Saturday, December 10, 2011

Kelahiran Abi

Meet my second son: Muhammad Abimanyu Martono :)

Akhirnya resmi sudah namanya, pada saat aqiqah di hari ke-14 setelah kelahirannya. Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man’yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman’yu secara harfiah berarti “ia yang memiliki sifat tak kenal takut” atau “yang bersifat kepahlawanan” (sumber dari sini). Dalam kisah pewayangan, Abimanyu adalah putra Arjuna dan ia adalah ksatria termuda dari pihak Pandawa dalam peperangan Bharatayuddha.

Meskipun konsep nama ini sudah di-godhog sebelum Abi lahir, ternyata proses kelahirannya membawa kenangan tersendiri akan arti sebuah keberanian. Dan tanpa rasa takut, Abi berhasil melaluinya.

Kisah kelahiran Abi bermula pada Sabtu, 19 November 2011. Sehari menjelang HPL, tak ada juga tanda-tanda mau melahirkan. Dokter kandungan langganan menyarankan untuk melakukan CTG guna merekam detak jantung dan gerakan janin, sekaligus untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Hasil CTG memang menunjukkan kalau semuanya baik-baik saja dan beberapa kontraksi lemah sudah mulai berlangsung. Pada saat CTG, setelah diperiksa dalam, ternyata aku sudah pembukaan dua. Akibat periksa dalam pada saat CTG itu, ketika kami pulang dari rumah sakit, kontraksi makin sering terjadi.

Sabtu menjelang tengah malam, setelah memastikan Hanif baik-baik saja di bawah penjagaan Mbak Nunung (asisten yang pulang hari) karena pengasuhnya sedang izin pulang kampung, aku diantar suami ke rumah sakit. Tengah malam itu aku sudah pembukaan empat. Segera masuk kamar bersalin untuk bersiap.

Minggu dini hari pukul setengah empat, pembukaan baru mencapai bukaan enam. Berasa aneh, mengapa proses pembukaan berjalan sangat lambat, tidak seperti waktu kelahiran Hanif dulu? Minggu pukul delapan pagi, diputuskan untuk dilakukan induksi karena sudah empat setengah jam proses pembukaan tidak mengalami kemajuan dari bukaan enam.

Ya Allah, baru kali ini merasakan diinduksi. Tak berhasil menepis khawatir karena pernah mendengar cerita bahwa kontraksi hasil induksi akan jauh lebih sakit dibanding kontraksi yang terjadi secara alami. Dan memang benar, selama satu setengah jam kemudian, aku benar-benar merasakan apa yang namanya perjuangan. Progres pembukaan berlangsung cepat, dan pada 20 November 2011 pukul 09.45 Abi lahir.

Dari sinilah perjuangan yang lain dimulai. Entah akibat menelan air ketuban atau akibat terlilit tali pusar, tangisan Abi tak jua keras. Setelah dilakukan observasi, ternyata Abi harus segera diberi oksigen melalui selang dan tak bisa melanjutkan proses IMD. Akibatnya Abi juga tak bisa rawat gabung denganku karena harus diobservasi intens di kamar bayi. Saat itu, di tengah rasa lemas habis melahirkan, hatiku diliputi oleh berbagai kegalauan. Galau terhadap perkembangan kondisi Abi, juga galau memikirkan Hanif yang ditinggal di rumah tanpa ayah bundanya.

Tak bisa IMD dan rawat gabung membuatku bertekad bahwa Abi tetap harus bisa ASI eksklusif. Maka perjuangan berikutnya dimulai. Karena Abi terikat dengan alat pulse oximeter di kamar bayi, maka per 2-3 jam aku harus datang untuk menyusuinya. Hal ini sangat melelahkan untuk seseorang yang baru saja melahirkan, karena itu berarti aku harus mengabaikan rasa sakit dan rasa lelah, juga mengabaikan panggilan tidur meski terasa sangat mengantuk. Alhasil selama tiga hari di rumah sakit, bisa dibilang aku hanya tidur sekedarnya. Tapi ini tak masalah, karena dari awal aku sudah berniat memberinya ASI eksklusif.

Hati bunda mana yang tak pilu melihat bayinya diselang-selang begitu. Satu selang untuk oksigen, satu selang untuk sonde, dan kabel di kaki yang terhubung dengan pulse oximeter. Observasi terus dilakukan, tapi tiap kali selang oksigen dicoba dilepas, proses oksigenasi Abi menjadi tidak stabil. Bahkan di awal-awal tubuhnya sempat membiru.

Ada suatu masa ketika aku sempat tergugu memangkunya, yaitu ketika suster mengatakan kalau badan Abi demam akibat asupan ASI yang kurang, dan menyuruhku mempertimbangkan pemakaian susu formula untuk memperbanyak asupan ke tubuhnya. Jujur, waktu itu aku sangat takut kalau-kalau niat kuatku untuk memberinya ASI eksklusif justru akan membahayakan dirinya. Kata suster, untuk seorang bayi yang sehat, jumlah ASI yang sedikit di awal-awal memang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan. Tapi untuk kondisi Abi yang kurang sehat, tidak diperlukan adanya ancaman tambahan seperti kurang asupan ASI yang dapat menyebabkannya demam dan kuning. Salah-salah malah harus disinar sehingga akan makin lama pulihnya, mengingat waktu itu proses oksigenasinya juga belum stabil.

Hasil rembugan dengan suami membuatku tetap keukeuh pada rencana ASI eksklusif sambil melihat perkembangan kondisi Abi. Selasa pagi aku sudah boleh pulang, tapi kepastian untuk Abi belum juga muncul. Mana mungkin aku bisa pulang ke rumah tanpa dia. Akan lebih susah lagi proses ASI eksklusifnya nanti. Alhamdulillah demamnya sudah turun, dan setelah dites darah pun kadar bilirubinnya tidak tinggi. Artinya asupan ASI selama itu cukup. Yang lebih membahagiakan lagi: ketika selang oksigen dilepas, proses oksigenasinya sudah stabil! Alhamdulillah, akhirnya Abi diizinkan pulang bersamaku.

Perjuangan demi perjuangan yang aku dan Abi lalui membawaku pada muara syukur yang tak terkira. Betapa proses melahirkan itu sangat bergantung pada skenario Allah Sang Maha. Seberapa sempurnanya kita mencoba merencanakan sesuatu (IMD dan rawat gabung), kalau Allah tak berkehendak, ya tidak terjadi. Juga terpetik hikmah bahwa niat yang terhujam kuat pasti akan mendapat ujian yang lebih berat (dalam hal ini: niat untuk ASI eksklusif). Barangkali itu cara Allah untuk menguji seberapa kuat niat dan ikhtiar kita.

Alhamdulillah aku dan Abi berani dan berhasil melaluinya. Abi anakku yang hebat, sudah begitu berani berjuang bahkan sejak usia awal kehidupannya. Benar-benar tak salah aku berniat menamainya Abimanyu.

Jadi, selamat datang ke dunia, dedek Abi. Bunda, Ayah, dan Mas Hanif sungguh menyayangimu.

Monday, November 14, 2011

Penghargaan Sebagai Kakak

Sampai juga akhirnya pada minggu ke-40 usia kehamilan. Tak terasa sebentar lagi Hanif akan menjadi seorang kakak. Ingin cerita sedikit soal sharing-ku dengan Bunda Evie, konsultan pendidikan di sekolah Hanif, beberapa pekan yang lalu.

Saat itu kami sedang sibuk membicarakan perkembangan Hanif di rumah dan di sekolah. Alhamdulillah aku banyak mendapat masukan yang bermanfaat. Ternyata memang diperlukan orang lain yang bisa menilai anak kita secara objektif dan menuturkan kelebihan-kelemahan anak pada kita, karena bagaimanapun anak selalu tampak sempurna di mata kita sehingga kadang kita menutup diri terhadap “kelemahan” mereka.

Di akhir sesi konsultasi, ada usulan Bunda Evie yang benar-benar membuka mataku. Jadi beliau punya pendapat, ketika seorang adik lahir, yang perlu diberi kado bukanlah adiknya melainkan kakaknya. Si adik hanyalah orok yang masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu kado dan hadiah. Tapi sang kakak sudah sangat mengerti apa itu arti cemburu. Bayangkan bila semua orang dan kerabat yang datang hanya mengerubuti si adik, melimpahinya dengan banyak hadiah dan kasih sayang, sementara sang kakak menjadi terlupakan di pojokan. Menurut Anda, bagaimanakah perasaannya?

