Saturday, October 25, 2025

Dear John: Sebuah Adaptasi Tentang Cinta, Kerinduan, dan Kehilangan

Poster film diambil dari sini

Apa yang kamu lakukan ketika gadis yang kamu cintai, yang berjanji akan menunggumu pulang dari dinas ketentaraan, ternyata pada akhirnya memutuskan hubungan kalian dan menikah dengan lelaki lain?

Begitulah kondisi sulit yang dihadapi John Tyree, seorang prajurit US Armed Forces setelah memenuhi panggilan negaranya dalam perang di Timur Tengah, yang dikisahkan oleh Nicholas Sparks dalam novelnya “Dear John”.

“Dear John” menceritakan kisah hidup John yang pada masa awal kehidupannya hanya tinggal berdua dengan ayahnya, seorang pengidap Sindrom Asperger. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi relasi mereka. John tahu ada yang berbeda dengan ayahnya, tetapi ia tak pernah memahami hal itu.

Perjalanan hidupnya yang rumit membuatnya mendaftar masuk ke US Armed Forces, dan pada suatu masa cuti dari ketentaraan ketika ia pulang ke rumah, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Savannah. Dari situlah kisah kemudian berkembang. Savannah mengajarkan John bagaimana memperbaiki hubungan dengan ayahnya, mengajarkannya tentang cinta, patah hati, dan kebahagiaan sejati.

Novel “Dear John” ditulis pada tahun 2006 dan diangkat ke layar lebar pada tahun 2010. Selisih tahun adaptasinya tidak terpaut jauh sehingga bisa dibilang: tidak ada konteks zaman yang berbeda. Meskipun demikian, tentu ada hal-hal menarik yang bisa dikaji dalam proses kreatif adaptasinya. Apakah memang sesuai ekspektasi pembaca novel dan penikmat film? Apakah ada alur, kisah, dan rasa yang berubah?

Dari Segi Penulisan Novel

Sparks berusaha membangun konflik dengan cara seorisinal mungkin tentang alasan mengapa dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu selamanya. Konflik dalam kisah John dan Savannah ini diaduk-aduk sedemikian rupa sehingga tetap terasa nyata dan tidak mengada-ada. Jadi meskipun ringan dibaca, konfliknya tetap matang.

Novel yang berjumlah 392 halaman ini banyak menggambarkan detail Wilmington, North Carolina sebagai latar. Bagi sebagian orang yang tidak terlalu suka narasi, beberapa bagian penceritaan kota itu mungkin terasa panjang. Namun bagiku, hal ini menunjukkan kepiawaian Sparks dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Dalam hal penokohan, sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi. Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel, tetapi jarang ada novel romantis yang “aku”-nya adalah seorang laki-laki. John digambarkan sangat manusiawi: meskipun ia tentara–yang identik dengan sosok tangguh–ternyata ia memiliki perasaan yang halus. Ia bisa mellow bahkan menangis, juga clueless jika menyangkut hubungannya dengan Savannah.

Dari segi penggambaran emosi, perasaan John pun tersampaikan dengan baik seolah-olah ia benar-benar sedang curhat dengan pembaca. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Dari sekian banyak novel Nicholas Sparks, “Dear John” ini yang paling baik menurutku. Alih bahasa yang dilakukan Barokah Ruziati bagus dan tanpa cela, tidak seperti salah satu novel Sparks lain yang alih bahasanya acakadut dan bikin geregetan.

Dalam situs pribadinya, Sparks menulis tentang buku ini, “In the end, I was proud of the novel. It is, in many ways, one of my favorites. It is also one that I think will resonate with readers long after the final page is turned.

Ya, dia benar! Aku menangis ketika membaca novel ini, terutama ketika bab-bab akhir. Aku masih ingat, air mata terus mengalir di wajahku. “Dear John” is also my favorite, and it resonated with me long after the final page was turned, even many years later.

Versi Film

Secara umum, kisah atau tema, penokohan, alur, serta latar pada film tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan novelnya. Ada beberapa detail yang berubah, seperti misalnya hubungan antarkarakter dan peringkasan cerita, tetapi rasanya hal itu masih dalam taraf wajar mengingat adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam proses adaptasi dari novel menjadi film.

