Monday, September 22, 2008

Gender @ Work

Waktu itu aku sedang berbincang dengan suamiku. Aku lupa tentang apa, pokoknya suamiku sempat mengutip perkataan atasannya yang enggan mempekerjakan karyawan perempuan. Hmmm, jadi mikir. Kenapa yah beliau begitu?

Alasan pertama, bisa jadi karena perempuan banyak izin dan cutinya. Jadi enggak produktif di tempat kerja. Alasan kedua, mungkin si bapak mikir sebaiknya perempuan di rumah saja, supaya anak lebih terurus. Dalam satu kesempatan, aku pernah berbincang dengan istri si bapak. Istri ini memang di rumah saja, kata si istri biar bisa ngurus anak. Tapi sambil bikin usaha juga, jadi tetap berkarya.

Terlepas dari alasan mana yang sebenarnya bikin si bapak enggan mempekerjakan karyawan perempuan, aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja. Kalau sering baca blog-ku, pasti tahu alasan kenapa aku berpendapat begitu. Dengan catatan, perempuan juga tetap berkarya meskipun tinggal di rumah saja. Boleh-boleh saja ia punya karir, asal porsi anak dan suami tetap yang terbesar.

Jangan lantas berpikiran bahwa aku anti emansipasi. Memang aku sebel dengan gerakan feminisme yang kebablasan, ibu Kartini aja nggak segitunya *silakan baca buku Tragedi Kartini*. Ada banyak alasan kenapa aku berpikir sebaiknya perempuan di rumah saja. Salah satunya adalah karena seorang ibu punya kewajiban sebagai ummu madrasah. Di tangannya terletak masa depan anak yang jadi pilar utama generasi bangsa. Kalau anak nggak terurus, mau jadi apa keluarga kita? Lebih jauh lagi, mau jadi apa bangsa kita?

Mungkin ada yang berdalih, bisa-bisa aja tuh ngurus anak sambil kerja. Maap ya, menurutku itu omong kosong. Bagaimanapun juga, ngurus anak nggak akan bisa optimal kalau seharian kita di luar rumah. Bisa sih bisa, tapi dengan energi sisa. Bisa sih bisa, tapi ya ngurus seadanya. Susah ngejelasinnya kalau nggak mau memahami *silakan baca buku Mulai dari Rumah karangan Al Ghazali*.

It’s funny to realize that I used to be one of those feminists. Sejak dulu aku selalu berminat dengan isu keperempuanan. Siapa menyangka kini aku tak lagi sealiran dengan para feminis itu. Siapapun yang paham hakikat sesungguhnya Allah menciptakan perempuan, pasti akan sependapat denganku.

Blog Pribadi

Sekarang aku nggak lagi merasa nyaman nulis di blog ini. Gara-gara peristiwa ini, aku jadi merasa harus nulis yang senang dan yang baik saja dari kehidupanku. Nanti kalau aku nulis yang sedih dikit aja, ada yang protes lagi. Dibilangnya aku sebagai orang yang nggak bersyukur, yang selalu sedih dan mellow.

Hhhh, padahal sebenarnya siapa yang bisa melarang aku nulis apa aja? Ini kan blog pribadiku. Kalau aku nulis yang senang-senang aja, kalau aku pura-pura bahagia terus, apa malah nggak fake tuh? Tersenyum saat tertekan, tertawa saat hati menangis? *jadi ingat sms-nya Wiwit* Apa malah nggak bikin sakit jiwa tuh, bersikap palsu kayak gitu?

Tau nggak, derita jiwa *halah bahasanya* yang nggak dikeluarin itu bisa bikin sakit. Sebagai manusia, tentu ada hal-hal nggak enak, mana mungkin bahagia terus. Dan sebagai pemilik tunggal blog ini, seharusnya sah-sah aja kalau aku mau nulis yang sedih-sedih dong ya. Toh itu curhatku yang disalurkan lewat tulisan. Memangnya si pembaca yang protes itu bakalan mau nanggung kalau aku sakit jiwa?

Oke, oke... nggak perlu hiperbolis. Intinya, sekarang aku merasa nggak terlalu nyaman dengan blog ini. Sekarang aku punya blog rahasia yang bisa kutulisi sesuka hati, bahkan mengumpat pun nggak ada orang yang bakal protes hehehehehe. Nggak boleh pada tau, namanya juga rahasia.

Well, aku nggak suka sama orang yang palsu. Makanya aku nggak mau jadi seperti itu.

Sindrom

Masih inget dengan suasana hatiku (yang berimbas pada tulisan-tulisan di blog ini) yang cenderung kelabu pada masa kehamilanku? Yang akhirnya jadi rame karena ini. Waktu itu sering banget aku resah, gundah, nangis tanpa sebab, dan berbagai perilaku gloomy lainnya. Satu hal yang membuat terasa berat adalah ketakberdayaan menghadapi kehamilan sendirian. Butuh dukungan dan kehadiran suami di sisi. Pada waktu itu, mungkin ada di antara pembaca yang ngecap aku manja dan nggak mandiri.

