam hal pernikahan, terinspirasi dari romantisme masa kecil tentang negeri dongeng, hal yang terbayang adalah sebuah pernikahan yang happily ever after tanpa tetek bengek yang menyusahkan. Tak ada bayangan cerita soal princess yang kebingungan mencari dayang untuk mengasuh anak-anaknya karena ia harus bekerja sementara pangeran tinggal beda kota dan beda istana, atau princess yang tidak akur dengan mertua, atau princess yang bertengkar dengan pangeran, misalnya. Let me tell you, there is no such a fairytale.

Ketika hidup berbenturan dengan idealismeku, maka yang menang adalah hidup. Hidup mengajarkanku bahwa ia tak seindah bayangan. Ya ya ya, terdengar klise memang. Tapi sungguh, ketika akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan menikah… maka itulah sebenar-benar hidup. Kita dihadapkan pada kerasnya kehidupan dunia. Tak ada lagi hal-hal yang serba ideal, serba manis… yang ada hanya sikap realistis bahwa hidup tak semulus dan seindah yang dibayangkan.

Mungkin dari pengalaman seperti itulah, aku jadi agak bersikap ajaib terhadap teman-teman yang masih hidup dalam idealisme mereka. Seakan ingin membangunkan mereka dari mimpi yang melenakan. Ingin berseru pada mereka, “Wake up! There is no such a fairytale…

Aku tidak sirik. Apalagi iri. Karena aku yakin bahwa hidup punya takdirnya masing-masing—sesuatu yang wajib juga kita syukuri, karena takdir Allah pastilah yang terbaik. Aku hanya ingin mengingatkan mereka: ada banyak hal pahit dalam hidup ini. Bila hal pahit itu belum datang pada mereka, jangan terlampau senang. Karena tak mungkin Allah membiarkan hidup hamba-Nya mulus dan lempeng tanpa ujian.

Aku tahu, pencapaian yang sederhana berawal dari mimpi yang melangit. Aku tidak melarang orang bermimpi setinggi langit. Tapi kalau lantas hal itu membuat mereka tidak realistis, ya tidak sehat juga rasanya. Hanya ingin mengingatkan.

Hmm, mungkin itu ya yang membuatku menjadi (terlihat) begitu skeptis dan sinis memandang kehidupan?

Catatan:
Kisah lain tentang idealisme vs realitas ada di sini. Baca saja. Bagus untuk renungan.

Monday, June 15, 2009

Sosialisasi

Masalah klasik yang selalu hadir dalam keseharian seorang ibu muda adalah sulitnya bergaul atau hang out dengan teman. Maklum, anak masih kecil dan masih suka bergelung di pelukan bundanya. Atau kalau tidak, bundanya yang sering kangen dan tidak tahan meninggalkan si kecil lama-lama.

Aku tipe yang senang main dan jalan-jalan. Apalagi kalau teman-teman yang ikut cukup banyak. Sebelum menikah, tak pernah terbayangkan bahwa kehidupan sosial di luar rumah akan “terkorbankan” seperti ini. Pastinya kesadaran tentang itu tetap ada. Hanya tak pernah berpikir bahwa hal ini akan menjadi masalah.

Yah, sebetulnya bukan masalah yang gawat juga sih. Sempat merenung sejenak soal ini ketika beberapa waktu lalu suami mengeluh bahwa kehidupan sosialnya dengan teman-teman sekantor tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Pasalnya, tiap akhir pekan ia mesti ke Bandung menyambangi anak istrinya, sementara biasanya justru di akhir pekan teman-temannya mengadakan acara. Sebut saja acara pernikahan, sebagai contoh. Untuk itu ia harus memilih, absen dari acara itu atau absen dari anak istrinya. Bukan pilihan yang menyenangkan kalau ia harus terus-terusan absen dari acara pernikahan teman-temannya.

Bagaimana dengan aku? Sama saja. Akhir pekan seperti jadi harga mati untuk berada di rumah, karena saat itu suami datang. Bisa ditebak, akhir pekan bakal full untuk anak dan suami, dan terpaksa harus menepis ajakan teman-teman untuk sekedar bertemu atau jalan-jalan.

Masalahnya tak akan jadi pelik kalau teman-teman sejawat juga sudah sama-sama punya anak. Jadi kan bisa seperti family gathering. Sayangnya sebagian besar belum menikah, dan acara hang out selalu identik dengan gaulnya kaum lajang. Tak enak juga kalau dalam acara-acara seperti itu kita sendiri yang mengajak anak dan suami.

Pernah suatu kali aku tak diajak dalam acara kumpul-kumpul. Entah karena aku yang terlalu sering menolak ajakan sejenis—karena alasan yang sudah aku ungkapkan di atas—atau memang karena kuota sudah terlalu banyak, yang jelas: ada sebersit rasa tak dianggap. Mungkin aku sedang agak sensitif juga sih waktu itu.

Pernah juga suatu kali aku ikut acara karaoke selepas maghrib hingga malam. Meskipun hati agak tak tenang karena sudah seharian meninggalkan Hanif di rumah, aku ikut juga karena ingin berpartisipasi dalam acara hang out teman-teman, dan supaya kejadian “tak dianggap” di atas tidak terulang. Sedikit memaksakan diri dan merasa bersalah setelahnya. Duh…

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, hanya aku di kantor ini yang notabene seorang ibu muda namun tetap eksis di acaranya kaum lajang kantor. Ibu-ibu muda yang lain lebih memilih untuk cepat-cepat pulang menjumpai anak. Bukannya aku tak sayang anak. Ini lebih kepada upaya untuk tetap eksis dalam dunia sosialisasi kantor. Tak dapat kupungkiri, aku masih mencari formula yang tepat untuk memposisikan diri di antara rumah dan luar rumah. So, any suggestion?

Friday, June 12, 2009

Narsis!

Ada seorang teman yang selalu membuatku merasa terintimidasi lewat update cerita, foto, dan komentar yang mengindikasikan keberhasilan dan pencapaiannya, di sebuah situs jejaring sosial. Semula aku mencoba berprasangka baik. Mungkin dia ingin membagi kisah suksesnya untuk memberi inspirasi bagi orang lain, atau sekedar berbagi cerita untuk menularkan kebahagiaannya.

Tapi lama-lama kok jadi eneg. Pasalnya, tiap kali aku berkomentar atau memberi pujian sedikit, dia makin ngelunjak. Komentar balasannya bernada meremehkan atau memberi indikasi-indikasi keberhasilannya berikutnya. Seakan-akan dia yang paling berhasil dan orang lain tidak seberhasil dia, atau orang lain tidak tahu apa-apa.

Bah! Sebenarnya maksud dia apa ya. Sebal sekali aku melihatnya. Sekaligus mengelus dada, betapa banyaknya media yang bisa dijadikan ajang narsisme sekarang ini. Juga betapa banyaknya orang yang menyalahgunakan media-media tersebut menjadi ajang narsisme untuk pamer pencapaian. Jadi ingat tulisan ini dan ini.