Alangkah indahnya bila hari si adik lahir menjadi hari yang tak terlupakan bagi sang kakak, hari ketika dia diberi kado atau hadiah sebagai penghargaan, hari ketika semua orang memberinya ucapan selamat karena ia telah menjadi kakak yang hebat! Jadi di memorinya akan tertanam, bahwa hari ketika adiknya lahir adalah hari yang sangat membanggakan dan menyenangkan.

Bunda Evie menyarankan untuk membagikan paradigma ini pada sebanyak-banyak orang, agar tak ada lagi kisah sedih seorang kakak yang merasa terlupakan karena semua perhatian tertumpah pada adiknya, atau malah yang lebih parah lagi: kisah ketika semua orang menganggapnya “caper” hanya karena ia merasa cemburu. Bila tak ada kisah-kisah seperti itu, tentunya akan mudah bagi sang kakak untuk menerima kehadiran adiknya dan menyayanginya setulus hati.

Pesan sponsor: jadi nanti kalau adiknya Hanif lahir, yang diberi kado Hanif saja ya *ge-er bakalan dikado, hehehehe*

Foto: Senyum Hanif, taken from my “butut” handphone.
Berapapun jumlah adik yang kamu miliki.. you’ll always be my favorite, Nak :-*

Kehamilan Kedua

OMG, sudah lama sekali rasanya aku tidak menulis di blog ini. Begitu banyak kabar yang bisa dibagi, dan entah sudah berapa banyak ide menulis yang berkejaran di kepala. Sayangnya karena berbagai kesibukan (sok sibuk, hihihi), hanya beberapa ide saja yang sempat tercatat di memori.

Kali ini aku ingin bercerita tentang kehamilanku yang kedua. Saat ini (calon) adiknya Hanif sudah berusia 39 minggu di kandungan. Pertama aware mengenai kehamilan ini sejak pekan kedua Maret 2011. Sempat mencoba testpack sendiri dua kali (testpack pertama pada 15 Maret—hari ultahku, dan testpack kedua pada 18 Maret—hari ultah suami), dua-duanya kurang yakin karena garis kedua hanya terlihat samar. Tapi tetap berencana untuk mengeceknya ke dokter kandungan, karena haid sudah terlambat datang, sesuatu di luar kebiasaan. Juga agar peristiwa kehamilan Hanif yang terlambat ketahuan (baru ketahuan saat berusia 8 minggu!) tidak terulang lagi.

Jadilah datang ke dokter kandungan ketika usia kehamilan menginjak 6 minggu. Ternyata memang benar hamil. Sempat tidak percaya karena selama 6 minggu itu tidak terasa ada yang berubah, hanya stamina fisik yang berasa lebih cepat capek. Selebihnya tidak ada, mual pun tidak. Sempat merasa senang, berharap semoga kehamilan kedua ini jauh lebih mudah dibanding kehamilan pertama yang mual-muntah sampai 5 bulan.


Ternyataaa... perjuangan baru dimulai. Mabok-mual-muntah baru dirasa setelah 6 minggu itu. Dan ternyata pula, perjuangannya lebih berat dibanding kehamilan pertama. Kalau yang dulu hanya mual-muntah, yang ini ditambah dengan pusing dan lemas hampir sepanjang hari. Sama sekali tidak bisa minum susu karena akan langsung mual-mual. Selera makan sih hampir tak berubah, makanan yang masuk masih tetap banyak, tapi banyak juga yang akhirnya keluar lagi. Berasa sekali perjuangannya. Semoga kesabaran menghadapinya dinilai pahala, amin.


Setelah trimester pertama yang penuh dengan cerita mual-muntah-pusing-lemas berlalu, badanku lambat laun mulai berasa lebih segar dan fit. Di trimester kedua, mual-muntah-pusing-lemas masih terus berlanjut, namun sudah jauh berkurang. Nafsu makan mulai menggila. Ketika usia kehamilan 24 minggu, berat janin 700 gram. Ini termasuk normal meskipun secara kasat mata, perutku tampak lebih kecil dibanding perut teman-teman lain yang berusia kehamilan sama. Antara usia kehamilan 21-24 minggu, pertambahan berat badanku mencapai 1 kilogram per minggu. Anehnya, antara 24-27 minggu, berat badanku tidak mengalami kenaikan. Mungkin karena nafsu makanku sedikit menurun akibat mual-mual yang kembali melanda. Aneh juga ya, sudah hampir trimester ketiga kok masih mual-mual saja. Meskipun demikian, berat janin tetap normal. Berikut ini perkembangan berat janin yang kudapat dari perkiraan USG tiap kali kontrol:

  • 27 minggu, 1027 gram
  • 30 minggu, 1460 gram
  • 32 minggu, 1780 gram
  • 34 minggu, 2110 gram
  • 36 minggu, 2533 gram
  • 38 minggu, 2786 gram

Menginjak trimester ketiga, aku mulai berbelanja sedikit barang untuk adiknya Hanif. Ada beberapa alas ompol, cloth diaper, cooler bag, dan botol tempat menyimpan ASIP yang kubeli. Ada juga kelas edukasi AIMI yang kuikuti, bertema “Breastfeeding Tips for Working Moms”. Yah, meskipun berkejaran dengan aktivitas perkuliahan di kampus, semoga kehamilan dan persalinan kedua ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Amin.

Foto 1: Usia janin 16 minggu.

Foto 2: Usia janin 21 minggu.

Tuesday, June 14, 2011

Rumah(-Rumah)ku

Sepanjang usia pernikahanku yang baru empat tahun, terhitung kami sudah pernah merasakan tinggal di tiga rumah. Rumah pertama tentu di Cikarang, rumah pertama kami yang kini sudah dijual. Rumah kedua adalah rumah kontrakan di Cisitu, Bandung, yang baru saja kami tinggal pindahan dua minggu lalu. Rumah ketiga adalah rumah baru kami saat ini.

Kuingat-ingat lagi, aku selalu mengalami fase adaptasi yang tidak mudah. Awal-awal tinggal di kesemua rumah itu, aku pasti merasa sedih karena merasa belum betah, ada saja ini-itu yang dirasa tidak sesuai. Tapi setelah kuingat lagi, masa-masa meninggalkan rumah-rumah itu juga merupakan masa-masa yang berat. Yang tadinya merasa tidak betah, ternyata telah berubah menjadi sangat betah, bahkan cenderung susah untuk berpisah.



Kerinduan pada rumah Cikarang adalah kerinduan melankolis, semata-mata karena rumah itu adalah rumah pertama yang kami beli dari hasil jerih payah kami sendiri. Rumah yang mengawali kehidupan, tempat kami bercengkerama berdua sebelum punya anak. Rumah tempat kami berbulan madu, sekaligus tempatku belajar menjadi seorang istri. Yang tadinya tidak suka memasak, menjadi harus berkutat di dapur dan belajar memasak sesuatu. Rumah ini juga rumah pertama yang perabot dan dekorasinya kupilih sendiri, hingga tiap ruangan terasa punya sentuhan rasa pribadi. Tamannya adalah ajang pertama kami bereksplorasi dengan yang namanya gardening, meskipun hasilnya hampir semua tanaman mati :D



Rumah Cisitu adalah rumah terlama yang pernah kuhuni sampai saat ini, hampir empat tahun lamanya. Pertama tinggal di situ aku sempat sedih soal air yang tidak 24 jam mengalir, hingga memaksa kami harus membeli tandon-tandon air dan membuat kami harus siaga mengisinya di malam hari. Pertama kali punya anak adalah ketika tinggal di rumah ini. Rumah ini betul-betul menjadi saksi masa kehamilan dan kelahiran Hanif. Betul-betul menjadi saksi kerepotan belajar mengurus anak pertama, sekaligus saksi tumbuh-kembang Hanif pada masa tiga tahun pertama.

Di rumah Cisitu lah Hanif belajar ngesot, lalu merangkak, berjalan, dan akhirnya berlari. Dengan anak-anak sekitar masjid di gang itulah Hanif belajar bersosialisasi untuk pertama kali. Dan di rumah ini pula kutemukan makna hidup bertetangga dengan orang-orang yang sangat baik, yang tak pernah merasa berat membantu satu sama lain, sesuatu yang tidak kurasakan ketika tinggal di Cikarang karena di sana masyarakatnya cenderung individualis.



Aku betul-betul merindukan rumah Cisitu, sebagai tempat yang penuh kenangan dalam kehidupanku sebagai seorang bunda, dalam memori indah tentang masa-masa membesarkan Hanif di tahun-tahun pertama.



Bagaimana dengan rumah baru kami di Bojongkoneng? Sama dengan rumah Cikarang, rumah ini juga rumah yang terasa punya sentuhan rasa pribadi karena perabot dan dekorasinya kami pilih sepenuh hati. Tapi entah mengapa, rasanya belum klik benar dengan rumah ini. Memang belum ada dua minggu kami tinggal di situ. Mungkin masih perlu banyak waktu, seperti interaksiku dengan rumah yang sudah-sudah.