Guess what, saat ini aku jauh dari semua perasaan itu. Sekarang ini rasanya lebih kuat dan nggak terlalu khawatir menghadapi dunia di luar sana sendirian. Nggak tahu deh kenapa bisa begitu. Karena udah jadi seorang bunda? Atau karena memang aku nggak lagi sendiri di rumah? *ada Hanif dan si mbak*

Satu lagi pertanyaan besar: apakah semua itu memang hanya sindrom yang dialami oleh seorang ibu hamil? Aku selalu tertarik dengan pembahasan sindrom-sindrom yang banyak dialami oleh perempuan, misalnya PMS dan baby blues. Lalu apakah pengalamanku itu salah satu dari sekian banyak sindrom? Apakah merasa tak berdaya, butuh dukungan, terus-terusan merasa khawatir, sensitif, dan gampang stres merupakan gejala-gejala sindrom ibu hamil?

Ada yang mau berkomentar?

Gaji PNS

Beberapa waktu lalu, seorang teman mampir ke Bandung. Teman ini bekerja sebagai PNS di lingkungan SekJen MPR. Obrolan tentang gaji PNS yang bermula di Pizza Hut berlanjut sampai ke rumah. Terusik oleh perbedaan yang sangat njomplang antara aku dengannya.

Temanku ini golongan II/d, tiap bulannya membawa pulang gaji lebih dari 7 juta rupiah. Jauh sekali bedanya denganku yang ”hanya” kurang dari 2 juta rupiah per bulan, meskipun bergolongan III/a. Oke, jadi di mana letak perbedaannya?

Kata dia, di tempatnya banyak tunjangan (waktu itu sempat dia sebutkan satu-satu, tapi sekarang aku lupa apa aja). Kalau nggak salah, ada tunjangan operasional kegiatan per hari senilai 130 ribu rupiah (kalikan aja jadi berapa per bulannya). Masih ditambah dengan ”uang lelah” untuk pekerjaan yang seharusnya memang ia digaji untuk itu. Jadi total take home pay-nya ya lebih dari 7 juta itulah. Lebih banyak daripada gaji pegawai swasta (yang berlevel staf) di Jakarta.

Pfff, di mana-mana gaji pokok PNS memang sama. Lalu apa yang melegitimasi tunjangan para PNS di rumah rakyat itu harus besar? Apa supaya mereka enggak korupsi? Atau karena beban kerja mereka memang lebih berat? Mikirin negara? *Jadi inget ucapan syaikhut tarbiyah Rahmat Abdullah di film Sang Murabbi. Ada yang lebih berat daripada mikirin negara, yaitu mikirin umat.*

Ketika obrolan tentang gaji semakin memanas dan aku curhat tentang dana riset instansiku yang sering dipotong oleh pemerintah, dia cuma berujar enteng, ”Habis kantormu miskin sih.” Aku cuma bisa tersenyum kecut.

Me-Time [2]

Selama dua bulan menjalani cuti melahirkan, aku selalu di rumah ngurusin Hanif. Hampir nggak pernah aku keluar rumah karena selalu was-was dan nggak tega ninggalin Hanif. Maklum, dia masih ASI eksklusif. Asupan tubuhnya cuma dari ASI. Jadi tiap kali keluar rumah, aku harus memastikan stok ASI di kulkas cukup. Nah, bagaimana kalau pas ditinggal dia kehabisan stok ASI? Nah, itu yang selalu bikin aku deg-degan tiap kali keluar rumah.

Minggu pertama aku kembali kerja, ada semacam euforia yang melegitimasi perasaan bebas dari keterkungkunganku di rumah. Akhirnya bisa juga aku jalan sendiri, begitu pikirku. Don’t get me wrong. Aku amat sangat menikmati hari-hari di rumah. Aku masih tetap pengen jadi ibu rumah tangga. Tapi ngurus anak bisa sangat melelahkan. Setiap hari aku capek dan kurang tidur karena Hanif bangun dan pipis sesuka hati, bahkan tengah malam sekalipun. Belum lagi kalau dia nggak mau tidur-tidur dan minta gendong terus. Makanya ketika akhirnya aku bisa keluar rumah, sejenak lepas dari Hanif, nggak bisa kupungkiri... ada sedikit kelegaan karena bisa ”beristirahat dari rutinitas”.

