Hari-hari ini saya sedang tertarik memikirkan efek-efek psikologi yang dihasilkan oleh sensasi-sensasi kehidupan. Betapa ternyata manusia merupakan makhluk yang teramat rumit. Lintasan kejadian yang mungkin dianggap sepele oleh seseorang, bisa jadi merupakan sebuah peristiwa besar yang menggoreskan rasa pada diri orang lain. Menggoreskan suatu rasa --yang disadari atau tidak-- berimbas pada kondisi psikologi orang tersebut, yang semula ‘baik-baik saja’ menjadi tidak ‘baik-baik saja’.
Beberapa waktu lalu, saya mengalami ‘kejadian’ yang cukup membuat saya shock. Yang paling membuat saya shock adalah: seharusnya ‘kejadian’ itu tak perlu terjadi. Ada banyak cara lain yang lebih ‘cantik’ untuk menyelesaikan masalah daripada harus mengalami ‘kejadian’ itu. Saat itu, saya benar-benar merasa tertekan dan powerless (really hate that feelings!). Sesaat setelahnya, saya merasa tidak enak badan: pusing dan mual. Menurut penuturan beberapa orang teman, saya mengalami apa yang disebut sebagai gejala efek psikosomatis (?). Entahlah, saya tak terlalu tahu. Yang jelas, sebelumnya saya memang sehat-sehat saja. Mungkin benar, ‘kejadian’ itu menorehkan luka di hati saya hingga saya merasa tertekan. Lalu perasaan tertekan itu langsung berimbas pada kondisi fisik saya. Sampai saat ini, saya masih sering trauma kala mengingatnya, apalagi kala berjumpa dengan orang yang bersangkutan. Aih…
Bicara tentang efek psikosomatis, saya jadi ingat dengan kelinci-kelinci paman saya. Lho? Iya, tentu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau kelinci adalah hewan yang sangat perasa dan lembut, yang sangat rentan terhadap efek psikosomatis ini. Bila seekor kelinci merasa tertekan, ia akan sangat mudah jatuh sakit dan akhirnya mati. Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di awal bangku sekolah dasar, paman saya memelihara beberapa ekor kelinci di kebun samping rumah. Saat itu paman sudah wanti-wanti, agar saya tidak membuat kelinci-kelinci itu terkejut, karena sensasi kaget akan sangat mudah membuat mereka jatuh sakit.
Tapi apa yang saya lakukan? Dasar anak kecil, bukannya berusaha menjaga ‘perasaan’ kelinci-kelinci itu, saya malah asyik mengagetkan mereka. Mungkin waktu itu saya mencoba bereksperimen: emang iya kagetnya kelinci bisa bikin mereka mati? :) Ternyata fatal akibatnya. Satu demi satu, kelinci-kelinci itu jatuh sakit. Begitu tahu kelinci-kelincinya sakit, paman langsung berinisiatif menyembelih mereka. Jadi begitulah. Tiap kali saya mengagetkan kelinci, beberapa hari berikutnya saya makan sate kelinci. Ah, saya jadi merasa bersalah pada kelinci-kelinci itu. Lebih bersalah lagi ketika menyadari bahwa ternyata saya juga rentan terhadap efek psikosomatis ini… :(
Beberapa hari terakhir ini saya masih juga sibuk memikirkan pengaruh sensasi kehidupan terhadap fisik dan psikis seseorang. Pasalnya, setelah saya mudik ke kampung halaman dalam rangka lebaran, saya menemui banyak perubahan pada keluarga saya. Perubahan secara emosional, terutama. Dan tentu ada kaitannya dengan sensasi-sensasi kehidupan yang mereka alami dan rasakan. Pertama, kondisi emosi Eyang Putri yang berubah drastis setelah kepergian Eyang Kakung: beliau jadi gampang marah-marah dan sering merasa useless. Lalu kondisi emosi Bapak yang lebih mudah uring-uringan setelah menderita diabetes dan setelah beberapa waktu lamanya berkutat dengan penyelesaian disertasinya. Juga kondisi emosi Ibu yang ikut mengalami perubahan, mungkin akibat amanah kantor yang menggunung, atau akibat perhatian yang tersita berlebihan untuk Bapak dan segala permasalahan lain.
