Sunday, September 03, 2023

Menjadi Caregiver 24 Jam

Papi dan Mami ketika masih sehat

Dua minggu di medio Januari 2023 adalah masa-masa terberat bagi kami sekeluarga. Berawal dari tanggal 10 Januari ketika adikku mengirim pesan di WAG keluarga–aku dan kakakku tinggal di Tangerang Selatan sementara adikku tinggal di Solo bersama kedua orang tua kami–dan mengabarkan bahwa kondisi Papi sedang tidak stabil. Sebagai penderita penyakit jantung yang sudah pernah di-ring, kondisi Papi memang sering tidak stabil. Diabetes dan hipertensi membuat jantung beliau senantiasa aritmia dan beliau sering menjalani rawat inap karena sesak. Jadi, kupikir pagi dini hari itu adalah kondisi-tidak-stabil yang biasa. Adikku sempat bilang bahwa bicara Papi sedikit pelo, tidak nyambung, dan menabrak-nabrak ketika berjalan.

Sepagian aku menunggu kabar, hingga akhirnya adikku mengabari bahwa Papi masuk IGD untuk diobservasi. Semua tanda vital aman. Tidak ada tanda-tanda Papi terkena strok. Namun, kondisi psikis Papi tidak baik-baik saja. Beliau merasa sangat panik, sebentar-sebentar berteriak, dan susah ditenangkan. Dini hari berikutnya, adikku mengirim voice note, mengabarkan bahwa kondisi psikis Papi makin jauh dari tenang, sering berontak sehingga dokter dan perawat memutuskan untuk mengikat tangan Papi di ranjang.

Berdasar pemeriksaan lebih lanjut pada hari berikutnya, ternyata ada strok di sebelah kanan otak besar dan strok di sebelah kiri otak kecil. Strok terjadi karena ada sumbatan pembuluh darah dan menyebabkan gangguan keseimbangan dan koordinasi. Tubuh bagian kiri Papi mulai lumpuh sebelah dan bicara Papi mulai pelo lagi. Sejak saat itu, hidup keluarga kami mengalami perubahan.

Papiku adalah seorang pekerja keras sejak beliau masih muda. Menjadi sulung dari tujuh bersaudara, Papi memiliki tekad yang kuat untuk terus belajar dan menjadi sukses. Ayah beliau adalah seorang guru dan Papi meneruskan profesi ayahnya dengan menjadi seorang dosen. Semangat belajar beliau sangat tinggi. Selepas lulus SMA di Ngawi, beliau merantau dan menjalani S1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS), lalu S2 di jurusan Computer Science, University of Western Ontario, Kanada hingga lulus S3 di Universitas Negeri Yogyakarta. Beliau adalah Guru Besar bidang Pendidikan Matematika di FKIP UNS, banyak melakukan penelitian, dan menulis buku. Karyanya banyak dikenal dan disitasi dalam jurnal ilmiah. Beliau termasuk jajaran peneliti berpengaruh di Indonesia dan bahkan masuk dalam kategori 100 peneliti pendidikan di Indonesia yang bereputasi dunia.

Sebagai dosen dan peneliti yang sangat aktif, dulu beliau banyak mengajar di luar kota Solo. Seingatku pernah mengajar di Madiun, Yogyakarta, Semarang, dan beberapa kota lain. Beliau juga pernah aktif sebagai anggota Tim Ahli Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), sering bolak-balik ke Jakarta dan beberapa Dinas Pendidikan di kota lain untuk terlibat dalam penyusunan standar pendidikan. Bahkan sehari sebelum masuk rumah sakit dan terkena serangan strok itu, beliau masih pergi menyetir sendiri ke kampus untuk menguji proposal mahasiswanya yang tengah studi S2. Maka terbayang kan, seperti apa pukulan yang beliau rasakan … dari semula sangat aktif berubah menjadi tidak bisa apa-apa dan hanya bisa bergantung pada bantuan orang lain dalam aktivitas sehari-hari.