Sekarang pekerjaanku tiap hari adalah beres-beres rumah. Kardus sisa pindahan masih ada beberapa yang belum dibongkar, perabot masih ada yang kurang dibeli—terutama rak buku tempat menaruh buku-buku, serta kontainer yang kurencanakan sebagai tempat menaruh mainan Hanif yang seabreg itu. Yup, betul. Kerja beres-beres rumah ini adalah salah satu caraku untuk membuat rumah baru kami terasa lebih homy agar kami lebih betah, meskipun hal itu membuat skoliku sakit hampir tiap hari.

Home is where the heart is. Agaknya pernyataan itu benar adanya. Dan tampaknya, aku sudah harus mulai menaruh hati pada rumah baru kami, rumah yang akan menjadi tempat tumbuh-kembang adiknya Hanif di tahun-tahun pertamanya, dan akan menjadi saksi kehidupan keluarga kami di tahun-tahun selanjutnya, insya Allah.

Foto 1: Rumah Cikarang ketika terakhir kali aku tinggal di sana, awal April 2011. Rumah ini terjual pada 27 April 2011.

Foto 2: Gang Masjid kenangan, menuju rumah Cisitu. Foto ini diambil pada 13 Juni 2011.

Foto 3: Rumah Cisitu yang biru, sebiru haru hatiku ketika mengunjunginya kembali sepulang kerja sore itu. Hanya mengambil fotonya saja tanpa berani masuk, khawatir memori indah tentang rumah ini mendesak ruang rasa hingga membuat perih. Di pintu pagar inilah Hanif biasa menantiku pulang setiap sore, membukakan pintu dengan tawanya yang lebar. Tuh kan, jadi sedih lagi, hiks.

Foto 4: Rumah kami sekarang, yang masih terasa panas karena tidak ada pepohonan di sekitarnya. Sabtu pagi itu Hanif sedang membantu ayahnya mencuci motor di depan rumah.

Friday, June 10, 2011

Rumah Baru



Yang paling menyenangkan dari memiliki rumah baru adalah saat-saat memilih dekorasi dan perabot. Memilih dan memilah kain korden dan vitras ternyata bisa jadi sangat mengasyikkan. Belum lagi sensasi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan untuk memilih sofa, kasur, kitchen set, dan lain-lain. Masih ditambah dengan keasyikan menata lay out ruangan dan mengatur sudut-sudut di sana-sini.

Namun, jangan salah. Pindah ke rumah baru ternyata juga sangat melelahkan. Prosesnya berlangsung lama, mulai dari nyicil packing, sortir barang-barang yang akan dibawa, sampai membuangi barang-barang yang ternyata sudah perlu dibuang. Ternyata aku manusia sampah juga. Baru pas pindahan kemarin kami terpaksa membuangi barang-barang yang tak perlu. Kalau dibawa rasanya akan memenuhi seisi rumah, sementara manfaatnya tak seberapa. Ya sudah, tak boleh merasa sayang, daripada membuat kumuh.

Nyicil packing ini sudah dilakukan beberapa waktu sebelumnya. Ndilalah pas waktunya pindahan, aku malah jatuh sakit. Batuk dan flu berat sampai tak bisa bangun dari tempat tidur saking pusingnya. Alhamdulillah Papi, Mami, adik, dan kakak datang membantu hingga membuat proses pindahan menjadi cepat dan mudah. Meskipun jadinya aku tak tahu, barang apa ada di kardus mana, karena aku bisa dikatakan hampir tak banyak terlibat.

Saat ini rumah baru kami sudah bisa dikatakan tidak terlalu berantakan lagi. Ruang tamu merangkap ruang keluarga, dapur, dan kamar utama sudah lumayan rapi. Kardus-kardus yang belum sempat dibongkar—karena aku belum fit benar—ditumpuk dan dikumpulkan dalam satu ruangan. Yang kasihan adalah Hanif. Dia belum berhasil menemukan kardus mainan-mainan favoritnya. Maafkan Bunda, Nak. Belum sempat membongkar semua kardus itu.

Sudah seminggu kami di rumah baru, aku belum menemukan irama yang pas. Masih terbayang enaknya tinggal di kontrakan lama karena jauh lebih adem dan jauh lebih dekat ke kantor. Adem karena banyak bukaannya sehingga udara selalu terasa segar mengalir. Dekat sehingga hanya memerlukan waktu 5-7 menit untuk pulang-pergi ke kantor. Lingkungannya juga sangat dinamis, banyak warung makanan murah, serta selalu ramai karena merupakan daerah kos mahasiswa.

Rumah baru kami memang lebih lega dan lebih luas, tapi ternyata jauh lebih panas. Sama sekali tak berasa tinggal di Bandung. Bagaimana tidak, kami selalu berlumur keringat. Jendela dan pintu mau dibuka pun tak bisa, karena nyamuk besar-besar akan segera menyerbu. Lingkungannya masih sepi karena merupakan lingkungan perumahan baru yang belum “jadi”. Dengan tetangga juga belum banyak kenal karena aku selalu pergi pagi dan pulang sore. Semoga waktu akan mengubah segalanya, hingga kami bisa merasa lebih nyaman dan lebih betah tinggal di rumah kami sendiri ini.

Hhh, buatku... adaptasi tak pernah jadi mudah.

Foto: Rumah baru kami ketika masih belum jadi, November 2010.

Friday, May 27, 2011

Two Sparkling Eyes


Adalah Mbak Lessy, yang dengan tiba-tiba mengirim pesan, mengajak untuk bertemu dalam kesempatan lawatannya ke Bandung. Kaget tentu. Pertama, dia baru beberapa bulan menjadi kontakku di Multiply. Kedua, aku belum tahu banyak tentang dirinya. Serta merta perasaan senewen muncul seperti biasa ketika aku akan bertemu dengan orang baru. OMG, apa yang mau kuobrolkan dalam kesempatan bertemu dengannya? Bahan-bahan perbincangan apa yang akan kusodorkan ke hadapannya?

Semangat Mbak Lessy untuk bertemu ternyata luar biasa. Beberapa kali dia menelepon dan sms untuk menanyakan kesanggupanku bertemu. Sayangnya aku tak dapat segera menjumpainya di hari pertama, karena kesibukan di kantor yang tak dapat kutinggal. Ketika hari kedua—hari terakhir Mbak Lessy berada di Bandung—dia masih terus menghubungiku, aku tak dapat menolak lagi. Rasa penasaran membawaku datang ke hotel tempatnya menginap, seperti apakah Mbak Lessy sebenarnya?

Kesan pertama ketika bertemu adalah: ternyata benar apa yang pernah dikatakan ibu sahabatnya, Migo, bahwa this cute little friend has two sparkling little round eyes! Binar matanya, kehangatan senyumnya, dengan segera melumerkan kekakuan yang tadinya membuatku senewen. Sapaan ramah, keceriaan, dan kata-kata yang ringan mengalir kemudian semakin mengukuhkan perasaanku: betapa menyenangkannya Mbak yang satu ini. Seketika kelegaan melingkupi hatiku, aku tak perlu berusaha keras untuk bersikap jaim, dan dengan santai bisa menjadi diriku yang apa adanya di hadapannya.

Perbincangan mengalir alami, tanpa perlu mencari-cari bahan obrolan. Dimulai dari perkenalan, lalu berlanjut ke cerita keseharian. Setelah menghirup teh hangat yang disediakan Mbak Lessy, kami makin merasa nikmat berbincang. Ahai, seperti sobat lama saja. Padahal baru kali itu kami bertemu.

Sayangnya waktu terasa sangat singkat. Adzan maghrib bergema. Uda Andri—suami Mbak Lessy—pun sudah datang, dan mereka akan bersiap untuk check out. Uda Andri ini sama menyenangkannya dengan istrinya. Serasi sekali: yang satu cakep, yang satu cantik, dan saling melengkapi dalam berbagai sisi—paling tidak begitulah yang kutangkap dari tulisan-tulisan Mbak Lessy selama ini, plus sedikit obrolan kami sore itu.

Ah, ternyata berat berpisah dengan sobat cantik bermata sparkling ini. Sampai di lobi pun kami masih terus berbincang, padahal ucapan pamit sudah terlontar sedari tadi. Selamat jalan, Mbak Lessy! Sampai kita berjumpa lagi. Terima kasih telah menghadirkan pertemanan yang begitu hangat, sehangat senyum dan teh yang kauhidangkan sore itu.

Foto: Bandung, 25 Mei 2011, diambil dari sini.

