Wednesday, October 31, 2007

Murah = Tidak Berkualitas ??

*sebel banget mode ON*

Pagi tadi aku pergi ke puskesmas Sukadami, puskesmas setempat di Cikarang, dalam rangka mencari Surat Keterangan Sehat. Karena aku baru pertama kali ke situ, aku nggak tahu kalau sedari awal aku harus minta formulir Surat Keterangan Sehat di bagian pendaftaran *biasanya kita mintanya kan sama dokternya, ya meneketehe gitu lohh*. Jadi di situ aku cuma daftar aja.

Nah, pas aku balik ke bagian pendaftaran buat minta formulir itu, beberapa ibu petugas di situ pada ngomel-ngomel. Kenapa tadi nggak bilang, kata mereka. Ya MENEKETEHE!! Nggak berhenti sampai di situ, ketika mereka tahu kalau aku nggak tahu rumahku RT/RW-nya berapa, mereka tambah marah-marah. Mereka bilang, kalau jadi pendatang itu harus lapor ketua RT dulu. Masih ditambah dengan kata-kata kasar "dasar pendatang" yang ditimpali omongan ibu-ibu petugas yang lain. Gimana nggak bikin panas kuping.

FYI, waktu aku pertama kali menetap di Cikarang, aku udah nanya-nanya tetangga tentang siapa ketua RT yang perlu dilapori. Tapi di perumahanku ternyata emang nggak model sistem RT kayak gitu. Semua kebutuhan warga ditangani oleh pihak pengembang, jadi jabatan RT ya jadinya enggak fungsional. Sampai sekarang aku nggak pernah tahu rumahku itu RT/RW berapa.

Makanya aku jadi panas banget diomel-omelin ibu-ibu petugas puskesmas sampai kayak gitu. Bawel dan rese banget sih. Nggak ramah sama sekali, secara mereka tuh berada di bagian yang langsung berhadapan dengan masyarakat gitu lohh. Tiba-tiba aku jadi ingat dengan petugas bagian pendaftaran di Poliklinik ITB. Sama persis. Kalau melayani pelanggan pakai ngomel-ngomel, nggrundel, sambil muka ditekuk. Tapi persis setelah itu langsung bisa ketawa-ketiwi bercanda sama temen-temennya. Giliran menghadap ke pelanggan, muka ditekuk lagi. Kok ya ada orang yang bisa kayak gitu. Amit-amit.

Aku sih bisa maklum ya, kalau waktu udah sore dan mereka mungkin kelelahan hingga sedikit nggak ramah. Tapi ini pagi hari gitu lohh. Emang dari sononya udah niat nggak ramah 'kalee. Kata mamiku, mereka bersikap seperti itu mungkin karena gaji mereka kecil, atau karena kita bayar murah. Iya sih, kalau di Poliklinik ITB, sekali datang cuma bayar 5 ribu (udah termasuk obat) kalau kita masih berstatus sebagai mahasiswa. Sedangkan puskesmas yang hari ini tadi malah gratis.

Tapi nggak bisa gitu juga dong. Mentang-mentang karena gaji mereka sedikit atau kita bayar murah, bukan berarti kita nggak berhak atas pelayanan yang baik. Masa cuma rumah sakit mahal aja yang pelayanannya berkualitas. Kalau kayak gini terus, slogan "pembeli adalah raja" jadi terasa omong kosong belaka. Duh, Indonesia... Contoh dong negara-negara maju yang mengutamakan kualitas dalam pelayanan *jadi inget tulisan Desi di sini*.

Kalau nggak diharuskan dapat Surat Keterangan Sehat dari dokter pemerintah, nggak akan aku pergi ke puskesmas itu lagi. Amit-amit. Mending bayar mahal daripada dilayani setengah hati.