Selama dua minggu aku pergi ke Solo dan terpaksa meninggalkan suami dan anak-anak di Tangerang Selatan, untuk membantu merawat Papi. Secara psikis Papi masih sangat terpukul dan mengalami masalah emosional–suatu hal yang katanya wajar terjadi pada penderita strok. Aku bergantian dengan anggota keluarga lain untuk mendampingi Papi karena beliau tidak mau ditinggalkan sendirian sedikit pun. Jika tidak ada orang yang terlihat, beliau akan berteriak-teriak memanggil nama kami satu demi satu dan tidak akan berhenti berteriak sampai ada yang datang. Hal ini membuat kami harus selalu standby.

Menjadi caregiver hampir 24 jam itu sangat menguras tenaga dan emosi. Tak jarang Papi mengalami tantrum karena ketidakmampuannya melakukan hal-hal secara mandiri. Passion beliau mengajar, menulis, dan mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kampus menjadi tidak tersalurkan, dan hal ini tentu turut andil dalam ketidakstabilan emosi beliau. Bahkan beberapa kali beliau mengalami halusinasi. Kesabaranku yang setipis tisu kadang membuatku tidak sabaran juga ketika mengurus beliau, astaghfirullah. Seringkali aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa inilah saatnya berbakti.

Dua minggu yang meletihkan itu membuat kami memutuskan untuk mempekerjakan seorang pramurukti. Terus terang kami mulai bertumbangan karena kelelahan. Kami harus kembali bekerja dan mengurus keluarga–terutama aku yang meninggalkan empat anak di Tangerang Selatan sementara suamiku sering pulang malam dan keluar kota karena pekerjaan. Alhamdulillah kami dipertemukan dengan pramurukti yang sabar dan telaten dalam mengurus dan mendampingi Papi.

Namun, ternyata semua belum berakhir di situ. Dalam kurun waktu dari Januari hingga saat ini, kakakku hampir tiap bulan mudik ke Solo untuk membantu merawat Papi karena Papi beberapa kali harus dirawat inap. Aku hanya bisa sesekali saja karena harus mengurus keluarga. Berbeda dengan perkembangan motorik Papi yang berprogres cukup signifikan berkat terapi rutin, perbaikan kondisi psikis beliau berjalan lebih lambat. Kami harus selalu mengingatkan beliau untuk tetap bersemangat dan bersyukur mengingat perkembangan beliau cukup baik, tetapi beliau masih sering bersedih hati karena belum bisa sepenuhnya menerima keadaan.

Kata dokter, kondisi organ-organ dan fungsi tubuh Papi memang sudah menurun dan cukup berat akibat komplikasi dari penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes selama bertahun-tahun. Goals-nya secara medis saat ini adalah menjaga ketiganya supaya tetap stabil dan tidak bertambah parah. Meskipun saat ini beliau sudah mulai bisa berjalan dengan bantuan, menggerakkan kaki dan tangan–bahkan sekarang sudah mulai belajar menggenggam dan menjumput–kami masih harus tetap waspada dengan kondisi Papi yang kadang mengalami ketidakstabilan secara tiba-tiba. Ada hari-hari di mana semua berjalan normal dan lancar, tetapi ada juga hari-hari di mana beliau merasa kelelahan, sesak dada, dan tidak nyaman ketika jantungnya mengalami aritmia.

Mendampingi penderita strok yang juga mengalami gangguan psikis bukan hal yang mudah. Adikku bahkan sempat mempertanyakan kewarasannya sendiri. Aku juga kadang sedih karena tidak bisa banyak membantunya dalam merawat Papi, tetapi mau bagaimana lagi … anak-anak belum bisa sepenuhnya mandiri. Semoga adikku, Mami, dan mas pramurukti senantiasa dalam keadaan sehat lahir batin dalam membersamai Papi.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al Isra: 23)

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Q.S. Al Isra: 24)


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar (Rohani dan atau Jasmani)”.

Wednesday, August 02, 2023

Keinginan dari Lubuk Hati Terdalam

Bingung juga, ya, ketika Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus mengambil tema “Keinginan yang Masih Ingin Dicapai Mamah”. Bukan apa-apa, itu karena aku sendiri tidak tahu keinginan mana yang akan diceritakan. Yah, namanya manusia, keinginannya pasti banyak! Namun, untuk saat ini sepertinya hal-hal di bawah ini yang terlintas dalam pikiran.