Friday, March 18, 2011

Kunjungan Kedua ke dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine


Sabtu, 12 Maret 2011 yang lalu, aku kembali mengunjungi dr. Husodo di R.S. Halmahera. Kunjungan kedua ini dalam rangka kontrol setelah kunjungan pertama pada Juni 2010. Bisa dibilang terlambat memang, mengingat aku seharusnya kontrol kembali pada Desember 2010, sesaat setelah foto rontgen kedua diambil. FYI foto rontgen ini diambil per 6 bulan, berdasar anjuran dokter pada waktu itu.

Dari hasil analisis dr. Husodo, ternyata ada fakta mengejutkan (ciehh bahasanya). Jadi sodara-sodara, analisis beliau yang lebih akurat menunjukkan bahwa skoliosis yang kuderita ternyata tidak memiliki kurva 14 derajat seperti yang kukira selama ini, melainkan 20 derajat. Bagaimana bisa berbeda dengan foto rontgen sebelumnya?

Jadi begini, pada postingan ini sebenarnya dulu aku sempat menulis keraguanku akan keakuratan penghitungan kurva skoli pada foto rontgen yang pertama. Pada paragraf kedua aku menulis: “Pada gambar di atas, sudut 14 derajat diukur dari ruas T11 sampai L3. Tapi kalau kulihat-lihat lagi, sebenarnya bentuk melengkungnya itu sudah dimulai dari ruas T9, terus memanjang sampai ruas L5.”

Benar juga kan, ternyata dr. Husodo sependapat denganku, bahwa kelengkungan tulang belakangku sudah dimulai dari ruas T9 hingga ke L5. Maka perhitungan dengan segmen ruas yang lebih panjang menghasilkan kurva skoli sebesar 20 derajat.

Ya sudahlah, memang harus diterima. Enjoy aja. dr. Husodo tetap menganjurkan aku untuk berenang dan stretching (sit upback up). Beliau juga mengatakan bahwa kontrol berikutnya bisa dilakukan per 1 tahun saja, mengingat progresivitas skoliku yang tidak terlalu signifikan. Alhamdulillah, jadi aku tidak akan terlalu sering terpapar radiasi sinar-X yang besarnya 600 mikro Sievert tiap sekali rontgen itu :D

Gambar: Foto rontgen kedua yang diambil pada 25 November 2010. Dengan foto terbaru ini dr. Husodo melakukan analisis yang lebih akurat.

Monday, March 07, 2011

Gejala Skoliosis

Bagaimana Mengenali Gejala Skoliosis?



Penderita skoliosis umumnya terlihat dari berubahnya postur tubuh. Pada penderita akan terlihat adanya ketidaksimetrian garis tulang punggung dan bila diamati akan terlihat adanya tonjolan yang lebih tinggi pada salah satu bagian punggung.

Lima Gejala Skoliosis

  1. Kepala miring sebelah (heed tilt). Perhatikan apakah kedua telinga sama tinggi? Apakah posisi wajah cenderung ke satu sisi?
  2. Bahu tidak sama tinggi (shoulder tilt). Perhatikan apakah posisi bahu sama tinggi? Ataukah ada satu sisi bahu yang lebih maju ke depan? Apakah salah satu tulang scapula (belikat) lebih menonjol dari lainnya?
  3. Pinggul tinggi sebelah (pelvic tilt). Perhatikan apakah pinggul kiri dan kanan sejajar? Apakah celana atau gaun yang dikenakan dapat melekat sempurna di tubuh bagian bawah? Apakah panjang celana, kerah baju, dan panjang lengan sama bagian kiri dan kanannya?
  4. Kaki tidak seimbang (foot flare). Perhatikan apakah telapak kaki rata atau ada bagian yang mengarah keluar? Apakah ada keluhan lain di lutut atau pergelangan kaki?
  5. Lengkungan tulang belakang (spinal curve). Periksa apakah ada bagian punggung yang salah satu sisinya lebih tinggi? Apakah ada penonjolan di wilayah punggung atau penyimpangan bentuk tulang (tulang tidak lurus)?
Untuk kasusku, gejala yang terlihat adalah nomor tiga dan lima, yaitu pinggul tinggi sebelah sehingga pinggul kiri-kanan tidak sejajar dan celana jadi panjang sebelah, serta ada bagian punggung yang salah satu sisinya lebih tinggi atau menonjol.

Pemeriksaan Tulang Belakang



Pemeriksaan dapat dilakukan dengan metode Adam Forward Bend. Caranya, pasien diminta berdiri dengan lutut sejajar dan rapat, lalu tubuh dibungkukkan 90 derajat ke depan (mirip posisi rukuk pada gerakan shalat). Jika dia menderita skoliosis, akan tampak adanya penyimpangan bentuk tulang atau bagian punggung yang tingginya tidak sejajar.

Jika pada saat pemeriksaan dicurigai adanya skoliosis, segera lakukan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui ukuran derajatnya, lalu ambil tindakan antisipasi sesuai saran praktisi medis.

Catatan: Gambar diambil dari sini dan sini.

Sekilas MSI

Masyarakat Skoliosis Indonesia (MSI) adalah organisasi yang berperan sebagai pusat informasi skoliosis dan sebagai wadah pemersatu bagi penderita dan pemerhati skoliosis di Indonesia. MSI didirikan pada Minggu, 27 April 2008 di Bandung dan berkantor pusat di Jakarta.

MSI memiliki visi menjadi organisasi sosial yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita skoliosis Indonesia dan bertugas menyediakan informasi yang benar dan lengkap mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan skoliosis bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kegiatan MSI:
  • Penyebaran informasi melalui website dan brosur
  • Bulan Donasi Skoliosis
  • School-Screening Skoliosis
  • Seminar dan talkshow
  • Pertemuan tahunan
  • Scoliosis Fun Day
  • Usaha produktif
  • Penelitian
(dikutip dari brosur MSI Pusat)

Okeh, jadi ceritanya, Minggu, 6 Maret 2011 kemarin aku menghadiri pertemuan di Kedai Kopi Mata Angin dalam rangka pembentukan MSI Jawa Barat. MSI Jabar merupakan cabang keempat setelah MSI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sifa adalah penggagas, inisiator, sekaligus motivator kuat terselenggaranya acara ini. Sejak awal tahun dia sudah mengumpulkan para skolioser di area Jawa Barat untuk berkonsolidasi membentuk MSI Jabar. Salut dengan inisiasi gadis manis yang baru duduk di bangku SMA ini.

Selain dihadiri oleh para skolioser Jawa Barat, acara ini juga dihadiri oleh para pengurus MSI Pusat dan MSI Jakarta. MSI Pusat yang hadir di antaranya adalah dr. Rahyussalim (Ketua Umum MSI Pusat), Trie Kurniawati, Yulia Fitriani, Yosef Trenggono, dan Lina Herlina. Sementara dari MSI Jakarta di antaranya adalah Ditha Ranny, Fidhoh Rika, Andy Tria, dan Widyadhana.

Pada acara ini pula aku berkesempatan bertemu dengan Ibu Fatwa dari Cirebon yang putrinya, Shahnaz, menderita skoliosis. Beberapa kali sebelumnya aku memang pernah berkomunikasi lewat sms dengan beliau, sekedar berbagi kisah dan motivasi berkaitan dengan putrinya yang merasa sedih dan minder karena skoliosis yang dideritanya. Semoga acara kemarin dapat membuka wawasan dan menumbuhkan kembali semangat dan keceriaan Shahnaz yang sempat redup karena skoliosis.

Aku datang sedikit terlambat. Acara sudah dibuka oleh MC Mbak Linda Idris, skolioser dari Garut. Tapi untunglah masih sempat ikut perkenalan dan menyaksikan pendaulatan dr. Husodo (dokterku nih!) sebagai pembina MSI Jabar. Setelah penyampaian profil MSI Pusat oleh Mbak Trie, tiba saatnya pemilihan ketua dan pengurus MSI Jabar.

Sifa yang selalu rajin menjadi “kompor” tiba-tiba mendaulatku untuk menjadi calon ketua. Aku gelagapan. Duh, datang-datang langsung ditodong. Akhirnya terpilih tiga calon: aku, Sifa, dan Rini. Beuh, aku deg-degan juga, khawatir benar-benar didaulat menjadi ketua, haha. Untunglah aku cuma mendapat 8 suara di posisi kedua. Yang nomer satu tentu saja Sifa, sang “kompor” sejati, dengan 11 suara. Jadi, inilah kepengurusan MSI Jabar:


  • Pembina: dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine
  • Ketua: Raden Assifa Rahmah
  • Sekretaris: Yustika Kurniati
  • Bendahara: Rini Hariyani

Pembentukan divisi-divisi akan menyusul, menunggu konsolidasi selanjutnya. Semoga kami-kami ini yang diberi amanah menjadi pengurus, dapat menjalankan tugas sebaik mungkin. Kita sama-sama yaaa...

