Friday, March 25, 2022

Berani Aktif Bergerak Saat Ramadan

Bagi sebagian orang, aktif bergerak pada kondisi sedang berpuasa merupakan tantangan tersendiri. Lemas dan tidak ada tenaga biasanya menjadi alasan yang dikemukakan, padahal kita membutuhkan olahraga untuk menjaga kebugaran. Lalu bagaimana caranya kita dapat aktif bergerak tanpa kelelahan?

Ada dua waktu yang biasa dipilih untuk berolahraga, yaitu pagi setelah sahur dan sore sebelum berbuka. Orang-orang yang memilih waktu pagi sebaiknya berolahraga sekitar dua jam setelah sahur. Ini waktu terbaik karena lambung sudah tidak terlalu penuh dengan makanan yang berisiko menyebabkan side stitch atau kalikiben (suduken dalam bahasa Jawa) dan tubuh masih menyimpan cukup asupan dari makan sahur, baik dalam hal hidrasi maupun carbs loading. Olahraga di pagi hari dilakukan dengan intensitas ringan. Misalnya jika Anda hobi berlari, lakukan jogging dengan jarak pendek sekitar 3-4 km dan denyut jantung berada di zona dua. Zona dua adalah zona aerobik dengan denyut jantung berada di zona 60-70% denyut jantung maksimum. Secara umum maksimum denyut jantung didapat dari angka 220 dikurangi usia. Zona ini efektif untuk melatih kemampuan kardiovaskular dan meningkatkan pembakaran lemak.

Pembagian zona denyut jantung

Orang-orang yang memilih waktu sore untuk berolahraga sebaiknya memilih waktu 1-2 jam sebelum berbuka supaya tidak terlalu jauh rentang refueling-nya. Gula darah biasanya berada pada titik terendah pada sore hari sehingga wajar jika Anda merasa tidak bertenaga. Sama halnya dengan olahraga pagi, lakukan olahraga sore dengan intensitas ringan. Karena waktu mengganti asupan sudah dekat, Anda dapat melakukan jogging dengan jarak sedikit lebih jauh. Usahakan denyut jantung tetap berada di zona dua.

Olahraga lain yang disarankan adalah olahraga ringan yang membuat kita mudah menjaga denyut jantung di zona satu dan dua, seperti berjalan kaki, yoga, atau strength training. Lakukan olahraga dengan rutin minimal 30 menit setiap hari untuk untuk menjaga kebugaran. Terlalu banyak diam dengan dalih sedang berpuasa justru dapat membuat tubuh makin lemas karena sirkulasi darah tidak selancar seperti ketika digerakkan aktif dengan berolahraga. Yang penting, jaga jangan sampai olahraga yang kita lakukan terlalu intens sehingga mengakibatkan kelelahan, dehidrasi, atau kram otot.

Bagaimana dengan asupan selama Ramadan? Makanlah sahur sesuai panduan gizi seimbang. Pilih karbohidrat kompleks yang mengenyangkan lebih lama (seperti nasi merah, oatmeal, ubi, kentang), buah tinggi air, dan sayur untuk asupan serat. Hindari makanan yang mengandung banyak minyak dan minuman yang mengandung banyak gula. Gantilah dengan air putih, kurma, atau minuman elektrolit seperti Pocari Sweat.

Kebutuhan hidrasi seorang pelari

Dalam kondisi normal, orang yang berolahraga wajib melakukan hidrasi seperti hydration plan di atas. Hal tersebut penting karena kenaikan suhu tubuh di atas normal (hipertermia)—yang tidak segera didinginkan dengan hidrasi—dapat menyebabkan mual, muntah, kram otot, sakit kepala, hingga pingsan. Hal ini tentu harus diakali jika kita sedang berpuasa karena tidak bisa minum sesuka hati. Selain merendahkan intensitas olahraga, kita juga harus tetap menjaga hidrasi minimal 2 liter sehari. Namun, jangan sampai upaya menabung air kita lakukan sekaligus karena hal itu bisa memicu mual dan beser. Lakukan hidrasi sedikit demi sedikit dengan frekuensi yang sering pada jam-jam ketika kita sedang tidak berpuasa. Kita juga bisa membagi frekuensi minum seperti infografis di bawah ini hingga kebutuhan air minimal tercukupi.

