Tiap kali melihat sosok sepuh tengah berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat berjemaah, aku selalu teringat Eyang Kakung. Sejak lahir, aku selalu tinggal serumah dengan Eyang Kakung. Beliau bersama Eyang Uti mengasuhku saat ditinggal Bapak dan Ibu bekerja. Ketika aku tumbuh dewasa, beliau juga mengisi hari-hariku dengan berjuta kenangan. Aku masih ingat: semasa SMA ketika aku sudah terbiasa bangun di sepertiga malam, aku tidak pernah sendirian. Aku hampir selalu ditemani oleh beliau yang memang juga terbiasa bangun dini hari. Aku dan beliau sama-sama penggemar berat sepakbola, berita, dan koran. Masih terekam jelas di ingatan: betapa serunya kami berteriak-teriak di depan televisi saat pertandingan sepakbola ditayangkan, atau betapa seringnya kami berebut koran pagi saking inginnya jadi yang pertama membaca berita hari itu.
Sebelum berpulang, memang sudah bertahun-tahun Eyang Kakung menderita gangguan prostat. Beliau tidak pernah mau pergi ke rumah sakit dan hanya mengandalkan obat-obatan dari pamanku yang seorang dokter umum. Minggu-minggu terakhir sebelum meninggal, gangguan prostat beliau mencapai puncaknya sehingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Setelah operasi, dokter baru mengetahui bahwa terdapat kanker pada prostat beliau. Kanker itu semakin mengganas seusai operasi, menjalar ke mana-mana hanya dalam waktu seminggu, dan membuat ginjal beliau tak lagi berfungsi. Sabtu, 1 Mei 2004 beliau menjalani cuci darah. Itulah terakhir kalinya beliau sadar. Setelah cuci darah, beliau mengalami koma hingga akhir hayatnya pada Selasa, 11 Mei 2004.
Aku tiba di Solo pada Ahad, 2 Mei 2004—aku tak pernah lagi menemui Eyang Kakung dalam keadaan sadar—dan langsung diberi tahu keluarga bahwa waktu Eyang Kakung sudah tak lama lagi. Meskipun sudah diberi tahu dokter, kami tetap tak mengira beliau akan pergi secepat itu. Meskipun kami sudah bersiap menerima kemungkinan yang terburuk dan sudah berusaha memupuk ikhlas jika sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh-Nya, tetap saja rasa kehilangan itu begitu perih.
Eyang Kakung adalah sosok yang mewariskan kejawaanku. Ritual adat dan literatur-literatur beraksara Jawa merupakan teman beliau sehari-hari. Di saat anak-anak muda Jawa masa kini tengah mengalami krisis budaya, aku merasa beruntung karena telah dibesarkan dalam suatu kultur yang adiluhung. Budaya keluarga kami sangat menghargai tradisi dan bahasa yang penuh pakem, tata krama, dan ewuh pekewuh. Oh ya, tentu saja aku merasa beruntung. Betapa banyaknya anak-anak muda Jawa saat ini tidak bisa berbahasa kromo bahkan kepada kedua orang tua mereka sendiri. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa?
Namun, memang tidak semua tradisi Jawa melekat dalam pribadiku. Banyak tradisi kejawen yang tidak islami yang aku buang jauh-jauh. Ini bukan upaya yang mudah, mengingat Eyang Kakung mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam keluarga besar kami. Apalagi adat patriarkat yang berlaku di Jawa cenderung membuat kami berlaku sendika dhawuh pada titah Eyang Kakung. Aku pernah merasa risih bercampur geli ketika mendengar wejangan Eyang Kakung seusai lebaran, “Kamu itu orang Jawa, Ndhuk. Kalau kamu tidak membiasakan diri berbusana Jawa, kamu bisa lupa asal-usulmu. Malah membiasakan diri berpakaian seperti orang Arab.”
Jujur saja, waktu itu aku ingin marah sekaligus ingin tertawa. Aku marah karena busana muslimah itu seharusnya tidak hanya untuk orang Arab. Aku merasa tersinggung karena di mana pun aku berada, aku tidak pernah lupa asal-usulku sebagai orang Jawa. Aku juga merasa geli ketika membayangkan diriku sendiri berbusana adat Jawa ke mana pun aku pergi. Memangnya aku hidup di lingkungan keraton sampai aku harus berbusana adat Jawa terus? Pikirku, orang keraton saja nggak gitu-gitu amat.
Ah, masa-masa yang penuh kenangan bersama Eyang Kakung. Aku rasa yang paling menakjubkan dari orang-orang yang kita kasihi: sebagian dari diri mereka sebenarnya terus hidup dalam diri kita meskipun mereka telah tiada. Itulah persembahan cinta mereka yang terdalam. Aku berdoa semoga Allah berkenan meridai setiap amal beliau, mengampuni kesalahan beliau, dan membalas kebaikan beliau.
Semoga almarhum husnul khotimah
ReplyDeleteAamiin. Nuhun Teh
Delete