Tuesday, October 16, 2007

Menu Lebaran: Nasi Uduk, Opor Ayam, dan Tumis Udang Paprika


Wah, senangnya bisa post resep masakan di sini, mengingat aku nggak suka masak. Resep-resep ini worth trying, karena simpel dan hasilnya enak. Suamiku sampai memuji rasanya :D

Opor Ayam (4 porsi)

Bahan:
  • 5 sdm minyak goreng
  • 2 lembar daun salam
  • 4 potong ayam (terserah mau dada, paha, atau bisa juga diganti daging, tempe, atau tahu)
  • 600 ml santan encer dan 400 ml santan kental (pakai aja santan kemasan siap pakai kalau mau simpel)

Haluskan:
  • 6 butir bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • 2 cm lengkuas
  • 2 cm kunyit
  • 2 cm jahe
  • 1 sdt ketumbar
  • 1/2 sdt garam halus
  • 1 sdt gula pasir

Cara membuat:
  • Panaskan minyak, tumis bumbu halus hingga matang, tambahkan daun salam.
  • Masukkan ayam dan santan encer. Aduk rata dan masak hingga ayam setengah matang.
  • Tuangkan santan kental. Kecilkan api, aduk-aduk sampai matang.
  • Angkat dan hidangkan. Taburkan bawang merah goreng sesuai selera.

Tumis Udang Paprika (4 porsi)

Bahan:
  • minyak goreng untuk menumis
  • 3 ons udang kupas besar
  • 1 butir paprika hijau, potong dadu
  • 3 siung bawang putih, cincang
  • 5 butir bawang merah, iris halus
  • 5 buah cabai merah, iris tipis serong
  • 2 lembar daun salam
  • 2 cm lengkuas, memarkan
  • 1 sdt garam halus
  • 1 sdt gula pasir
  • kecap secukupnya

Cara membuat:
  • Panaskan minyak, tumis bawang putih hingga layu dan harum. Masukkan bawang merah dan aduk-aduk hingga layu.
  • Campur cabai merah, daun salam, serta lengkuas.
  • Masukkan udang dan potongan paprika. Aduk-aduk sebentar.
  • Tambahkan sedikit air, garam, gula, dan kecap. Aduk rata, tunggu hingga air menguap dan udang berubah warna tanda matang.
  • Angkat dan hidangkan.

Lebaran


Hiruk pikuk arus mudik seperti tidak berpengaruh pada kehidupan aku dan suamiku. Lebaran pertama kami sebagai suami istri ternyata harus kami lalui berdua saja di perantauan, jauh dari sanak saudara dan keluarga besar di tanah kelahiran. Sebabnya adalah karena suamiku mendapat giliran standby di kantor, ngejagain trafik lebarannya Telkomsel Siaga *trafik aja kok dijagain to, Masss... sampai nggak bisa mudik segala*.


Malam takbiran hampir kulalui seorang diri. Suami pulang jam sebelas malam. Waktu itu aku masih berkutat di dapur menyiapkan hidangan lebaran: nasi uduk, opor ayam, dan tumis udang paprika. Meskipun cuma berdua, aku pengen hari raya ini istimewa. Belanjanya mahal bo, karena terpaksa beli di supermarket *warung-warung sekitar rumah pada tutup semua hiks hiks*. Nggak apa-apa lah, cuma sekali setahun ini.


Di pagi Idul Fitri, kami berdua bangun kesiangan :)) Maklum tidurnya udah larut malam. Untung nggak telat shalat Id. Pas kami sampai di Masjid Al Hidayah, pas shalatnya akan dimulai :p Sepulang dari masjid, sungkeman cuma dilakoni berdua. Nggak ada ritual sungkem pada orang tua seperti tahun-tahun sebelumnya. Pun nggak ada tradisi silaturahim keliling ke tetangga seperti di kampung kami, mengingat di kanan-kiri rumah kami sekarang, tetangga nonmuslim lebih banyak dibanding yang muslim.


Malam Lebaran kedua akhirnya benar-benar kulalui seorang diri. Suamiku harus menginap di kantor. Yah, jadi istri harus qana’ah ya *menghibur diri, hehe*. Masih untung aku bisa berlebaran dengan suami tercinta. Alhamdulillah.