Hidrasi saat berpuasa

Orang yang suka minum teh atau kopi sebaiknya mengurangi kebiasaan ini selama bulan Ramadan. Teh dan kopi yang bersifat diuretik justru kontraproduktif dengan upaya menabung air. Jika menghindari teh dan kopi sulit dilakukan, minumlah air lebih dari 2 liter sehari. Kompensasi ini perlu dilakukan supaya tubuh tidak kehilangan air terlalu banyak.

Jadi, berani terima tantangan untuk tetap aktif bergerak saat Ramadan? Lakukan kiat-kiat di atas dan jangan lupa selalu sediakan Pocari Sweat sebagai teman hidrasimu.

Pocari Sweat, teman hidrasiku saat berlari


Monday, March 21, 2022

Sekeping Asa Dalam Diam (Bagian 2)

(kisah sebelumnya)

Aku menyetop mobil angkutan kota dan naik dengan terburu-buru. Kali ini sambil mendekap erat tas besarku agar isinya tak lagi terburai. Allah, mengapa harus bertemu dengan laki-laki luar biasa itu dalam kondisi tak karuan begini? Bercucur dan beraroma keringat, bahkan menggembol bawaan yang membuat repot. Aku memandangi jalanan yang ramai dari balik jendela. Kurasakan ada sesuatu yang hangat menjalari hatiku. Entah mengapa, sekelibat rasa menyelinap keluar dari balik pintu ruang hati yang dulu pernah kututup rapat-rapat. Membawa ingatanku pada obrolan-obrolan ringan yang terjalin dalam pertemuan dengan kawan-kawan kampus beberapa tahun belakangan ini.

Mereka berkisah padaku, laki-laki luar biasa itu telah berubah menjadi lebih luar biasa dalam perjalanan hidupnya. Karir mentereng, posisi tinggi di perusahaan besar, bahkan mulai merintis perusahaan sendiri. Aku tak heran, sejak dulu dia memang istimewa. Berada di permukaan bumi mana pun, sebuah berlian tetaplah berlian. Kawan-kawan tak terlalu banyak bercerita tentang keluarganya. Hanya kudengar sekilas kalau dia sudah menikah.

Lalu mengapa aku bertemu dengannya hari ini di Pasar Baru? Jika benar kesuksesannya sudah seperti itu, mengapa dia tak berbelanja di mal mewah saja? Aku menerka-nerka sendiri, barangkali dia masih sosok sederhana seperti dulu. Kekagumanku makin membuncah. Pasti beruntung sekali istri yang kini mendampinginya.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Cepat kuangkat, karena itu dari pemilik rumah kontrakan yang kusewa. Tak perlu lama mendengarkan semburan kekesalan di seberang untuk mengerti bahwa tenggat perpanjangan yang diberikannya semakin dekat. Aku mendesah. Semoga hasil penjualan baju bulan ini memenuhi target, sehingga aku bisa membayar beberapa tunggakan yang sudah jatuh tempo. Hidup tak pernah mudah untuk seorang janda beranak tiga sepertiku. Tanpa pekerjaan tetap, harus kusambung hidup hari demi hari dengan perjuangan.

Matahari makin tergelincir ke arah barat. Jalanan mulai dipenuhi dengan penjaja minuman dan kudapan untuk berbuka puasa. Sementara mobil angkutan kota terus melaju dengan aku yang sibuk berhitung hutang di dalamnya.

***

Mata Adit mengernyit. Dipandangnya sebaris tulisan di atas kertas yang dipegangnya. Baru saja dia menutup perbincangan di telepon dengan seorang teman lama yang berhasil dihubungi. Sejenak dia tercenung. Teman itu menumpahkan semua kisah perempuan itu, memberangus semua penasaran dan menyisakan lintasan pikiran yang memenuhi benaknya. Jadi begitu rupanya, Allah menakdirkan kisah hidup perempuan itu sedemikian rupa.

Takdir Allah juga yang mempertemukan Adit kembali dengan perempuan itu, membuatnya menghadapi gelombang perasaan yang kembali datang. Gelombang rasa yang dulu ditenggelamkannya dalam masa-masa panjang meniti karir, menyibukkan diri dengan  berbagai kerja profesional. Dipandanginya lagi kertas itu lama. Bayangan istrinya yang bermata teduh melintas. Dia tak kuasa menolak perasaan yang baru tumbuh ini, tapi bagaimana dengan istrinya?