Naik Haji

Aku belum pernah pergi ke Makkah untuk memenuhi panggilan Allah, baik dalam bentuk menunaikan ibadah haji maupun ibadah umroh. Ketika masa awal berkeluarga, naik haji adalah sesuatu yang sangat jauh dari angan-angan. Sebagai seseorang yang baru mulai membangun rumah tangga, banyak hal lain yang lebih menyita perhatian. Tak terbersit niat untuk naik haji. Kalaupun ada sedikit niat, prioritasnya masih jauh alias masih nanti-nanti. Namun entah mengapa, pada suatu musim haji, tiba-tiba ingin sekali aku naik haji. Dada berdentum-dentum oleh keinginan kuat untuk bersujud di baitullah.

Aku masih ingat, dalam sebuah khotbah salat Idul Adha, mata ini berkaca-kaca karena malu pada Allah. Dalam khotbah itu diceritakan—konon kisah nyata—seorang miskin yang mengambil seluruh tabungannya untuk membeli kambing kurban, padahal dia sendiri kembang kempis dalam mencari penghasilan karena hanya bekerja sebagai buruh cuci. Justru dia yang berhak menerima daging kurban, sebenarnya.

Lalu ketika membaca cerpen di sebuah majalah tentang kisah penjual jamu gendong keliling yang bisa berangkat haji gratis sementara tetangganya yang suka pamer kekayaan malah kehilangan tabungan haji, hati ini makin malu. Betapa banyak orang-orang yang—di mata manusia—minim kemampuan finansial, ingin pergi haji. Sementara aku yang dilapangkan segalanya oleh Allah malah tak kepikiran untuk pergi haji. Duh, malu.

Hal yang juga membuatku malu pada Allah adalah … karena selama ini tiap kali ditanya aku ingin pergi ke mana kalau ada rezeki, selalu kujawab dengan mantap: Eropa! Sejak dulu aku memang selalu bermimpi bisa pergi ke Eropa dan menjelajahi sudut-sudutnya yang eksotis. Duh, mirisnya. Masa lebih ingin pergi ke Eropa daripada pergi naik haji? Astaghfirullah.

Memang benar naik haji itu banyak rintangannya. Tak usah jauh-jauh, orang terdekat pun belum tentu mendukung. Alasannya macam-macam, mulai dari “tabungan masih untuk prioritas yang lain”, “anak masih kecil”, sampai ke alasan “masih punya hutang cicilan rumah”. Dunia, oh, dunia. Mengapa begitu melenakan dan memberi berbagai macam alasan uzur?

Beberapa tahun lalu, aku dan suami akhirnya membuka tabungan haji. Meski entah kapan terkumpulnya, yang penting kami sudah mengambil langkah untuk berikhtiar. Tak disangka, negara api datang menyerang. Karena sesuatu hal yang tidak bisa kuceritakan di sini, kami terpaksa mengambil seluruh tabungan mengingat kami sedang dalam kondisi “butuh uang” waktu itu.

Hingga kini kami belum membuka tabungan haji kembali, tetapi tampaknya memang harus disegerakan. Mengingat antrian haji makin panjang dan makin tidak realistis, hiks. Membulatkan niat, meyakinkan orang-orang terdekat, serta sekuat tenaga mengumpulkan bekal rohani dan finansial … rasanya itu ikhtiar yang harus dilakukan terkait masalah naik haji ini. Sambil terus berdoa, tentunya.

Menjadi Certified Yoga Teacher dan Certified Fitness Trainer

Sejak dulu kala aku selalu tertarik dengan pemberdayaan perempuan dan bagaimana aku bisa berkontribusi di situ. Karena hobiku olahraga, salah satu upaya yang aku rasa cukup realistis dan dapat dicapai adalah dengan memberdayakan mereka dalam hal peningkatan kualitas hidup dari segi kesehatan dan kebugaran. Aku pernah bermimpi memiliki one stop facility di mana di situ terintegrasi antara fasilitas olahraga, salon atau spa, tempat makan dengan menu sehat, serta tempat berbelanja berbagai hal yang berkaitan dengan pola hidup sehat dan aktif. Namun, tampaknya itu mimpi yang ketinggian, hahaha.