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H. Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, minal ’aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin atas semua kesalahan kami. Selamat berlebaran, selamat berlibur. Hati-hati di jalan bagi yang mudik :)

Tempat Kerja

Dalam kuliah Sosiologi Industri semester tujuh, dosenku membahas tentang pentingnya seorang istri mengenal tempat kerja suami. Harus ada kesempatan yang diberikan kepada istri untuk mengunjungi lokasi kerja (baca: kantor) suami. Dengan mengenal tempat kerja dan teman-teman kerja suami, seorang istri akan memiliki pemahaman yang baik mengenai situasi dan kondisi suami ketika bekerja dan segala akibat yang ditimbulkannya, termasuk ketika suami berada di rumah. Hal ini tentu berlaku sebaliknya, jika si istri juga bekerja.

Sampai saat ini aku sudah berkesempatan mengunjungi kantor suami. Di kantor yang lama aku bahkan sering mampir dan numpang ngenet :D Aku juga pernah dua kali menemani dan melihatnya bekerja: yang satu di kantor lama, yang satu ketika ia harus lembur dan menginap di kantor yang sekarang *aku sampai ikut menginap juga hehehe*. Kalau mau dibanding-bandingkan, aku merasa lebih akrab dengan teman-teman suami di kantor yang lama daripada teman-teman di kantor yang sekarang. Mereka lebih membumi. Suasananya juga lebih hangat di kantor yang dulu.

Terlepas dari semua itu, aku sangat sepakat dengan penjelasan dosenku yang aku ceritakan di awal tulisan ini. Aku jadi memahami kesibukan suamiku ketika bekerja dan memahami keletihannya sesampai di rumah. Dengan demikian, aku berharap bisa memberikan pelayanan dan pengertian yang lebih baik untuk suamiku.

Jadi, apakah Anda sudah pernah mengunjungi tempat kerja pasangan Anda? *Kalau belum, segera lakukan yaa*.

Kuliah

Suatu malam aku dan suamiku berbincang tentang masa-masa kuliah dan bernostalgia dengan kehidupan kampus, mengingat kami kuliah di tempat yang sama. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang kawan-kawannya dan betapa mengasyikkannya studinya. Dia tampak begitu menikmati masa kuliahnya *nggak heran, dia lulus dengan predikat cum laude dan IPK 3.82 gitu lohh*.

Dalam banyak hal, aku dan suamiku sangat berbeda. Sifat, kepribadian, karakter, pola pikir, dan latar belakang kami jauh berbeda *Maha Suci Allah yang telah menyatukan kami dalam pernikahan, karena kadang aku masih saja terheran-heran dengan perbedaan kami*. Tak terkecuali masa kuliah, juga sangat berbeda.

Buatku, masa-masa kuliah adalah masa-masa terberat dalam hidupku selama ini. Aku seperti diingatkan tentang sebuah perjuangan dan luka yang ditimbulkan olehnya. Kehidupan kampus yang *menurutku* keras dan lingkungan pertemanan yang *menurutku* tidak bersahabat, membuat masa-masa kuliahku penuh dengan air mata, rendah diri, depresi, ketidaksukaan terhadap banyak hal *termasuk diriku sendiri*, dan rasa pesimis yang luar biasa dalam memandang hidup. Saat itu perasaan dan self esteem-ku bagai berada di titik nadir. Yah, kau mungkin akan mengalami hal yang sama jika kau pernah ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut, pernah mendapat surat peringatan tentang tenggang waktu DO, dan pernah dibanding-bandingkan oleh dosen wali dengan mahasiswa lain yang ber-IP nyaris empat! Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah ”keluar hidup-hidup” dari sana. Tanpa pertolongan Allah, aku mungkin nggak akan pernah lulus sidang TA dan diwisuda.