MSI Jabar nantinya akan menjadi wadah sosial yang menyediakan informasi yang benar dan jelas mengenai skoliosis, menggalang dana untuk membantu para penderita skoliosis yang mengalami kesulitan dana kesehatan, biro konsultasi, juga berencana mengadakan acara seminar dan fun day untuk menyebarluaskan informasi tentang skoliosis. Tak lupa juga mengadakan acara silaturahim untuk mempererat rasa kekeluargaan anggota MSI, baik para skolioser, keluarga skolioser, pemerhati dan praktisi skoliosis, maupun masyarakat umum yang memiliki perhatian terhadap skoliosis.

Buat aku pribadi, keterlibatan dalam MSI merupakan manifestasi janji yang kubuat dulu ketika aku mendapati diriku divonis skoliosis oleh dokter. Waktu itu memang sempat shock. Tapi untungnya shock ini cuma bertahan beberapa hari. Aku berpikir: oke, kalau memang aku ditakdirkan dengan kelainan ini, lalu apa yang bisa kuperbuat? Waktu itu aku bertekad: aku akan mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang skoliosis, kalau perlu akan menuliskannya di blog untuk berbagi informasi bagi sebanyak-banyak orang yang mungkin bisa merasakan manfaatnya. Dengan MSI, semoga aku bisa lebih banyak berkontribusi untuk orang lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain?

Tulisan-tulisanku tentang skoliosis bisa dilihat di sini. Jangan lupa kunjungi situs MSI untuk informasi lengkap dan jelas mengenai skoliosis yaaa...

Catatan: Foto diambil dari kamera Mas Andy Tria. Ma kasih ya, Mas. Dari kiri ke kanan: dr. Rahyussalim, Sifa, aku, Rini, dr. Husodo, dr. Ari.

Monday, February 28, 2011

Sharing atau Menggurui?

Ndak boleh merasa jadi orangtua yang paling benar dan paling tau sedunia. Hanya karena anda pernah membaca sedikit pengetahuan tentang itu. (Rakhmita Akhsayanty)

Sekarang ini sudah zamannya akses informasi mudah dan internet murah. Dengan berkembangnya tren teknologi informasi yang tinggal seujung jari, tak heran jagat dunia maya sangat ramai oleh berbagai macam aktivitas. Satu hal yang menarik dari fenomena ini adalah maraknya komunitas dunia maya bermunculan, mulai dari komunitas masak, klub hobi, hingga komunitas sharing mengenai berbagai macam hal.

Karena aku merupakan makhluk dunia maya yang cukup aktif, aku tak ketinggalan mengikuti sedikit dari beraneka komunitas ini. Salah duanya adalah komunitas sharing ibu-ibu mengenai pengasuhan anak dan komunitas sharing para orang tua tentang kesehatan anak.

Tak dapat kupungkiri, aku mendapat banyak ilmu dari komunitas-komunitas ini. Maklum, ilmu pengasuhan dan kesehatan berkembang begitu cepat. Apa yang menjadi pengetahuan umum bagi generasi terdahulu mungkin bisa dianggap usang dan ketinggalan zaman bagi generasi sekarang. Dan tentu saja, pengalaman menjadi orang-tua-baru adalah pengalaman terkaget-kaget oleh banyak hal, meskipun sudah beberapa tahun sebelumnya berusaha membekali diri dengan pengetahuan parenting. Tetap saja ada perasaan panik, takut, dan was-was ketika mendapati peristiwa yang kita tak banyak tahu tentangnya. Alhamdulillah, lewat komunitas-komunitas ini aku banyak belajar dan merasa mendapat lingkaran pendukung dalam keseharian sebagai orang-tua-baru.

Di balik banyak manfaat yang dirasa, ada sedikit ganjalan yang mengganggu perasaanku. Pada berbagai komunitas digital dan situs jejaring sosial itu, sayangnya ada segelintir orang yang bersikap narsis dengan mengatasnamakan sharing. Memang niat awalnya baik: berbagi pengalaman dan kiat-kiat positif. Lalu lama kelamaan jadi berasa adu pengalaman, berlomba-lomba mengatakan (tidak secara eksplisit sih, tapi cukup tersirat) bahwa pengalamannya-lah yang terbaik, apa yang dilakukannya-lah yang paling benar, ilmunya-lah yang paling baru, bla bla bla.

Kok rasanya jadi pahit ya, ketika orang yang kepadanya kita berguru, ternyata malah merasa jadi mahaguru, lantas bersikap menggurui. Secara ekstrem bahkan terlihat arogan dan sok tahu, seolah dirinya paling benar dan paling tahu. Segala perkataan atau perbuatan kita dianggapnya remeh dan salah (atau kurang tepat), lantas dikomentari dengan tidak bijak seolah-olah kita orang paling bodoh dan paling tidak tahu. Kalaulah memang kita salah, mbok ya ditanggapi dengan kata-kata yang baik dan tidak memojokkan, namanya saja masih newbie.

Ini pernah terjadi padaku dulu, lalu terjadi lagi minggu ini—dan aku juga cukup sering melihatnya terjadi pada orang lain. Kisah yang dulu itu terjadi ketika Hanif masih ASIX, berawal dari keingintahuanku ketika melihat stok ASIP seorang teman yang sampai sekulkas penuh, sementara aku ngos-ngosan dengan stok ASIP yang kejar tayang. Tadinya cuma ingin bertanya bagaimana tipsnya, eh lama kelamaan si teman berasa jadi sombong dengan prestasinya yang seolah-olah ibu terbaik sedunia. Aku langsung jengah, dan serta merta memutuskan pembicaraan. Sekarang sudah malas mau tanya-tanya ke teman itu lagi.

Peristiwa terbaru minggu ini terjadi ketika aku absen rapat yang tadinya kujadwalkan hadir. Malam sebelumnya Hanif sakit hingga tak bisa tidur. Aku izin tak bisa rapat karena menunggui Hanif dan berencana membawanya ke dokter di rumah sakit. Dan komentar seorang teman membuatku kecut. Tanyanya, “Emang sakit apa kok sampai harus ke rumah sakit?” Seorang teman lain menambahkan, “Sakit apa kok ke rumah sakit? Sudah HT (home treatment, red.) apa?”

Oh, baiklah. Kenapa harus ke rumah sakit, ya karena hari Minggu, tentu dokter yang buka ya cuma UGD rumah sakit. Aku tahu maksud mereka baik, berawal dari kepedulian. Tapi nadanya itu lho, seakan-akan aku bertindak serampangan pada anakku sendiri. Aku tahu mereka sudah lebih senior malang melintang dalam dunia kesehatan anak. Aku tahu aku masih newbie. Tapi hellooooo, aku kan juga sudah belajar untuk rasional ketika anak sakit. Menganut RUM bukan berarti anti dokter dan anti rumah sakit to? Komentar mereka menjatuhkan mentalku, seolah-olah aku tak bisa menjadi orang tua yang baik. Aku kan tak ingin peristiwa dua tahun lalu terulang lagi, ketika aku terlambat menyadari Hanif sakit hernia dan harus segera dioperasi. Niatku ke dokter juga bukan untuk minta obat, tapi ingin tahu apa diagnosis dokter. Wong kita juga bukan dokter kok, tak bisa lah kita mengira-ngira sendiri. Kalau diagnosis dokter sudah jelas, barulah kita bisa putuskan akan melakukan HT apa, bukan begitu?

Kelihatannya kita semua harus belajar menjadi lebih bijak dalam berkata-kata. Juga ketika kita berniat sharing pengalaman, jangan sampai ilmu yang tadinya diniatkan baik untuk ditularkan, menjadi mentah hanya gara-gara kita terlampau narsis dan arogan. Lebih jauh lagi, seperti yang pernah kutulis di sini, marilah kita sama-sama berusaha untuk berhati-hati dalam berkomentar. Karena kita tak pernah tahu apa pertimbangan orang lain. Karena kita tak sepenuhnya memahami jalan pikiran dan situasi yang melatarbelakangi orang lain untuk mengambil keputusan. Yuk, kita jadi orang yang lebih menyenangkan dengan tidak bersikap sok tahu dan tidak nyinyir ketika berkomentar. Yuk yuk...

Catatan: Mungkin memang akunya yang lagi sensi ketika nulis ini. Ya gimana, anak lagi sakit, dikomentari macam-macam hauhauhau. Padahal sebenarnya nggak jadi ke rumah sakit juga karena aku tetap bersikap rasional. Izin rapat cuma untuk jaga-jaga dan menunggui Hanif. Lha kok tega-teganya komentar begitu padahal nggak tahu kejadian sebenarnya, hiksss...