Kembali ke keinginan untuk memberdayakan perempuan dalam hal peningkatan kualitas hidup dari segi kesehatan dan kebugaran, aku rajin mengedukasi lingkaran-lingkaran terdekat tentang kampanye hidup sehat dan aktif, baik dari media sosial, tulisan blog, materi webinar, hingga menjadi instruktur. Olahraga pertama di mana aku percaya diri menjadi instruktur adalah senam aerobik karena sudah belasan tahun aku bergelut di situ.

Mengajar senam aerobik

Demikian pula halnya dengan yoga. Setelah lebih dari lima tahun menjadi praktisi, pada 2018 dan 2019 aku mengikuti Teacher Training Course untuk menjadi instruktur yoga prenatal. Awalnya sebagai sarana healing setelah kehilangan bayi dalam kandungan, tetapi akhirnya hal itu justru memantik keinginan untuk memberdayakan para ibu hamil supaya mereka tidak mengalami hal sepertiku.

Setelah akhirnya proses healing selesai dan aku merasakan manfaat nyata yoga prenatal pada kehamilan dan persalinan berikutnya, makin dalam visi dan misiku untuk membahagiakan para ibu hamil, membantu mereka melalui kehamilan dan persalinan dengan lembut, nyaman, aman, sehat, dan bugar. Aku percaya bahwa ibu yang bahagia akan melahirkan dan membesarkan generasi yang bahagia. Setelah mendapatkan banyak hal positif dari yoga, baik general maupun prenatal, aku juga ingin menularkan semangat dan berbagi manfaat dengan perempuan-perempuan lainnya. Aku pun makin mantap mengajar karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.

Mengajar yoga prenatal

Ketika aku semakin mendalami yoga prenatal dan pascanatal, aku tertarik juga mendalami spesialisasi Prenatal-Postnatal Corrective Exercise karena erat sekali kaitannya dengan pengembalian fungsi tubuh perempuan dan perbaikan kualitas hidupnya pascapersalinan. Nah, Corrective Exercise ini tidak ada hubungannya dengan yoga. Cabang ilmu yang ini merupakan perpanjangan dari ilmu tentang fitness dan latihan beban. Bahkan untuk menjadi Corrective Exercise Specialist, seseorang harus terlebih dahulu menjadi Certified Fitness Trainer.

Mengikuti Training of Trainers
dari Asosiasi Pelatih Kebugaran Indonesia

Hmmm, ternyata tubuh seorang perempuan itu memang rumit sekali. Satu ilmu membawa pada ilmu-ilmu yang lain. Kebetulan aku sudah menjadi anak gym yang rutin latihan beban sejak sebelum pandemi untuk melengkapi latihan lariku. Dan jujur, mau jadi atlet atau tidak, bahkan jika kita hanya mewakili general population, kita tetap membutuhkan latihan beban untuk peningkatan kualitas hidup. Dari situ aku mulai tertarik juga untuk mengedukasi para perempuan tentang pentingnya latihan beban (kalau yang ini, sih, harus dibahas dalam tulisan tersendiri, hehehe).

Salah satu kendala yang kuhadapi untuk menjadi Certified Yoga Teacher dan Certified Fitness Trainer adalah waktu yang tidak fleksibel karena statusku saat ini sebagai ASN yang terikat dengan jam kerja. Hal itu membuatku kesulitan untuk mengambil pelatihan dan sertifikasi yang biasanya memakan waktu selama beberapa bulan. Mana mungkin aku diizinkan atasan untuk cuti selama itu. Jadi, aku hanya bisa mengambil training dan workshop yang pendek-pendek saja. Mudah-mudahan ilmu yang kupelajari, meskipun sedikit, dapat kutularkan juga kepada para perempuan lain demi cita-citaku memberdayakan mereka dari segi kesehatan dan kebugaran.



Saturday, July 01, 2023

Solo, Spirit of Java, dan Segala Perubahannya

Pulang, kenangan, dan kerinduan. Tiga kata tak terpisahkan yang senantiasa mendesak-desak ruang rasa tiap kali kembali ke suatu tempat yang kita anggap rumah. Karena tiga kata itu pula yang membedakan pengembaraan dan keberlabuhan, kelelahan dan kenyamanan, keterasingan dan kebersamaan.

