Tuesday, August 24, 2010

Resign (Lagi)

Setiap kali peristiwa ini terjadi, perasaan tak berdaya datang menghantam. Ini sudah kali keempat pengasuh Hanif minta berhenti kerja, lagi-lagi karena alasan keluarga seperti para pendahulunya. Menemukan pengasuh pengganti tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah. Pun adaptasi setelahnya, tak mudah bagiku, tak juga mudah bagi Hanif.

Mengapa tak mudah? Aku menganggap pengasuh Hanif yang terakhir ini sebagai harta karun. Di saat kebanyakan babysitter seprofesinya begitu strict dalam aturan main dan job description, dia masih sangat rela membantuku mengatasi pekerjaan rumah tangga yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Oh, tentu aku tak pernah menyuruhnya berbuat demikian. Aku sangat paham pasal-pasal kontrak yang mengatakan bahwa urusan babysitter hanya seputar anak. Tapi dengan sikap tahu-sama-tahu, dengan ikhlas dia membantu menyuci piring, menanak nasi, mengangkat jemuran, atau menyapu lantai. Bagaimana aku bisa menemukan lagi babysitter sebaik dia?

Belum lagi kalau bicara tentang sikapnya dalam mengasuh Hanif. Kuakui, aku memang bukan bunda yang sempurna. Ada lubang-lubang pengasuhan yang tak bisa kuperbaiki akibat bekerja di luar rumah. Sejauh ini, pengasuh Hanif sangat baik dalam memegang Hanif. Dengan baik dia mampu menambal lubang-lubang kekurangan yang kutinggalkan. Satu pemikiran dalam sistem dan pola pengasuhan sudah menjadi kelebihan tersendiri. Ditambah dengan betapa baiknya dia mengajarkan macam-macam warna, huruf, doa-doa, lagu-lagu anak-anak... ahh, di mana lagi bisa kutemukan babysitter sebaik dia?

Okelah, kalau buat aku, mungkin aku bisa menghadapinya. Hanif yang aku khawatirkan. Dia begitu dekat dengan pengasuhnya, terutama karena selama setahun ini si pengasuh sudah berhasil menjadi teman main yang seru buatnya. Tak seperti pengasuh Hanif yang lain, yang rata-rata lebih senior, di mana mereka lebih memilih menonton TV daripada bermain dengan Hanif. Asal Hanif aman, tak jatuh, tak menangis, tak lapar... bagi mereka sudah cukup. Tak peduli mereka dengan parenting atau mengajarkan Hanif sesuatu. Tentu aku tak mau pengasuh yang seperti mereka, aku ingin pengasuh Hanif seperti yang sekarang. Oh tidak, lebih tepatnya, aku memang ingin Hanif tetap diasuh oleh pengasuhnya yang sekarang.

Meskipun demikian, pengasuh sebaik itu dan kedekatan yang nyata di antara mereka tidak membuatku khawatir. Hanif tetap lebih dekat denganku dan ayahnya. Hanif tetap memilih bersama kami ketika kami berdua ada di rumah. Jadi, kasus anak yang lebih lengket dengan pengasuhnya, dalam hal ini tidak terjadi pada Hanif. Berkat pola pengasuhan yang tepat, alhamdulillah.

Tapi sekarang babysitter andalan ini akan resign. Kalau sudah begini, perasaan tak-bisa-jadi-bunda-yang-baik benar-benar membuatku hopeless. Merasa tak bisa memberikan yang terbaik buat Hanif. Merasa tak bisa menyediakan diri sepenuhnya untuk mengasuh Hanif. Sementara pilihan berhenti bekerja, bukan merupakan pilihan terbaik saat ini.

Waktu bergulir demikian cepat. Punya anak jauh lebih besar maknanya daripada sekedar melahirkannya. Membesarkan dan mendidiknya, menitipkannya pada pengasuhan dan sekolah yang tepat, benar-benar perjuangan luar biasa. Membawaku pada muara kesadaran bahwa jalan ini begitu panjang dan berliku.

Aku, Hanif, dan Minat Baca

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Yang aku ingat, masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie. Begitu senangnya aku membaca, hingga pergi ke toko buku atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda mingguan yang menyenangkan.

Aku masih ingat, semasa aku SD, perpustakaan tak pernah luput dari kunjunganku. Penjaga perpustakaan sampai hafal. Rajin sekali aku meminjam buku-buku di sana di mana sebagian besar koleksinya waktu itu masih didominasi oleh buku-buku terbitan Balai Pustaka.

Aku tak tahu mengapa minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat bagai tanaman di atas sebidang lahan subur. Mungkin karena orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah. Atau mungkin karena terinspirasi oleh Papi yang kelihatannya juga gemar membaca. Atau mungkin karena lingkungan teman di rumah dan sekolah yang sama-sama suka membaca.

Beranjak dewasa, aku lebih dari sadar bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan seputar pengetahuan umum. Aku yakin itu antara lain karena aku sejak dulu suka sekali membaca rubrik pengetahuan di majalah Bobo, lalu ketika remaja aku mulai suka membaca koran dan melihat berita di televisi.

Aku prihatin dengan minat baca masyarakat Indonesia yang masih terbilang minim. Terjadi lompatan budaya yang tidak semestinya, dari budaya-dengar (audio) langsung ke budaya-lihat (visual). Itulah mengapa televisi menjadi penghibur rakyat nomer satu, sementara di sisi lain stasiun televisi masa kini lebih banyak menyajikan tayangan sampah *pasang jempol besar-besar bagi stasiun yang tidak.

Setelah budaya-dengar, seharusnya kita masuk pada budaya-baca. Ini yang terjadi di negara-negara Barat di mana minat baca mereka begitu tinggi. Lah orang-orang kita, belum masuk ke budaya-baca malah langsung lompat ke budaya-lihat. Akibatnya, susah sekali menumbuhkan minta baca anak-anak yang sudah telanjur jatuh hati pada televisi.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa, anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adik: apa benar usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca?

Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun. Mulai dari buku bergambar sampai akhirnya novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika ia belum lagi lulus SD. Lalu ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah, kemampuan menulisnya juga bertambah. Dan aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.

Eksperimen kedua kulakukan pada Hanif :)

Well, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak Hanif berusia enam bulan, ia mulai rutin kubelikan buku. Mulai dari softbook, boardbook, sampai buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku dan pengasuhnya sering mengadakan sesi-baca-buku. Di usia Hanif yang dua tahun sekarang ini, dia sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Maka biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan untuk menguji seberapa jauh pemahamannya. Atau kadang-kadang kami menyuruhnya bercerita dengan kalimatnya sendiri.

Aku rasa kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri Hanif. Sebelum tidur, sesaat sebelum naik ke tempat tidur, dia akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta: mobil-mobilan favoritnya, dan tentu saja: buku pilihannya untuk malam itu. Dengan gembira dia akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias—tentu dengan bahasanya sendiri. Jika minta dibacakan, dia akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm, buah dari usahaku selama ini demi menjadikannya anak yang suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

Tapi perjalanan ini masih panjang. Masih jauh dari berpuas diri. Untuk tumbuh-kembang-minat-baca ini aku tetap optimis bisa. Insya Allah ingin membuat perpustakaan kecil-kecilan di rumah dalam rangka mendukungnya. Nah, untuk tumbuh-kembang aspek yang lain, aku masih belajar :)

Yosh, parenting is really never easy, yet it’s so exciting.