Lewat kesempatan ini, untuk yang pernah tersakiti ketika mengomentari aku, atau tak sengaja aku komentari secara nyinyir (meskipun sudah lama aku berusaha untuk tidak demikian), aku minta maaf yang sebesar-besarnya ya.

Friday, February 04, 2011

Line Dance


A line dance is choreographed dance with a repeated sequence of steps in which a group of people dance in one or more lines or rows without regard for the gender of the individuals, all facing the same direction, and executing the steps at the same time. Line dancers are not in physical contact with each other. (dikutip dari sini)

Akhirnya aku belajar dance juga :D

Seperti yang pernah aku tulis di sini, dari dulu memang sudah terasa betapa aku begitu menyenangi bergerak dengan iringan musik. Jauh sebelum aku kecanduan senam aerobik, dance sudah menjadi obsesiku. Hanya saja, belum pernah kesampaian untuk belajar dance. Lagipula dance itu kan banyak macamnya.

Lalu mengapa memilih line dance? Yah, kebetulan bertemunya sama komunitas itu, hehe. Pada awalnya ketika ada yang mengajak, aku masih belum terbayang line dance itu seperti apa. Setelah ikut, ohh... ternyata dance yang seperti itu. Bagi yang belum tahu, poco-poco sepertinya bisa juga dikategorikan sebagai line dance, jadi kurang lebih seperti itulah. Gerakan line dance tidak terlalu memerlukan stamina tinggi. Meskipun demikian, sama seperti senam aerobik, line dance memerlukan fokus dan konsentrasi tinggi untuk menghafal gerakan dan mengulangnya terus menerus. Untuk bagian hafal menghafal, aku tidak menemui kesulitan berarti. Sekali dua kali diulang aku sudah bisa mengikuti dan menghafalnya.

Hanya saja, karena basic dan background-ku adalah senam aerobik yang terbiasa bergerak dengan power, lompatan, dan kelincahan, ternyata aku mengalami beberapa kendala untuk menyesuaikan dengan “adab” line dance. Berkali-kali instrukturnya mengingatkanku, “jangan diangkat kakinya”, “jangan lompat-lompat”... heuheu... Yah, mau bagaimana lagi. Gerakannya sama, adabnya beda. Sama-sama chacha, kalau di senam aerobik harus diangkat kakinya dengan power, kalau di line dance kita mesti bergerak halus. Melangkah pun tak boleh terlalu lebar, sementara di senam aerobik: makin bertenaga makin bagus, makin lebar lompatannya makin bagus. Harus menyesuaikan, dan berkali-kali harus mengingatkan diri sendiri supaya tidak lompat-lompat karena tidak sedang berada di kelas senam aerobik, hehehe..

Pada sesi line dance yang kuikuti kemarin, instrukturnya ada dua: satu laki-laki dan satu perempuan. Instruktur yang laki-laki ini mengingatkanku pada Rudi Wowor yang sama-sama dancer juga. Sementara instruktur yang perempuan, tipe ibu-ibu akhir 40-an yang mewakili kaum sosialita: cantik, tahu bagaimana berdandan dan bergaya, wangi, dan tentu saja perokok.

Harus kuakui, line dance seperti ini merupakan santapan ibu-ibu kelas menengah ke atas. Peserta yang datang rata-rata tajir, bermobil, dan tipe ibu-ibu arisan yang bukan pekerja. Mereka biasanya datang berkelompok, dengan dandanan cantik berwarna-warni, yang tentu bukan merupakan kelompok ibu-ibu pengajian. Bahkan ada satu kelompok yang sangat bertipe sosialita. Suka sekali melihat mereka karena ibu-ibu berumur ini cantik-cantik dan gaya, tapi yang membuat sebal adalah karena banyak di antara mereka yang perokok. Di sesi kemarin, aku beberapa kali terbatuk-batuk karena baik instruktur maupun sebagian peserta sukses membuat ruangan penuh dengan kepulan asap rokok.

Kalau mau disimpulkan, line dance jelas berbeda dengan senam aerobik. Maksudku bukan pada gerakannya—kalau yang ini sih sudah jelas—tapi lebih kepada fungsi dan kedudukannya. Kita pergi senam aerobik agar bugar dan langsing, tujuannya lebih ke kesehatan. Tapi untuk line dance, orang melakukannya demi pergaulan dan untuk having fun. Bisa saja menjadi bugar, tapi itu bukan tujuan utama. Khusus untukku, aku masih menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan belajar line dance atau tidak. Asyik sih, tapi rasanya aku lebih tertarik ke jenis dance yang lebih dinamis macam salsa atau latin dance. Dan jelas, senam aerobik tetap yang paling menarik. Teuteupp, hehehe...

Gambar: diambil dari sini.

Friday, January 28, 2011

Eksklusivitas

[heuheu, ternyata asik juga curhat dengan QN ala Tobie]

Kenapa sih di semua kantor di dunia ini, ada yang namanya eksklusivitas? Ya, dalam kasusku, hal itu berbentuk geng-geng gaul yang selalu mojok barengan ketika di kantin, atau ketika pergi jalan pas main sepulang kantor.

Dari dulu, aku tidak pernah suka dengan geng-geng gaul semacam ini. Kenapa sih, nggak membaur saja dengan orang lain? Kenapa sih, musti pilih-pilih pergaulan berdasar status pegawai atau status outsourcing, atau bahkan cuma gara-gara satu bidang pekerjaan?

Well, aku pernah terlibat dalam satu geng gaul ketika SMP, dan berakhir dengan sangat menyedihkan *haha, lebay*. Tentu menyedihkan, lha wong aku didepak dari geng gaul itu karena dianggap tidak bisa "in" dengan dinamika geng. OMG, dinamika apanya... kalau yang dimaksud adalah pergi jalan ke mall sepulang sekolah, bareng-bareng pakai aksesoris yang sama, shopping ke mana-mana. Yah, namanya masih SMP, maka alasan gaulnya juga "secetek" itu. Akibatnya, aku yang sepulang sekolah langsung pulang ke rumah karena musti ngasuh adik dan bantu Mami dengan pekerjaan rumah (di rumah tidak ada pengasuh ataupun pembantu) terpaksa harus rela didepak karena dianggap tidak bisa mengikuti standar gaul mereka.

Itulah kali pertama dan yang terakhir aku terlibat dengan yang namanya geng gaul. Sejak saat itu, aku lebih nyaman pergi ke mana-mana sendiri dan bersikap nonblok terhadap semua geng-geng di sekolah. Dan hasilnya ternyata lebih menyenangkan. Aku jadi bisa ngaclok dan gaul dengan semua geng (karena dianggap tidak memihak geng tertentu), diundang datang ke acara semua geng, dan tentu yang paling menyenangkan: tak ada lagi tuh yang ngatur-ngatur aku musti gaul yang bagaimana.

Hal itu berlanjut sampai sekarang. Waktu kuliah aku juga ke mana-mana sendiri, waktu sekarang sudah bekerja pun demikian. Asyiknya lagi, karena suka ngaclok di mana-mana, aku jadi tahu banyak tentang gosip yang berkembang, hihihi. Tapi tenang saja, aku bukan manusia ember kok.

Hanya saja, masih kerap sebal dengan fenomena eksklusivitas geng-geng gaul ini. Kadang-kadang mereka menganggap gengnya yang paling penting, yang paling sibuk, bla bla bla.

Hmm, eksklusivitas... does it really matter?

Tentang Senam

Kemarin anak-anak di ruangan pada sibuk guyonan tentang SKJ zaman sekolah dulu. Awalnya gara-gara ada yang streaming di Youtube soal SKJ ini. Diikuti dengan meledaknya tawa mereka melihat dan mengingat rangkaian gerakan yang jadul.

Entah mengapa, beberapa tahun lalu, SKJ sangat populer di kalangan pelajar. Pengalamanku dulu, senam wajib dilakukan seminggu sekali tiap hari Jumat. Dan buatku yang dulu masih sangat polos *halah* soal gerakan senam, SKJ sudah merupakan gerakan senam yang paling keren :D

Setelah kuingat-ingat lagi, "bibit-bibit" kesukaanku pada senam memang dimulai sejak era SKJ ini. Tiap kali senam, aku bergerak dengan penuh semangat dan power tinggi. Kadang heran dengan teman-teman yang bergerak seadanya. Karena buatku waktu itu, dengan mindset di kepala tentang SKJ sebagai senam paling keren, bergerak diiringi musik merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan.