Hari-hari ini ketika aku berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung angkringan bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.

Solo juga masih sesederhana yang dulu. Meskipun resto-resto beken mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang masih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung sate Pak Manto dan Mbok Galak, warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, atau warung gudeg ceker di beberapa tempat lain. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.

Desing-desing akrab bahasa Jawa medok yang selama ini asing di perantauan, dapat dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota Solo. Kesopanan dan kehalusan bahasa yang menjadi ciri orang Solo selalu membuatku merindukan kota ini habis-habisan. Bukan merupakan hal yang aneh lagi ketika seorang sopir angkot atau sopir bus kota berbahasa krama kepada penumpangnya. Sapaan-sapaan seperti “Badhe tindak pundi, Mbak?” atau “Mandhap mriki, Mbak?” menjadi biasa bertebaran di dalam angkot dan bus kota. Bahkan aku pernah tercengang-cengang ketika membayar angkot, kakek tua yang menyopirinya tersenyum mengangguk sambil berkata, “Nggih. Maturnuwun, Mbak.”

Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Sejak lama Solo didengung-dengungkan sebagai Kota Budaya karena dulunya merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa. Hal ini menyebabkan timbulnya kesadaran untuk melestarikan segala bentuk budaya dan tradisi Jawa di Solo, termasuk karya arsitektur kuno. Solo memiliki keragaman arsitektural seperti arsitektur tradisional, Eropa, modern, dan postmodern. Dua di antaranya (tradisional dan Eropa) sangat penting dalam menciptakan identitas modern Kota Solo.

Berfoto di Keraton Kasunanan bersama teman-teman komunitas lari

Sejarah Solo—yang nama resminya adalah Surakarta—bermula ketika Sunan Paku Buwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo, dan Panglima Tentara Belanda J. A. B Van Hohendorff untuk mencari lokasi untuk mendirikan ibu kota baru Kerajaan Mataram. Setelah mempertimbangkan faktor fisik dan nonfisik, pada tahun 1746 M (atau 1671 penanggalan Jawa) dipilih sebuah desa di dekat sungai Bengawan bernama Sala. Sejak saat itu, Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang.

Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan perjanjian Salatiga, Kerajaan Surakarta dibagi menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Dari fakta sejarah, perkembangan Surakarta sangat dipengaruhi oleh peran pemerintah Kasunanan, pemerintah Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan ketat Belanda terhadap Kerajaan Surakarta, dan Pasar Gede Hardjonagoro sebagai pusat perekonomian kota. Peran tempat-tempat tersebut telah membentuk kawasan budaya dengan Kerajaan Kasunanan sebagai pusatnya. Pengembangan kota berlanjut di sekitar wilayah ini hingga hari ini.

Perempatan yang menghubungkan Balai Kota, Pasar Gede, Benteng Vastenburg, dan Keraton Kasunanan

Sayangnya, tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduanku pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrimo mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda dan sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Aku sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tetapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan “kejawaannya”. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ckckck …

Tak dapat dipungkiri, industri gaya hidup telah sukses merambah Solo. Restoran dan kafe bertebaran dalam berbagai bentuk, menyaingi warung lesehan dan angkringan yang sudah lebih dulu merakyat. Salah satu mal besar di jalan protokol kota bahkan dengan bangga memasang slogan ”lifestyle center” dengan huruf besar-besar. Di dalamnya berderet gerai-gerai semacam gerai bakery bermerek dagang nasional, kafe kopi, distro, plus gerai-gerai belanja-barang-mahal lainnya.

Ketika aku berkesempatan jalan-jalan di dalam mal-mal megah yang kini ada beberapa buah di kota ini, aku merasa bak berada di Bandung atau Jakarta. Di ibu kota, mal-mal semacam ini sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Beberapa belas tahun lalu, mal seperti ini bisa dibilang jarang ada di Solo. Kalaupun ada, rasanya dulu sepi pembeli. Bandingkan dengan tempat-tempat belanja yang lebih proletar, seperti Luwes, Matahari Singosaren, Pusat Perbelanjaan Beteng, atau Pasar Klewer. Belum lagi kalau kita bicara soal pergaulan dan tata cara berpakaian. Betapa jamaknya sekarang aku melihat celana pendek dan tank top bertebaran.

Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiranku. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, aku berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Aku tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, aku akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kesederhanaannya. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawaku menjejakkan kaki kembali di kota ini.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Tentang Daerah Asal”.

Thursday, June 01, 2023

Persaingan Perempuan dan Rasa Insecure

Ilustrasi oleh Laura Callaghan

Hal paling berkesan dari masa kecilku yang ingin kuceritakan kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sepanjang ingatanku menjalani masa kecil sebagai perempuan, ada satu kata yang kerap membersamaiku saat itu: insecure. Mungkin aku bisa dibilang cukup cemerlang dalam hal prestasi, tapi sesungguhnya ada banyak hal yang membuatku merasa tidak aman. Aku sering merasa khawatir tidak memiliki teman. Saat kecil aku sungguh pemalu. Terhadap orang yang tak dikenal, aku cenderung menarik diri dan tertutup. Beberapa orang kawan yang cukup dekat denganku membuatku merasa ditinggalkan ketika akhirnya mereka dekat dan bersahabat akrab dengan kawan yang lain. Sebagai seorang gadis kecil, tidak memiliki teman dekat adalah sesuatu yang menyedihkan.

Beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah unggulan, aku melihat teman-teman perempuan banyak yang membentuk geng. Tanpa sengaja aku terlibat akrab dengan salah satu geng di kelas. Peer pressure sangat terasa dalam interaksi sehari-hari. Aku dianggap gaul jika mengikuti standar mereka dan aku sering dicibir bila menolak ajakan hang out karena aku harus buru-buru pulang untuk menjaga adikku. Sampai suatu ketika aku didepak keluar dari geng itu dengan cara yang mungkin buat mereka biasa, tapi buatku terasa sangat menyakitkan. Hingga hari ini aku tidak tahu alasannya. Dugaanku: karena aku sering berbeda pendapat dan kerap menolak ajakan hang out mereka sehingga bagi mereka mungkin aku bukan teman yang asyik.

Peristiwa itu menorehkan luka teramat dalam, sampai-sampai aku bertekad untuk tak akan pernah lagi bersahabat dekat dengan sesama perempuan. Perjalanan mencari teman membawaku pada satu kesimpulan bahwa lebih baik sendirian daripada merasa tersakiti oleh sahabat. Maka ketika aku duduk di bangku SMA, aku mulai menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi dan berteman dengan banyak teman laki-laki. Beberapa kali aku berpacaran dan merasa bisa menjalani hari-hari tanpa sahabat perempuan.

Kenangan-kenangan di masa lalu berperan besar membentuk kepribadianku, sebagai indikasi bahwa hal itu sangat menimbulkan kesan yang terbawa hingga dewasa. Hingga sekarang aku lebih nyaman bepergian seorang diri tanpa teman. Zaman kuliah aku sampai kenyang mendapat pertanyaan “Sendirian aja, Yus?” ketika pergi ke mana-mana. Bahkan saat ibu-ibu di kantor pergi beramai-ramai ke mal ketika jam istirahat, aku merasa lebih nyaman pergi sendiri dalam diam.

Setelah sekarang anak perempuanku menginjak kelas satu SD, ternyata dia menghadapi permasalahan yang sama. Dari beberapa curhatnya tersirat adanya persaingan antara sesama perempuan di kelasnya, baik dalam hal berteman maupun hal-hal lain. Aku cukup sedih waktu dia bercerita bahwa beberapa teman perempuannya mengejek gambarnya yang dianggap jelek sambil terkikik-kikik. Dalam hati aku membatin: ternyata komentar-komentar menjatuhkan itu memang sudah sering terlontar sejak para perempuan berusia dini. Kalau menilik teman-teman lelakinya, mereka cenderung lebih woles.

Melihat kenyataan hidup di sekeliling saat ini, sering sekali kita dapati perempuan satu dengan yang lain saling menjatuhkan. Di kalangan ibu-ibu, sudah jamak terjadi mom war dalam berbagai hal, mulai dari ASI versus susu formula, ibu bekerja versus ibu di rumah, melahirkan normal versus melahirkan C-section, dan masih banyak lagi. Seolah pengalaman masa kecilku belumlah cukup, aku merasa sangat lelah melihatnya.

Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk meneliti persaingan di antara perempuan. Tinjauan literatur oleh Tracy Vaillancourt pada 2013 menemukan bahwa perempuan pada umumnya mengekspresikan agresi tidak langsung terhadap perempuan lain. Agresi tidak langsung tersebut merupakan kombinasi dari self-promotion untuk membuat diri mereka terlihat lebih menarik, serta merendahkan saingan dengan berkomentar tidak baik tentang perempuan lain. Wow banget ya :(

Ada dua teori utama yang menjelaskan alasan perempuan berkompetisi dengan sesamanya.

  1. Psikologi evolusioner, yang menggunakan teori seleksi alam untuk menjelaskan perilaku modern kita, mengatakan bahwa perempuan perlu melindungi diri mereka sendiri (baca: rahimnya) dari bahaya fisik. Jadi, agresi tidak langsung membuat perempuan merasa aman karena merendahkan perempuan lain merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi saingan.
  2. Psikologi feminis mengatakan agresi tidak langsung para perempuan dilakukan untuk menginternalisasi patriarki. Seperti yang ditulis Noam Shpancer dalam Psychology Today, “As women come to consider being prized by men as their ultimate source of strength, worth, achievement and identity, they are compelled to battle other women for the prize.

Dalam pandanganku, perempuan seharusnya saling mendukung satu sama lain. Seorang perempuan bisa memberdayakan perempuan lain dan hal itu tak akan pernah mengecilkan peran dan makna dirinya sendiri. Di dunia yang keras ini, kita harus memberangus kebencian, kecemburuan, atau perasaan iri antara sesama perempuan.

Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan kesulitan yang sama.

Andai saja sejak kecil kita diajari untuk saling mendukung satu sama lain sebagai perempuan, mungkin tidak perlu ada gadis-gadis lain yang mengalami nasib sama denganku. Tak perlu ada persaingan saling menjatuhkan, tak perlu ada perundungan, tak perlu adu debat meskipun berbeda pendapat.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema “Hal Berkesan di Masa Kecil (dan atau Masa Sekolah)”.

Tuesday, May 02, 2023

Sambal Tumpang, Warisan Budaya dan Kearifan Lokal

Gambar dari sini

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei yang bertema “Makanan Favorit” kali ini membuatku sedikit berpikir keras. Beberapa makanan favoritku sudah kutulis dalam tantangan serupa tahun lalu, maka kali ini aku harus memikirkan jenis makanan yang berbeda.

Seperti yang ditulis Mamah Restu: “Jika Mamah menyukai seseorang maka Mamah suka makanan favoritnya”, hal itu pula yang terjadi padaku dan sambal tumpang. Makanan ini favorit suamiku banget, sementara aku tadinya tidak terlalu doyan. Meskipun sangat familier di keluargaku karena bapakku juga suka, tetapi biasanya aku lebih memilih sambal pecel dibanding sambal tumpang.

Sambal tumpang yang sangat populer di Solo ini merupakan makanan yang cukup dikenal di area Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sambal tumpang sebenarnya bukan berupa jenis makanan tertentu yang berdiri sendiri, tetapi biasanya dijadikan topping untuk rebusan sayur mayur (seperti halnya sambal pecel), bubur lemu, atau nasi. Resepnya sangat unik karena menggunakan bahan utama berupa tempe yang hampir busuk yang disebut dengan nama “tempe semangit”. Di beberapa wilayah lain, sambal ini lebih dikenal dengan nama sambal lethok.

Tempe semangit adalah overripe tempe atau over fermented tempe karena telah melewati masa fermentasi tempe yang ideal. Lewatnya masa fermentasi ideal ini ditandai dengan tempe yang mulai mengeluarkan bau tajam serta warna yang mulai kehitaman. Istilah semangit sendiri berasal dari bahasa Jawa “sangit” yang artinya “bau yang menyengat”. Menurut ahli, tempe busuk punya protein yang lebih baik ketimbang tempe segar. Jadi kalau nanti punya tempe yang hampir busuk, jangan dibuang ya. Mamah-mamah bisa mengolahnya menjadi sambal tumpang.