Minggu pertama aku kembali kerja itu pula, aku jalan sendiri ke Gramedia, Merdeka Arcade Factory Outlet, dan Hypermart BIP. Ceritanya aku lagi pengen punya me-time, meski sebenarnya ke Hypermart buat belanja kebutuhan Hanif juga. Pas di Gramedia sih masih asyik cari dan baca buku lama-lama. Tapi pas di Merdeka Arcade Factory Outlet dan Hypermart BIP, nggak sadar aku udah makin gelisah. Sebentar-sebentar lihat jam. Milih-milih dan nyoba baju jadi nggak fun lagi. Malah pas di Hypermart, aku hampir lari-larian ambil barang yang dibutuhkan aja. Nggak sempat lagi window shopping.

Ternyata me-time-nya nggak berhasil. Setelah punya anak, jarang-jarang aku jalan sendiri seperti ini. Niatnya pengen memanjakan diri sendiri, yang ada malah perasaan gelisah. Inget Hanif di rumah, bertanya-tanya apakah stok ASI masih cukup, dan sedikit merasa bersalah karena ninggalin dia. Huhuhu, jadi emak-emak gini emang susah ya ke mana-mana sendiri, udah punya ekor sih.

Hanif... cepetan gede, biar bisa ikut jalan-jalan sama Bunda :p

Wednesday, September 17, 2008

Me-Time [1]

Sebagai ibu dan istri, perempuan biasanya hampir nggak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan me-time. Apalagi kalau dia juga berkarir di luar rumah. Ketika di rumah, waktunya habis untuk ngurus anak dan suami. Ketika di luar rumah, waktunya habis untuk pekerjaan kantor. Anak, suami, dan pekerjaan kantor jadi prioritas utama. Alhasil, banyak perempuan yang lantas kehabisan energi untuk pay attention terhadap kebutuhan dirinya sendiri.

Perempuan macam ini adalah perempuan yang disebut Oprah sebagai ”woman who loses herself” atau ”woman who lets herself go”. This woman always puts herself after other things: her kids, her husband, her job, her social activities, etc.

Teri Hatcher dalam bukunya Burnt Toast juga membahas soal ini. Dari judul bukunya aja udah tersirat. Jika kita, para ibu, mendapati sebagian roti yang kita panggang gosong… bagian yang tidak gosong kita berikan pada anak atau suami, sementara bagian yang gosong --burnt toast-- dengan rela kita makan. Sounds familiar? Begitulah. Ini sebuah perumpamaan yang tepat untuk perempuan yang puts herself after other things.

Rasanya udah otomatis aja gitu ya, menempatkan hal lain selain diri kita (baca: anak dan suami) di atas kepentingan kita. Padahal itu nggak sehat lho. Biar bagaimanapun juga, diri kita juga butuh perhatian. Tidak, itu bukan sesuatu yang egois. Juga tak perlu perasaan bersalah.

Semua itu ibarat menyusui. Kalau asupan makanan kita baik, ASI yang kita keluarkan pasti berkualitas. Begitu juga kalau kita pengen melayani orang lain dengan baik, terlebih dulu kita harus melayani diri kita sendiri dengan baik. Bagaimana kita bisa memberi, sementara dari dalam diri kita nggak ada apa-apa untuk diberikan ke orang lain? Bagaimana kita bisa kasih cinta pada orang lain, sementara kita nggak pernah cinta diri kita sendiri? Bagaimana kita bisa kasih senyum ke orang lain, sementara kita nggak pernah senyum ke diri sendiri?

Nah, makanya... seorang perempuan wajib punya me-time. Karena seorang perempuan adalah sumber energi bagi lingkungannya *apa jadinya dunia bila nggak diurusi sama perempuan, coba?*, ia harus punya energi berlebih. Energi ini di-recharge lewat me-time. Terserah dia mau ngapain, yang penting me-time ini khusus buat memanjakan dirinya sendiri. Sekali lagi, itu bukan sesuatu yang egois. Juga tak perlu perasaan bersalah.

Mau shopping ke mall? Boleh. Mau baca buku atau majalah? Silakan. Atau pilih baca Qur’an dan nambah hafalan? Monggo. Suka-suka ajalah. Yang penting, ketika me-time usai dijalani dan rasa jenuh serta letih berangsur menghilang… jangan lupa untuk kembali ke realita. Karena dunia membutuhkan kita, para perempuan perkasa.

Tuesday, September 16, 2008

Senam Aerobik

Akhirnya, setelah berbulan-bulan berhenti senam, aku memulai lagi program senamku. Setiap Jumat di kantor memang ada senam, tapi cuma setengah jam. Kurang ah. Sekarang ini kan aku pengen lebih langsing, secara habis melahirkan ini beratku jadi 52 kg.

Jadilah aku berburu studio senam, mengingat Bulova, studio senamku dulu, lagi direnovasi dan entah kapan buka lagi. Sebenarnya di Sabuga juga ada, tapi kudengar di situ bukan studio khusus wanita dan kadang-kadang instrukturnya malah laki-laki. Kan enggak bebas ya kalau gitu. Alhamdulillah akhirnya ketemu studio senam Lohita di Dago.