Dan ternyata, berlanjut kan sampai sekarang. Begitu kenal dengan senam aerobik, keasyikan itu menggila menjadi kecanduan. Tak terasa sudah benar-benar melupakan masa-masa "menggilai" SKJ dulu, sampai kemarin diingatkan oleh guyonan anak-anak itu. Pikirku, hmm, berarti memang dari dulu aku hobi sekali senam.

Pas aku pulang ke Solo beberapa hari lalu dan sempat berbincang tentang senam dengan adikku yang masih pelajar, ternyata sekarang ini SKJ sudah tak terlalu populer di kalangan pelajar. Aku tak tahu apakah SKJ masih menjadi agenda wajib mingguan di sekolah, yang jelas: popularitas SKJ sudah tergeser dengan senam aerobik. Bagaimana tidak, untuk ujian praktek anak-anak kelas tiga saja, materi yang diujikan adalah materi senam aerobik. Dan guru olahraga mereka sampai mengundang seorang instruktur senam aerobik untuk mengajari mereka beberapa gerakan. Oalahh, mbok ya ngundang aku, gratis wis :D

Akhirnya kepulangan kemarin juga diisi dengan sesi konsultasi adikku tentang beberapa gerakan dan musik untuk mengiringi senam. Oh yes, senam aerobik memang mengasyikkan.

NB: Ini ceritanya lagi latihan nulis QN ala Tobie. Tapi ya nggak mungkin ikut lomba, lha wong kontakku yang aktif komen (di Multiply) cuma Mbak Mia, Mbak Shanti, sama Adenita. Ya jelas didiskualifikasi lah :D

Tuesday, January 11, 2011

Job Hunting, Karir, dan Pekerjaan

Beberapa waktu lalu, seorang teman lama mampir ke rumah. Dia menempuh perjalanan yang cukup panjang dan memerlukan tempat untuk beristirahat, untuk kemudian menghadiri sesi wawancara yang dijadwalkan hari itu. Teman ini baru saja melahirkan seminggu sebelumnya, jadi bayangkan saja bagaimana payahnya. Ia bahkan tak bisa sekedar menginap untuk memulihkan kondisi, karena seorang balita dan seorang bayi mungil nun jauh di sana, memaksanya pulang-balik hari itu juga.

Ketika ia sudah dalam perjalanan pulang, aku menerima pesan singkatnya bahwa wawancara yang dijalaninya dengan susah payah—baik dari segi waktu, biaya, tenaga, sampai harus jauh-jauh meninggalkan anak-anaknya—ternyata tidak membuahkan hasil. Ya begitulah, ia tidak lolos dalam sesi wawancara kali itu untuk mendapatkan beasiswa S2.

Aku menyebut temanku ini sebagai seorang pejuang. Bagaimana tidak, sejak ia lulus S1 beberapa tahun silam, rasanya belum pernah ia menapak kesuksesan dalam hal karir. Lulus dengan penuh perjuangan, lalu bertahun-tahun mengirim lamaran dan wawancara ke sana-sini. Sempat bekerja sebentar, sebelum akhirnya berakhir dengan tidak memuaskan dan memaksanya beralih jalur untuk mencoba S2 alih-alih berusaha mencari pekerjaan kembali.

Bicara tentang temanku ini adalah bicara tentang keprihatinan. Bahwa kehidupan pascakampus adalah kehidupan yang keras, kehidupan yang sesungguhnya. Dan hidup tak pernah mudah baginya. Mengingat temanku ini sejatinya juga mengingatkanku pada diriku sendiri. Tak bisa kupungkiri, pada sosoknya, aku melihat sosokku juga bertahun-tahun lalu.

Kami berdua lulus dengan berdarah-darah dari sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Nama besar almamater tidak selalu menjadi jaminan bahwa urusan mencari pekerjaan menjadi gampang. IPK kami yang kecil, membuat kami menjadi pecundang di hadapan perusahaan-perusahaan elit atau badan-badan bergengsi tempat para kawan kami masuk dengan mudah. Aku sendiri menganggur hampir dua tahun lamanya sebelum akhirnya diterima menjadi PNS di sebuah lembaga penelitian. Muara yang baik dari sebuah pencarian panjang, alhamdulillah. Tapi itu tidak lantas membuatku lupa, bahwa selama hampir dua tahun itu, aku telah mengirim beratus-ratus aplikasi lamaran, menjalani berpuluh-puluh tes dan wawancara, bahkan sempat dikeluarkan oleh suatu perusahaan kala menjalani probation period.

Nyesek memang, tapi itulah kenyataan. Aku memang merasa diriku ini tidak terlalu kompetitif dan berkompetensi dalam bidang yang kugeluti, sayangnya ijazah yang kupunya ya hanya ijazah di bidang itu. Akan jadi cerita panjang kalau aku membeberkan bagaimana sebenarnya aku tidak suka dan merasa salah jurusan, tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Semoga jadi pelajaran bagi siapa saja, bahwa memilih jurusan ketika kuliah tidak bisa semata-mata diputuskan hanya karena jurusan itu “laku”, banyak teman yang memilih itu, orang tua menyarankan itu, jurusan itu terlihat keren dan mentereng, prospeknya bagus, bla bla bla. Semoga jadi pelajaran juga bahwa memilih jurusan harusnya didasarkan pada minat dan kemampuan. Bertanya pada hati, bertanya pada Allah. Karena sekali “nyemplung” dalam bidang itu, seumur hidup akan berkutat di bidang itu. Yah, mungkin terkecuali untuk orang-orang tertentu, yang bisa juga sukses di luar bidang ijazahnya.

Seringkali orang berpikir, nama besar almamater identik dengan kompetensi yang luar biasa, atau kemampuan akademik yang mumpuni. Kemudian hal itu akan berbanding lurus dengan ekspektasi pada kami, para lulusannya. Dan celakanya, cap semacam ini seperti menempel erat di jidat, sehingga komentar orang menjadi jauh lebih kejam ketika kami gagal. Aku ingat, pada sebuah sesi wawancara, si pewawancara meloloskan aku dengan sangat mudah ketika tahu aku lulus dari mana. Kasihan sekali kandidat lain di sampingku, yang masih harus dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan panjang. Well, itu diskriminasi yang positif. Tapi jangan salah, diskriminasi yang negatif juga banyak. Ya itu tadi, ketidakmampuan orang lain memaklumi kemampuanku yang sebenarnya alakadarnya, hanya karena melihat dari mana aku berasal.

Kemarin ketika aku melihat film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), ketika menyaksikan sang tokoh utama—yang pengangguran—sedang berkeliling Jakarta sembari mengempit tas untuk melamar pekerjaan ke sana kemari, hatiku mendadak basah. Been there, done that. Aku juga pernah punya pengalaman serupa: berkeliling Jakarta, masuk ke gedung-gedung megah untuk mengikuti tes atau walk-in interview sambil mengempit map berisi ijazah. Hmm, jangan-jangan nilai tes TOEFL-ku tinggi gara-gara aku dulu keseringan ikut tes TOEFL ketika seleksi karyawan ya? Hehehe.

Back to reality. Ketika melihat hidupku sekarang, I can’t be more grateful. Alhamdulillah, Gusti Allah memberi segala yang kubutuhkan. Dalam hal pekerjaan, meskipun tidak sekeren kawan-kawan lain sealmamater yang bergaji juta-juta-jutaan itu, menjadi PNS memberiku keleluasaan lebih untuk mengasuh anak dibanding mereka. Dan tentu sangat lebih beruntung dibanding seorang temanku yang kuceritakan tadi di awal tulisan ini.

Tapi memang bukan manusia kalau tak pernah puas. Adakalanya kenyataan hidup membawaku pada perenungan, apakah pantas aku meneruskan pekerjaanku ini. Selain karena sebenarnya aku tak terlalu suka pada bidang yang kugeluti sekarang—seperti ceritaku di atas tadi—kadang aku juga merasa berdosa pada negara. Ada satu pemikiran idealis dalam diriku, mungkin sebaiknya aku resign saja supaya negara bisa menggaji orang lain yang memang kemampuannya lebih dibutuhkan negara. Yah, kalau aku merasa tidak berkompetensi, pilihannya kan cuma ada dua: upgrade diri atau resign. Padahal upgrade diri, totalitas, dan integritas susah dilakukan jika tidak ikhlas menyukai bidang yang digeluti.

Belum lagi kalau bicara tentang kehidupan rumah tanggaku yang tidak ideal karena harus pisah kota demi pekerjaan. Belum lagi kalau bicara soal pengasuhan Hanif dan cita-cita awalku tentang menjadi stay-at-home mom. Beuhh, banyak benar yang bisa membuat stres. Kalau sudah begini, kata ‘resign’ memang selalu bermain-main di benak. Tapi kalau aku resign, kok rasanya kurang bersyukur ya. Melihat ribuan orang tidak lolos tes PNS, melihat betapa banyaknya orang yang menganggur dan sulit sekali mencari pekerjaan, selalu membuatku berpikir: jangan-jangan aku kufur nikmat kalau aku resign?