Bicara soal tempe semangit, benda ini sangat susah didapat di luar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini baru kusadari setelah merantau ke Bandung dan Jabodetabek, padahal tempe semangit mudah sekali didapat di warung-warung sayur di Solo karena merupakan bahan yang biasa digunakan dalam sajian-sajian khas Jawa semisal gudeg, sayur lodeh, sayur oseng, botok, gulai, dll. Yaa kalau kata orang Jawa, apa pun jadi sedap jika dimasak menggunakan tempe semangit sebagai salah satu bahan racikan bumbu. Akhirnya aku mencari cara untuk membuat tempe semangit sendiri, alias membeli tempe baru di pasar lalu sengaja dibusukkan. Adakalanya tidak berhasil karena keburu muncul ulat sebelum sempat diolah, tetapi agaknya hal itu karena tempat penyimpanannya kurang rapat. Seringnya sih berhasil alhamdulillah, jadi aku bisa sering-sering membuat sambal tumpang untuk suami.

Konon resep sambal tumpang diduga telah ada sejak era Kerajaan Mataram. Pada Serat Centhini 1814-1823 telah disebutkan keberadaan sambal Mataram di bumi Mataram. Serat Centhini sendiri menceritakan bagaimana dahulu banyak tokoh masyarakat yang melakukan perjalanan mengelilingi desa-desa yang ada di daerah Jawa untuk mengumpulkan berbagai pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai kuliner. Di antara rangkuman perjalanan itulah tertulis bagaimana sambal tumpang menjadi salah satu sajian yang disuguhkan oleh salah satu tuan rumah yang mereka kunjungi. Hal ini membuat resep sambal tumpang memiliki usia yang seharusnya melampaui usia dari Serat Centhini itu sendiri.

Sambal tumpang memiliki tekstur berkuah kental, tidak sehalus sambal pecel karena berisi potongan-potongan bahan pembuatnya, dan bercita rasa gurih yang berasal dari santan. Jika mamah-mamah ingin mencoba merasakan seperti apa sambal tumpang, berikut resepnya ya, sangat mudah dibuat.

Gambar dari sini

Bahan:

  • 1 papan tempe semangit
  • 1 papan tempe baru
  • 4 buah tahu, potong-potong
  • 5 siung bawang merah
  • 3 siung bawang putih
  • 4 buah cabai rawit
  • 3 buah cabai merah keriting
  • 2 buah kemiri
  • 2 ruas kencur
  • 120 ml santan
  • 2 lembar daun salam
  • 4 lembar daun jeruk
  • 1 ruas lengkuas, geprek
  • garam dan gula secukupnya
  • kaldu penyedap
  • krecek untuk tambahan

Cara membuat:

  1. Rebus tempe semangit dan tempe baru di panci. Masukkan cabai, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kencur, dan krecek. Rebus sampai semua bahan matang.
  2. Setelah matang, angkat semua bahan, tiriskan.
  3. Haluskan cabai, bawang merah, bawang putih, lengkuas, kencur, dan kemiri. Sisihkan.
  4. Hancurkan tempe lalu rebus kembali dengan tahu.
  5. Tumis bumbu halus hingga beraroma harum. Campur ke air rebusan, aduk rata. FYI bumbu halus juga bisa langsung dimasukkan ke dalam rebusan air tanpa ditumis terlebih dahulu.
  6. Masukkan tempe yang sudah dihaluskan ke dalam air rebusan.
  7. Masukkan bumbu lain (garam, gula, penyedap), daun salam, dan daun jeruk. Biarkan mendidih sampai air kuahnya berkurang atau menyusut.
  8. Masukkan krecek yang sebelumnya sudah direbus.
  9. Masukkan santan, aduk biar tidak pecah.
  10. Jangan lupa koreksi rasa. Jika rasanya sudah pas, angkat sambal tumpang. Siapkan piring saji, lalu tuangkan sambal ke piring tersebut.
  11. Sajikan dengan pelengkap sayuran rebus seperti bayam, kacang panjang, tauge, dan timun. Siram sambal tumpang di atas sayuran.
  12. Sajikan dengan nasi hangat dan beberapa lauk lainnya supaya rasanya makin mantap.