Monday, May 31, 2021

Kewarasan Ibu

Pernah mendengar kutipan “jadi ibu tidak boleh sakit”? Kutipan tersebut menggambarkan dengan tepat bagaimana peran seorang ibu dalam keluarga. Kita sudah sering menyaksikan betapa hebatnya seorang ibu mengurus keluarga dan mengurus rumah. Dengan tangannya yang serba bisa, ibu mengurus keperluan suami dan anak, menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan kadang masih sibuk dengan urusan karir atau urusan sosial di masyarakat. Dengan kondisi yang seperti itu, kesehatan dan kewarasan ibu menjadi sangat penting. Karena jika seorang ibu tidak sehat, entah itu fisik atau mentalnya, kehidupan sebuah keluarga akan menjadi timpang.

Jika kondisi ibu tidak prima, bagaimana dia bisa mengurus keluarga dengan baik? Seorang ibu yang bahagia akan menghasilkan keluarga yang bahagia. Oleh karena itu, self care is not selfish. Waktu seorang ibu untuk menyeimbangkan dirinya menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini memerlukan dukungan dari pihak internal keluarga: yang paling dekat tentu suami dan anak-anak, atau bisa juga dari kerabat. Namun, ketika dukungan pihak internal tidak ada—misalnya karena suami sibuk bekerja—para ibu bisa beralih mencari dukungan eksternal seperti daycare, asisten rumah tangga,  atau pengasuh untuk “kabur” sejenak dari rutinitas domestik.

Terkait dukungan internal, aku sangat mengapresiasi para suami yang memberi kesempatan istrinya untuk recharge diri, entah itu sekadar menjalankan hobi di dalam rumah atau pergi ke luar rumah untuk refreshing. Lebih penting daripada itu, selain menyediakan waktu untuk meng-handle urusan domestik kala istrinya sedang tidak ada, aku juga memberi sepuluh jempol untuk para suami yang memiliki kepekaan tinggi mengenai kapan istrinya membutuhkan me time. Aku punya seorang teman yang suaminya sangat memahami dia: ketika dia mulai rungsing karena mood-nya jelek, suaminya segera mengambil alih urusan rumah dan anak-anak, lalu mempersilakan temanku ini untuk mengambil me time. Tindakan seperti ini mungkin terasa sederhana, tetapi sejatinya berperan besar dalam menumbuhkan cinta dan keharmonisan rumah tangga.

Lalu bagaimana dengan aku? Seperti apa me time yang biasa kulakukan? Dan dukungan seperti apa yang kudapatkan? Aku memang cenderung tidak bisa diam dan senantiasa sibuk beraktivitas sejak zaman mahasiswa dulu. Ketika sudah berkeluarga, kebiasaan untuk hidup aktif tidak pernah memudar. Seperti yang pernah kuceritakan di sini, dukungan suami justru memberi andil untuk mendorongku berperan aktif di luar rumah dan melakukan hobi yang aku suka. Me time yang biasa aku lakukan tentu berkisar di seputar kegiatan berolahraga, hahaha … sebut saja senam aerobik, yoga, berlari, hingga fitness di gym. Sementara hobi yang sering aku lakukan ketika diam di rumah adalah menulis—kebanyakan adalah karya fiksi.

Selain suami yang bersedia dititipi anak-anak ketika aku berolahraga, dukungan luar biasa juga aku dapatkan dari tanteku dan pengasuh. Merekalah yang sehari-hari ketempuhan untuk menjaga dan mengawasi anak-anak ketika aku bekerja. Jujur … aku tak bisa membayangkan bila mereka tak ada. Momen ketika pengasuh mudik biasanya menjadi momok tersendiri. Don’t get me wrong, aku sangat menikmati kebersamaan dengan anak-anak. Hanya saja … ketika pengasuh tidak ada, urusan empat anak sungguh menyita waktu dan membuatku tak bisa meluangkan waktu untuk me time, bahkan sekadar berolahraga sebentar ke luar rumah.

Aku menyadari, sesungguhnya diri ini tidak ada apa-apanya bila tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat. Kesempatan untuk melejitkan potensi tidak akan bisa dilakukan kalau tidak ada kewarasan diri. Dengan kewarasan inilah seorang ibu bisa mengutuhkan dirinya sehingga bisa memberi dengan maksimal untuk keluarga dan masyarakat. Semoga amal kebaikan suami, anak-anak, tanteku, dan pengasuh dalam mendukung kewarasanku memperoleh balasan kebaikan dari-Nya, dan membawa keberkahan dalam keluarga kami.