Adit meremas kertas itu dan melemparnya ke tempat sampah. Istrinya yang begitu baik, akankah tega dia kecewakan dengan keegoisannya? Ah tapi karena dia begitu salihah, barangkali saja dia akan mengerti. Adit memegang kepalanya yang mendadak pening. Segala pikiran yang berkecamuk membuatnya limbung tak tentu arah. Apakah ini jawaban atas doanya di masa lalu? Juga sarana bagi istrinya untuk meraih surga? Atau hanya imajinasi liar yang bereuforia dari harapan yang terkubur dalam-dalam?

Adit mengucek-ngucek mata. Diambilnya lagi gumpalan kertas itu, lalu diluruskannya sudut-sudut yang keriting. Di kertas itu tertera jelas nomor telepon perempuan itu. Dengan dada yang berdebar, disusunnya rencana. Pada Allah akan ditanyakannya keputusan ini.

***

Foto diambil dari sini

Sang surya mulai meluncur turun ke peraduan. Angin sore bertiup semilir, membawa udara segar yang membelai-belai pipi Vita dengan pelan. Sayup-sayup didengarnya gelak tawa teman-temannya yang masih berbagi nostalgia di selasar bawah. Cuaca yang cerah sore itu tak kuasa meredakan degup-degup di dada Vita yang bertalu-talu bak genderang. Di balkon Labtek VIII ia berdiri, matanya nanap menatap ke depan, pada ujung dedaunan, pada awan yang terarak di langit, pada sepasang kupu-kupu yang beterbangan di atas kuntum bunga, pada lalu-lalang peserta kegiatan alumni yang mulai berpamitan, pada apa pun kecuali pada laki-laki luar biasa yang tengah duduk di ujung balkon.

Balkon begitu sepi, hanya desah napas mereka berdua yang terdengar di udara. Vita termangu. Ujung-ujung jarinya sibuk meremas-remas baju. Ajakan laki-laki itu untuk bicara empat mata ternyata belum seberapa mengagetkan dibanding kalimat yang meluncur dari bibirnya barusan.

“Menikahlah denganku.”

Senyap. Vita tak tahu harus berkata apa. Mengapa harus sekarang? Setelah berpuluh-puluh purnama melintasi semesta. Saat kesadaran tak lagi menapaki bumi.

“Menikahlah denganku, Vita,” diulangnya lagi kalimat itu pelan tapi mantap.

Vita menarik napas panjang. Ia butuh penjelasan. Perlahan ia menoleh hingga matanya berserobok dengan mata Adit. Tanda tanya besar pasti tergambar jelas di wajahnya karena Adit tampak tercengang.

Adit berdeham, lalu berkata salah tingkah, “Kampus tak pernah berubah ya? Masih seakrab yang dulu meski kita menua.”

Vita masih terdiam. Ia menanti, bukan basa-basi yang dibutuhkannya.

“Aku mendapat nomor teleponmu beberapa waktu lalu, tapi ... kurasa aneh kalau kita membicarakannya di telepon. Ketika aku tahu kau akan menghadiri acara ini, aku putuskan untuk bicara langsung saja,” lanjut Adit.

“Mengapa?” Hanya satu kata yang mampu ditanyakan Vita. Hatinya terlalu bergemuruh, membuatnya tak mampu menyusun kalimat panjang dari loncatan-loncatan pikiran yang memenuhi benaknya.

“Mengapa aku ingin bicara langsung? Oh, supaya tak ada salah paham.”

“Bukan,” tukas Vita tak sabar, “mengapa mengajakku menikah?”

Ganti Adit yang terdiam sekarang. Sejenak. Lalu ia menjawab, “Aku ingin membantumu, ingin memuliakanmu.”

Kening Vita berkerut dalam-dalam. “Membantu? Karena aku janda beranak tiga?” Harga dirinya terusik.

“Aku bisa menghidupi anak-anak dengan berjualan. Meski tak banyak, tapi itu cukup untuk hidup kami sehari-hari,” kata Vita gusar. Hampir diambilnya langkah-langkah cepat meninggalkan tempat itu, ketika didengarnya suara Adit menahannya.

“Karena aku mencintaimu, sejak ... sejak dulu.”

Vita tercekat. Tubuhnya membeku seperti es. Detak jantungnya serasa berhenti. Ia tak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Kekagetan begitu memenuhi emosinya hingga ia terhenyak lama. Ketika kesadaran sudah menguasainya kembali, ia berkata pelan, “Benarkah?”