Well, sebenarnya mau narsis atau tidak narsis… itu hak setiap orang. Tapi kalau hal itu lantas membuat dia menyombongkan diri dan meremehkan orang lain… itu yang aku TIDAK SUKA.

Dua Sembilan ??

Ketika aku mempersiapkan pernikahanku dua tahun silam, beberapa pihak terkait tidak percaya akan usiaku yang menjelang dua puluh lima waktu itu. Mereka pikir usiaku masih di bawah itu (baca ini).

Sekarang pun aku masih sering dikira lebih muda daripada usiaku sebenarnya. Anak-anak PKL di kantor sering memanggilku “Mbak” dan tidak mengira aku sudah punya anak, bahkan ada satu yang mengira aku masih kuliah dan sedang PKL juga ^^

Maka ketika aku mengingat kejadian sore itu, aku bisa terkikik sendiri. Kira-kira begini nih dialog antara aku dan Apriel—teman di tempat senam—waktu itu.

Apriel : “Bu, hari ini aku ulang tahun lho.”

Aku: “Oh ya? Selamat ya. Yang keberapa?”

Apriel: “Dua puluh tiga, Bu.”

Aku: “Wah, masih muda ya. Selisih… umm… empat tahun sama aku nih.”

Apriel: “Ha? Cuma empat tahun? Jadi ibu dua tujuh ya. Aku kira ibu dua sembilan.”

Aku: “Haaaa?? Dua sembilan???”

Giliran aku yang ternganga. Memangnya tampangku setua itu ya? *garuk-garuk kepala*

Tuesday, June 02, 2009

Lika-Liku Laki-Laki

Dalam kesempatanku mengunjungi kembali rumah kami di Cikarang akhir Mei lalu, tak ada yang lebih mengejutkan selain berita itu. Tetangga yang kami kenal baik, sebut saja pasangan suami istri Bu M dan Pak J, sedang dalam proses bercerai. Berita itu kudengar dari asisten rumah tangga mereka ketika aku sedang mengasuh Hanif di jalan depan rumah kami.

Di mataku, mereka adalah pasangan ideal. Sama-sama satu rumpun sebagai orang Jawa, yang satu cantik dan yang satu ganteng, satu almamater di UGM, dua-duanya sukses dalam karir, dan dikaruniai seorang putri cantik yang menyenangkan. Mereka ini pasangan muda, paling-paling keduanya masih di kisaran usia pertengahan 30-an. Putri mereka saja masih kelas 1 SD. Secara materi, mereka berkecukupan. Rumah bagus, dua kali lebih luas daripada rumah lain—karena mereka membeli dua rumah berdampingan lalu dijadikan satu, serta dilengkapi dua mobil pribadi.

Kehidupan mereka pun tampak menyenangkan. Selalu tampil sebagai keluarga harmonis dan bahagia. Selalu tampak rukun dan saling mendukung. Yah, setidaknya seperti itulah kesan yang kutangkap ketika aku tinggal di sana dulu. Tapi di balik kehidupan ideal itu, ada sesuatu yang harus dikorbankan: waktu Pak J. Sebagai karyawan ASTRA yang berkantor di Sunter, tiap hari Pak J harus pergi pagi-pagi dan pulang larut malam. Waktu luang untuk keluarga hanya ada di akhir pekan.

Aku tak pernah mengira mereka akan berakhir seperti ini. Dengar-dengar dari asisten itu (Ya Allah, bukan maksud hamba bergosip, asisten itu yang bercerita sendiri sementara hamba diam saja) Pak J sudah menikah dengan sekretarisnya di kantor dan sudah pisah ranjang dengan Bu M dua bulan ini. Mereka bercerai karena Bu M tidak mau dimadu.

Sore itu ketika putri mereka sedang bermain bersama Hanif, aku memandangnya iba. Aku ingat betapa riangnya ia tiap kali mereka bertiga berkumpul atau meluangkan waktu bersama. Sebagai anak dari kedua orang tua yang berkarir, waktu dengan ayah bundanya tentu menjadi hal yang mahal, hal yang membuatnya berbinar. Kini ia terpaksa bermain-main sendiri karena bundanya jadi sakit-sakitan akibat kejadian ini. Aku miris membayangkannya merindui ayahnya. Aku miris membayangkannya merindui keceriaan bundanya. Aku miris karena ia terpaksa harus jadi anak tunggal korban perceraian, tak ada saudara tempat berbagi. Masya Allah...

Aku terhenyak. Tak tahu harus berpendapat apa. Terlepas dari siapa yang bersalah, aku ingin membahas hal ini sedikit. Sebenarnya, apa sih yang membuat para suami pindah ke lain hati? Mengingat mereka ini pasangan muda, seharusnya jenuh atau bosan bukan faktor utama. Seharusnya kenangan merajut impian di masa-masa awal pernikahan masih jelas terpatri. Mengapa semudah itu jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah karena jarang bertemu dengan sang istri? Apakah karena lebih sering bertemu dengan si sekretaris?

Kalau jawabannya ya, alangkah mengerikannya kehidupan Jakarta. Faktor jarak dan waktu merampas kehidupan keluarga. Demi alasan bisnis, keluar dengan perempuan lain menjadi hal biasa. Ingat bahwa witing tresna jalaran saka kulina. Apa karena itukah?

Hati laki-laki seperti gua. Gelap dan sulit diraba. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran mereka, juga hati mereka. Mengapa suatu saat mereka bisa sangat romantis, lalu mengapa kali lain juga bisa menyakiti hati perempuan sedemikian rupa? Apa yang laki-laki cari dalam diri seorang perempuan? Apakah ikatan suci pernikahan tak ada maknanya? Apakah anak-anak tak ada artinya?

Kalau sudah begini, aku jadi ngeri membayangkan kehidupan Jakarta. Yang tak kuat iman bisa tergoda. Lihat saja berita-berita di televisi itu, betapa godaan perempuan maha dahsyatnya. Aku sadar sepenuhnya, kehidupan pernikahanku yang sangat tidak ideal karena hidup terpisah dengan pasangan—kalau dipikir-pikir—rentan dengan hal-hal semacam ini. Sementara umur pernikahan ini baru seumur jagung, masih terus membangun komunikasi—yang tak juga kunjung solid. Semoga Allah menyelamatkan dan menjaga kami.

Ayahku Idolaku

Dulu ketika aku menjalani masa kehamilan dan masa awal lahirnya Hanif, aku hampir selalu khawatir bila Hanif tidak punya figur kuat tentang ayahnya. Kehadiran ayahnya yang cuma dua hari setiap minggu cukup beralasan untuk membuatku berpikir bahwa ia tidak akan pernah bisa akrab dan dekat dengan ayahnya. Bagiku ini adalah masalah pelik, mengingat ia laki-laki dan butuh figur ayah sebagai role model. Ternyata dugaanku meleset.

