Friday, December 31, 2004

Sendu

Hujan rintik-rintik. Terkenang sosok yang itu juga. Ia tak lagi di sini, namun hidup dan perginya memberi banyak arti dan inspirasi. Teringat perkataan seseorang, “Saya rasa yang paling menakjubkan dari orang-orang yang kita kasihi adalah, sebagian dari diri mereka sebenarnya terus hidup dalam diri kita meskipun mereka telah tiada. Itulah persembahan cinta mereka yang terdalam.”

Benar juga. Ia masih hidup dalam diri kita semua; dengan segala pemikirannya, segala sikap dan perilakunya, segala fenomena hidupnya, segala mimpi-mimpinya, dan segala cintanya…

(Belakangan ini hujan sering menghentikan dominasi, menghadirkan ruang kontemplasi begitu mudahnya. Sejenak berhenti, untuk kemudian kembali berlari.)

Aku dan Jiwaku

Berjalan di selasar kampus diiringi rintik gerimis, aku tercenung. Telah begitu banyak hal terjadi, melintas-lintas dalam benak bagai tercerabut satu-satu meloncati waktu, tak putus-putus. Beberapa saat sebelumnya, aku baru saja keluar dari kompleks Masjid Salman setelah rutinitas menunggu usainya shalat Jumat, sambil berbincang seru dengan dua orang teman. Berbincang seru tentang banyak hal, tentang pengingatan.

Pengingatan itu… Betapa kerdilnya jiwa ini. Jiwa ini tahu tentang pengabdian tertinggi, tapi masih juga sibuk sendiri. Justifikasi bertebaran berusaha menghibur depresi yang membelit diri akibat akademik yang menekan. Lalu segala hal menghablur, menciptakan sebuah ruang yang hanya cukup untuk jiwa ini seorang. Berbincang sendiri, berkontemplasi sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, menjerit sendiri… Hingga tiba suatu masa saat asa tak lagi ada, jiwa terbang merana tanpa peduli sesiapa.

Orientasi serasa sia-sia karena realitas bermusuhan dengan ekspektasi. Tangan-tangan terentang yang berbingkai ukhuwah tak sepenuhnya nyata. Mereka bahkan sering semu. Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu, salahkah aku bila kini aku juga sibuk dalam duniaku sendiri, berusaha menimbun waktu dengan aktivitas-aktivitasku sendiri?

Di luar sana, banyak orang bicara tentang idealisme, karir, dan masa depan cerah. Ah, sesuatu di ujung jalan. Punyakah aku? Dan kala bersentuhan dengan jiwa-jiwa langit, jiwaku berontak tak nyaman. Tentu saja, aku tidak hidup di langit: aku tinggal di bumi. Lalu, manakah sayang yang dulu mereka agung-agungkan? Manakah senyum yang katanya menyejukkan? Mana…?

Ia tetap jiwaku. Hanya ia yang membelaiku dengan sayang teramat dalam. Hanya ia yang ada di sana sepanjang hari. Maka ketika sekat-sekat itu kian menyempit, menghimpit asa hingga makin sekarat, setidaknya aku masih bisa tersenyum: aku masih punya jiwaku. Pada masa yang kian kabur, aku dan jiwaku masih tetap ada di sana. Ya, hanya aku dan jiwaku. Berdua.

Obrolan Hujan

Menjelang petang, hujan deras, dan selasar TVST. Di sampingku, dua teman menunggu reda sembari berbincang tentang sesuatu yang sangat sangat serius (?). Aku nggak fokus, sibuk memandang butiran hujan sambil menikmati ritmenya. Hmm, terapi alam yang efektif, bikin rileks dan bikin lupa (sebentar) sama masalah.

Seorang teman menghentikan bicara, meminta pendapat. Hah, aku kaget. Nggak nyangka bakal nanya. Nggak ngerti mau ngomong apa. Jadinya aku malah ungkapkan saja apa yang ada di otak, apa yang ada di hati. Nggak peduli nyambung atau nggak.

Ah, teman. Mengapa kau terlampau serius memandang hidup ini? Kita ini kan manusia juga, bukan malaikat. Atau, tunggu… mungkinkah aku yang terlalu santai menjalani semuanya? Iya, gitu? Hidup sudah sumpek, tak usah dibikin tambah sumpek. Gitu aja kok repot.

SMS

Jumat, 3 Desember lalu, saya tergolek lemas di atas kasur. Ternyata dua hari bed rest belumlah cukup. Pusing juga harus tiduran terus. Tahukah Anda, ternyata masih ada perhatian-perhatian yang membuat rasa haru merambati hati kala itu?

“Iya teh.Klo ga slh td pak redy jg ga ada.Aku masi mkn,tp abis ini k smile.Cpt smbh y teh..Ud bnyk yg mulai tepar,dr titah,karlisa,aku jg ga tralu enak bdn..” (Ani, Jumat 3 Desember, 11.32)

“Asswrwb. besok kan ada rapat besar SMC, bs hadir? lg sakit ya? kalo bs hadir, tlg APK yg sudah pernah dibicarakan, dipaparkan. makasih.” (Mas Firman, Jumat 3 Desember, 17.46)

“Aslm.lg sakit?cpat sembuh ya!btw,td SMILE banyak anak 2001 nya.ws.fai” (Fatimah, Jumat 3 Desember, 20.12)

“Ass.yustika, ktnya sakit, skt apa,skrg gmn kondisinya? Tadi ksmc,n g jd rpt koq, n salim blg Yustika sakit.Syg g tau kostny,g bs nengok.Ok, Cpt sembuh ya.” (Diyah, Jumat 3 Desember, 21.39)

“Ass. Ktnya Kak Yus sakit ya? Smoga cpt sembuh ya kak.. =)” (Feni, Jumat 3 Desember 22.08)

“Ass,yt bru dengar kmrn kalo Yustika sakit,istirahat yg byk ya biar sehat lgi,pas blk k bdg kan blm fit bgt” (Yuti, Sabtu 4 Desember, 04.06)

Jujur, sakit kala itu adalah sakit yang teramat istimewa. Thanks, Guys! Perhatian-perhatian kalian membuat saya merasa bahwa saya ada.

Wednesday, December 01, 2004

Etika Meminjam

Kenapa ya, orang sering tidak sadar bahwa meminjam barang pun ada etikanya? Motor dihujan-hujanin tanpa dilap, bensin diabisin tanpa diisi ulang, duhh...
Bukan apa-apa sih sebenarnya. Cuma kesel aja. Kalo udah gini, hati yang semula ikhlas meminjamkan (karena berharap dengan motor itu urusan saudara saya tersebut bisa lancar), jadi rada-rada error juga. Duh, ternyata susah ya, berusaha menyenangkan hati saudara...
Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah...