Sunday, September 03, 2023

Menjadi Caregiver 24 Jam

Papi dan Mami ketika masih sehat

Dua minggu di medio Januari 2023 adalah masa-masa terberat bagi kami sekeluarga. Berawal dari tanggal 10 Januari ketika adikku mengirim pesan di WAG keluarga–aku dan kakakku tinggal di Tangerang Selatan sementara adikku tinggal di Solo bersama kedua orang tua kami–dan mengabarkan bahwa kondisi Papi sedang tidak stabil. Sebagai penderita penyakit jantung yang sudah pernah di-ring, kondisi Papi memang sering tidak stabil. Diabetes dan hipertensi membuat jantung beliau senantiasa aritmia dan beliau sering menjalani rawat inap karena sesak. Jadi, kupikir pagi dini hari itu adalah kondisi-tidak-stabil yang biasa. Adikku sempat bilang bahwa bicara Papi sedikit pelo, tidak nyambung, dan menabrak-nabrak ketika berjalan.

Sepagian aku menunggu kabar, hingga akhirnya adikku mengabari bahwa Papi masuk IGD untuk diobservasi. Semua tanda vital aman. Tidak ada tanda-tanda Papi terkena strok. Namun, kondisi psikis Papi tidak baik-baik saja. Beliau merasa sangat panik, sebentar-sebentar berteriak, dan susah ditenangkan. Dini hari berikutnya, adikku mengirim voice note, mengabarkan bahwa kondisi psikis Papi makin jauh dari tenang, sering berontak sehingga dokter dan perawat memutuskan untuk mengikat tangan Papi di ranjang.

Berdasar pemeriksaan lebih lanjut pada hari berikutnya, ternyata ada strok di sebelah kanan otak besar dan strok di sebelah kiri otak kecil. Strok terjadi karena ada sumbatan pembuluh darah dan menyebabkan gangguan keseimbangan dan koordinasi. Tubuh bagian kiri Papi mulai lumpuh sebelah dan bicara Papi mulai pelo lagi. Sejak saat itu, hidup keluarga kami mengalami perubahan.

Papiku adalah seorang pekerja keras sejak beliau masih muda. Menjadi sulung dari tujuh bersaudara, Papi memiliki tekad yang kuat untuk terus belajar dan menjadi sukses. Ayah beliau adalah seorang guru dan Papi meneruskan profesi ayahnya dengan menjadi seorang dosen. Semangat belajar beliau sangat tinggi. Selepas lulus SMA di Ngawi, beliau merantau dan menjalani S1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS), lalu S2 di jurusan Computer Science, University of Western Ontario, Kanada hingga lulus S3 di Universitas Negeri Yogyakarta. Beliau adalah Guru Besar bidang Pendidikan Matematika di FKIP UNS, banyak melakukan penelitian, dan menulis buku. Karyanya banyak dikenal dan disitasi dalam jurnal ilmiah. Beliau termasuk jajaran peneliti berpengaruh di Indonesia dan bahkan masuk dalam kategori 100 peneliti pendidikan di Indonesia yang bereputasi dunia.

Sebagai dosen dan peneliti yang sangat aktif, dulu beliau banyak mengajar di luar kota Solo. Seingatku pernah mengajar di Madiun, Yogyakarta, Semarang, dan beberapa kota lain. Beliau juga pernah aktif sebagai anggota Tim Ahli Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), sering bolak-balik ke Jakarta dan beberapa Dinas Pendidikan di kota lain untuk terlibat dalam penyusunan standar pendidikan. Bahkan sehari sebelum masuk rumah sakit dan terkena serangan strok itu, beliau masih pergi menyetir sendiri ke kampus untuk menguji proposal mahasiswanya yang tengah studi S2. Maka terbayang kan, seperti apa pukulan yang beliau rasakan … dari semula sangat aktif berubah menjadi tidak bisa apa-apa dan hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari.

