Foto diambil dari sini |
“Menikahlah denganku.”
Senyap. Aku tak tahu harus berkata apa. Mengapa harus sekarang? Setelah berpuluh-puluh purnama melintasi semesta.
“Menikahlah denganku, Vita.”
Meski laki-laki itu ulang berapa kali pun, aku tetap tak punya jawabnya. Tiba-tiba tahun-tahun yang berlalu, berkelebat seperti potongan-potongan film di mataku.
***
Aku hanyalah perempuan biasa. Karenanya tak berhak atas laki-laki luar biasa. Beberapa minggu menjelang pernikahan, saat ratusan undangan bertumpuk dan siap diedarkan, aku hanya bisa menatap gamang. Apakah ini keputusan yang benar? Apakah dia orang yang tepat?
Aku tahu, harusnya sekarang bukan masanya lagi punya pikiran seperti itu. Gedung sudah dipesan dan kebaya pengantin sudah siap. Semua orang begitu gembira menyambut hari-hari menuju pernikahanku. Semua orang, kecuali aku. Tak kuasa aku merusak segala keriangan mereka dengan pikiranku yang kusut masai.
“Kamu yakin?” komentar seorang sahabat yang pasti sudah terlalu mengenalku hingga bisa memahami bahkan yang tidak terucap.
Aku terpaku dalam sunyi. Sambil tetap menyodorkan undangan ke arahnya.
“Bagas laki-laki yang baik,” jawabku singkat.
“Tapi kamu tidak mencintainya!”
“Apa itu penting?”
Embun mengambang di kelopak mataku. Aku tak hendak berdebat. Bagiku, semua sudah tak penting lagi. Bukan tak percaya lagi pada cinta, tapi cinta dari laki-laki luar biasa yang kuharapkan, tak pernah datang. Aku hanyalah perempuan biasa. Karenanya tak berhak atas laki-laki luar biasa. Titik.
***
Sudah bertahun-tahun Adit mengakrabi kampus ini. Sembari langkahnya menuju pelataran, nanap matanya berkeliling. Kampus Institut Teknologi Bandung memang selalu memberinya rasa yang sama. Bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Meski tahun-tahun itu sudah berlalu, masih seperti kemarin saja rasanya dia memimpin rapat-rapat di Student Center Timur.
Seperti apakah teman-temannya sekarang? Seulas senyum tersungging di bibirnya. Untuk merekalah kini dia datang. Reuni yang mereka sepakati bersama. Sesampainya di lantai atas Labtek VIII, gelak tawa sudah ramai terdengar.
“Adit, akhirnya kau datang juga!” Sebuah suara berseru, serta merta diikuti banyak pasang mata tertuju ke arahnya.
“Selamat datang, Pak Presiden!”
Sudah bertahun-tahun, dan dia masih saja dipanggil Pak Presiden. Lagi-lagi Adit tersenyum. Sambil menyalami teman-temannya satu-satu, hatinya berdesir. Perempuan itu, hadirkah di antara mereka? Oh itu dia, duduk di sudut bersama teman-teman perempuan lainnya, batinnya lega.
“Vita akan menikah, teman-teman,” seru seseorang memberi pengumuman ke seluruh ruangan.
Dengan tertegun dipandangnya setumpuk undangan yang diletakkan di meja. Tak lama, sebab teman-temannya segera berebut meraih tumpukan. Lalu mereka menyalami perempuan itu. Dan lewat sedetik pandangannya, perempuan itu tertawa. Tampak bahagia.
***
Lidahku kelu. Bibirku kaku. Setelah beratus-ratus tamu dan berkali-kali bersalaman. Senja telah turun. Laki-laki yang kini telah menjadi suamiku sedang sibuk membenahi baju pengantin yang tadi dipakainya, sementara aku terbaring lemas di atas kasur.
“Capek, Dik?”
Aku mengangguk. Penat lahir dan batin. Terutama ketika melihat laki-laki luar biasa itu tadi di depan pelaminan, menangkupkan tangan untuk memberi selamat. Adakah dia merasakan keterpaksaan dalam senyuman? Semoga riasan tebalku berhasil menyembunyikannya.
Laki-laki luar biasa, begitu aku menyebutnya. Populer di kampus, santun akhlaknya, akrab dengan siapa saja, multitalenta dan saleh. Begitu tinggi seperti bintang. Sedangkan aku hanyalah perempuan biasa, yang hanya bisa menyimpan sekeping asa dalam diam. Cinta yang bertepuk sebelah tangan? Ah, cinta. Kata yang sudah lama kehilangan kesaktiannya.
Sudah lama aku berusaha memupus angan. Sudah empat tahun berlalu, tapi aku masih saja gagal. Pernikahan ini jelas bukan pelarian. Justru karena tertohok realita, maka aku putuskan untuk melangkah. Lagipula Bagas adalah seorang laki-laki dengan berjuta kebaikan. Padanya telah kusematkan harapan.