Tiap kali Ayah datang, Hanif dengan semangat empat lima menyongsongnya. Sambil tertawa-tawa riang, ia menghambur ke pelukan Ayah. Selanjutnya bisa ditebak. Selama akhir pekan, tak mau dia pisah dari Ayah. Inginnya bermain-main terus bersama Ayah, tak peduli malam sudah larut sekalipun. Bunda jadi tak laku, apalagi si Mbak.

Berdua, mereka memainkan permainan yang tak pernah Hanif mainkan bersama Bunda. Permainan laki-laki, sebut Bunda. Seperti loncat-loncatan, jungkir balik, gendong-gendongan di atas pundak dan punggung, dan sederet permainan lain yang Bunda males mainkan karena bikin capek, hehehe.

Syukurlah kalau Hanif sangat dekat dengan Ayah. Meskipun masih kecil, ia sudah punya ikatan dengan Ayah. Tak apalah Bunda tak laku, toh jadi malah bebas punya waktu untuk diri sendiri, hehehe.

Senior = Tidak Nyaman ??

Dalam dunia kerjaku di kantor, selain kegiatan rutin yang menjadi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sehari-hari, aku juga terlibat dalam kegiatan dua tim pelaksana—yaitu Tim Web dan Tim Inventaris Barang Milik Negara—serta kepanitiaan Seminar Nasional 2009.

Selama ini, rekan kerja maupun rekan tim mayoritas adalah anak-anak muda yang sebaya denganku. Oleh karena itu, aku sangat terbiasa dengan gaya dan dunia yang hampir sama. Pertama kali ikut serta dalam rapat Tim Inventaris Barang Milik Negara, aku kaget juga. Ternyata sebagian besar anggota yang lain sudah jauh lebih senior. Olala!

Masalah senioritas seharusnya bukan masalah besar. Tapi tetap saja, hal itu menyisakan banyak kecanggungan buatku. Yah, bayangkan bila selama ini kerap beradu diskusi dengan teman yang seumuran, kini tiba-tiba berhadapan dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang seumur papi-mamiku. Bagaimana tidak kaget, adaptasinya harus seperti apa, coba. Cara kerjanya berbeda, cara berpikirnya berbeda, bahkan guyonannya pun berbeda. Fiuhh...

Sebenarnya aku tahu, cepat atau lambat aku pasti akan berurusan dengan para senior juga. Cuma kok ya masih terkaget-kaget saja. Ada selintas pikiran negatif, bahwa bekerja dalam tim ini tidak akan senyaman seperti di tim lain yang sudah-sudah. Huh, lagi-lagi masalah comfort zone yah. Masalah klasik.

So, positive thinking sajalah. Jalani dengan sebaik-baiknya. Have fun saja, barangkali ini malah kesempatan baik untuk menggali ilmu dari para senior itu. Ayo Yustika, semangatttt!!!

Friday, May 29, 2009

Ketika Hanif Harus Dioperasi


[catatan 6 Mei 2009]

Akhir pekan ini terasa singkat. Peristiwa demi peristiwa berlangsung cepat dan terasa seperti mimpi. Seperti baru kemarin aku pulang dari clearance sale di lantai dasar BIP itu.

Jadi ceritanya, Jumat 1 Mei itu, sepulang kerja aku tidak langsung ke rumah. Aku pergi ke BIP untuk membeli bahan makanan Hanif dan berencana ke BEC untuk mengambil notebook yang hampir seminggu tak kunjung selesai juga perbaikannya.

Seperti layaknya perempuan biasa di awal bulan ketika melihat clearance sale besar-besaran, aku tergoda mampir ke gerai di lantai dasar BIP, lalu menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk memilih dan mencoba baju. Tak tahu saat itu di rumah Hanif sedang menangis kencang karena kesakitan.

Sesampai di rumah, aku merasa ada sesuatu yang gawat (halah!). Mbak Nunung, asisten rumah tanggaku yang biasanya cuma bekerja setengah hari, masih ada di situ sambil menggendong Hanif yang merintih. Mbak Sari, pengasuh Hanif, bilang Hanif baru saja menangis kencang seperti yang sudah-sudah. Keduanya menunjukkan padaku benjolan keras di atas skrotum Hanif (kalau di perempuan, posisinya mungkin sejajar sama rahim) sebelah kanan. Seketika hatiku berdesir. Hanif harus dibawa ke dokter saat itu juga.

Tanpa ganti baju atau kerudung, aku langsung memacu motor ke RS St. Borromeus memboncengkan Mbak Sari dan Hanif (nasib jadi single parent di hari kerja begini). Bingung harus ke mana (karena dokter spesialis anak dan dokter umum sudah pada tutup, posisi waktu ada di pukul 19.20), aku menuruti saran suster untuk langsung ke dokter bedah. Diagnosis dr. Arthur Tobing, Sp.B (dokternya baik dan ramah banget bo!) langsung bilang bahwa itu hernia dan disuruh langsung rawat inap. Aku bengong, nggak ada persiapan apapun untuk rawat inap. Makin bengong lagi setelah dokternya bilang, kalau benjolan masih ada juga dalam beberapa jam observasi ke depan, Hanif harus dioperasi malam itu juga (hah?!).

Sambil mendengarkan omongan dokter, ingatanku terbang. Sudah ada sebulan ini Hanif kadang menangis kencang. Kadang seminggu dua kali atau sekali. Kalau sudah menangis seperti itu, bisa makan waktu sejam lebih... nggak mau diam juga. Dokter juga menyebutkan beberapa gejala hernia, antara lain jadi susah BAB dan muntah-muntah. Hmm, Senin lalu Hanif memang sempat sembelit. Tapi setelah BAB (meski dengan perjuangan ekstra keras sampai nangis-nangis kencang), dia sudah ceria lagi. Jadi kupikir itu sembelit biasa. Hmmm, lalu malam Rabu dia juga muntah-muntah 7-8 kali semalaman. Tapi setelah bisa tidur, paginya dia sudah biasa lagi. Jadi kupikir itu masalah kembung biasa saja.

Makanya dokter langsung bilang kata “operasi“, karena gejalanya sudah cukup lama. Takut terlambat, takut usus sudah telanjur terjepit katanya. Jadi karena usus terjepit, sirkulasi makanan dan udara jadi tidak lancar. Akibatnya, susah BAB dan kembung trus muntah-muntah deh. Siyyal, kenapa aku nggak curiga sebelumnya yak.

Ketika sedang menunggui observasi Hanif di UGD, suamiku datang. Tadi sempat kutelepon untuk langsung datang ke UGD saja sesampainya dari Jakarta. Menimbang-nimbang sebentar, kami akhirnya setuju untuk operasi. Sepertinya terlalu berbahaya kalau operasi ditunda, mengingat gejalanya sudah cukup lama. Ingin menangis rasanya melihat Hanif kesakitan begitu. Ya sakit karena hernia, juga sakit karena ditusuk jarum infus sampai tiga kali. Sampai tersengal-sengal dia, saking lama dan kencang nangisnya.