Monday, May 10, 2021

Terkenang Eyang

Tiap kali melihat sosok sepuh tengah berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat berjemaah, aku selalu teringat Eyang Kakung. Sejak lahir, aku selalu tinggal serumah dengan Eyang Kakung. Beliau bersama Eyang Uti mengasuhku saat ditinggal Bapak dan Ibu bekerja. Ketika aku tumbuh dewasa, beliau juga mengisi hari-hariku dengan berjuta kenangan. Aku masih ingat: semasa SMA ketika aku sudah terbiasa bangun di sepertiga malam, aku tidak pernah sendirian. Aku hampir selalu ditemani oleh beliau yang memang juga terbiasa bangun dini hari. Aku dan beliau sama-sama penggemar berat sepakbola, berita, dan koran. Masih terekam jelas di ingatan: betapa serunya kami berteriak-teriak di depan televisi saat pertandingan sepakbola ditayangkan, atau betapa seringnya kami berebut koran pagi saking inginnya jadi yang pertama membaca berita hari itu.

Sebelum berpulang, memang sudah bertahun-tahun Eyang Kakung menderita gangguan prostat. Beliau tidak pernah mau pergi ke rumah sakit dan hanya mengandalkan obat-obatan dari pamanku yang seorang dokter umum. Minggu-minggu terakhir sebelum meninggal, gangguan prostat beliau mencapai puncaknya sehingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Setelah operasi, dokter baru mengetahui bahwa terdapat kanker pada prostat beliau. Kanker itu semakin mengganas seusai operasi, menjalar ke mana-mana hanya dalam waktu seminggu, dan membuat ginjal beliau tak lagi berfungsi. Sabtu, 1 Mei 2004 beliau menjalani cuci darah. Itulah terakhir kalinya beliau sadar. Setelah cuci darah, beliau mengalami koma hingga akhir hayatnya pada Selasa, 11 Mei 2004.

Aku tiba di Solo pada Ahad, 2 Mei 2004—aku tak pernah lagi menemui Eyang Kakung dalam keadaan sadar—dan langsung diberi tahu keluarga bahwa waktu Eyang Kakung sudah tak lama lagi. Meskipun sudah diberi tahu dokter, kami tetap tak mengira beliau akan pergi secepat itu. Meskipun kami sudah bersiap menerima kemungkinan yang terburuk dan sudah berusaha memupuk ikhlas jika sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh-Nya, tetap saja rasa kehilangan itu begitu perih.

Eyang Kakung adalah sosok yang mewariskan kejawaanku. Ritual adat dan literatur-literatur beraksara Jawa merupakan teman beliau sehari-hari. Di saat anak-anak muda Jawa masa kini tengah mengalami krisis budaya, aku merasa beruntung karena telah dibesarkan dalam suatu kultur yang adiluhung. Budaya keluarga kami sangat menghargai tradisi dan bahasa yang penuh pakem, tata krama, dan ewuh pekewuh. Oh ya, tentu saja aku merasa beruntung. Betapa banyaknya anak-anak muda Jawa saat ini tidak bisa berbahasa kromo bahkan kepada kedua orang tua mereka sendiri. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa?

Namun, memang tidak semua tradisi Jawa melekat dalam pribadiku. Banyak tradisi kejawen yang tidak islami yang aku buang jauh-jauh. Ini bukan upaya yang mudah, mengingat Eyang Kakung mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam keluarga besar kami. Apalagi adat patriarkat yang berlaku di Jawa cenderung membuat kami berlaku sendika dhawuh pada titah Eyang Kakung. Aku pernah merasa risih bercampur geli ketika mendengar wejangan Eyang Kakung seusai lebaran, “Kamu itu orang Jawa, Ndhuk. Kalau kamu tidak membiasakan diri berbusana Jawa, kamu bisa lupa asal-usulmu. Malah membiasakan diri berpakaian seperti orang Arab.”

Jujur saja, waktu itu aku ingin marah sekaligus ingin tertawa. Aku marah karena busana muslimah itu seharusnya tidak hanya untuk orang Arab. Aku merasa tersinggung karena di mana pun aku berada, aku tidak pernah lupa asal-usulku sebagai orang Jawa. Aku juga merasa geli ketika membayangkan diriku sendiri berbusana adat Jawa ke mana pun aku pergi. Memangnya aku hidup di lingkungan keraton sampai aku harus berbusana adat Jawa terus? Pikirku, orang keraton saja nggak gitu-gitu amat.