“Salat dulu, yuk, Dik.”
Ketika salam usai, kupandangi punggung Bagas yang sedang merangkai dzikir dan doa. Ya, inilah jalan yang dipilihkan-Nya untukku. Seharusnya syukurku melangit. Mungkin cinta yang kuharapkan memang hanya bermain di khayalan. Semoga bukan karena kepengecutanku, tapi karena cinta lain yang datang adalah cinta terbaik untuk hidupku. Selamat tinggal, masa lalu.
***
Malam kian larut, mata Adit tak juga terpejam. Tubuhnya masih terbolak-balik gelisah di atas kasur. Sibuk dengan pikirannya sendiri yang berloncatan ke sana kemari. Kalau sampai detik ini dia belum juga menikah, itu karena dia memilih demikian. Apakah menjadi ideal itu salah? Dia masih ingin mengepakkan sayap, masih punya banyak mimpi yang belum terwujud.
Pun ketika menunda menikah membuat Adit harus kehilangan kesempatan, seharusnya tak perlu ada sesal yang membuat rongga dadanya sedikit sesak. Meski secuil. Bukankah ini semua adalah pilihannya sendiri?
Ah, perempuan. Dulu sekali, dikiranya mereka berjodoh. Kebersamaan yang tak pernah termaksudkan, karena semata-mata terjalin akibat seringnya berinteraksi di ruang kuliah dan aktivitas kemahasiswaan. Kebersamaan yang membawa mereka pada diskusi-diskusi panjang tentang segala sesuatu, yang mau tak mau memaksanya untuk mengakui bahwa ada hal menarik dalam diri perempuan itu. Sekuat apa pun dia berusaha menahan diri dan pandangan, tak pelak ada sedikit bayangan perempuan itu menari-nari dalam benak.
Adit mengerjap kuat. Berusaha mengusir rasa. Oh ya ampun, mengapa pula ada pedih menyusupi relung hati? Dia tak hendak membohongi diri. Memang ada sedetik dia berharap dirinyalah yang ada di samping perempuan itu tadi. Tapi cukuplah sedetik saja. Mereka tak pernah menapaki mula, maka sewajarnya bila tak pernah sampai pada akhir. Mungkin Allah telah menunjukkan persimpangan jalan yang berbeda antara dia dan perempuan itu.
***
Menakjubkan bagaimana tahun-tahun berlalu begitu cepat dan mengubah banyak hal. Aku bagai terbang dalam mesin waktu. Tak terasa anak-anak sudah beranjak besar. Sudah sekolah tingkat dasar mereka sekarang. Merekalah energi yang membakar semangatku tiada henti. Merekalah pelangi dalam tiap hujan, bahkan ketika badai itu datang. Badai yang membuatku redam, ketika takdir memisahkanku dari Bagas.
Ah, Bagas. Mengingat namanya saja sudah menghadirkan embun dalam pandanganku. Dia tak pernah surut menunjukkan keluasan cintanya padaku, meski aku tak pernah bisa membalasnya seluas itu pula. Namun, kebaikannya yang tak bertepi mengutuhkan hidupku. Dia pernah berkata sambil mengelus rambut dan mengecup keningku pelan, adalah tugasnya membuat roda ekonomi keluarga ini terus berjalan. Sambil terus membujuk agar aku tetap di rumah supaya anak-anak terlayani dengan baik, terbesarkan dengan optimal. “Juga agar aku selalu dapat melihat senyummu merekah, Sayang. Bukan terenggut oleh keletihan aktivitas di luar rumah.” Masih terekam jelas senyumnya waktu itu.
Bagas yang selalu peduli padaku dan anak-anak, rela membanting tulang hingga larut malam demi upah lembur yang tak seberapa agar asap dapur terus mengepul. Laki-laki dengan berjuta kebaikan, bahkan hingga saat terakhirnya, saat segenap semangat mentari dari hidupnya terenggut oleh truk yang melaju kencang dan menghunjamkan badannya ke jalanan. Saksi di tempat kejadian mengatakan padaku, tangannya yang penuh dengan bunga dan boneka, perlahan layu dalam genangan darah. Bunga dan boneka yang kemudian terserak, yang sedianya dibawanya pulang untuk aku dan anak-anak, tepat di usia sepuluh tahun pernikahan.
“Mama ...” suara si sulung memaksaku menjejak realita. “Mama jangan menangis, Kakak ikut sedih kalau Mama menangis.”