Pukul 22.10, tiga jam setelah dibawa ke RS, Hanif masuk ruang operasi. Masya Allah, nggak kebayang aja, anak sekecil dia harus dioperasi. Kalau orang lain mungkin ada ya. Tapi ini terjadi pada anak sendiri, membayangkannya saja tidak pernah. Aku sempat menggendong Hanif sebentar, sebelum akhirnya terpaksa melepasnya pergi digendong suster ke balik pintu kamar operasi.

Malam itu di ruang tunggu, aku duduk sendiri. Suamiku pulang untuk mengantar Mbak Sari dan mengambil baju-baju Hanif. Pikiranku berkecamuk ke mana-mana. Semua terasa seperti mimpi. Masih setengah sadar kalau saat itu tengah menunggui Hanif dioperasi. Alhamdulillah doa dan dukungan terus mengalir, lewat sms, telepon, dan Facebook (hihihi, teteupp aja fesbukan). Aku jadi merasa tidak sendirian.

Operasi berjalan satu seperempat jam. Setelahnya aku dipanggil ke dalam untuk menunggui Hanif yang masih setengah sadar. Dokter bilang operasi lancar. Ternyata usus Hanif benar sudah terjepit. Untung nggak sampai biru, kata dokter. Kalau yang versi parah, setelah usus terjepit, membiru, lalu jadi infeksi dan bisa membusuk. Kalau sudah busuk kan harus dipotong dan dibuang. Hiiii, ngeriii. Alhamdulillah belum terlambat bagi Hanif. Untung tadi kami langsung setuju operasi.

Sabtu menjelang subuh, Hanif sadar sepenuhnya. Menangis lah dia, rupanya lapar dan haus. Setelah kenyang disusui, langsung tidur lagi sampai jam sembilan pagi, hehehe. Setelahnya, semua berjalan lancar. Hanif bisa ceria lagi. Tingkah polahnya sudah ke sana kemari, seperti tak pernah sakit saja dia. Karena progresnya terus membaik, Minggu pagi dokter memutuskan Hanif boleh pulang. Tinggal perawatan luka operasinya saja yang harus hati-hati.

So, here I am. Mencoba mengambil hikmah dari segala yang terjadi. Kata mamiku, seorang ibu adalah dokter pertama anaknya. Ibu-lah yang harus pertama tahu kalau ada hal yang tidak beres pada anaknya, yang pertama aware kalau anaknya sakit. Berarti parah juga aku yak, sampai Hanif harus dioperasi begitu. Hhh, merasa tidak becus jadi ibu nih. Lagi-lagi merasa bersalah karena spend a lot of time di luar rumah dan tidak ada di sana ketika sesuatu terjadi pada Hanif (ini yang aku benci dari menjadi-ibu-bekerja). Hmm, rasanya skill keibuanku harus diasah lagi.

Terima kasih untuk semua yang peduli dan telah mendoakan ya. Atas perkenan Gusti Allah dan doa kalian, semuanya lancar jaya (mengutip kata-kata Nana, hehehe). Rencana akhir pekan yang semula akan jalan-jalan ke pameran buku Kompas – Gramedia di Sabuga, jalan-jalan ke Cikarang dan Jakarta, serta menghadiri pernikahan Baso, ternyata harus diganti dengan jalan-jalan di rumah sakit. Alhamdulillah, peristiwa ini makin menjadikan kami bersyukur bahwa hidup dan kesehatan adalah anugerah, dan bahwa Hanif adalah karunia dan amanah yang harus kami jaga baik-baik. Memang benar skenario Gusti Allah yang terbaik. There’s always a silver lining in every cloud.

Monday, April 06, 2009

Indah Pada Waktunya

Dalam hidupku, beberapa kali aku melihat rumput tetangga tampak lebih hijau. Dulu ketika aku nggak lulus-lulus kuliah, aku sering mengeluh pada-Nya... bahwa hidupku tak semulus hidup orang lain. Kenapa si anu sudah begini, kenapa si anu sudah begitu, kapan datangnya waktuku, dan masih banyak lagi.

Saat ini, melihat kembali perjalanan hidupku, aku jadi malu sendiri. Memang skenario-Nya yang terbaik, menjadikan segala sesuatu dalam hidupku indah pada waktunya. Tidak terlalu lambat, juga tidak terlalu cepat. Melainkan tepat pada waktunya.

So, here are some milestones of mine:


2006

  • Lulus kuliah

2007

  • Beli rumah (sama calon suami waktu itu)
  • Nikah

2008

  • Dapat kerja
  • Hanif lahir

2009

  • SK PNS turun


Alhamdulillah. Syukur tak terkira atas segala nikmat-Nya. Resolusi dan milestone lain menyusul ya ;)

Manisnya Berbagi

Satu hal yang amat kukagumi dari suamiku adalah kemurahan hatinya. Dibesarkan dalam keluarga yang mengerti benar tentang arti kesederhanaan, ia tidak lantas bersikap eman terhadap miliknya. Suka sekali ia memberi, terutama terhadap orang-orang yang memang layak menerima.

Sore itu, kami termangu di lobi BIP, memandangi hujan yang turun dengan lebatnya. Parkir motor ada di seberang jalan, dan kami sama sekali tidak membawa payung. Di pinggir jalan, cukup ramai orang menawarkan ojek payung.

”Kita nekat saja yuk. Kasihan Hanif nunggu di rumah. Kita ke motor pake ojek payung, sekalian ngasih rejeki,” kata suamiku seraya meraih payung yang dipegang ojek payung di depannya, yang adalah seorang anak kecil. Ya, anak kecil. Dari obrolan selintas lalu, dia baru kelas 3 SD. Suamiku memilihnya karena ia lebih layak menerima dibanding ojek-ojek payung yang lain, yang rata-rata lebih dewasa.

Di parkir motor, suamiku menyuruhku memberi anak itu lebih dari dua kali lipat tarif ojek payung yang normal. Terus terang kami lebih suka memberi dengan cara seperti ini daripada memberi kepada peminta-minta. Memberi dengan cara ini bagai memberi kail, bukan ikan. Memberi dengan cara ini mengajari orang berusaha, bukan meminta-minta. Dan tentu, memberi lebih daripada yang ia layak terima adalah kebahagiaan tersendiri.

Subhanallah, satu momen lagi dalam hidupku, aku diajari suamiku arti memberi. Binar mata dan ucapan terima kasih anak itu lebih dari cukup untuk membuat hatiku berdesir haru sore itu. Hmm, begini rasanya: bahagia karena memberi. Alhamdulillah masih diberi-Nya kesempatan untuk merasakan bahagia versi ini.