Beberapa waktu lalu, saya mengalami ‘kejadian’ yang cukup membuat saya shock. Yang paling membuat saya shock adalah: seharusnya ‘kejadian’ itu tak perlu terjadi. Ada banyak cara lain yang lebih ‘cantik’ untuk menyelesaikan masalah daripada harus mengalami ‘kejadian’ itu. Saat itu, saya benar-benar merasa tertekan dan powerless (really hate that feelings!). Sesaat setelahnya, saya merasa tidak enak badan: pusing dan mual. Menurut penuturan beberapa orang teman, saya mengalami apa yang disebut sebagai gejala efek psikosomatis (?). Entahlah, saya tak terlalu tahu. Yang jelas, sebelumnya saya memang sehat-sehat saja. Mungkin benar, ‘kejadian’ itu menorehkan luka di hati saya hingga saya merasa tertekan. Lalu perasaan tertekan itu langsung berimbas pada kondisi fisik saya. Sampai saat ini, saya masih sering trauma kala mengingatnya, apalagi kala berjumpa dengan orang yang bersangkutan. Aih…
Bicara tentang efek psikosomatis, saya jadi ingat dengan kelinci-kelinci paman saya. Lho? Iya, tentu saja. Sudah bukan rahasia lagi kalau kelinci adalah hewan yang sangat perasa dan lembut, yang sangat rentan terhadap efek psikosomatis ini. Bila seekor kelinci merasa tertekan, ia akan sangat mudah jatuh sakit dan akhirnya mati. Bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih duduk di awal bangku sekolah dasar, paman saya memelihara beberapa ekor kelinci di kebun samping rumah. Saat itu paman sudah wanti-wanti, agar saya tidak membuat kelinci-kelinci itu terkejut, karena sensasi kaget akan sangat mudah membuat mereka jatuh sakit.
Tapi apa yang saya lakukan? Dasar anak kecil, bukannya berusaha menjaga ‘perasaan’ kelinci-kelinci itu, saya malah asyik mengagetkan mereka. Mungkin waktu itu saya mencoba bereksperimen: emang iya kagetnya kelinci bisa bikin mereka mati? :) Ternyata fatal akibatnya. Satu demi satu, kelinci-kelinci itu jatuh sakit. Begitu tahu kelinci-kelincinya sakit, paman langsung berinisiatif menyembelih mereka. Jadi begitulah. Tiap kali saya mengagetkan kelinci, beberapa hari berikutnya saya makan sate kelinci. Ah, saya jadi merasa bersalah pada kelinci-kelinci itu. Lebih bersalah lagi ketika menyadari bahwa ternyata saya juga rentan terhadap efek psikosomatis ini… :(
Beberapa hari terakhir ini saya masih juga sibuk memikirkan pengaruh sensasi kehidupan terhadap fisik dan psikis seseorang. Pasalnya, setelah saya mudik ke kampung halaman dalam rangka lebaran, saya menemui banyak perubahan pada keluarga saya. Perubahan secara emosional, terutama. Dan tentu ada kaitannya dengan sensasi-sensasi kehidupan yang mereka alami dan rasakan. Pertama, kondisi emosi Eyang Putri yang berubah drastis setelah kepergian Eyang Kakung: beliau jadi gampang marah-marah dan sering merasa useless. Lalu kondisi emosi Bapak yang lebih mudah uring-uringan setelah menderita diabetes dan setelah beberapa waktu lamanya berkutat dengan penyelesaian disertasinya. Juga kondisi emosi Ibu yang ikut mengalami perubahan, mungkin akibat amanah kantor yang menggunung, atau akibat perhatian yang tersita berlebihan untuk Bapak dan segala permasalahan lain.
Rangkaian peristiwa yang terjadi semakin mengukuhkan kesadaran saya, bahwa ada banyak hal yang tak bisa dikendalikan manusia. Seorang teman saya boleh saja bilang, “Itu sesuatu yang bisa dikontrol”. Tapi kenyataan lebih banyak berbicara: manusia sulit mengendalikan efek psikis dari sensasi kehidupan yang dijalaninya, apalagi bila ia tak sadar --atau tak mau sadar-- ia tengah terluka. Ada guratan lelah dan sedih di tengah-tengah tawa. Ada tanya menggugat, ada tanya tak terjawab. Maka kepada Allah-lah seharusnya kita selalu kembali, agar kedamaian itu senantiasa bersemayam di hati, tak peduli seperti apa kehidupan menghantam psikis kita.
No comments:
Post a Comment