Saturday, November 13, 2004

Beda

Ramadhan dan Lebaran kali ini benar-benar beda. Berbagai peristiwa mengaduk-aduk rasa: ketidakhadiran Eyang Kakung, kepergian Sigit, sampai meninggalnya Yasser Arafat...
Kapan tibanya akhir? Jiwa ini rindu menemui-Nya, tapi didera takut yang sangat akan tak cukup bekal untuk sampai ke sana...

Tanya

Berada di antara toples-toples kaastengel dan nastar, berada di antara bahan-bahan untuk membuat kue, saya tercenung. Ramadhan sebentar lagi pergi. Ia akan tiada, sementara ibadah masih belum apa-apa. Orang beriman harusnya berduka ketika Ramadhan berpamitan, tapi mengapa ada sedikit gembira di hati ini? Ah, semoga kegembiraan ini hanya sekedar kegembiraan bertemu keluarga…

Sigit Firmansyah: Sebuah Kepergian yang Begitu Tiba-Tiba

Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.30. Saya tengah berbincang santai dengan seorang teman di selasar depan tempat wudhu putri di Salman, sembari menunggu adik-adik mentor berkumpul. Tiba-tiba datang seorang teman lain dengan mata berkaca-kaca, “Teh, doakan ya. Semalam Kak Sigit Elektro meninggal…” Saya tertegun tak percaya. Ini lagi bercanda ya? Kok saya --yang nota bene sejurusan dengan Sigit-- tidak tahu?

Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.37. Ada sms masuk dari teman sejurusan saya, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. telah pulang ke hadapan Allah saudara kita Sigit F (EL ‘01) td mlm. mohon doakan beliau dan tolong sebarkan. jazakillah.” Tak kurang selama dua jam berikutnya, rentetan sms dengan kabar senada berebut masuk ke inbox saya. Saya semakin tertegun. Ini bukan main-main. Ini bukan bercanda. Lalu air mata saya menitik ketika seorang adik kelas sejurusan dengan serta merta memeluk saya begitu mendengar kabar serupa.

Sabtu, 6 November 2004, pukul 14.30. Saya memandang rintik-rintik hujan di luar jendela bis yang tengah melaju menuju Brebes, kota kelahiran Sigit. Lintasan-lintasan kenangan menyeruak, membuncahkan rasa perih yang tak mampu saya lukiskan. Sementara rintik hujan semakin menderas, menderas pulalah air yang meloncati kedua pipi saya. Ada rasa tak percaya, ada rasa tak rela…

“Yus, udah nyoblos?” kata Sigit mengingatkan ketika kami bertemu pada Senin, 1 November 2004, di tangga jurusan. Saya mengiyakan sambil lalu. Saat itu memang sedang masa pencoblosan pemilu Ketua HME. Tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Hari itu juga, saat saya melihatnya di barisan jamaah shalat ashar di Salman, saya tak pernah menyangka pula, bahwa saat itu adalah saat terakhir kali saya melihatnya.

Di mata saya, Sigit identik dengan pengingatan. Setiap detik darinya adalah pengingatan. Tiap kali bertemu, tak pernah lupa tausiyah-tausiyahnya bertebaran menyejukkan, mengingatkan kami akan hakikat kehidupan. Bahkan saat pertemuan terakhir dengannya, ia masih saja mengingatkan saya agar tak kehilangan hak suara pada pemilu Ketua HME tahun ini. Ia seorang teman yang luar biasa, sekaligus rekan kerja yang hebat.

Sabtu, 6 November 2004, pukul 18.15. Sebuah keluarga yang ramah dan sederhana menyambut saya dan teman-teman. Potret kesedihan tak terkira akibat kehilangan dua orang tersayang --Sigit dan ayahanda-- tampak jelas membayang ketika kami melangkah satu-satu memasuki rumah bercat putih itu. Sembari tergugu, ibunda Sigit menuturkan kisahnya kepada kami.

