Monday, May 03, 2021

Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga

Pendidikan dalam sebuah keluarga sangat bergantung pada visi dan misi keluarga tersebut. Lebih jauh lagi, pendidikan itu juga sarat akan nilai-nilai, tradisi, dan pengalaman yang berlaku dalam sebuah keluarga. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga PNS, sejak kecil aku dididik untuk berhemat, bersikap sederhana, dan tidak neko-neko. Bapak dan ibuku berasal dari keluarga yang tidak terlalu berkecukupan. Bapak adalah sulung dari tujuh bersaudara; Ibu adalah sulung dari sembilan bersaudara. Sebagai anak tertua, mereka tentu sangat memahami hidup sederhana, kerja keras, dan bagaimana memberikan keteladanan kepada adik-adik mereka. Nilai-nilai itu pula yang mereka turunkan kepada aku dan saudara-saudaraku.

Aku ingat sekali, Bapak dan Ibu selalu menanamkan kesadaran kepada kami bahwa rajin belajar dan kerja keras akan membuat kami sukses suatu hari nanti. Meskipun pada saat itu aku tidak terlalu mengerti, aku menuruti nasihat mereka untuk rajin belajar dan konsisten menerapkan waktu belajar setiap hari. Aku tidak terlalu ingat bagaimana cara mereka menanamkan kesadaran itu. Yang jelas, kami terbiasa bangun dini hari untuk salat tahajud, kemudian belajar hingga waktu subuh. Sehabis magrib kami juga terbiasa menuju meja belajar kami masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan harian, atau sekadar mengulang pelajaran hari itu. Aku ingin sekali mengimitasi bagaimana cara mereka mendidik kami karena aku juga ingin menanamkan kesadaran itu pada anak-anakku, tetapi aku hanya dapat mengingatnya samar-samar.

Seingatku Bapak dan Ibu tidak pernah marah hebat kepada kami. Marah dalam kondisi wajar tentu pernah, mengingat kami adalah anak-anak biasa yang terkadang bandel juga. Namun, mereka jarang marah dengan suara keras dan nada tinggi. Mereka tipe orang tua yang tidak suka kegaduhan. Suasana rumah harus senantiasa tenang. Oleh karena itu, kami akan sangat berhati-hati ketika bermain bersama atau menyalakan televisi supaya tidak menimbulkan keriuhan. Kalaupun Bapak marah dengan nada tinggi, itu pasti karena kenakalan kami sudah menguji batas kesabaran beliau. Biasanya ketika Bapak marah seperti itu, kami akan menciut seperti gabus disiram bensin.

Ketika kami remaja, Bapak dan Ibu tidak pernah membatasi kami secara ketat dalam bergaul. Kami masih diperbolehkan untuk berpacaran dengan batas-batas interaksi yang jelas antara lelaki dan perempuan. Meskipun tidak terlalu paham ilmu agama, mereka selalu mengedepankan adat ketimuran dan norma sosial. Ketika kami merantau untuk kuliah ke luar kota, wejangan-wejangan untuk menjaga diri dan hidup sederhana senantiasa mereka tanamkan. Nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab yang digaungkan oleh Bapak dan Ibu, kami tuai hasilnya ketika kami jauh dari rumah.

Hidup sederhana adalah hal yang paling aku ingat dari Bapak dan Ibu. Mereka tidak pernah berhutang dan selalu membeli segala sesuatu sesuai kemampuan. Semua transaksi dilakukan secara kontan karena mereka tidak pernah tergoda dengan skema kredit. Kelebihan tabungan dialihkan untuk membeli tanah atau menyimpan deposito. Bapak dan Ibu memang masih berpikir secara konvensional—tidak berinvestasi dengan metode kekinian seperti membeli saham, logam mulia, atau reksadana—tetapi mereka memberikan keteladanan bahwa tidak berlaku boros itu penting demi masa depan.

Aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak dan Ibu. Didikan mereka membentukku menjadi pribadi yang sekarang. Nilai-nilai yang mereka wariskan kepada kami, merupakan warisan juga dari kakek dan nenek kami dulu. Semoga kami bisa meneruskan hal-hal baik itu kepada anak-anak kami sehingga menjadi ladang amal jariah bagi Bapak dan Ibu.

No comments:

Post a Comment