Adit mengangguk. Ia tampak lega karena setelah tahun-tahun yang panjang, kalimat itu akhirnya berhasil dimuntahkannya. Meskipun hal itu ternyata demikian menguras energi, ia tak peduli. Himpitan perasaan yang selama ini merongrongnya, hari ini menemui muaranya, lepas bebas bagai burung yang terbang dari sangkarnya.

“Mengapa baru sekarang?” Nada Vita terdengar datar, meskipun kemudian kedua bola mata beningnya berkaca-kaca. Adit terkejut melihat bulir-bulir yang kemudian menetes.

“Aku juga mengagumimu sejak dulu. Selalu berharap, menanti ...” Pengakuan yang tak tuntas meluncur dari bibir Vita sembari ia menyusut hidung.

Adit ternganga. Ia tak mengira perempuan ini menaruh harap padanya. Selama ini dipikirnya cintanya bertepuk sebelah tangan. Pernikahan perempuan itu buktinya.

“Tapi kupikir ... maksudku, kau menikah tak lama setelah kita lulus.”

“Karena aku menjejak realita. Kenyataannya, kau tak pernah datang.”

Seketika suasana menjadi canggung. Vita dan Adit, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sibuk mengeja makna yang melingkari perasaan. Keheningan dipecah oleh suara Vita yang menyentak Adit, “Bagaimana dengan istrimu?”

“Ia akan mengerti.”

“Apa pendapatnya?”

“Tidak ada yang mudah. Tidak baginya, tidak juga bagi kita,” sahut Adit pelan.

“Dan kau begitu egois?”

Kedua bola mata Vita yang masih basah itu menghunjam tepat di pandangan Adit, menusuknya dalam hingga nyerinya terasa sampai ke sumsum tulang. Adit mencerna tatapan Vita, mencoba mengartikan perasaan perempuan itu.

“Jadi, bagaimana? Maukah kau menikah denganku?”

Sejujurnya, momen ini adalah saat yang amat dinantikan Vita. Bagaimana dulu setiap malam dia menguntai doa, memohon agar Allah mencabut keresahannya dan menjadikan jalannya mudah untuk berdampingan dengan Adit. Bukankah adegan ini yang saat itu merajai mimpinya siang malam? Bukankah cinta teramat besar yang disimpannya untuk Adit tak pernah benar-benar hilang?

Vita menunduk. Pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada cincin nikah yang dilingkarkan Bagas di jarinya bertahun-tahun lalu. Ah Bagas, lelaki baik yang menghadirkan surga dunia baginya. Lelaki sederhana yang tak pernah cukup dicintainya. Sergapan rasa bersalah menyerbu Vita dalam keputusasaan. Terbayang satu-satu wajah anaknya, bagaimana reaksi mereka seandainya ia menerima pinangan Adit. Si sulung yang tegas namun penyayang seperti Bagas, si tengah yang wajahnya mirip sekali dengan Bagas, lalu si bungsu yang mewarisi dagu dan hidung Bagas. Sontak Vita heran. Mengapa bayangan Bagas jadi menari-nari di benaknya, menghantui pikirannya? Bahkan ketika ia tinggal satu langkah menjemput cinta sejatinya.

“Vita?” ucap Adit mengusir keheningan.

Vita masih tertunduk. Bulir embun kembali menetes dari sudut matanya. Astaga, ia tak pernah memuliakan Bagas sebesar Bagas menghargai dirinya. Pengabdiannya sebagai istri memang tak pernah bercela, tapi keluasan cinta Bagas tak mampu dibalasnya sebesar itu pula. Vita tergugu, bahunya terguncang-guncang pelan. Adit kebingungan, tak mampu menerka perasaan perempuan yang berdiri mematung di hadapannya. Ingin ia merengkuhnya, melindungi dari segala kedukaan, mengakhiri kesendiriannya dan menghadirkan kebahagiaan untuknya. Detik-detik yang berlalu serasa berabad lamanya buat Adit. Dan ketika Vita menengadahkan wajahnya yang masih dipenuhi air mata, Adit merasa heran melihat sikap Vita. Keteguhan yang mantap berkilat dari matanya.

“Maaf, aku tak bisa,” ujar Vita.

Adit terkejut mendengar ketegasan dalam suara Vita. “Bukankah kita saling mencintai?”