Liburan


Karena Maret lalu KTP, SIM, dan STNK-ku habis masa berlakunya dan perlu diperpanjang, aku dan suami mengambil cuti empat hari untuk pulang ke Solo. Agenda ini sudah direncanakan lama, dan kebetulan bertepatan dengan agenda piknik BIE—nama bidangku di kantor—ke Jogja dan sekitarnya.

Semenjak Hanif lahir, acara pulang kampung selalu riuh dengan barang bawaan. Maklum, kebutuhan bayi kan segambreng adanya. Mainan saja sampai satu kresek besar, belum lagi baju dan celana. Akhirnya setelah semua barang dipadatkan dalam mobil, kami harus merelakan carseat dan stroller-nya nggak dibawa. Nggak ada tempat :D

Perjalanan ke timur memakan waktu yang lama karena tersendat di daerah Majenang, seusai perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah. Di sana jalannya rusak dan ada satu ruas yang dipenuhi longsoran lumpur. Hmmphh, jalannya mobil jadi pelan sekali, terguncang-guncang nggak karuan. Sempat juga kena macet di beberapa titik, salah satunya Kebumen. Di perjalanan, kami mampir di RM Mergosari (di sini ayam gorengnya maknyuss tenan!) dan RM Candisari (kalau di sini yang maknyuss tumis daun pepayanya). Oya, sama beli es dawet Banyumas di saung pinggir sawah. Eksotis bener nuansanya :D

Makanan pertama yang kami santap setelah menjejakkan kaki di Solo malam minggu itu adalah nasi liwet Bu Wongso Lemu. Belakangan suami juga minta diantar cari tengkleng ke Warung Sate Mbok Galak, another Solo’s traditional food yang maknyuss. Oh ya, selama liburan ini tentu tak lupa pula kami membeli penganan favorit: srabi Notosuman yang manis gurih. Sayang nggak sempat berburu cabuk rambak euy, bikin kangen.

Cukup cerita tentang makanan, sekarang pengen cerita soal jalan-jalannya. Minggu, 8 April 2009, kami janjian sama teman-teman BIE untuk bertemu di Borobudur. Tepat ketika mulai jalan dari tempat parkir, hujan deras mengguyur. Uiii, terpaksa lari-larian mencari tempat berteduh, yang pada akhirnya berupa payung gede tempat orang jual tanaman. Setelah cukup lama berteduh dari hujan yang lebat itu, dan terpaksa merelakan diri terciprat-ciprat air hujan—karena satu payung gede itu diisi kami berenam (kasihan Hanif)—kami pun masuk ke dalam area candi. Sempat keliling sebentar dan bertemu teman-teman BIE, lalu kami pulang karena harus mengejar acara lamaran adik ipar malam harinya.

Hari-hari selanjutnya di Solo dihabiskan dengan tetek bengek memperpanjang KTP, SIM, dan STNK punyaku dan suamiku—kebetulan punya dia juga habis masa berlakunya. Tak lupa menyempatkan diri menjenguk Shasha—sepupuku yang lahir Januari lalu—untuk mengantarkan kado baby bouncer. Sempat pula jenguk Mbak Sur, pengasuh pertama Hanif *duh, pengen lagi sama beliau*.

Sabtu, 14 Maret, dengan terpaksa kami pulang ke Bandung. Kalau mau diturutin, pengennya berlama-lama di Solo. Sayangnya pekerjaan tak kenal kompromi, pun juga kulit sensitif Hanif. Jadi ceritanya, karena Hanif bujang Bandung tea... dia selalu berkeringat hebat tiap kali pulang ke Solo. Alhasil, kulitnya jadi merah-merah di sekujur punggung, dada, bahu, dan lengan. Merah-merah ini lalu jadi kasar dan menebal. Alhamdulillah mengelupas pelan-pelan ketika kembali ke Bandung, dan seminggu kemudian sudah sembuh berganti kulit baru.

Dalam perjalanan menuju Bandung ini, kami mampir ke Kebumen, kampung halaman Mbak Sari—pengasuh Hanif yang sekarang. Senangnya bisa bersilaturahim dengan keluarganya. Lalu malamnya sampai di Pangandaran dan segera mencari tempat menginap.

Acara menginap di Pangandaran ini memang sengaja direncanakan. Alasan suamiku, supaya Hanif tidak kelelahan karena kelamaan di jalan. Menjelang tengah malam, saat yang lain sudah terlelap, aku masih saja tak bisa tidur. Menunggu pergantian hari, mencoba merasakan sensasi merayakan hari lahir di tengah suara deburan ombak yang sayup-sayup kudengar dari kamar. Dan paginya, aku mendapat ucapan dan kecupan sayang dari Hanif dan suami. Ah senangnya :D

Ketika sinar mentari pagi menyapa Pangandaran, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di pantai. Melihat-lihat suasana sambil merasakan desir pasir di kaki, sekaligus sedikit bermain air. Hmmph, sulit membayangkan daerah yang indah ini hancur diterpa tsunami Juli 2006 lalu. Miris juga mendengar sekelumit kisah dari orang-orang yang sempat kami ajak berbincang. Alhamdulillah daerah ini kini telah ramai kembali.

Menjelang pukul 10, setelah berbelanja beberapa macam jenis ikan, kami meninggalkan Pangandaran. Kesampaian juga datang ke situ. Meskipun sebentar, paling tidak... meninggalkan kenangan yang sedikit berbeda tentang hari lahir yang diperingati di tengah debur ombak :D

Sooooo, liburan berakhir sudah. Balik lagi ke Bandung, balik lagi ke rutinitas kerja dan rutinitas meninggalkan Hanif di rumah. Seminggu penuh bareng Hanif dan ayahnya... sesuatu yang amat berharga dan jarang-jarang didapatkan. Liburan ini cukup menguras kantong, but it was all worth it.

Foto-foto lain ada di sini.

Friday, March 20, 2009

Di Solo Ada Bandung!

Mengerutkan kening ketika membaca judul di atas? Begitu juga ekspresiku ketika pulang ke Solo 7-15 Maret lalu. Betapa tidak, Solo sudah berubah. Terakhir ketika aku menulis perasaanku tentang Solo di sini, waktu itu saja aku sudah terbengong-bengong. Apalagi sekarang: tercengang-cengang bo!

Industri gaya hidup ternyata sukses merambah Solo. FO dan kafe bertebaran dalam berbagai bentuk, menyaingi warung lesehan dan angkringan yang sudah lebih dulu merakyat. Salah satu mal besar di jalan protokol kota bahkan dengan bangga memasang slogan ”lifestyle center” dengan huruf besar-besar. Di dalamnya, berderet gerai-gerai gaya hidup semacam gerai donat bermerk dagang nasional, kafe kopi, distro, plus gerai-gerai belanja-barang-mahal lainnya.