Selama dua minggu aku pergi ke Solo dan terpaksa meninggalkan suami dan anak-anak di Tangerang Selatan, untuk membantu merawat Papi. Secara psikis Papi masih sangat terpukul dan mengalami masalah emosional–suatu hal yang katanya wajar terjadi pada penderita strok. Aku bergantian dengan anggota keluarga lain untuk mendampingi Papi karena beliau tidak mau ditinggalkan sendirian sedikit pun. Jika tidak ada orang yang terlihat, beliau akan berteriak-teriak memanggil nama kami satu demi satu dan tidak akan berhenti berteriak sampai ada yang datang. Hal ini membuat kami harus selalu standby.

Menjadi caregiver hampir 24 jam itu sangat menguras tenaga dan emosi. Tak jarang Papi mengalami tantrum karena ketidakmampuannya melakukan hal-hal secara mandiri. Passion beliau mengajar, menulis, dan mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kampus menjadi tidak tersalurkan, dan hal ini tentu turut andil dalam ketidakstabilan emosi beliau. Bahkan beberapa kali beliau mengalami halusinasi. Kesabaranku yang setipis tisu kadang membuatku tidak sabaran juga ketika mengurus beliau, astaghfirullah. Seringkali aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa inilah saatnya berbakti.

Dua minggu yang meletihkan itu membuat kami memutuskan untuk mempekerjakan seorang pramurukti. Terus terang kami mulai bertumbangan karena kelelahan. Kami harus kembali bekerja dan mengurus keluarga–terutama aku yang meninggalkan empat anak di Tangerang Selatan sementara suamiku sering pulang malam dan keluar kota karena pekerjaan. Alhamdulillah kami dipertemukan dengan pramurukti yang sabar dan telaten dalam mengurus dan mendampingi Papi.

Namun, ternyata semua belum berakhir di situ. Dalam kurun waktu dari Januari hingga saat ini, kakakku hampir tiap bulan mudik ke Solo untuk membantu merawat Papi karena Papi beberapa kali harus dirawat inap. Aku hanya bisa sesekali saja karena harus mengurus keluarga. Berbeda dengan perkembangan motorik Papi yang berprogres cukup signifikan berkat terapi rutin, perbaikan kondisi psikis beliau berjalan lebih lambat. Kami harus selalu mengingatkan beliau untuk tetap bersemangat dan bersyukur mengingat perkembangan beliau cukup baik, tetapi beliau masih sering bersedih hati karena belum bisa sepenuhnya menerima keadaan.

Kata dokter, kondisi organ-organ dan fungsi tubuh Papi memang sudah menurun dan cukup berat akibat komplikasi dari penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes selama bertahun-tahun. Goals-nya secara medis saat ini adalah menjaga ketiganya supaya tetap stabil dan tidak bertambah parah. Meskipun saat ini beliau sudah mulai bisa berjalan dengan bantuan, menggerakkan kaki dan tangan–bahkan sekarang sudah mulai belajar menggenggam dan menjumput–kami masih harus tetap waspada dengan kondisi Papi yang kadang mengalami ketidakstabilan secara tiba-tiba. Ada hari-hari di mana semua berjalan normal dan lancar, tetapi ada juga hari-hari di mana beliau merasa kelelahan, sesak dada, dan tidak nyaman ketika jantungnya mengalami aritmia.

Mendampingi penderita strok yang juga mengalami gangguan psikis bukan hal yang mudah. Adikku bahkan sempat mempertanyakan kewarasannya sendiri. Aku juga kadang sedih karena tidak bisa banyak membantunya dalam merawat Papi, tetapi mau bagaimana lagi … anak-anak belum bisa sepenuhnya mandiri. Semoga adikku, Mami, dan mas pramurukti senantiasa dalam keadaan sehat lahir batin dalam membersamai Papi.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al Isra: 23)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Q.S. Al Isra: 24)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar (Rohani dan atau Jasmani)”.