Kepergian Sigit begitu istimewa. Malam sebelum ia pergi adalah malam ke-23 bulan Ramadhan. Menurut penuturan seorang teman yang menyertai perjalanannya, malam itu ia habiskan dengan tilawah Al Qur’an. Selepas subuh pada Sabtu, 6 November 2004, beberapa saat setelah sang ibunda menghampirinya di ruang ICU, Sigit menghembuskan nafas terakhir setelah mengucap, “Allah…” Bahkan sejak malam sebelumnya sampai saat kepergiannya, sang ibunda tak henti-hentinya mencium wangi bunga melati semerbak memenuhi udara…

Kepulangan Sigit adalah jua untuk menuntaskan rindu sang ibunda. Tiga tahun di Taruna Nusantara dan tiga tahun menggeluti aktivitas kampus yang penuh dinamika, membuatnya senantiasa jauh dari rumah. Kepulangan demi kepulangan sering disinggahinya hanya sebentar, membuat sang ibunda tak bisa berlama-lama melepas rindu. Siapa menyangka, kepulangan kali ini adalah untuk yang terakhir kali. Seolah-olah ia berkata, “Sigit pulang, Bu. Dan nggak akan pergi-pergi lagi.”

Sebuah pengingatan yang sangat berbekas di hati saya yang juga anak rantau, tentang sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele: pulang. Jauh dari rumah, kita terlalu asyik berkutat dengan hal-hal yang kita anggap lebih penting. Sementara di rumah, orang tua --terutama ibunda-- sedang berkubang dalam kerinduan dan pengharapan akan sukses kita. Padahal tak kalah penting, kita meluangkan waktu sejenak untuk pulang, untuk kembali bergelung di pelukan ibunda. Selamanya kita tetap kanak-kanak ibunda. Biarkan binar-binar bahagianya menyambut kepulangan kita. Biarkan decak-decak gembiranya mendengarkan kisah-kisah kita. Biarkan lembut sayangnya membelai jiwa kita. Biarkan desah harunya memaknai kedewasaan kita. Maka pulanglah, sebelum tak ada lagi kesempatan buat kita untuk pulang, sebelum kepulangan itu tinggal kepulangan abadi.

When every boat has sailed away
And every path is marked and paved
When every road has had its say
Then I'll be bringing you back home to stay

When every town looks just the same
When every choice gets hard to make
When every map is put away
Then I'll be bringing you back home to stay

Ahad, 7 November 2004, pukul 00.30. Bis yang saya tumpangi menggerung mendaki tanjakan dalam perjalanan kembali ke Bandung. Saya masih juga terisak, merasakan kepedihan atas kehilangan seorang mujahid dakwah. Seharusnya tidak secepat ini ia pergi. Seharusnya ia masih di sini, merenda mimpi-mimpi bersama barisan kami. Seharusnya masih banyak kebaikan yang mampu ia sebarkan pada semesta. Seharusnya canda garingnya masih merenyahkan tawa-tawa kami. Seharusnya masih banyak hal yang mampu ia tunaikan. Seharusnya… seharusnya… beribu kata ‘seharusnya’ menjejali benak saya, bercampur dengan basah air mata membuat saya pusing kepala.

Rela tak rela, kami harus rela. Toh ia bukan milik kami. Toh ia milik Pencipta-nya. Ketidakpercayaan itu, ketidakrelaan itu… sedikit menguap ketika kami menyadari indah kepergiannya.

Sigit Firmansyah. Nama yang akan lekat abadi dalam hati. Selamat jalan, Akhi. Masih jua tak percaya kau telah pergi. Berbahagialah, mungkin Allah telah menyiapkan untukmu seorang bidadari di surga-Nya…

Psikologi

Hari-hari ini saya sedang tertarik memikirkan efek-efek psikologi yang dihasilkan oleh sensasi-sensasi kehidupan. Betapa ternyata manusia merupakan makhluk yang teramat rumit. Lintasan kejadian yang mungkin dianggap sepele oleh seseorang, bisa jadi merupakan sebuah peristiwa besar yang menggoreskan rasa pada diri orang lain. Menggoreskan suatu rasa --yang disadari atau tidak-- berimbas pada kondisi psikologi orang tersebut, yang semula ‘baik-baik saja’ menjadi tidak ‘baik-baik saja’.