“Bukan cinta namanya jika tak pernah dikatakan. Bukan cinta namanya jika kita terlalu pengecut untuk mewujudkannya. Cinta harusnya menghargai eksistensi orang yang dicintai, bukan untuk dikubur dalam penantian yang tak berujung.”

Langkah-langkah panjang mengiringi Vita menuruni tangga balkon, keluar dari situasi yang tak diinginkannya. Ia tak ingin cinta istri Adit terkhianati, dan yang paling penting, ia tak ingin cinta Bagas padanya ternodai. Semburat merah mentari mewarnai ufuk barat, menenggelamkan Adit yang termangu dalam kesunyian.

[Tamat]

***

Cerpen ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema "Cerita Fiksi (dengan Unsur) ITB".

Sunday, March 20, 2022

Sekeping Asa Dalam Diam (Bagian 1)

Foto diambil dari sini

“Menikahlah denganku.”

Senyap. Aku tak tahu harus berkata apa. Mengapa harus sekarang? Setelah berpuluh-puluh purnama melintasi semesta.

“Menikahlah denganku, Vita.”

Meski laki-laki itu ulang berapa kali pun, aku tetap tak punya jawabnya. Tiba-tiba tahun-tahun yang berlalu, berkelebat seperti potongan-potongan film di mataku.

***

Aku hanyalah perempuan biasa. Karenanya tak berhak atas laki-laki luar biasa. Beberapa minggu menjelang pernikahan, saat ratusan undangan bertumpuk dan siap diedarkan, aku hanya bisa menatap gamang. Apakah ini keputusan yang benar? Apakah dia orang yang tepat?

Aku tahu, harusnya sekarang bukan masanya lagi punya pikiran seperti itu. Gedung sudah dipesan dan kebaya pengantin sudah siap. Semua orang begitu gembira menyambut hari-hari menuju pernikahanku. Semua orang, kecuali aku. Tak kuasa aku merusak segala keriangan mereka dengan pikiranku yang kusut masai.

“Kamu yakin?” komentar seorang sahabat yang pasti sudah terlalu mengenalku hingga bisa memahami bahkan yang tidak terucap.

Aku terpaku dalam sunyi. Sambil tetap menyodorkan undangan ke arahnya.

“Bagas laki-laki yang baik,” jawabku singkat.

“Tapi kamu tidak mencintainya!”

“Apa itu penting?”

Embun mengambang di kelopak mataku. Aku tak hendak berdebat. Bagiku, semua sudah tak penting lagi. Bukan tak percaya lagi pada cinta, tapi cinta dari laki-laki luar biasa yang kuharapkan, tak pernah datang. Aku hanyalah perempuan biasa. Karenanya tak berhak atas laki-laki luar biasa. Titik.

***

Sudah bertahun-tahun Adit mengakrabi kampus ini. Sembari langkahnya menuju pelataran, nanap matanya berkeliling. Kampus Institut Teknologi Bandung memang selalu memberinya rasa yang sama. Bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Meski tahun-tahun itu sudah berlalu, masih seperti kemarin saja rasanya dia memimpin rapat-rapat di Student Center Timur.

Seperti apakah teman-temannya sekarang? Seulas senyum tersungging di bibirnya. Untuk merekalah kini dia datang. Reuni yang mereka sepakati bersama. Sesampainya di lantai atas Labtek VIII, gelak tawa sudah ramai terdengar.

“Adit, akhirnya kau datang juga!” Sebuah suara berseru, serta merta diikuti banyak pasang mata tertuju ke arahnya.

“Selamat datang, Pak Presiden!”

Sudah bertahun-tahun, dan dia masih saja dipanggil Pak Presiden. Lagi-lagi Adit tersenyum. Sambil menyalami teman-temannya satu-satu, hatinya berdesir. Perempuan itu, hadirkah di antara mereka? Oh itu dia, duduk di sudut bersama teman-teman perempuan lainnya, batinnya lega.

“Vita akan menikah, teman-teman,” seru seseorang memberi pengumuman ke seluruh ruangan.

Dengan tertegun dipandangnya setumpuk undangan yang diletakkan di meja. Tak lama, sebab teman-temannya segera berebut meraih tumpukan. Lalu mereka menyalami perempuan itu. Dan lewat sedetik pandangannya, perempuan itu tertawa. Tampak bahagia.