Tak terasa perbincangan kami malam itu membuat mataku berkaca-kaca. Bagaimana tidak, mengingat masa-masa sulit itu bagai menggarami luka yang belum kering. Semua kenangan buruk berkelebatan muncul dan menyesakkan dada.

Maha Besar Allah yang memberi pencerahan. Kasih-Nya selalu menyertai. Kini aku masih berusaha *dan akan terus berusaha* bersikap positif, mensyukuri banyak hal, dan lebih menyayangi diri sendiri. Satu hal yang waktu itu aku lupa: aku selalu fokus pada kelemahan. Padahal itu justru akan mengalihkan perhatian dari kelebihan yang ada. Bersibuk-sibuk mengurusi hal-hal yang tidak tepat justru akan membuat hal-hal tepat menjadi tak terlihat.

I have a great life. It’s so beautiful. What else could it be?

Tentang Aku

Aku dapat tugas berantai dari Mbak Vietnanti :D

Ini aturan mainnya, kukutip dari sini:
  • Each Blogger starts with eight random facts/habits about themselves.
  • Bloggers that are tagged need to write on their own blog about their ”eight things” and post these rules.
  • At the end of your blog, you need to choose eight people to get tagged and list their names.
  • Don’t forget to leave them a comment telling them that they’ve been tagged and telling them to read your ”eight things”.

So, delapan hal tentang aku:

1. Nggak suka masak
Pekerjaan rumah yang paling nggak kusukai adalah masak. Aku paling nggak betah di dapur. Dari dulu aku nggak pernah hobi masak. Kalaupun sekarang jadi sering masak, itu karena keadaan menuntut demikian. Udah jadi seorang istri gitu loh, masa bakal terus-terusan beli nasi di warung. Boros juga kalau keseringan makan di luar. Karena kemampuan masakku yang masih tingkat pemula, variasi menu olahanku pun terbatas. Alhasil aku jadi sering bosan sama masakanku sendiri :D Sekarang lagi belajar bikin menu baru. Tapi tetep aja males nongkrong di dapur.

2. Well-organized
Nah, kalau yang ini rasa-rasanya karena aku bertipe melankolis dominan. Seneng sama yang rapi-rapi, tersistematis, dan terencana. Kalau naruh sesuatu harus sesuai tempatnya, jadi hampir nggak pernah lupa letak barang-barang. Kalau mau bepergian juga harus terencana baik, nggak suka dadakan. Segala arsip penting, catatan, dan foto-foto terdokumentasi dengan baik. Lucunya, sifat suamiku berbanding terbalik 180 derajat. Dia itu orangnya spontan dan nggak tertib, udah gitu pelupa. Jadi sekarang aku berperan ganda jadi istri dan asistennya :D

3. Perfeksionis
Sebenarnya perfeksionis itu kelemahan atau kelebihan sih? Karena aku perfeksionis, aku selalu ingin segala hal dikerjakan dengan sempurna sesuai standarku. Tapi seringnya, standar ini tampak terlalu tinggi buat orang lain. Biasanya orang perfeksionis membutuhkan waktu lebih lama untuk mengerjakan sesuatu bila dibanding orang lain, karena dia mengejar ketelitian dan kesempurnaan, always pay attention to the details. Begitu juga aku. Dan lagi-lagi, berbanding terbalik dengan suamiku. Aku melihatnya sebagai seseorang yang selalu menggampangkan sesuatu dan mengerjakan hal-hal sekadarnya saja, dia melihatku sebagai seseorang yang lelet dan gampang stres kalau standar nggak tercapai. Jadi dia sering nggak sabaran menghadapiku :))