Malam itu kami larut dalam isak tertahan. Aku tak kuasa menghentikan isak si sulung. Dia masih terjaga mengawasiku, sementara adik-adiknya sudah terlelap beberapa jam sebelumnya. Sangat jelas tergambar pada wajahnya betapa dia sangat mengkhawatirkanku. Malam itu aku berjanji, demi Bagas, aku akan menghadirkan kembali mentari dalam kehidupan anak-anak. Masih panjang jalan mereka meretas kehidupan. Tak adil rasanya jika hidup mereka goyah hanya karena ibunya tak mampu menopang beban.
***
Adit melompat-lompat kecil menghindari kubangan bekas air hujan di sana-sini. Hatinya berdendang riang. Uang THR yang ada di sakunya akan membuat keluarganya bahagia. Keluarga kecil yang dibangunnya beberapa tahun lalu dengan istri salihah bermata teduh, telah memberinya seorang anak laki-laki yang lucu dan cerdas. Mungkin itu buah penantian yang dikaruniakan Allah padanya, setelah perjuangan panjang meniti karir di perusahaan multinasional membuat masa mudanya berpeluh dalam pusaran dunia kerja yang penuh persaingan. Perjuangan yang melelahkan, pikir Adit. Tapi layak dijalani, hingga ketika dia memutuskan menikah, dia sudah siap mempersembahkan yang terbaik untuk keluarganya.
Adit tertegun memandang suasana Pasar Baru di hadapannya. Niat hatinya membelikan mukena dan baju lebaran untuk buah tangan kejutan membuatnya harus berjubel dengan lautan manusia. Betapa konsumtifnya negeri ini menjelang lebaran, rutuknya dalam hati. Dia berjalan selangkah demi selangkah menembus orang-orang sambil menoleh ke sana kemari, kepalanya meneleng berusaha mencari kios yang menjual mukena dan baju anak.
Tiba-tiba ... dukk! Benturan di bahunya memaksa Adit berpaling. Di depannya seorang perempuan berkerudung meminta maaf sambil sibuk memunguti tumpukan baju yang berceceran dari tas besarnya. Perempuan itu menunduk, tapi ada sesuatu yang membuat Adit mengamatinya lebih dalam. Seperti ada yang tak asing.
“Vita?” seru Adit tertahan.
Perempuan itu mendongak. Raut wajahnya memancarkan kekagetan yang nyata. Dia tampak menahan napas. Gerakannya yang membeku di udara membuatnya terhuyung-huyung didorong desakan manusia di sekitarnya yang tengah berbelanja. Sontak Adit cekatan membantu perempuan itu membereskan sisa baju yang masih berantakan.
“Sedang memborong?” tanya Adit membuka percakapan.
Perempuan itu menggeleng. “Ini untuk dijual lagi,” jelasnya pelan.
“Oh, bisnis baju sekarang?”
Perempuan itu mengangguk tanpa suara. Jari jemarinya yang lentik masih bersicepat merapikan tumpukan dalam tas besarnya. Pandangan Adit tertumbuk pada cincin yang melingkari jari perempuan itu.
“Mana suamimu? Dia tidak membantu membawakan?”
Gerak perempuan itu terhenti. Dia mendongak lagi. Pandangannya melukiskan sesuatu yang tak dipahami Adit, tetapi wajah perempuan itu datar saja ketika sedetik kemudian dia menjawab, “Sudah meninggal.”
Adit tak tahu harus berkata apa. Ada serbuan perasaan bersalah karena menanyakan hal barusan, juga ada kebingungan yang membuatnya terdiam dan salah tingkah. Mulutnya masih terbungkam ketika perempuan itu berpamitan, tapi matanya terus mengekori sosok berkerudung itu hingga hilang di tengah kerumunan.
Ah, perempuan. Apa yang telah terjadi padamu?
***
Cerpen ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema "Cerita Fiksi (dengan Unsur) ITB".
Aapakah Adit dan Vita akan kembali bersua? Kutunggu di bagian dua.
ReplyDeletePengennya gimana Teh? Hihihi
DeleteHua sedih Teteh, penasaran tapi, otw bagian 2 ah
ReplyDeleteMonggo, alhamdulillah bikin penasaran ☺️
DeleteBaca bagian 2 dulu baru komen di sini. Aku suka endingnya. Sudah khawatir kalau Vita membuat pilihan yang salah. Ternyata cerdas juga.
ReplyDeleteNuhun Teteh udah baca dan udah suka
Deleteuhhuhu sediihh ih Vita...
ReplyDeleteTeh yus, nulisnya keren bgt...jam terbangnya sudah tinggi sepertinyaa
enakeun bgt, ngalirr ceritanya
Masya Allah tabarakallah, haturnuhun Teteh
DeleteAaaak romansa melodrama banget ini. Penasaran lanjutannya. Apakah ada harapan Vita dan Adit bersama
ReplyDeleteNuhun Teh udah mampir
Delete