Ah, masa-masa yang penuh kenangan bersama Eyang Kakung. Aku rasa yang paling menakjubkan dari orang-orang yang kita kasihi: sebagian dari diri mereka sebenarnya terus hidup dalam diri kita meskipun mereka telah tiada. Itulah persembahan cinta mereka yang terdalam. Aku berdoa semoga Allah berkenan meridai setiap amal beliau, mengampuni kesalahan beliau, dan membalas kebaikan beliau.

Monday, May 03, 2021

Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga

Pendidikan dalam sebuah keluarga sangat bergantung pada visi dan misi keluarga tersebut. Lebih jauh lagi, pendidikan itu juga sarat akan nilai-nilai, tradisi, dan pengalaman yang berlaku dalam sebuah keluarga. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga PNS, sejak kecil aku dididik untuk berhemat, bersikap sederhana, dan tidak neko-neko. Bapak dan ibuku berasal dari keluarga yang tidak terlalu berkecukupan. Bapak adalah sulung dari tujuh bersaudara; Ibu adalah sulung dari sembilan bersaudara. Sebagai anak tertua, mereka tentu sangat memahami hidup sederhana, kerja keras, dan bagaimana memberikan keteladanan kepada adik-adik mereka. Nilai-nilai itu pula yang mereka turunkan kepada aku dan saudara-saudaraku.

Aku ingat sekali, Bapak dan Ibu selalu menanamkan kesadaran kepada kami bahwa rajin belajar dan kerja keras akan membuat kami sukses suatu hari nanti. Meskipun pada saat itu aku tidak terlalu mengerti, aku menuruti nasihat mereka untuk rajin belajar dan konsisten menerapkan waktu belajar setiap hari. Aku tidak terlalu ingat bagaimana cara mereka menanamkan kesadaran itu. Yang jelas, kami terbiasa bangun dini hari untuk salat tahajud, kemudian belajar hingga waktu subuh. Sehabis magrib kami juga terbiasa menuju meja belajar kami masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan harian, atau sekadar mengulang pelajaran hari itu. Aku ingin sekali mengimitasi bagaimana cara mereka mendidik kami karena aku juga ingin menanamkan kesadaran itu pada anak-anakku, tetapi aku hanya dapat mengingatnya samar-samar.

Seingatku Bapak dan Ibu tidak pernah marah hebat kepada kami. Marah dalam kondisi wajar tentu pernah, mengingat kami adalah anak-anak biasa yang terkadang bandel juga. Namun, mereka jarang marah dengan suara keras dan nada tinggi. Mereka tipe orang tua yang tidak suka kegaduhan. Suasana rumah harus senantiasa tenang. Oleh karena itu, kami akan sangat berhati-hati ketika bermain bersama atau menyalakan televisi supaya tidak menimbulkan keriuhan. Kalaupun Bapak marah dengan nada tinggi, itu pasti karena kenakalan kami sudah menguji batas kesabaran beliau. Biasanya ketika Bapak marah seperti itu, kami akan menciut seperti gabus disiram bensin.

Ketika kami remaja, Bapak dan Ibu tidak pernah membatasi kami secara ketat dalam bergaul. Kami masih diperbolehkan untuk berpacaran dengan batas-batas interaksi yang jelas antara lelaki dan perempuan. Meskipun tidak terlalu paham ilmu agama, mereka selalu mengedepankan adat ketimuran dan norma sosial. Ketika kami merantau untuk kuliah ke luar kota, wejangan-wejangan untuk menjaga diri dan hidup sederhana senantiasa mereka tanamkan. Nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab yang digaungkan oleh Bapak dan Ibu, kami tuai hasilnya ketika kami jauh dari rumah.

Hidup sederhana adalah hal yang paling aku ingat dari Bapak dan Ibu. Mereka tidak pernah berhutang dan selalu membeli segala sesuatu sesuai kemampuan. Semua transaksi dilakukan secara kontan karena mereka tidak pernah tergoda dengan skema kredit. Kelebihan tabungan dialihkan untuk membeli tanah atau menyimpan deposito. Bapak dan Ibu memang masih berpikir secara konvensional—tidak berinvestasi dengan metode kekinian seperti membeli saham, logam mulia, atau reksadana—tetapi mereka memberikan keteladanan bahwa tidak berlaku boros itu penting demi masa depan.

Aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak dan Ibu. Didikan mereka membentukku menjadi pribadi yang sekarang. Nilai-nilai yang mereka wariskan kepada kami, merupakan warisan juga dari kakek dan nenek kami dulu. Semoga kami bisa meneruskan hal-hal baik itu kepada anak-anak kami sehingga menjadi ladang amal jariah bagi Bapak dan Ibu.