4. Suka sama hal-hal yang romantis
Sebut saja musik romantis, drama romantis, komedi romantis, kisah dongeng tentang putri dan pangeran, coklat, bunga, candle light dinner, dansa berdua, dan masih banyak banget. Pokoknya semboyanku: love is in the air, huehehe. Menurutku, laki-laki harus lebih sering memperlakukan perempuan dengan romantis, misal: kalau jalan selalu berusaha berada di sisi kanan perempuan untuk melindunginya dari arus lalu lintas, membukakannya pintu, atau mengantarnya pulang. Bukan berarti perempuan nggak bisa mandiri, tapi itu lebih karena perempuan senang dimengerti dan dimanja. Oya, di bawah ini kutipan hasil ikut kuis iseng-iseng di blogthings.com. Tapi aku udah tahu dari dulu kalau aku ini romantis, jauh sebelum aku ikut kuis ini. Kuis ini cuma justifikasi :p

You are a romantic. You live your life like a fairy tale... or at least you try to. Living for magical moments, you believe there’s only one true love for you. Love is the most important thing in your life, and you don’t take it for granted. Your perfect match loves to be in love as much as you do!

5. Moody
Yup, aku ini orangnya moody banget. Kadang ngelakuin apa-apa juga terbawa suasana hati. Kalau udah nggak mood, susah buat menikmati sesuatu.

6. Penyendiri
Terakhir kali aku punya geng gaul itu waktu aku kelas dua SMP. Pertemanan dengan mereka tidak berakhir baik, dan sejak saat itu aku lebih nyaman pergi ke mana-mana sendiri, lebih suka menyendiri, dan lebih suka sibuk dengan diriku sendiri. Aku sering nggak nyaman berada di ruang publik. Aku nggak suka ngobrol. Kalaupun harus berada di tengah banyak orang, aku lebih suka mendengarkan. Yah, pada intinya: aku lebih suka melakukan segala aktivitas seorang diri. Merasa bebas ke mana-mana sendiri dan nggak mau tergantung sama teman. Mirip karakter Nicholas Saputra di Ada Apa dengan Cinta. Nggak heran kalau selama SMA dan kuliah, aku tidak pernah benar-benar punya teman dekat. Kalau sekarang, teman dekatku ya suamiku itu :p

7. Suka ketenangan
Aku paling nggak suka sama yang namanya ribut-ribut, kebisingan, dan kegaduhan. Ini kadang juga bikin masalah, karena aku dan suamiku sering berbeda pendapat soal volume suara televisi. Mungkin ada hubungannya dengan kehidupan keluargaku, di mana Mami-Papi selalu membiasakan suasana rumah tenang dan hening. Televisi dinyalakan sekadarnya dengan suara secukupnya. Juga tidak diperkenankan bicara dengan berteriak-teriak. Enak lho hidup kayak gini: hati jadi adem, aktivitas juga dapat dilakukan dengan tenang.

8. Suka sama film-film dokumenter
Sejak kapan ya aku suka sama film-film dokumenter? Kayaknya udah lama banget. Aku paling anti sama tontonan yang nggak bermutu dan nggak ada isinya (baca tulisanku di sini). Sayangnya, hampir semua tayangan di pertelevisian kita sekarang adalah tayangan yang nggak bermutu. Menurutku, tontonan yang baik adalah tontonan yang bikin kita cerdas, yang ada ilmunya. Salah satunya adalah film dokumenter. Karena itu, saluran televisi favoritku adalah saluran-saluran semacam Metro TV, Discovery Channel, atau National Geographic.

Itu tadi sekelumit delapan hal tentang aku. Oke, sekarang saatnya nerusin tugas ini ke delapan orang lain:

Sunday, October 07, 2007

Ikut Bahagia

Senangnya mendengar beberapa teman akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Mbak Ida - Mas Udin dan Laily - Maliki, semoga kalian beroleh pernikahan yang barakah, sakinah, mawaddah, warahmah.