Film “Dear John” dibintangi oleh Channing Tatum sebagai John Tyree dan Amanda Seyfried sebagai Savannah Lynn Curtis. Gambaran tentang John dalam benakku cukup sesuai dengan sosok Channing Tatum. Namun, sosok Savannah sangat berbeda dengan imajinasiku, terutama karena Amanda Seyfried berambut pirang sementara dalam novelnya digambarkan memiliki rambut coklat yang indah. Meskipun demikian, menurutku akting Tatum dan Seyfried bisa dibilang mampu menghadirkan karakter yang mirip dengan karakter novel.

Dalam hal kesuksesan film, pada akhir pekan pembukaannya, film ini meraup $30.468.614. Hal tersebut membuat film ini menempati posisi pertama di box office, mengalahkan Avatar setelah tujuh minggu bertengger di posisi pertama. Hal itu juga berhasil menjadikan film ini sebagai debut terbaik untuk sebuah film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks.

Namun, secara reviu, film ini menerima ulasan yang tidak terlalu bagus. Di Rotten Tomatoes, film ini memiliki skor rata-rata 4,50/10 berdasarkan 137 ulasan. Konsensus kritikus situs web tersebut berbunyi: “Built from many of the same ingredients as other Nicholas Sparks tearjerkers, Dear John suffers from its clichéd framework, as well as Lasse Hallstrom's curiously detached directing.” Metacritic, yang memberikan skor rata-rata 43/100 dari 34 ulasan kritikus film, memberikan nilai “mixed or average”.

Jika ada hal yang sangat menggangguku dari filmnya, itu adalah soal ending. Sparks yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, sebenarnya lebih suka menyebut ending novel ini sebagai bittersweet, sebuah istilah halus untuk sad ending.

Pada akhir novel, John akhirnya melepaskan Savannah dan berdamai dengan kenyataan bahwa mereka memang tidak dapat bersama karena Savannah telah menikah ketika John masih menjalani dinas ketentaraan. Tahun-tahun yang terpisah ketika mereka menjalani long distance relationship memperburuk keadaan dan membuat hambar hubungan mereka. Meskipun keduanya saling mencintai, hubungan mereka terpaksa harus kandas ketika hidup keduanya tidak lagi beririsan dan memiliki frekuensi yang sama.

Nah, dalam filmnya, sutradara dan penulis skenario agak maksa ketika mereka mengubah ujung cerita menjadi happy ending. Dikisahkan suami Savannah akhirnya meninggal akibat sakit kanker dan mereka berdua dapat kembali bersama. Ini agak krik krik menurutku, mengingat intensitas emosi penonton yang sudah diaduk-aduk sedemikian rupa sebelumnya ketika mereka berpisah.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Adaptasi selalu memantik perdebatan: mana yang lebih baik, buku atau film? Buatku, baik novel maupun film “Dear John” sama-sama bagus. Filmnya berhasil mengejawantahkan kisah dalam novel dengan sangat manis. Sukses menjadi film bergenre drama seperti novelnya tanpa sisi dramatis yang berlebihan.

Meskipun demikian, perbedaan ending yang cukup menggangguku memang harus diakui tampaknya sengaja dibuat untuk memanjakan pasar. Mungkin para penikmat film lebih menyukai happy ending daripada sad ending. Mana ada pemirsa yang rela berderai air mata ketika meninggalkan bioskop, hehehe. Pada akhirnya, perbedaan aspek lintas medium (terutama layar lebar) memang tidak bisa dilepaskan dari urusan pasar yang tunduk pada kapitalisme.

Sudut Pandang Personal

Kembali ke paragraf yang kutulis di awal tulisan ini: apa yang bakal kamu lakukan ketika kehilangan seseorang yang istimewa dalam hidupmu? Yang membuat kisah John menarik untukku adalah karena ia bercerita tentang proses melepaskan dan berdamai setelah kehilangan, yang mana pengalamannya pasti akan berbeda untuk setiap orang.

Ada orang yang berdamai dengan kehilangan dengan cara melupakan. Namun, ada yang justru dengan cara mengenang, seperti John. Dia mengenang segala yang pernah dia miliki bersama Savannah, karena cinta mereka memang (pernah) nyata. Dia mengikhlaskan Savannah demi kebahagiaannya, meskipun sejatinya dia tidak rela. Itu sebuah bentuk pengorbanan yang besar, kurasa.

Pulih bukan berarti sembuh. Pulih artinya tetap bisa melangkah dengan luka akibat kehilangan, dan menyadari sepenuhnya bahwa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang benar. Love sekebon buat John, dan hal ini pula yang membuatku tersedu-sedu ketika selesai membaca novelnya dua belas tahun silam.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium”.

No comments:

Post a Comment