Ketika aku dan suami berkesempatan jalan-jalan di dalam mal ini, kami merasa bak berada di Bandung. Kalau di Bandung—yang notabene merupakan salah satu pusat industri gaya hidup—mal-mal semacam ini sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Tapi hei, ini di Solo. Berasa de javu deh. Dan ehm, mal ini sepi pembeli. Bandingkan saja dengan mal-mal lain yang lebih proletar, apalagi Pasar Klewer! Hehehe...

Orang-orang yang sempat kutanya mengenai mal ini, semuanya berkomentar, ”Habis di situ mahal-mahal...”. Hmm, ternyata masyarakat Solo masih memandang mal-gaya-hidup ini sebagai pusat perbelanjaan yang terlampau mahal. Lucu juga menyimak komentar suami, ”Kasihan deh kita ya. Pulang ke Solo tetep aja berasa di Bandung.”. Atau komentarnya yang lain, ”Emang kafe kopi gitu laku ya di sini... di angkringan 2000 perak juga udah dapet kopi enak.”

Masih seputar gaya hidup, ada satu lagi hal yang membuatku tercengang. Di area yang dulunya adalah bekas bangunan RSUP dr. Muwardi—sebelum pindah ke Jebres—kini sedang dibangun kompleks hotel, apartemen, dan mal *aduhh... mal lagi, mal lagi*. Padahal jalan raya di sekelilingnya sempit sekali. Terbayang dong, seperti apa kemacetan yang bakal terjadi. Nah, yang jadi pertanyaan, proyek ini adalah proyek berdasar kebutuhan atau semata-mata proyek komersial, alias another industri gaya hidup? Sepertinya jawaban terakhir yang lebih tepat.

Coba pikirkan. Memangnya sudah zaman ada apartemen di Solo? Atas dasar apa? Bukankah lahan masih banyak, harga tanah masih murah? Akses ke mana-mana juga mudah dan terjangkau, tidak ada berlama-lama macet seperti di Jakarta. Jadi menurutku, apartemen di pusat kota tidak terlalu diperlukan. Lha wong transportasi dari pinggir kota ke pusat kota cuma membutuhkan waktu sekira 15-20 menit, maksimal setengah jam. Aku curiga, semua ini memang semata-mata industri gaya hidup.

Uhh, gaya hidup.... Apa sih sebenarnya yang dimaksud gaya hidup? Apakah gaya hidup artinya berbondong-bondong membangun hotel, apartemen, kafe, dan mal? Atau ramai-ramai nongkrong di kafe dan menyeruput kopi yang harga segelasnya setara dengan sepuluh bungkus nasi kucing? Hmm, atau asyik menanggalkan budaya Solo yang malu-malu dan menggantinya dengan balutan tank top dan celana pendek? Jangan salah, yang terakhir ini sudah mulai banyak lho, cukup membuat mataku gerah dan kepalaku geleng-geleng.

Don’t get me wrong, aku bukannya bersikap sinis dengan kemajuan kota Solo. Siapa tahu batin terdalam masyarakat Solo memang menginginkan segala kemajuan itu, tak terkecuali industri gaya hidupnya. Barangkali ada yang berkeinginan supaya lebih gampang belanja baju mungkin? *hmm, perumpamaan yang cetek, hehehe*

Jauh di lubuk hatiku, aku merindukan Solo yang proletar dengan segala kebersahajaannya. Ingin menangis rasanya kalau budaya malu-malu, ewuh pakewuh itu menguap begitu saja tergilas zaman, demi sesuatu yang bernama gaya hidup. Bolehlah Solo maju, asal tidak lupa dengan akar kejawaannya. Semoga segala sesuatu yang berbau modernitas kebaratan bisa diambil yang baik-baiknya saja, tanpa meninggalkan unggah-ungguh dan tata krama. *hayyaaahhh, ngomong apa aku ini*

Friday, February 20, 2009

Hanif Beranjak Besar


Di usia Hanif yang ke-8 bulan ini, tingkah polahnya makin menggemaskan. Dia udah makin pinter, makin banyak maunya. Udah bisa bete dan marah-marah. Contohnya ketika Ayah atau Bunda lagi bete, dia ikut bete dan nangis-nangis. Kalau nada bicara Ayah, Bunda, atau si Mbak sedikit meninggi, dia juga udah bisa sedih.

Pernah waktu itu Bunda berseru kaget karena baskom berisi air ditumpahkan setengahnya ke lantai oleh Hanif. Padahal sumpah, Bunda nggak bermaksud marah. Bunda cuma berseru kaget. Tapi tiba-tiba Hanif langsung diem, mukanya sedih. Ketika Bunda mulai mengepel dan merapikan baskom tadi, mukanya masih sedih dan masih diem, nggak nerusin main-main lagi. Mungkin kalau udah bisa ngomong, dia bakal ngomong, ”Maaf, Bunda...” ’kali ya. Aduh Sayang, mana bisa Bunda marah sama kamu.

Hanif juga makin rajin mengeksplorasi sekeliling. Udah ngesot cepet banget ke mana-mana. Jadi, karena dia belum bisa merangkak, kalau ngesot dia pake tangan dan perut. Srutt... srutt... tiba-tiba aja udah ke mana. Hihihi, lucuu... ngejar-ngejar Bunda dan si Mbak juga ngesot gitu.

Soal makan, Hanif juga udah mulai rewel. Udah bisa milih pengen makan yang ini, nggak mau yang itu. Tinggal Bunda yang repot, sibuk putar otak menyusun menu yang kira-kira dia mau, tapi tetep tercukupi asupan gizinya.

Meskipun lagi tidur, Hanif juga udah tahu kalau dia lagi ditemeni atau ditinggal. Kalau ada yang nemenin, terbangunnya dia cuma gulung-gulung bentar lalu tidur lagi. Tapi kalau terbangunnya dia pas lagi sendiri, udah deh... tangisan campur teriakan langsung terdengar, hehehe. Pas lagi main-main sama aja, nggak mau ditinggal juga. Pengennya ditemeni teruss.

Senangnya, celotehnya yang udah mulai terdengar sejak dia usia 2-3 bulan, sekarang udah rame banget! Pagi-pagi kalau dia udah bangun dan Bunda masih tidur, dengan semangat empat lima dia narik-narik selimut Bunda sambil berseru-seru, bangunin Bunda. Kalau ada orang ngobrol di dekatnya, dia ikutan juga. Berseru-seru lagi, seakan dia yang diajak ngobrol. Tapi memang Hanif kayaknya seneng ngobrol. Bunda dan si Mbak sering disapa dengan seruan ”Eehh...” lalu diajak ngobrol rame sama dia, entah pakai bahasa apa, hehehe.

Sore kemarin, ketika Bunda ngajak Hanif bermain-main dan dia sedang terkekeh-kekeh riang, Bunda melihat ada putih-putih samar di dasar gusinya. Yippii, Hanif mau tumbuh gigi! Dua gigi seri bawah, tepatnya. Ah, pangeran kecilku udah beranjak besar. Tetap sehat ya, Sayang...

Facebook = Gaul ??