  • Selamat terkagum-kagum dengan kuasa Allah yang telah memberikan begitu banyak kebahagiaan bertemu dengan orang yang bersamanya hidup kita terasa lengkap.
  • Selamat bersyukur dengan nikmat dan karunia dari Allah yang melebihi apa yang pernah kita bayangkan.
  • Selamat tercengang-cengang dengan jiwa dan raga pasangan yang kadang tak tampak seperti apa yang kita tahu selama ini.
  • Selamat menikmati pertengkaran-pertengkaran dan kemesraan yang mengikutinya, serta pertukaran sudut pandang dan pola pikir yang tak selalu berjalan mulus.
  • Selamat berbagi hati, belai, peluk, cium, tawa, canda, dan air mata.
  • Selamat jatuh cinta berkali-kali, lagi dan lagi, dengan pasangan.
  • Selamat berpusing-pusing memikirkan alokasi anggaran untuk menyambung biaya hidup, mencicil kebutuhan, menentukan waktu antara belanja, bersih-bersih, mencuci, memasak, bekerja, dan mengasuh buah hati.
  • Selamat menikmati kedamaian dan ketenangan bersama pasangan, menikmati tiap desah lelapnya di waktu malam, dan menikmati senyum mentarinya bersama pagi.
  • Dan akhirnya... selamat merajut mimpi dan harapan yang membumbung tinggi seiring doa dan ibadah yang tak lekang oleh waktu bersama pasangan, berharap selalu bersama dan beroleh kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat.

Semoga kalian berbahagia... seperti halnya diriku :)

Dansa

Selama ini aku tahu kalau Mas Catur nggak luwes menari atau berdansa, bahkan kadang-kadang dia off beat mengikuti irama lagu. Tapi entah kenapa, siang itu ketika aku menyalakan winamp, dia memelukku, mengajakku mengikuti irama.

Dan di sanalah, di depan jendela ruang depan rumah kami, kami bergoyang riang. Aku tertawa-tawa. Nggak biasanya suamiku ngajak dansa kayak gitu. It was so special.

Kadang hal-hal kecil bisa tampak indah kalau maknanya dalem.

Saturday, October 06, 2007

Yang Telah Mendahului

25 September 2007, pukul 17:30
Mami mengirimiku sms, mengabari bahwa pada pukul 15:00 sebelumnya, guru privat mengajiku zaman aku kecil --kami biasa memanggilnya Budhe Rondiah-- telah meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Telah kudengar sebelumnya bahwa beliau sakit keras, namun tak pernah diri ini berkesempatan (atau berkemauan?) menjenguk. Masya Allah... Seketika terbayang masa kanak-kanakku: di tengah udara sore, beliau mengajari membaca Al Qur’an dan doa-doa pendek dengan sabar dan telaten. Beberapa tahun yang lalu aku sempat bertemu, waktu itu beliau dengan canda memuji betapa cantiknya aku dengan jilbab yang kukenakan. Semoga amal-amal beliau diterima dan dosa-dosa beliau diampuni oleh Allah SWT.

Malamnya, aku tiba-tiba merasa rindu sekali dengan Eyang Putri. Masih berat rasanya menyadari bahwa tak mungkin bertemu kembali. Rindu yang teramat sangat dan rasa sesal yang mendesak-desak dada membuat air mataku berderai-derai. Tak ada gunanya menahan tangis karena ternyata suamiku terbangun mendengar isakku. Meski pelukan dan belaiannya meneduhkan, tak bisa kukatakan padanya tentang rasa sesal karena tak bisa berbuat terbaik untuk Eyang Putri pada saat-saat terakhir hidup beliau. Tak seorang pun akan mengerti, tak juga suamiku.

Eyang Putri, maafkan cucumu yang tak berbakti ini. I wish that I could turn back time...

Cinta

Malam kian larut
Gurat keletihan tergambar jelas di wajahmu
”Tidurlah, Sayang. Kau perlu istirahat,” kataku
Menggeleng pelan kau menjawab, ”Tidak sebelum ini selesai. Aku bantu kau.”

