Badanku penat sekali setiba di Cikarang siang itu. Aku langsung melongo melihat taman depan yang dipenuhi ilalang dan rumput liar setinggi betis. Suamiku cuma nyengir. “Jangan lebih kaget kalau melihat ruangan di dalam,” katanya sambil membukakan pintu.
Masya Allah… mau tak mau aku geleng-geleng. Kok bisa dia tinggal di rumah yang keadaannya seperti itu. Lantai kotor sekali. Baju-baju bersih yang belum disetrika terbagi atas beberapa tumpukan, diletakkan secara sembarangan di atas kursi ruang tamu dan di atas lantai. Dapur juga tampak berdebu, sementara tumpukan baju kotor di sudut ruang belakang menanti untuk dicuci. “Minggu ini nggak ada waktu buat bersih-bersih, Sayang,” katanya dengan nada meminta maaf.
Aku yang sudah teramat letih hanya bisa diam. Perasaanku bercampur antara geli, sebal, dan terenyuh. Geli membayangkan dia bersih-bersih rumah sendirian, sesuatu yang teramat jarang dia lakukan semasa tinggal berdua denganku. Sebal karena membayangkan hari itu akan aku habiskan untuk bersih-bersih rumah yang sedemikian kotor. Terenyuh karena aku merasa tak berdaya mengurusnya dan melakukan hal-hal yang seharusnya aku lakukan untuknya, akibat jarak yang terpisah Bandung-Jakarta.
Aku beranjak ke kamar untuk merebahkan diri, berkata sambil lalu, “Akan aku bersihkan, tapi nanti. Sekarang aku mau tidur dulu.”
Tak berapa lama kemudian, dengan kepala masih di atas bantal, aku mendengar suamiku membuat suara-suara berisik. Oh, ternyata dia sedang mengelap, menyapu, dan mengepel. Juga merendam cucian di ruang belakang. Sekaligus mengawasi tukang kebun keliling yang sudah dipanggilnya untuk merapikan taman. Merasa tidurku terganggu, aku berseru kesal, “Nanti aku bersihin! Mas nggak usah repot-repot kayak gitu!”
Tapi suamiku tetap meneruskan kegiatannya. Sampai akhirnya ketika aku bangun, aku mendapati rumah dalam keadaan bersih dan mengkilat. Semua sampah sudah dibuang. Bahkan hampir semua perkakas dapur dicucinya sampai bersih. Aku nggak tahu harus bilang apa.
Malamnya, aku memintanya untuk jujur kenapa dia ngotot bersih-bersih sampai capek seperti itu. Alasannya ialah karena dia melihat mukaku yang sebal siang harinya, sehingga dia merasa bersalah dan merasa harus bersih-bersih untuk membuatku nyaman berada di rumah *dia tahu aku sangat sensitif terhadap sesuatu yang kotor*. “Habisnya Sayang udah bete duluan, begitu dateng langsung tidur, males ngapa-ngapain gara-gara rumah kotor,” begitu katanya.
Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah. Memang tadinya aku sebal, tapi langkahku untuk beranjak tidur itu memang lebih disebabkan karena penat dan letih. Aku sama sekali tidak berniat membuat suamiku merasa begitu. Aku maklum kok kalau rumah sedemikian kotor. Aku mengerti dia memang benar-benar tak punya waktu untuk bersih-bersih. Atau kalaupun punya, aku mengerti dia sudah kecapekan karena bekerja seharian di kantor, tiba di rumah pun malam-malam.
Suamiku itu… betapa besar usahanya untuk membuatku merasa nyaman. Sampai dibela-belain membersihkan seluruh rumah hanya karena aku datang. Sebenarnya inilah yang paling membuatku merasa sangat bersalah dengan kepergianku ke Bandung. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian dengan berbagai urusan rumah untuk diselesaikan, padahal seharusnya itu menjadi tanggung jawabku. Nggak kebayang tiap hari dia pulang ke rumah dalam keadaan capek, lalu masih harus membereskan ini itu, terutama masalah bersih-bersih rumah dan mencuci baju. Duh, suamiku… benarkah kehidupan yang kita jalani ini benar-benar keputusan yang terbaik?
*dan setiap hari aku semakin mencintainya, bahkan menulis ini pun membuatku merindukannya lagi dan lagi… setengah mati…*