Dari pengamatan pribadi dan hasil ngobrol sana-sini, aku menyimpulkan kalau sekarang ini ada satu parameter tambahan yang menjadi tolok ukur dikatakannya seseorang sebagai makhluk gaul dan eksis, yaitu: akun Facebook. Di mana-mana, tiap kali ada kenalan baru, kalimat yang terlontar adalah, ”Punya Facebook nggak?” :D

Jadiii... entah karena nggak mau ketinggalan arus lingkungan, atau entah karena sekedar penasaran, berbondong-bondonglah orang mendaftar akun Facebook. Seperti kalimat yang terlontar dari kalimat suamiku minggu lalu, ”Yang, bikinin Facebook dongg...” Hahaha, akhirnya ketularan juga.

Situs ini lebih beracun daripada situs jejaring sosial yang pernah populer sebelumnya, seperti Friendster dan Multiply. Di Facebook, orang akan kecanduan narsisme akut karena keranjingan update status, upload foto, kirim comment, dll. Meskipun harus diakui, sistemnya memang lebih canggih dan bisa membuat jaringan pertemanan menjadi lebih ”hidup”.

Buat aku pribadi, ada kisah tersendiri mengenai Facebook ini. Awalnya aku daftar Facebook demi mengintip status orang-orang tertentu. Biasaaa... buat dijadikan bahan bergosip. Ahahahahaii... Lalu tiba-tiba ada kisah lain lagi, terjadi beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, di tempat parkir motor, seorang peneliti senior di kantorku tiba-tiba menghampiriku sambil bilang, ”Eh, kamu yang di Facebook itu ya?”

Alamak jangg... Udah setahun aku bekerja di kantor ini, si bapak itu mengenaliku... dari Facebook!! Tuing tuing... Baru ngeh kalau ada makhluk bernama Yustika ya, Pak? Jadiii... si bapak itu tergolong gaul atau malah nggak gaul ya? Hehehehe.

Ah, dasar teknologi. Ramainya orang punya jejaring sosial maya malah kadang bisa membuat mereka teralienasi dari jejaring sosial yang sesungguhnya. Bukan hal yang susah ditemui sekarang, orang saling mengirim pesan dengan Yahoo Messenger padahal mereka duduk di ruangan yang sama. Atau sibuk ber-HP ria dan mengabaikan kehadiran orang lain di sampingnya.

Hmm, kalau sudah begini, tatap muka dan kopi darat memang harus digalakkan juga, biar seimbang. Beda lah rasanya, mengenal kepribadian seseorang lewat dunia digital dengan mengenal kepribadian mereka lewat rangkulan hangat dan senyum mentari. Kuatir juga, kalau sibuk dengan jejaring sosial yang bejibun lewat komputer... nanti malah jadi autis sama sekeliling. Hiiiii...

Koperasi

Dialog I
Seseorang: ”Nggak ikut RAT?”
Aku: ”Enggak.”
Seseorang: ”Kenapa?”
Aku: ”Karena nggak ikutan koperasi.”
Seseorang: ”Iya, maksudnya kenapa nggak ikut koperasi?”
(Aku menunduk sambil tersenyum, menyibukkan diri menggulung kabel, tak ingin melangkah ke perdebatan lebih lanjut.)

Dialog II
Seseorang: ”Ayo, RAT-nya udah dimulai. Nanti biar dapat doorprize, ada macem-macem lho.”
Aku: ”Saya nggak ikut koperasi.”
Seseorang: ”Belum daftar?”
Aku: ”Memang nggak akan daftar kok.”
Seseorang: (dengan wajah dimaklum-maklumkan) ”Oooo...”

Dialog III
Seseorang: ”Kenapa sih nggak ikut koperasi?”
Aku: (diem aja, udah males duluan, nggak pengen berdebat)
Seseorang: ”Padahal manfaatnya banyak lho, sekarang bisa dapet pinjaman dalam jumlah lumayan.”
Aku: (masih diem)
Seseorang: ”Yaa... bukan berarti kalau ikut koperasi lantas jadi tukang minjem sih.”
Aku: (tetep diem, soalnya kalau aku buka mulut nanti pasti jadi berdebat)
Seseorang: ”Harusnya kalau anak baru tuh langsung diwajibkan ikut koperasi.”
(Aku merutuk dalam hati. Sudahlah, hentikan saja obrolan ini, please...)

Dialog IV
Seseorang: ”Tadi datang RAT? Dapet doorprize?”
Aku: (menggeleng)
Seseorang: ”Belum ikut koperasi?”
Aku: ”Nggak ikut.”
Seseorang: (sambil tersenyum) ”Oh, ’nggak ikut’ ya, bukan ’belum ikut’...”

Yak, itulah beberapa dialog yang sempat terlontar padaku saat koperasi kantor mengadakan RAT beberapa waktu lalu. Kalau boleh kutuliskan di sini, alasan kenapa aku memilih untuk tidak terlibat dalam koperasi adalah: menghindarkan diri dari riba. Akui sajalah, sistem keuangan di koperasi kantor masih menggunakan sistem bunga kan?

Aku bukan manusia suci, dan sama sekali tidak bermaksud sok suci. Memang, dalam hidup kita di negara Indonesia tercinta ini, menghindari riba sama sekali adalah sesuatu yang bisa dibilang mustahil. Aku juga nggak munafik, karena aku dan suami juga masih punya cicilan kredit yang mesti dibayar ke bank konvensional—sesuatu yang sekarang aku sesali, kenapa dulu nggak ambil KPR syariah saja.

Tiga tahun lalu, aku mulai menerapkan sistem syariah dalam kehidupanku dengan beralih ke Bank Muamalat. Sampai sekarang, aku coba menerapkannya sedikit demi sedikit dalam tiap sendi kehidupan. Kalau sekarang belum bisa syariah secara total, paling tidak aku sudah berusaha sebisa mungkin menghindari riba.

Seseorang di kantor berkata, ”Saya heran kalau masih ada karyawan yang nggak ikut koperasi. Orang lain pada dapet SHU, dapet snack, dapet doorprize... sementara dia enggak.”

Oh come on, yang benar saja. Masa sih pikiran kita sepicik itu? Hanya demi uang SHU, snack, dan doorprize... masa kita mau melacurkan diri ke dalam sistem riba? Benar-benar nggak worth it.

Aku akui, aku bukan orang kaya. Aku juga tidak bergelimang harta. Kadang-kadang aku juga butuh duit. Tapi kalau hal itu membuatku harus meminjam uang dengan sistem riba, na’udzubillahi min dzalik... mending jadi kere aja ’kalee. Masalah KPR konvensional yang sudah telanjur, biarlah dulu—sambil dicoba sekuat tenaga untuk segera melunasinya. Yang penting ke depan aku nggak akan meminjam uang dengan sistem riba lagi, insya Allah.