***

Lidahku kelu. Bibirku kaku. Setelah beratus-ratus tamu dan berkali-kali bersalaman. Senja telah turun. Laki-laki yang kini telah menjadi suamiku sedang sibuk membenahi baju pengantin yang tadi dipakainya, sementara aku terbaring lemas di atas kasur.

“Capek, Dik?”

Aku mengangguk. Penat lahir dan batin. Terutama ketika melihat laki-laki luar biasa itu tadi di depan pelaminan, menangkupkan tangan untuk memberi selamat. Adakah dia merasakan keterpaksaan dalam senyuman? Semoga riasan tebalku berhasil menyembunyikannya.

Laki-laki luar biasa, begitu aku menyebutnya. Populer di kampus, santun akhlaknya, akrab dengan siapa saja, multitalenta dan saleh. Begitu tinggi seperti bintang. Sedangkan aku hanyalah perempuan biasa, yang hanya bisa menyimpan sekeping asa dalam diam. Cinta yang bertepuk sebelah tangan? Ah, cinta. Kata yang sudah lama kehilangan kesaktiannya. 

Sudah lama aku berusaha memupus angan. Sudah empat tahun berlalu, tapi aku masih saja gagal. Pernikahan ini jelas bukan pelarian. Justru karena tertohok realita, maka aku putuskan untuk melangkah. Lagipula Bagas adalah seorang laki-laki dengan berjuta kebaikan. Padanya telah kusematkan harapan.

“Salat dulu, yuk, Dik.”

Ketika salam usai, kupandangi punggung Bagas yang sedang merangkai dzikir dan doa. Ya, inilah jalan yang dipilihkan-Nya untukku. Seharusnya syukurku melangit. Mungkin cinta yang kuharapkan memang hanya bermain di khayalan. Semoga bukan karena kepengecutanku, tapi karena cinta lain yang datang adalah cinta terbaik untuk hidupku. Selamat tinggal, masa lalu.

***

Malam kian larut, mata Adit tak juga terpejam. Tubuhnya masih terbolak-balik gelisah di atas kasur. Sibuk dengan pikirannya sendiri yang berloncatan ke sana kemari. Kalau sampai detik ini dia belum juga menikah, itu karena dia memilih demikian. Apakah menjadi ideal itu salah? Dia masih ingin mengepakkan sayap, masih punya banyak mimpi yang belum terwujud.

Pun ketika menunda menikah membuat Adit harus kehilangan kesempatan, seharusnya tak perlu ada sesal yang membuat rongga dadanya sedikit sesak. Meski secuil. Bukankah ini semua adalah pilihannya sendiri?

Ah, perempuan. Dulu sekali, dikiranya mereka berjodoh. Kebersamaan yang tak pernah termaksudkan, karena semata-mata terjalin akibat seringnya berinteraksi di ruang kuliah dan aktivitas kemahasiswaan. Kebersamaan yang membawa mereka pada diskusi-diskusi panjang tentang segala sesuatu, yang mau tak mau memaksanya untuk mengakui bahwa ada hal menarik dalam diri perempuan itu. Sekuat apa pun dia berusaha menahan diri dan pandangan, tak pelak ada sedikit bayangan perempuan itu menari-nari dalam benak.

Adit mengerjap kuat. Berusaha mengusir rasa. Oh ya ampun, mengapa pula ada pedih menyusupi relung hati? Dia tak hendak membohongi diri. Memang ada sedetik dia berharap dirinyalah yang ada di samping perempuan itu tadi. Tapi cukuplah sedetik saja. Mereka tak pernah menapaki mula, maka sewajarnya bila tak pernah sampai pada akhir. Mungkin Allah telah menunjukkan persimpangan jalan yang berbeda antara dia dan perempuan itu.

***

Menakjubkan bagaimana tahun-tahun berlalu begitu cepat dan mengubah banyak hal. Aku bagai terbang dalam mesin waktu. Tak terasa anak-anak sudah beranjak besar. Sudah sekolah tingkat dasar mereka sekarang. Merekalah energi yang membakar semangatku tiada henti. Merekalah pelangi dalam tiap hujan, bahkan ketika badai itu datang. Badai yang membuatku redam, ketika takdir memisahkanku dari Bagas.