Kehidupan menjadi orang dewasa sungguh sulit. Keputusan yang dibuat tidak bisa didasarkan pada keinginan pribadi saja, melainkan harus mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan lain yang beririsan. Tanggung jawab, aku rasa ini kata yang tepat yang memberi nilai sesungguhnya pada kehidupan orang dewasa.

Monday, January 03, 2011

Senam Aerobik

Banyak yang bertanya padaku, mengapa begitu sulit bagiku untuk berhenti senam aerobik, atau mengapa aku begitu konsisten dan disiplin melakukan senam aerobik empat kali seminggu. Seperti yang pernah kutulis di sini, Juni lalu ketika aku ketahuan mengidap skoliosis, memang ada seorang dokter ortopedi yang melarangku melakukan senam. Dan saat itu aku begitu bersikeras mencari dokter-dokter lain sehingga akhirnya aku mendapat second dan third opinion yang mengegolkan keinginanku untuk tetap senam.

Ada beberapa orang yang mengambil kesimpulan kalau aku terlalu takut menggendut sehingga tidak mau berhenti senam. Ada juga yang menyatakan simpati dan kekhawatirannya mengenai tulang punggungku bila aku terus senam. Bagaimanapun aku sangat menghargai segala bentuk perhatian mereka, namun apakah benar demikian adanya? Terlepas dari bagaimana pengaruh senam terhadap tulang punggungku—harus dengan observasi berkala untuk mengetahuinya—aku ingin bercerita sedikit mengenai ketertarikanku pada senam aerobik ini.

Pertengahan tahun 2005, sesaat setelah Ujian Akhir Semester selesai, aku dirawat inap di RS St. Borromeus karena demam berdarah. Sepulang dari rumah sakit, nafsu makanku meningkat pesat. Sehari bisa makan sampai lima kali. Lalu tiba-tiba aku merasa badanku berat. Ternyata aku menggendut. 56,5 kilogram untuk tinggi 153 sentimeter, well... you could imagine. Seorang teman yang sudah lebih dulu senam aerobik—meskipun tidak terlalu rutin—mengajakku ikut serta untuk meredakan kegundahanku. Nah, di sini awal mulanya. Sejak itulah aku rutin senam aerobik.

April 2007 ketika aku menikah, beratku sudah 44 kilogram, turun dua belas kilogram lebih sejak aku ikut senam pertama kali. Memang terlihat lama, karena cara ini sangat alami. Aku hampir tak mengubah pola makan sama sekali, tetap ngemil seperti biasa, jadi penurunan berat badan ini murni karena senam. Saat itu aku masih senam dua kali seminggu.

Setelah melahirkan, aku mulai senam tiga kali seminggu. Memang tak bisa menurunkan berat badan secara drastis seperti dulu, maklum sudah bukan gadis lagi dan sudah pernah “turun mesin”, hehehe. Tapi paling tidak bisa mempertahankan berat badan supaya tidak terlalu melar dan tetap menjaga kebugaran tubuh. Kemudian baru sebulan ini meningkat menjadi empat kali seminggu, di samping berenang rutin semenjak lima bulan lalu—kalau yang ini karena kewajiban dalam rangka terapi tulang punggung.

Kalau ada yang mengatakan aku tetap senam karena takut menggendut, mungkin tidak sepenuhnya salah. Aku memang selalu risau bila angka timbangan mulai merangkak naik, tapi buatku, senam sudah menjadi jauh lebih besar nilainya dari sekedar usaha untuk menurunkan berat badan. Apa pasal?

Buatku, senam sudah menjadi candu. Dulu sekali, ketika awal aku senam, aku sedang dalam masa menulis skripsi, cukup membuat stres. Dan ternyata kudapati kalau setelah senam, perasaan stres berkurang. Dengan senam, aku bisa bergerak bebas dan beban serasa menguar seiring berdentamnya irama. Pikiran menjadi lebih jernih seiring menetesnya peluh. Demikian pula ketika aku sudah mulai bekerja. Beban pikiran sepulang kerja, larut dalam keriangan gerakan senam. Mungkin ada yang berpikir aku lebay, tapi memang demikian adanya. Tak dapat kupungkiri, senam sudah menjadi jalan melepas stres dan sarana mendapatkan kegembiraan.

Selalu ada rasa yang hilang ketika aku berhalangan hadir senam, dan selalu ada keinginan mengganti sesi yang hilang dengan sesi di hari lain. Itulah sebabnya aku selalu konsisten dan disiplin melakukan senam sampai empat kali seminggu. Itulah sebabnya aku tak bisa berhenti senam, dan sangat sedih ketika dokter melarangku senam. In fact, berhenti senam adalah hal yang pertama kali menjadi kerisauanku ketika keluar dari ruangan dokter, lebih membuat risau daripada vonis skoliosis itu sendiri. Saat senam pertama kali setelah divonis skoliosis, aku sempat berkaca-kaca sambil membatin, “Ya Allah, senam sebegini menyenangkannya, kenapa aku sampai nggak boleh... tak kuasa aku kehilangan setiap detik momennya...”

Makanya aku sering heran dan geregetan melihat teman-teman yang senam dengan malas-malasan. Senam itu asyik, dan mereka tidak mendapat halangan medis apapun untuk bergerak. Ughh, ingin mereka tahu, bagaimana aku yang berpunggung abnormal mati-matian “berjuang” supaya bisa tetap senam. Karena bagiku, senam sudah menjadi kebutuhan.

Yes, I’ll do anything to keep moving.

Gambar: Diambil dari sini.

Belajar Seluncur Es

Seumur hidupku, aku belum pernah menjajal arena seluncur es. Jangankan sepatu luncur, sepatu roda saja, baik yang roda empat maupun yang in-line-skate, aku belum pernah. Jadi coba bayangkan saja penampilan perdanaku masuk ke arena seluncur es pada libur natal yang lalu.

Tiket masuk ke Gardenice, Paris Van Java ini 75 ribu rupiah per orang. Aku masuk berdua adikku, sementara anggota keluarga yang lain duduk-duduk di pinggir arena. Hanif kutitip ke ayahnya, bundanya mau main dulu :)

Karena belum bisa sama sekali, kami memilih menyewa coach dengan tarif 60 ribu per setengah jam. Sayangnya jumlah coach ini terbatas, baru ada yang bebas sejam setelah kami masuk. Bermain di arena ini tidak dibatasi waktu, kami mencoba berlatih sendiri sambil menunggu para coach datang. Yaa gitu deh, pakai acara jatuh-jatuh hihihi.

Ketika akhirnya sesi latihan dengan coach dimulai, aku sudah berhasil belajar berdiri stabil. Sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Sesi latihan awal adalah berjalan melangkah sambil mengangkat kaki. Lalu dilanjutkan dengan menggeser sepatu luncur satu-satu. Baru kemudian belajar meluncur dengan jarak luncur agak jauh. Tentu pakai acara jatuh-jatuh dan berkali-kali dibantu berdiri sama si coach ini.

Jangan dibayangkan sesi latihannya romantis seperti di film-film. Kita kan sering lihat tuh, ada adegan romantis ketika pacaran di arena seluncur es *wah, kebanyakan nonton dorama nih*. Pas jatuh pegangan tangan, pandang-pandangan, lalu ada lagu romantis. Boro-boro, yang ada juga si coach ini nyolot banget. Ngajarinnya pakai komentar bernada meremehkan, “gitu aja nggak bisa”, bla bla bla. Damn, I wanted to slam his face ketika dia ngetawain aku jatuh :(

Pada akhirnya, aku lega banget ketika sesi latihan berakhir. Baru bisa sedikit. Meluncur saja belum lancar. Tapi lega karena akhirnya berpisah dengan si coach nyolot. Sayangnya ketika akan mencoba berlatih sendiri, pengunjung disuruh keluar karena arena akan di-resurface. Yah, kecewa deh.

Kesimpulannya, belajar seluncur es itu mengasyikkan. Meskipun badan dan tangan sakit semua karena kebanyakan jatuh, well... it’s worth trying. Ada semacam perasaan tertantang kalau aku harus bisa. Ketakutan dan kekhawatiran yang sempat ada di awal, sedikit tergantikan dengan perasaan puas ketika aku sudah sedikit bisa. Cukuplah sebagai stretching untuk menantang diri sendiri.

Lain kali aku akan coba lagi :)

Foto: Aku sedang belajar seluncur es, diajari coach yang nyebelin.