Ibarat orang pakai jilbab lah. Kalau memang belum mampu berjilbab, bukan berarti lantas pakai tank top dan celana pendek ke mana-mana bukan? Kalau memang belum mampu berjilbab, bolehlah nyicil pakai celana panjang dulu, pakai baju lengan panjang dulu. Sambil bertahap, nantinya aurat jadi tertutup seluruhnya. Buatku sistem syariah juga harus begitu. Mulailah nabung di Bank Muamalat dulu—di negara ini, bank syariah yang pembiayaannya paling murni syariah hanya bank ini—, lalu pilih KPR syariah, asuransi syariah, investasi syariah, dst. Lambat laun, segala aspek hidup kita nantinya jadi syariah semua. Kalau belum mampu sekaligus, ya pelan-pelan saja dulu. Jangan lantas yang baik ditinggalkan semuanya.

Sayang, tidak semua orang mau dan mampu berpikiran terbuka untuk menerima sistem syariah. Nggak usah jauh-jauh, suamiku sendiri saja susah minta ampun untuk disuruh pindah ke Bank Muamalat. Alasannya macam-macam, mulai dari aksesnya terbatas (nggak bisa internet banking), layanannya sedikit, ribet ini itulah... bla bla bla. Ya memang, bank syariah memang terhitung masih baru, sistemnya sedang bertumbuh. Jadi kalau ada keterbatasan, wajar dong. Kalau bukan muslim sendiri yang memajukan sistem syariah, siapa lagi?

Sekali lagi, kalau kita memang belum mampu menghindar dari riba sepenuhnya, bukan berarti kita lantas tidak berusaha menghindarinya sedikit demi sedikit bukan? Ayolah, masa nggak malu sama Allah kelak kalau ditanya-tanya di akhirat sana? Apalagi para kepala keluarga tuh. Masa perut anak istri mau dikasih makan dari sesuatu yang haram? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pencerahan.

*merindukan-adanya-totalitas-sistem-keuangan-syariah-di-negara-ini mode ON*

Wednesday, February 11, 2009

Impian


Aku mengenal sosok Adenita pada awal Desember 2005, dalam sebuah training pengembangan diri yang diadakan di Lembang. Dari awal dia sudah terlihat mencolok, karena ketika acara belum dimulai pun dia sudah berkeliling mengajak peserta berkenalan satu-satu, sementara sebagian besar dari kami masih enggan malu-malu berbaur satu sama lain.

Bersama Bikka, dia menjadi bintang dalam training itu. Bukan sesuatu yang aneh, mengingat dia adalah pribadi yang ceria, ramah, dan menyenangkan. Sayang aku tak pernah benar-benar mengenalnya secara dekat. Pertemuan pertama kami berlanjut dengan perpisahan dan hanya saling kontak di dunia maya: milis, multiply dan facebook.

Sampai akhirnya pada akhir 2008, aku mendengar dia berhasil menerbitkan sebuah novel bertajuk 9 Matahari. Rasa penasaran memaksaku menelusuri deretan buku di Gramedia, hingga akhirnya 9 Matahari menemani malam-malamku setelah itu. Sembari menunggu kantuk, berbaring di samping Hanif yang sudah terlelap.

9 Matahari di-launch dan cetak pertama pada November 2008. Lalu cetak kedua pada Desember 2008. Kenyataan bahwa aku menemukannya di rak best seller Gramedia pada Februari 2009 membawaku pada kesadaran bahwa Ade berhasil menorehkan impiannya dengan sangat gemilang. Menurutku ini spektakuler, mengingat 9 Matahari adalah buku pertamanya. Bravo, Ade!

9 Februari 2009, aku memacu motor ke Landmark Braga. Berharap bisa bertemu Ade di sana. Acara bincang-bincang novel 9 Matahari sudah lama mulai, aku terpaksa terlambat karena jam kantor baru saja usai. Senang akhirnya bisa bertemu Ade juga *dan minta tanda tangan! :D*. Dia tampak tak berubah, tetap ceria, ramah, dan menyenangkan. Hanya memang ada beda, saat ini dia sudah berhasil mewujudkan satu impiannya... dan tampak sangat sukses di mataku *oh, seandainya kalian lihat para penggemarnya sibuk mengantri tanda tangan :)*. Ternyata membahagiakan sekali melihat seorang teman berhasil meraih mimpinya. Ada semangat yang ditularkan: kalau Ade bisa, aku juga bisa!

Aku suka menulis sejak aku duduk di bangku SD. Jauh sebelumnya, aku tahu aku sudah jatuh cinta pada dunia ini sejak aku bisa membaca *aku ingat: aku semangat sekali menanti hari Kamis tiba, hari di mana loper koran mengantar majalah Bobo kesayanganku*. Lalu tiba-tiba saja aku keranjingan menulis puisi dan cerita-cerita pendek. Pelajaran mengarang selalu menjadi pelajaran favoritku, dan surat-surat untuk Papi *yang ketika itu sedang studi di Kanada* lantas dipenuhi dengan puisi-puisi.

Menginjak SMP, majalah sekolah tak pernah luput dari hasil karyaku. Sayangnya ketika SMA semua kegiatan menulis sempat terhenti. Ketika kuliah, rasa dahaga akan menulis semakin menjadi. Di unit kerohanian departemen, unit kerohanian kampus, dan unit kegiatan masjid kampus, posisi favorit tak pernah jauh dari posisi penanggung jawab media, editor, atau staf redaksi.

Ketika aku diterima menjadi pegawai negeri, dua pekerjaan lain juga menanti: satu sebagai editor penerbit terkenal di bilangan Ciracas, Jakarta... dan satu sebagai jurnalis di salah satu harian ibukota. Tapi karena waktu itu aku sedang hamil muda, disertai dengan berbagai pertimbangan lain, aku memilih menjadi pegawai negeri saja. Sampai akhirnya kesibukan bekerja dan kesibukan menjadi bunda mengebiri kegiatan menulisku. Ditambah dengan ”kecelakaan” meleduknya power supply PC yang membuat hard disk rusak dan berakibat hilangnya semua arsip tulisanku... lengkap sudah alasan untuk tak lagi menjajal kemampuan menulisku.

Tak dapat kupungkiri, hadirnya 9 Matahari membawa harapan baru bagiku. Yah, ada semacam perasaan tertantang untuk kembali menulis *meskipun selama ini tetep nulis juga sih, lewat blog*. Ditambah juga dengan tawaran dari seorang teman untuk ikut mengelola sebuah klub menulis yang sedang dirintisnya. Masya Allah, Dia menjadikan segalanya bukan kebetulan semata. Mungkin ini semacam pengingatan baru dari-Nya, tentang sebuah kemampuan yang tak pernah benar-benar kugali.

Maka, hari-hariku terasa bersemangat kembali. Thanks Ade, for inspiring me. Bangga benar menjadi temanmu. Keep shining!

Keterangan foto: Adenita (nomor dua dari kanan) saat launching novel 9 Matahari, diambil dari sini.