Ah, Bagas. Mengingat namanya saja sudah menghadirkan embun dalam pandanganku. Dia tak pernah surut menunjukkan keluasan cintanya padaku, meski aku tak pernah bisa membalasnya seluas itu pula. Namun, kebaikannya yang tak bertepi mengutuhkan hidupku. Dia pernah berkata sambil mengelus rambut dan mengecup keningku pelan, adalah tugasnya membuat roda ekonomi keluarga ini terus berjalan. Sambil terus membujuk agar aku tetap di rumah supaya anak-anak terlayani dengan baik, terbesarkan dengan optimal. “Juga agar aku selalu dapat melihat senyummu merekah, Sayang. Bukan terenggut oleh keletihan aktivitas di luar rumah.” Masih terekam jelas senyumnya waktu itu.

Bagas yang selalu peduli padaku dan anak-anak, rela membanting tulang hingga larut malam demi upah lembur yang tak seberapa agar asap dapur terus mengepul. Laki-laki dengan berjuta kebaikan, bahkan hingga saat terakhirnya, saat segenap semangat mentari dari hidupnya terenggut oleh truk yang melaju kencang dan menghunjamkan badannya ke jalanan. Saksi di tempat kejadian mengatakan padaku, tangannya yang penuh dengan bunga dan boneka, perlahan layu dalam genangan darah. Bunga dan boneka yang kemudian terserak, yang sedianya dibawanya pulang untuk aku dan anak-anak, tepat di usia sepuluh tahun pernikahan.

“Mama ...” suara si sulung memaksaku menjejak realita. “Mama jangan menangis, Kakak ikut sedih kalau Mama menangis.”

Malam itu kami larut dalam isak tertahan. Aku tak kuasa menghentikan isak si sulung. Dia masih terjaga mengawasiku, sementara adik-adiknya sudah terlelap beberapa jam sebelumnya. Sangat jelas tergambar pada wajahnya betapa dia sangat mengkhawatirkanku. Malam itu aku berjanji, demi Bagas, aku akan menghadirkan kembali mentari dalam kehidupan anak-anak. Masih panjang jalan mereka meretas kehidupan. Tak adil rasanya jika hidup mereka goyah hanya karena ibunya tak mampu menopang beban.

***

Adit melompat-lompat kecil menghindari kubangan bekas air hujan di sana-sini. Hatinya berdendang riang. Uang THR yang ada di sakunya akan membuat keluarganya bahagia. Keluarga kecil yang dibangunnya beberapa tahun lalu dengan istri salihah bermata teduh, telah memberinya seorang anak laki-laki yang lucu dan cerdas. Mungkin itu buah penantian yang dikaruniakan Allah padanya, setelah perjuangan panjang meniti karir di perusahaan multinasional membuat masa mudanya berpeluh dalam pusaran dunia kerja yang penuh persaingan. Perjuangan yang melelahkan, pikir Adit. Tapi layak dijalani, hingga ketika dia memutuskan menikah, dia sudah siap mempersembahkan yang terbaik untuk keluarganya.

Adit tertegun memandang suasana Pasar Baru di hadapannya. Niat hatinya membelikan mukena dan baju lebaran untuk buah tangan kejutan membuatnya harus berjubel dengan lautan manusia. Betapa konsumtifnya negeri ini menjelang lebaran, rutuknya dalam hati. Dia berjalan selangkah demi selangkah menembus orang-orang sambil menoleh ke sana kemari, kepalanya meneleng berusaha mencari kios yang menjual mukena dan baju anak.

Tiba-tiba ... dukk! Benturan di bahunya memaksa Adit berpaling. Di depannya seorang perempuan berkerudung meminta maaf sambil sibuk memunguti tumpukan baju yang berceceran dari tas besarnya. Perempuan itu menunduk, tapi ada sesuatu yang membuat Adit mengamatinya lebih dalam. Seperti ada yang tak asing.

“Vita?” seru Adit tertahan.

Perempuan itu mendongak. Raut wajahnya memancarkan kekagetan yang nyata. Dia tampak menahan napas. Gerakannya yang membeku di udara membuatnya terhuyung-huyung didorong desakan manusia di sekitarnya yang tengah berbelanja. Sontak Adit cekatan membantu perempuan itu membereskan sisa baju yang masih berantakan.

“Sedang memborong?” tanya Adit membuka percakapan.

Perempuan itu menggeleng. “Ini untuk dijual lagi,” jelasnya pelan.

“Oh, bisnis baju sekarang?”

Perempuan itu mengangguk tanpa suara. Jari jemarinya yang lentik masih bersicepat merapikan tumpukan dalam tas besarnya. Pandangan Adit tertumbuk pada cincin yang melingkari jari perempuan itu.

