Pendidikan dalam sebuah keluarga sangat bergantung pada visi dan misi keluarga tersebut. Lebih jauh lagi, pendidikan itu juga sarat akan nilai-nilai, tradisi, dan pengalaman yang berlaku dalam sebuah keluarga. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga PNS, sejak kecil aku dididik untuk berhemat, bersikap sederhana, dan tidak neko-neko. Bapak dan ibuku berasal dari keluarga yang tidak terlalu berkecukupan. Bapak adalah sulung dari tujuh bersaudara; Ibu adalah sulung dari sembilan bersaudara. Sebagai anak tertua, mereka tentu sangat memahami hidup sederhana, kerja keras, dan bagaimana memberikan keteladanan kepada adik-adik mereka. Nilai-nilai itu pula yang mereka turunkan kepada aku dan saudara-saudaraku.
Aku ingat sekali, Bapak dan Ibu selalu menanamkan kesadaran
kepada kami bahwa rajin belajar dan kerja keras akan membuat kami sukses suatu
hari nanti. Meskipun pada saat itu aku tidak terlalu mengerti, aku menuruti
nasihat mereka untuk rajin belajar dan konsisten menerapkan waktu belajar
setiap hari. Aku tidak terlalu ingat bagaimana cara mereka menanamkan kesadaran
itu. Yang jelas, kami terbiasa bangun dini hari untuk salat tahajud, kemudian
belajar hingga waktu subuh. Sehabis magrib kami juga terbiasa menuju meja belajar
kami masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah, belajar untuk ulangan
harian, atau sekadar mengulang pelajaran hari itu. Aku ingin sekali mengimitasi
bagaimana cara mereka mendidik kami karena aku juga ingin menanamkan kesadaran itu
pada anak-anakku, tetapi aku hanya dapat mengingatnya samar-samar.
Seingatku Bapak dan Ibu tidak pernah marah hebat kepada
kami. Marah dalam kondisi wajar tentu pernah, mengingat kami adalah anak-anak
biasa yang terkadang bandel juga. Namun, mereka jarang marah dengan suara keras dan nada
tinggi. Mereka tipe orang tua yang tidak suka
kegaduhan. Suasana rumah harus senantiasa tenang. Oleh karena itu, kami akan sangat
berhati-hati ketika bermain bersama atau menyalakan televisi supaya tidak
menimbulkan keriuhan. Kalaupun Bapak marah dengan nada tinggi, itu pasti karena
kenakalan kami sudah menguji batas kesabaran beliau. Biasanya ketika Bapak
marah seperti itu, kami akan menciut seperti gabus disiram bensin.
Ketika kami remaja, Bapak dan Ibu tidak pernah membatasi kami secara ketat dalam bergaul. Kami masih diperbolehkan untuk berpacaran dengan batas-batas interaksi yang jelas antara lelaki dan perempuan. Meskipun tidak terlalu paham ilmu agama, mereka selalu mengedepankan adat ketimuran dan norma sosial. Ketika kami merantau untuk kuliah ke luar kota, wejangan-wejangan untuk menjaga diri dan hidup sederhana senantiasa mereka tanamkan. Nilai-nilai kemandirian dan tanggung jawab yang digaungkan oleh Bapak dan Ibu, kami tuai hasilnya ketika kami jauh dari rumah.
Hidup sederhana adalah hal yang paling aku ingat dari Bapak
dan Ibu. Mereka tidak pernah berhutang dan selalu membeli segala sesuatu sesuai kemampuan. Semua transaksi dilakukan secara kontan karena mereka tidak pernah tergoda dengan skema kredit. Kelebihan tabungan dialihkan
untuk membeli tanah atau menyimpan deposito. Bapak dan Ibu memang masih
berpikir secara konvensional—tidak berinvestasi dengan metode kekinian seperti
membeli saham, logam mulia, atau reksadana—tetapi mereka memberikan keteladanan
bahwa tidak berlaku boros itu penting demi masa depan.
Aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak dan
Ibu. Didikan mereka membentukku menjadi pribadi yang sekarang. Nilai-nilai yang
mereka wariskan kepada kami, merupakan warisan juga dari kakek dan
nenek kami dulu. Semoga kami bisa meneruskan hal-hal baik itu kepada anak-anak
kami sehingga menjadi ladang amal jariah bagi Bapak dan Ibu.
No comments:
Post a Comment