Pertama kali ikut senam di Lohita, tanpa sadar aku langsung membanding-bandingkan dengan Bulova. Lohita ini lebih luas, tapi pesertanya juga jauh lebih banyak, jadi kesannya berjubel gitu. Hmm, sebenarnya nggak terlalu suka kalo berjubel gini. Mau gerakan menyamping jadi bentur sana sini. Trus gerakannya juga lebih heboh, jadi habis senam rasanya capek banget (atau karena aku baru saja mulai lagi ya???).

Sebenarnya semua senam aerobik itu tergantung instrukturnya. Ada orang yang cocok-cocokan sama instruktur atau suka sama instruktur tertentu. Kalau aku sih nggak pengen kayak gitu. Sebisa mungkin semua instruktur dicoba. Makin banyak instruktur, makin bervariasi gerakannya kan. Lagipula semua instruktur sama aja kok, sama-sama senam aerobik ini. Nah, di Lohita ini instrukturnya cuma Teh Dyan. Dibantu sama dua asistennya sih, tapi tetep aja instruktur utama kan Teh Dyan. Jadi gerakannya ya hampir gitu-gitu aja. Rada monoton.

Untuk saat ini, aku harus puas dengan Lohita. Tapi nggak apa-apa lah, yang penting tetep senam aerobik. Yang penting keringetan. Yang penting bugar dan sehat. Dan yang lebih penting lagiiiii... jadi makin langsing hehehehe.

“Kita Bertiga Sama-Sama Ya”

Ada satu postingan dari Afif yang bikin aku tertegun sedih. Afif ini teman mayaku yang tinggal di Norwegia. Sebulan setelah aku melahirkan, Afif juga melahirkan bayi cantik bernama Nadiyya. Ini kutipan postingannya.

Jadiii..sekarang tinggal kita bertiga nih...sang istri..suami dan anak bayi
dirumah ini...karena nggak punya baby sitter apalagi pembantu...jadilah kita
bekerja sama bertiga...

Istrinya menyusui...suami nya menggantikan
popok....trus nanti kalau suami udh pulang..sang istri masak..dan suami yg
ngejagain tuan putri dirumah ini...kalau memandikan tuan putri ini...berdua yang
mandiin...mas yang megangin Nadiyya dan aku yang ngelap dan bersiin Nadiyya..

Kalau lagi malem2 dan kerjaan udah beres semua...sambil gendong
Nadiyya...kita pelukan bertiga...walo cuma bertiga...dan harus kerja sama (kalau
kata mas sih...kerja sama ama Nadiyya nya...Nadiyya yang lapar..uminya yang
nyusuin...kalau Nadiyya basah..abinya yang gantiin popok hihi) daan sempet
sedih-sedihan ditinggal balik ke Indonesia sama mama papa...tapi kerasa banget
kerja sama nya...mudah2an bisa kompak selalu ya Allah..amien amien..

Kalau udah pelukan gitu...aku sama mas sambil tatapan bilang 'Kita
bertiga sama-sama ya'...

Terus terang, aku pengen seperti Afif. Meskipun jauh dari orang tua dan sanak saudara, masih tetap ada suami yang menemaninya mengasuh anak. Tetap bisa mesra-mesraan dan kompak sama suaminya. Nggak kayak aku yang setelah Hanif lahir jadi makin banyak beda pendapat *kalau nggak bisa dibilang bertengkar* sama suamiku.

Pfff, ada Hanif kok malah jadi makin stres.

Oh ya, aku juga bisa bilang “Kita bertiga sama-sama ya”. Tapi bilangnya bukan sama suami, melainkan sama si mbak pengasuh. Nggak banget :((

Kalau Bunda Bisa Memilih

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Tentu Bunda memilih bersamamu 24 jam
Menemani tidur dan bangunmu
Menjadi saksi tiap detik tumbuh kembangmu

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu mendekapmu
Menyanyikan lagu nina bobo untuk menidurkanmu
Dan bukannya meninggalkanmu di pelukan pengasuh

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu memandikanmu tiap pagi dan sore
Bukan terburu-buru pergi sebelum kau bangun
Dan pulang kelelahan setelah kau terlelap

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda memilih menyusuimu setiap saat kau ingin
Bukan memeras-meras ASI di kantor
Dan menghadapi kenyataan bahwa kau harus menyusu dari botol

Kalau Bunda bisa memilih, Nak...
Bunda ingin selalu ada untukmu
Menenangkan tangismu dan tertawa bersamamu
Selalu bisa membelai dan menciummu

Maafkan Bunda, Nak...

*ditulis dengan segunung perasaan sedih dan bersalah*