“Mana suamimu? Dia tidak membantu membawakan?”

Gerak perempuan itu terhenti. Dia mendongak lagi. Pandangannya melukiskan sesuatu yang tak dipahami Adit, tetapi wajah perempuan itu datar saja ketika sedetik kemudian dia menjawab, “Sudah meninggal.”

Adit tak tahu harus berkata apa. Ada serbuan perasaan bersalah karena menanyakan hal barusan, juga ada kebingungan yang membuatnya terdiam dan salah tingkah. Mulutnya masih terbungkam ketika perempuan itu berpamitan, tapi matanya terus mengekori sosok berkerudung itu hingga hilang di tengah kerumunan.

Ah, perempuan. Apa yang telah terjadi padamu?

(bersambung ke Bagian 2)

***

Cerpen ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema "Cerita Fiksi (dengan Unsur) ITB".

Sunday, March 13, 2022

Muffin Kangkung, Cara Mudah Anak Makan Sayur

Membuat muffin kangkung

Beberapa tahun lalu sebelum pandemi, guru salah satu anakku mengirim pesan bahwa di sekolah akan diadakan Market Day. Setiap anak diharapkan untuk membawa makanan olahan dari bayam atau kangkung untuk dijual. Seketika keripik bayam terpikir olehku saat itu, tetapi gagasan bahwa akan banyak orang tua yang berpikiran serupa akhirnya membelokkan niat dan membuatku berpikir keras mengenai alternatif lain.

Bagaikan Invention Test di Master Chef, aku mencoba membuat kudapan yang biasanya disukai anak-anak dengan kangkung atau bayam sebagai bahan wajibnya. Karena aku tidak pandai memasak, aku mencari resep yang mudah saja. Pilihanku jatuh pada muffin kayu manis dengan kangkung sebagai isiannya. Kebetulan beberapa waktu sebelumnya aku sudah sering membuat muffin semacam ini.

Setelah memodifikasi resep, aku membuat muffin kangkung dengan menambahkan bahan andalan seperti choco chip warna-warni yang pasti disukai anak-anak. Alhamdulillah upaya ini berhasil. Rasa muffin tetap enak dan ternyata laris manis di Market Day. Seorang wali murid bahkan penasaran menanyakan resepnya padaku.

Tidak seperti cupcake, muffin dicirikan dengan teksturnya yang lebih padat. Rasanya pun tak terlalu manis jika dibandingkan dengan cupcake. Kebetulan aku sendiri tidak terlalu suka jika anak-anak makan terlalu banyak gula. Muffin ini juga bisa disantap sebagai sarapan karena cukup mengenyangkan bagi anak-anak. Yang jelas, muffin ini dapat menjadi alternatif pilihan jika anak susah makan sayur, hehehe.

Di bawah ini aku sertakan resepnya. Cara membuatnya sangat mudah. Selamat mencoba!

Resep Muffin Kangkung

Bahan:

  1. 200 gram gula palem
  2. 180 mL minyak goreng
  3. 60 gram yoghurt plain
  4. 3 butir telur ayam ukuran sedang
  5. 250 gram tepung terigu
  6. 1 sdt baking soda
  7. 2 sdt bubuk kayu manis
  8. 1/2 sdt garam
  9. 260 gram kangkung cincang
  10. Choco chip warna-warni untuk topping

Cara membuat:

  • Masukkan bahan-bahan kering dari nomor 5 s.d. 8 ke dalam baskom ukuran kecil dan campur menggunakan whisk sampai merata.
  • Masukkan bahan nomor 1 dan 2 ke dalam baskom ukuran besar, lalu kocok dengan mixer pada kecepatan sedang.
  • Tambahkan yoghurt, lanjutkan pengocokan pada kecepatan tinggi selama kurang lebih 1 menit.
  • Tambahkan telur satu per satu, lanjutkan pengocokan pada kecepatan tinggi.
  • Tambahkan hasil adukan bahan-bahan kering ke dalam adonan dan aduk sampai rata menggunakan spatula.
  • Tambahkan pula kangkung cincang ke dalam adonan dan aduk sampai rata menggunakan spatula.
  • Masukkan adonan pada cetakan kertas sampai 3/4 penuh, lalu tambahkan dengan topping choco chip warna-warni.
  • Panggang di oven pada temperatur 175 derajat celcius selama kurang lebih 20 menit hingga matang.