Dengan cekatan kau membereskan berkas-berkas
Juga teliti mengecek kelengkapan
Sambil sesekali menguap dan melirik jam

Then I knew, ”I love you”s were not just words
When you said you loved me with all your heart...
You really meant it

Bulan Madu

Apa sih sebenarnya makna bulan madu? Sampai sekarang aku nggak pernah ngerti. Cuma kalau aku boleh memaknainya dalam arti pribadi, bulan madu adalah saat di mana aku bisa berduaan dengan suamiku, melarikan diri dari rutinitas, melepas segala kepenatan, dan terbebas dari segala tetek bengek rumah seperti bersih-bersih, memasak, atau mencuci. Tempat bulan madu haruslah istimewa dan berkesan, supaya nggak terlupakan. Kalau definisiku begitu, berarti bulan madu bisa berkali-kali dong? Ya boleh lah, kenapa enggak?

Dulu ketika akan menikah, aku sempat punya mimpi tentang bulan madu di Bali, atau kalau terlalu jauh, Kampung Sampireun juga boleh deh. Tapi dipikir-pikir lagi, dananya mepet hehehe. Lagipula sayang buang-buang uang kalau di rumah pun ternyata juga bisa dapet bulan madu yang berkualitas ;) Akhirnya mimpi tentang bulan madu berlalu.

25-26 Agustus 2007


Kantor suamiku mengadakan family gathering di SanGria Resort & Spa, Lembang. Sampai di lokasi, aku ternganga. Meskipun sering ke Lembang, nggak nyangka ada tempat seasyik itu. Suasana yang menyatu dengan alam bikin perasaan nyaman dan damai. Makanannya enak-enak pula.

Di pagi hari, aku dan suami sarapan di ruang makan besar yang berdinding kaca hingga pemandangan resort dan bukit di kejauhan terpampang jelas. Menjelang siang, aku dan suami jalan-jalan di hutan kecil sambil foto-foto. Di sore hari, aku minum kopi hangat di beranda kamar yang menghadap lembah dan perbukitan, dengan angin senja menerpa sepoi. Dan malamnya, ada makan malam di samping kolam renang ditemani cahaya kemerlip lilin berselubung pelepah daun pisang. Hmm, pengalaman yang eksotis.


1-3 September 2007

Suamiku dapat tugas ke luar kota. Udah biasa ditinggal sih sebenarnya, tapi kali ini aku cemburu. Soalnya kali ini dia ke Bali. Setelah semalaman menahan dongkol, akhirnya esoknya aku tersenyum bahagia. Suamiku menyuruhku menyusul. Tapi dia juga bilang, aku harus siap-siap sendirian di hotel karena dia bekerja seharian. Gampang lah itu, toh malamnya bisa bareng.

So, terbanglah aku ke Bali. Naik pesawat untuk yang pertama kalinya setelah enam belas tahun. Jadi serasa first time lagi. Gara-gara kebanyakan berita tentang kecelakaan transportasi, aku jadi agak-agak paranoid naik pesawat. Sebel deh. Sampai di Bali aku langsung menuju hotel All Season, Legian. Sendirian, nggak dijemput suami karena dia lagi sibuk. Suasana hotel ternyata juga asyik. Kamarnya nyaman banget, ada outdoor shower-nya hihihi. Dan lagi-lagi, makanannya enak-enak :D

Malamnya kami jalan-jalan di pantai Kuta. Merasai pasir di jari-jari kaki, bergandengan mesra menyusuri tepian, dan menikmati desir ombak di bawah sinar bulan, sekali lagi membuatku merasakan pengalaman eksotis. Dua tahun sebelumnya aku pernah mengalami perasaan damai yang sama (baca yang ini), tapi kali ini terasa lebih istimewa karena aku bersama suami tercinta. Akhirnya bisa juga memeluk dirinya di situ, tak hanya mendengar suaranya dari seberang lautan seperti dua tahun yang lampau.

Kalau dipikir-pikir, perjalanan ke Lembang dan Bali itu bisa dianggap sebagai bulan madu. Aku dapat pengalaman yang berkesan bersama suamiku tersayang. Lumayan lah, mengingat biaya yang dikeluarkan nggak sebesar kalau harus membiayai semuanya sendiri (thanks to kantor suami hehehe). The best of all: I love him even more.