Beberapa waktu lalu, saya mengalami ‘kejadian’ yang cukup membuat saya shock. Yang paling membuat saya shock adalah: seharusnya ‘kejadian’ itu tak perlu terjadi. Ada banyak cara lain yang lebih ‘cantik’ untuk menyelesaikan masalah daripada harus mengalami ‘kejadian’ itu. Saat itu, saya benar-benar merasa tertekan dan powerless (really hate that feelings!). Sesaat setelahnya, saya merasa tidak enak badan: pusing dan mual. Menurut penuturan beberapa orang teman, saya mengalami apa yang disebut sebagai gejala efek psikosomatis (?). Entahlah, saya tak terlalu tahu. Yang jelas, sebelumnya saya memang sehat-sehat saja. Mungkin benar, ‘kejadian’ itu menorehkan luka di hati saya hingga saya merasa tertekan. Lalu perasaan tertekan itu langsung berimbas pada kondisi fisik saya. Sampai saat ini, saya masih sering trauma kala mengingatnya, apalagi kala berjumpa dengan orang yang bersangkutan. Aih…

Bicara tentang efek psikosomatis, saya jadi ingat dengan kelinci-kelinci paman saya. Lho? Iya, tentu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau kelinci adalah hewan yang sangat perasa dan lembut, yang sangat rentan terhadap efek psikosomatis ini. Bila seekor kelinci merasa tertekan, ia akan sangat mudah jatuh sakit dan akhirnya mati. Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di awal bangku sekolah dasar, paman saya memelihara beberapa ekor kelinci di kebun samping rumah. Saat itu paman sudah wanti-wanti, agar saya tidak membuat kelinci-kelinci itu terkejut, karena sensasi kaget akan sangat mudah membuat mereka jatuh sakit.

Tapi apa yang saya lakukan? Dasar anak kecil, bukannya berusaha menjaga ‘perasaan’ kelinci-kelinci itu, saya malah asyik mengagetkan mereka. Mungkin waktu itu saya mencoba bereksperimen: emang iya kagetnya kelinci bisa bikin mereka mati? :) Ternyata fatal akibatnya. Satu demi satu, kelinci-kelinci itu jatuh sakit. Begitu tahu kelinci-kelincinya sakit, paman langsung berinisiatif menyembelih mereka. Jadi begitulah. Tiap kali saya mengagetkan kelinci, beberapa hari berikutnya saya makan sate kelinci. Ah, saya jadi merasa bersalah pada kelinci-kelinci itu. Lebih bersalah lagi ketika menyadari bahwa ternyata saya juga rentan terhadap efek psikosomatis ini… :(

Beberapa hari terakhir ini saya masih juga sibuk memikirkan pengaruh sensasi kehidupan terhadap fisik dan psikis seseorang. Pasalnya, setelah saya mudik ke kampung halaman dalam rangka lebaran, saya menemui banyak perubahan pada keluarga saya. Perubahan secara emosional, terutama. Dan tentu ada kaitannya dengan sensasi-sensasi kehidupan yang mereka alami dan rasakan. Pertama, kondisi emosi Eyang Putri yang berubah drastis setelah kepergian Eyang Kakung: beliau jadi gampang marah-marah dan sering merasa useless. Lalu kondisi emosi Bapak yang lebih mudah uring-uringan setelah menderita diabetes dan setelah beberapa waktu lamanya berkutat dengan penyelesaian disertasinya. Juga kondisi emosi Ibu yang ikut mengalami perubahan, mungkin akibat amanah kantor yang menggunung, atau akibat perhatian yang tersita berlebihan untuk Bapak dan segala permasalahan lain.

Rangkaian peristiwa yang terjadi semakin mengukuhkan kesadaran saya, bahwa ada banyak hal yang tak bisa dikendalikan manusia. Seorang teman saya boleh saja bilang, “Itu sesuatu yang bisa dikontrol”. Tapi kenyataan lebih banyak berbicara: manusia sulit mengendalikan efek psikis dari sensasi kehidupan yang dijalaninya, apalagi bila ia tak sadar --atau tak mau sadar-- ia tengah terluka. Ada guratan lelah dan sedih di tengah-tengah tawa. Ada tanya menggugat, ada tanya tak terjawab. Maka kepada Allah-lah seharusnya kita selalu kembali, agar kedamaian itu senantiasa bersemayam di hati, tak peduli seperti apa kehidupan menghantam psikis kita.